Dalam beberapa tahun belakangan ini, pasar buku di Indonesia disemarakkan oleh buku-buku bergenre buku how to, buku kiat-kiat atau panduan praktis mengenai banyak hal, mulai tentang kiat belajar, pengembangan kepribadian, pendidikan keluarga, kreativitas, hingga kiat sukses. Kita bisa menyebut Penerbit Kaifa, yang masih satu grup dengan Penerbit Mizan, sebagai penerbit yang cukup gencar memproduksi buku-buku semacam ini. Tanggapan publik pembaca di negeri ini pun cukup luar biasa: buku-buku how to laris manis ibarat kacang goreng. Buku Quantum Learning misalnya yang merupakan buku pertama Penerbit Kaifa per Juni 2003 sudah naik cetak tujuh belas kali dan terjual 112 ribu eksemplar.
Memang buku-buku how to yang bercorak praktis ini juga sempat memicu perbincangan di kalangan pemerhati buku di Indonesia. Buku-buku semacam itu dipandang kurang memiliki idealisme yang kental sehingga terkadang bila ada seorang mahasiswa yang sedang membaca buku how to, dia akan diledek: mahasiswa kok suka baca buku-buku macam itu? Buku how to dianggap kurang memiliki bobot landasan pemikiran yang kuat dan menarik, dan hanya sekadar berorientasi pasar sehingga diduga hanya akan mengarahkan industri buku ke dalam cara-cara berpikir instrumentalis dan kapitalis.
Tentu saja anggapan semacam ini terlontar terlalu dini karena bila diamati cukup banyak buku-buku how to itu yang memiliki bobot kualitas luar biasa. Mengutip Hernowo ketika mengantar buku Quantum Learning, buku-buku terbitan Kaifa (baca: buku how to) dimaksudkan untuk “membantu masyarakat Indonesia dalam mengembangkan potensi-diri dalam menghadapi tantangan-tantangan zaman yang semakin canggih dan kompleks.” Ungkapan ini memang tidak berlebihan. Buku-buku how to memberikan suatu perspektif panduan yang diolah begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari pembaca. Di sini bisa dikemukakan contoh buku It’s My Life misalnya, yang diterbitkan oleh Kaifa for Teens (lini Kaifa). Buku ini sungguh memukau dan luar biasa karena di satu sisi berformat semacam agenda harian remaja, dan di sisi lain berupaya untuk membangun kemandirian bersikap dan rasa percaya diri kaum remaja menghadapi tantangan globalisasi.
Bila buku-buku how to dianggap kering pemikiran teoritis, ini juga pandangan yang terburu-buru. Kesan praktis terhadap buku how to memang tidak bisa terhindari. Tapi tentu saja buku-buku tersebut juga menyimpan asumsi-asumsi idealis yang bersifat implisit dan hanya dapat dibaca melalui cara penyajian dan orientasi buku itu sendiri. Artinya, sisi idealisme buku how to tidak terletak di dalam wujud buku itu sendiri, tetapi lebih pada terminal akhir yang akan dihantarkan oleh buku itu. Bahkan, ada sebuah buku karya Soraya Susan Behbehani berjudul Ada Nabi Dalam Diri: Melesatkan Kecerdasan Batin Lewat Zikir dan Meditasi (Penerbit Serambi, Juni 2003) yang berusaha menggabungkan dimensi teoritis dan praktis ini (ditambah lagi dengan sisi historis): semacam buku how to tapi dengan suatu introduksi teoritis yang cukup memadai.
Kelebihan buku-buku how to memang mudah sekali terbaca. Ia memiliki pangsa pasar yang lebih terbuka, tidak hanya kalangan pelajar-mahasiswa yang akrab dengan buku-buku yang bernuansa cukup teoritis-akademis. Dari perspektif ini juga berarti buku-buku how to ini akan memberikan kontribusi yang tidak kecil, terutama dalam kerangka pengembangan potensi-diri seperti yang disebut oleh Hernowo di atas. Sudut pandang pengaruh ini bisa saja diperbandingkan dengan sejauh mana efektivitas buku-buku serius yang memiliki bobot teoritis atau berisi semacam proposal pemikiran baru baik dalam bidang politik, ekonomi, agama, dan budaya, dalam hubungannya dengan buku how to yang secara langsung dapat menemui sasarannya, yakni pembaca individual. Bisa saja seorang pembaca akan menjadi lebih terbuka pandangan keberagamaannya setelah membaca buku Ada Nabi Dalam Diri yang memiliki sisi cukup praktis itu ketimbang membaca buku berat semacam Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial (Paramadina, diterbitkan ulang Gramedia). Atau bisa saja pengaruh buku Quantum Learning cukup berimbang atau malah lebih besar dibandingkan dengan buku-buku filsafat pendidikan pembebasan Paulo Freire.
Yang paling menarik dari buku-buku how to adalah cara pengemasan gagasannya yang begitu kreatif dan kaya dengan visualisasi memikat. Cara pengemasan semacam ini di samping membuat pembaca tidak cepat bosan dan lelah juga sangat membantu dalam menyerap dan mengikat gagasan yang hendak disampaikan. Bahkan, pengemasan yang tidak hanya menumpukan pada dimensi tekstual sebuah buku ini juga dapat membantu mempercepat penangkapan struktur gagasan keseluruhan buku dan memperdalam pemahaman, melalui diagram, sketsa, ilustrasi, atau kutipan kata-kata mutiara. Dilihat dari sisi ini, patut kiranya dipertimbangkan bagaimana jika buku-buku pelajaran di sekolah juga mencoba model pengemasan yang memaksimalkan dimensi visual ini. Sebagai contoh, buku pelajaran sejarah misalnya bisa juga didandani dengan kutipan ujaran-ujaran sang tokoh, gambar film atau petikan puisi yang berkaitan dengan peristiwa sejarah tertentu, atau ilustrasi visual yang dapat memetakan suatu rangkaian peristiwa. Tentu ini juga mengharuskan perombakan konsep tata letak (lay-out) buku pelajaran yang selama ini relatif konvensional.
Uraian-uraian tersebut di atas sama sekali tidak dimaksudkan untuk memberikan pembelaan atas buku-buku how to yang kadang dipandang sebelah mata. Tulisan ini hanya sekadar mencoba untuk menggali lebih objektif hal-hal yang bisa dipetik dari buku-buku how to. Daripada mengecam buku how to sebagai tidak idealis, lebih baik kita lebih memfokuskan pada upaya-upaya penggarapan usaha penerbitan yang dikelola dengan penuh tanggung jawab dengan mengawal mutu buku (apa saja) secermat dan sebaik mungkin. Sebab inilah sebenarnya makna terdalam dari idealisme sebuah penerbitan.
Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 24 Agustus 2003.
Senin, 25 Agustus 2003
Belajar kepada Buku How To
Langganan:
Postingan (Atom)