Judul buku: Digital Fortress (Benteng Digital)
Penulis: Dan Brown
Penerbit: Serambi, Jakarta
Penerjemah: Ferry Halim
Cetakan: Pertama, Mei 2006
Tebal: 568 halaman
Nama Dan Brown melambung setelah novelnya, The Da Vinci Code (2003), mengguncang dunia dengan tema kontroversial yang diangkatnya. Dalam karya fiksi yang konon sudah terjual lebih 45 juta eksemplar itu, Dan Brown dengan cerdas menggabungkan gaya thriller detektif dan teori konspirasi, untuk mengungkapkan hal-hal yang bercorak subversif yang ditudingkan kepada kekuasaan Gereja.
Novel Dan Brown sebelumnya, Angels and Demons (2000), dengan setting Vatikan-Roma, dan tokoh utama bernama Robert Langdon, yang ditampilkan kembali dalam The Da Vinci Code, juga mengangkat tema seputar agama, yakni pergulatan teologi (agama) dan sains.
Dalam kedua novel tersebut, terlihat betapa Brown tidak saja hendak menyajikan sebuah kisah (fiksi) yang menghibur dan memicu adrenalin, tetapi Brown juga memunculkan kembali tema-tema abadi yang cukup kental dengan nuansa filosofis yang berkisar pada tema-tema teologi dan agama.
Melalui karya terjemahan Indonesia Dan Brown yang terbaru ini, berjudul Benteng Digital, yang edisi Inggrisnya terbit tahun 1998, Brown hadir kembali dengan tema yang berbeda dengan dua novel yang lebih dulu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia itu. Dalam novel ini, Brown masuk ke wilayah sosial-politik dengan mengangkat soal dunia spionase di Amerika.
Jika selama ini kebanyakan orang hanya mengenal spionase Amerika via organisasi semacam CIA (Central Intelligence Agency) dan FBI (Federal Bureau of Investigation) saja, Brown dalam novel ini menghadirkan sebuah lembaga spionase Amerika yang luar biasa dan penuh misteri. Namanya NSA, National Security Agency (Badan Keamanan Nasional). NSA didirikan pada tahun 1952 oleh Presiden Truman, bertugas melindungi Amerika dari ancaman keamanan negara asing dan terorisme, serta melindungi informasi rahasia milik Amerika. Konon, dalam membuat keputusan, FBI dan CIA pun tergantung kepada layanan NSA. Lembaga yang mempekerjakan dua puluh enam ribu karyawan ini keberadaannya sangat dirahasiakan. Bahkan pemerintah menolak mengakui keberadaannya, sehingga NSA kadang diplesetkan menjadi No Such Agency (tidak ada badan semacam itu).
Seperti dalam tiga karya Dan Brown yang lain, novel ini juga diawali dengan sebuah kematian misterius, yang kali ini dialami oleh seorang berkebangsaan Jepang bernama Ensei Tankado di Sevilla Spanyol. Kematian Tankado ini menjadi perhatian serius NSA karena Tankado sedang mengiklankan peranti lunak yang baru dibuatnya, bernama Digital Fortress, via internet, yang dklaim dapat melindungi dokumen dengan kode sandi rahasia yang tak dapat ditembus dan dipecahkan—bahkan oleh para pemecah sandi di NSA sekalipun! Tentu saja NSA merasa sangat terancam dengan Digital Fortress, yang itu berarti akan mematikan kerja utama NSA.
Tankado sebenarnya pernah bekerja di NSA, tapi akhirnya diberhentikan dan dideportasi. Saat di NSA, Tankado terlibat dalam proyek pembuatan TRANSLTR, sebuah komputer mahacanggih dengan tiga juta prosesor yang sanggup memecahkan kode dalam bentuk apa pun—tapi ternyata tidak untuk kode produk Digital Fortress. Liciknya, NSA mengumumkan bahwa proyek TRANSLTR gagal, sehingga kemudian orang-orang tak sadar bahwa NSA sebenarnya diam-diam memiliki senjata ampuh untuk masuk ke ruang pribadi mereka. Nah, Tankado sendiri termasuk orang yang bersimpati dengan EFF—Electronics Frontier Foundation, sebuah koalisi yang menyokong kebebasan berpendapat secara online dan mendidik masyarakat tentang realitas dan bahaya hidup di era elektronik—sehingga akhirnya ia bersikap tak simpatik dengan proyek TRANSLTR itu.
Novel ini menceritakan bagaimana NSA berburu sandi untuk membuka dan memodifikasi Digital Fortress yang disimpan oleh Tankado sendiri, demi menyelamatkan masa depan NSA. Kematian misterius Tankado dan perburuan sandi Digital Fortress ini selanjutnya melibatkan dua tokoh utama dalam novel ini, Susan Fletcher, kriptografer kepala di NSA, dan pacarnya, David Becker, profesor termuda bidang bahasa dari Universitas Georgetown (semacam Robert Langdon dalam The Da Vinci Code).
Alur dan teknik bercerita Dan Brown dalam novel ini masih sangat khas: sinematik (filmis), seperti ketika Brown menampilkan kilasan peristiwa di Spanyol tentang Becker yang berburu cincin Tankado sambil dibayangi ancaman pembunuh misterius, bergantian dengan ketegangan penuh intrik di markas NSA antara Susan Fletcher dan petinggi serta staf NSA lainnya. Brown menyuguhkan kepingan fakta-fakta dengan amat cerdik, membiarkan pembaca dalam bayang tanda tanya, sehingga pembaca sulit untuk berhenti membaca hingga tuntas cerita.
Yang pasti, pembaca yang tamat melahap novel ini akan dibuat berpikir kembali dan mengambil jarak untuk menilai aktivitas badan spionase semacam NSA. Dapat dikatakan bahwa Brown seakan-akan meletakkan badan spionase semacam NSA di wilayah abu-abu, antara semangat patriotik yang diusungnya untuk menjaga kedaulatan negara dan keselamatan warganya dari ancaman bahaya, dan bayang-bayang sosok Bung Besar dalam rekaan novelis George Orwell yang menguntit setiap perilaku warga negara dengan kuasa tanpa batas dan semena-mena.
Akan tetapi, dengan akhir cerita yang cenderung berpihak pada NSA, dan beberapa pengungkapan aksi patriotik NSA dalam beberapa kasus, sangat mungkin pembaca yang tamat membaca novel ini akan dibuat ragu untuk melaknat NSA atau sejenisnya karena kemampuannya untuk menelanjangi privasi setiap orang. Padahal, dari perspektif Orwellian, semulia apa pun dasar tujuan Bung Besar, tak ada yang bisa menjamin bahwa kekuasaan Bung Besar yang menggurita itu akan konsisten digunakan sesuai dengan niat sucinya, dan bahwa ia tidak akan terjebak pada bujuk penguasa. Seperti disindir oleh penyair Roma, Juvenal, dalam bahasa Latin: Quis custodiet ipsos custodes? Siapa yang akan mengawasi para pengawas?
Tapi tentu saja pembaca dapat membuat penilaian dan memberikan perspektif tersendiri atas beberapa hal mendasar yang diangkat sebagai latar persoalan novel ini. Selain itu, lepas dari soal-soal mendalam dan serius yang bisa dikaji lebih lanjut dari novel ini, sebagai sebuah cerita, novel ini sangat menghibur, memikat, dan mencerdaskan.
Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 20 Agustus 2006.
0 komentar:
Posting Komentar