Judul buku : Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya
Penulis : Adian Husaini, M.A., dan Nuim Hidayat
Penerbit : Gema Insani Press, Jakarta
Cetakan : Pertama, Juni 2002
Tebal : 234 halaman
Seperti kata Hegel, realitas memang tersusun dari proses dialektis. Begitu pula arus sebuah gagasan sering mengalami dialektika, terutama ketika berjumpa dengan realitas sosial tertentu. Kelahiran gagasan Islam Liberal di Indonesia terhitung sejak awal tahun lalu misalnya mula-mula dipicu oleh keprihatinan berkembangnya pemikiran keagamaan yang eksklusif dan tertutup sehingga diduga kuat menstimulasi lahirnya tindak kekerasan atas nama agama. Dari situ, hingga saat ini, pemikiran Islam Liberal di Indonesia lantas tersosialisasi begitu kuat dan menjadi suatu diskursus publik yang meriah.
Buku ini menarik terutama karena berusaha menghadirkan sebuah wacana tandingan terhadap berbagai agenda pemikiran yang diusung oleh kelompok pendukung Islam Liberal. Memang selama ini telah terjadi sejumlah diskusi publik di media massa dan forum-forum diskusi antara pendukung pemikiran Islam Liberal dan para penentangnya—termasuk yang juga melibatkan penulis buku ini. Tapi kehadiran buku ini memiliki nilai yang cukup signifikan karena secara lebih sistematis menyajikan sejumlah uraian dan argumen yang relatif komprehensif tentang berbagai pemikiran yang bersifat kontra Islam Liberal.
Penelusuran buku ini dimulai dari perspektif sejarah dalam konteks Indonesia. Menurut buku ini, benih-benih pemikiran Islam Liberal telah tersemai cukup lama di Indonesia. Buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya karya Prof. Dr. Harun Nasution yang terbit pada awal dekade 1970-an misalnya pada bagian tertentu menyajikan beberapa gagasan yang seirama dengan pemikiran Islam Liberal saat ini. Demikian pula Nurcholish Madjid, yang merintis Yayasan Paramadina dan berbagai lembaga di bawah binaannya, menjadi salah satu tonggak pemikiran Islam Liberal di Indonesia. Bahkan Greg Barton memasukkan nama Ahmad Wahib (meninggal tahun 1973), Djohan Effendi, dan Abdurrahman Wahid dalam kelompok pemikir Islam Liberal di Indonesia.
Perluasan dan sosialisasi wacana Islam Liberal ini belakangan didukung kuat oleh komunitas yang menamakan dirinya Jaringan Islam Liberal yang menggunakan jejaring berbagai media untuk menyebarkan ide-idenya, mulai dari radio, koran, hingga milis di internet. Beberapa media massa yang aktif meluncurkan gagasan-gagasan Islam Liberal antara lain adalah Kompas, Republika, Jawa Pos, Koran Tempo, dan Majalah Tempo. Sejumlah buku yang menjelaskan gagasan Islam Liberal juga telah terbit dan dibaca luas oleh masyarakat Indonesia.
Ada tiga persoalan utama yang dibidik kedua penulis buku ini, yang merupakan agenda pemikiran kelompok Islam Liberal, yakni masalah teologi pluralis, penolakan terhadap penerapan syariat Islam di Indonesia yang menurut penulis buku ini berujung pada pengebirian syariat Islam, dan upaya penghancuran terhadap apa yang oleh kalangan pendukung Islam Liberal disebut sebagai “Islam fundamentalis” atau “Islam militan”.
Maraknya tulisan-tulisan di media massa yang mengajak dikembangkannya teologi pluralis-inklusif yang banyak dimotori oleh kalangan intelektual muda menurut penulis buku ini secara tidak sadar telah berakibat pada penghancuran akidah Islam. Terjadi proses pengaburan yang nyaris tak disadari menyangkut konsep Tauhid Islam, yang seperti berakhir pada pemikiran tentang penyamaan agama-agama. Di sini terlihat bahwa penulis buku ini masih meyakini diktum “di luar Islam tak ada keselamatan”. Sementara kelompok Islam Liberal menyoroti doktrin keselamatan ini terutama dari perspektif filsafat perennial, yang membidik ihwal spiritualitas dan keberagamaan dari sisi esoteris.
Sementara itu, penolakan besar-besaran terhadap penerapan syariat Islam di Indonesia oleh buku ini dilihat dalam spektrum yang lebih luas: konspirasi global yang didukung oleh kekuatan politik, ekonomi, dan media, yang luar biasa demi merawat citra negatif umat Islam. Dimunculkan kesan seakan Indonesia akan berantakan gara-gara syariat Islam, dan bahwa penerapan syariat Islam hanya akan mendiskriminasikan kelompok agama lain. Secara kritis penulis buku ini mempertanyakan, tidakkah penerapan sistem hukum saat ini yang nota bene berasal dari hukum kolonial juga bersifat diskriminatif terhadap kelompok lain?
Persoalan terakhir yang diulas buku ini adalah soal upaya penyingkiran kelompok yang disebut “Islam fundamentalis” atau “Islam militan”. Problematik persoalan ini terletak pada soal stigma negatif yang telah dan selalu dirujukkan kepada kelompok ini, sehingga orang kebanyakan terlanjur berpikir apriori dan tidak simpatik. Bahkan dalam Pidato Kebudayaan Cak Nur di TIM pada tahun 1992 stigmatisasi ini sudah bermula, dengan menyamakan bahaya fundamentalisme dengan narkotika.
Kehadiran buku ini setidaknya cukup memberi titik terang terhadap sejumlah soal yang diperdebatkan dalam wacana Islam Liberal. Di sini masyarakat dapat dengan leluasa mencermati silsilah argumentasi mereka secara lebih cermat. Pada sisi yang lain, hal yang mengemuka dari buku ini adalah soal pembongkaran stigma kelompok “Islam fundamentalis”, sehingga mereka dapat diperlakukan secara lebih adil dalam proses transaksi wacana di Indonesia. Cara seperti ini akan lebih arif ketimbang melakukan kekerasan di wilayah publik. Cuma sayangnya, buku ini tidak secara sistematis membangun argumen-argumen yang kontra terhadap Islam Liberal, dan lebih hanya merespons beberapa poin pemikiran Islam Liberal yang bersifat polemis.
Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 18 Agustus 2002.
0 komentar:
Posting Komentar