Senin, 01 Oktober 2001

Mengelola Luka Sejarah Tragedi Bangsa

Tragedi pembantaian di tahun 1965 yang dipicu oleh gerakan yang disebut dengan Gerakan 30 September (G-30-S) bagi bangsa Indonesia merupakan sebuah luka sejarah yang tak kunjung sembuh. Bekas luka yang begitu dalam itu masih tetap menganga dan darahnya menggenang di kesadaran sejarah dan memori kolektif masyarakat. Sayangnya, luka sejarah itu tak jarang menimbulkan sikap-sikap yang kontra-produktif terhadap proses pembangunan peradaban bangsa.

Ini yang pernah dilontarkan Muhammad Qodari (Tempo, 2-8 Oktober 2000) ketika menyatakan keheranannya atas penolakan besar-besaran beberapa kelompok masyarakat terhadap usul Gus Dur mencabut Tap XXV/MPRS/1966 tentang larangan mempelajari, menyebarkan, dan mengamalkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme itu—sebuah produk yang lahir tidak lama setelah peristiwa tragis itu. Qodari menganggap hal itu sebagai sebuah “anomali” reformasi. Betapa tidak, ketika seluruh elemen bangsa ini sedang melakukan upaya dekonstruksi di sana-sini terhadap segala bentuk warisan pola pikir dan sikap (politik) Orde Baru, ternyata dalam hal pencabutan Tap XXV/MPRS/1966 masyarakat bersikap “aneh”.

Kasus ini hanyalah salah satu contoh dari cara penyikapan masyarakat terhadap (tragedi) sejarah yang dimilikinya. Diam-diam terungkap bahwa akibat rasa ketakutan yang lahir dari sejarah tragis kehidupan bangsa ternyata malah melahirkan sikap yang berseberangan dengan semangat reformasi yang sedang digalakkan di berbagai sektor kehidupan bangsa, terutama untuk membangun kesadaran hidup berkebangsaan yang baru.

Melihat praktik semacam itu tampaklah bahwa ternyata sejarah kehidupan bangsa sesekali dapat menjadi tameng kepentingan kelompok tertentu yang bersifat sementara. Sementara elemen komunitas sosial bangsa yang lain, yang mendapat atribut sebagai “the other” dalam sejarah, diabaikan—bahkan mungkin dihilangkan—dari panggung sejarah.

Pengelolaan memori sejarah sosial ternyata menjadi cukup penting. Rezim Orde Baru telah menunjukkan betapa selama kekuasaannya mereka telah begitu cerdik memanfaatkan momen-momen tragis kehidupan bangsa—terutama peristiwa G-30-S—untuk dijadikan legitimasi “kebijakan” pemerintahannya. Sejarah telah ditunggangi dan hanya dipersembahkan kepada sang penguasa demi memperoleh pembenaran politik.

Menjadi terang benderanglah bahwa pengelolaan sejarah sosial suatu bangsa menjadi sedemikian penting. Pada satu sisi ia dapat melahirkan legitimasi untuk mendukung status quo, dan pada sisi yang lain ia sebenarnya dapat menjadi suatu kekuatan suatu bangsa untuk membangun kembali peradaban bangsa. Persoalannya adalah bagaimana caranya?
* * *
“Orang yang tidak dapat mengambil pelajaran dari masa tiga ribu tahun, hidup tanpa memanfaatkan akalnya,” demikian ujar Goethe, seorang penyair Jerman terkemuka. Sejarah memang dimiliki oleh tiap manusia. Namun tidak hanya seorang manusia, setiap bangsa pun juga memiliki sejarahnya masing-masing. Ernst Cassirer (1847-1945) dalam bukunya An Essay on Man menyatakan bahwa sejarah adalah kesaksian evolusi organisme peradaban suatu masyarakat. Dengan begitu, sejarah sebenarnya dapat digunakan sebagai modal awal untuk mengetahui proses pembentukan identitas suatu masyarakat (bangsa). Masyarakat Yunani Kuno misalnya mempraktikkan pendefinisian identitas ini dengan menciptakan referensi sejarah yang mengacu kepada masa lampau yang bersifat mitis, yakni melalui mitos-mitos yang berkaitan dengan fenomena kosmologis ataupun genealogis.

Dalam terang gagasan tersebut, upaya pembacaan ulang terhadap warisan sejarah tragis kehidupan bangsa berada dalam kerangka perumusan identitas kebangsaan, yakni untuk memahami proses evolusi peradaban bangsa Indonesia. Jangkauan masa depan yang diharapkan adalah terbentuknya suatu kearifan sejarah yang pada gilirannya dapat membentuk suatu rancang bangun budaya politik yang kondusif bagi pengembangan demokrasi.

Dengan kerangka baca seperti tersebut di atas, maka proses pembacaan berbagai tragedi kemanusiaan dalam sejarah kebangsaan Indonesia dapat dilihat dalam dua kategori. Pertama, kategori obyektif. Berbagai sejarah tragedi kemanusiaan itu dikaji dan diklarifikasi dengan menggunakan kategori obyektif-empiris. Sisi pembacaan ini mengandaikan adanya keterbukaan faktual dari obyek kajian yang dipelajari. Medan warisan sejarah tragis kehidupan bangsa dibuka lebar-lebar untuk diungkapkan dari berbagai versinya, sehingga latar sosio-kultural yang berada di belakang peristiwa itu menjadi jelas.

Setelah itu, pembacaan dilanjutkan dengan menguraikan unsur-unsur sosial yang melatarbelakangi kejadian-kejadian itu. Ini berarti bahwa integrasi sosial misalnya yang selama ini dimitoskan dengan memendam segala perbincangan yang berkaitan dengan SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan) dibongkar sehingga akar penyebab tragedi-tragedi kemanusiaan yang sarat dengan kekerasan horizontal itu terungkap jelas.
Karena kategori obyektif ini berlandaskan kepada sejarah obyektif yang bersifat empiris, maka penyikapan selanjutnya yang harus diambil mesti dikaitkan dengan konsep rasionalitas politik demokrasi. Untuk itu, pada tahap yang paling akhir, jika memungkinkan, pembacaan dengan kategori obyektif merekomendasikan penindaklanjutan penyelesaian masalah secara hukum maupun politis.

Yang diharapkan dari kategori obyektif terhadap pembacaan berbagai tragedi sejarah ini adalah adanya political will dan usaha sistematis yang kuat untuk mendedahkan lembar-lembar sejarah yang tertimbun di lapisan terdalam sejarah kehidupan bangsa ini, serta bila dipandang perlu dan memungkinkan, berbagai kasus tragedi kemanusiaan itu dituntaskan melalui jalur hukum atau politik.

Sebuah contoh bagus bagi pembacaan obyektif terhadap kasus G-30-S misalnya ditunjukkan dari buku Hermawan Sulistyo berjudul Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966) yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (Juni 2000). Buku yang mulanya adalah disertasi doktoral ini menelusuri akar-akar pembantaian massal PKI tahun 1965-1966. Dengan mengambil lokasi penelitian di Jombang dan Kediri, Hermawan mengungkapkan bahwa ternyata peristiwa pembantaian tersebut bukan semata-mata berkaitan dengan peristiwa G-30-S, yakni pembunuhan sejumlah perwira tinggi di Jakarta, melainkan berakar dari konflik sosial antara berbagai elemen sosial masyarakat yang sebelumnya telah terjadi. Dalam buku ini Hermawan tidak terjebak kepada penjelasan yang semata-mata memusatkan pada elit-elit politik nasional ketika itu, dan lebih memberi ruang bagi dinamika kehidupan masyarakat bawah di Jombang dan Kediri yang pada akhirnya memungkinkan meluasnya konflik sosial secara lebih massif.

Cuma sialnya, beberapa masyarakat justru mengkategorikan buku ini sebagai buku “kiri”, sehingga beberapa waktu yang lalu sempat pula di-sweeping. Inilah cara baca kaum awam terhadap sejarah yang kelihatan begitu gegabah dan emosional.

Pembacaan yang kedua adalah melalui kategori subyektif. Bila pembacaan dengan kategori obyektif berada dalam bingkai politik demokratisasi dalam masyarakat bangsa secara luas, maka kategori subyektif lebih menempatkan berbagai tragedi sejarah kemanusiaan itu dalam wilayah kultural-eksistensial. Cara baca subyektif terhadap sejarah ini dilakukan untuk mencapai hasil yang lebih tajam dalam mengeksplorasi sejarah suatu bangsa. Aspek intuisi kemanusiaan begitu ditekankan. Bila cara baca yang pertama lebih menekankan aspek yang lebih ilmiah—terutama dalam kacamata historiografi—maka cara baca kedua ini lebih mengusahakan terengkuhnya pengalaman-pengalaman kemanusiaan yang dialami dalam sejarah.

Sejarah dalam kondisi primordial tidak berkaitan dengan observasi empiris, karena setiap peristiwa sejarah pada hakikatnya bersifat “sekali terjadi”. Karena itu sejarah hanya bisa diteliti melalui dokumen-dokumen, monumen, atau pelaku sejarah itu sendiri. Pembacaan dengan kategori subyektif ini menghendaki agar hasil dari pembacaan obyektif dapat dijadikan sebagai upaya untuk menghubungkan pengalaman-pengalaman historis antar-generasi sehingga akhirnya sejarah dapat menjadi sarana sosialisasi dan pewarisan nilai.

Dengan menekankan pada aspek individual-eksistensial, pembacaan subyektif menghendaki agar fakta obyektif sejarah itu dijadikan “kawan dialog” yang menyampaikan pesan-pesannya generasi penerus suatu bangsa. Dalam pembacaan ini, yang diandalkan adalah kepekaan intuitif untuk memberi pemaknaan yang bersifat produktif-kreatif terhadap berbagai tragedi kemanusiaan itu. Kepekaan intuitif ini berarti bahwa setiap individu hendaknya mengembalikan semua peristiwa itu dalam situasi primordial kemanusiaan yang memiliki kepekaan dan keprihatinan etis dalam bingkai semangat humanisme yang tinggi.

Usaha Garin Nugroho melalui filmnya, Puisi tak Terkuburkan, adalah contoh yang sangat tepat dikemukakan. Film tersebut mengisahkan kesaksian seorang penyair Aceh yang dipenjara di Tanah Gayo pada tahun 1965. Budi Irawanto, kritikus film dari Yogyakarta, menunjukkan kekagumannya atas keberhasilan film itu dalam mengungkap sisi-sisi kemanusiaan yang begitu bermakna dari kisah tragis itu. Dalam pandangan Budi, film tersebut mampu ‘mensugestinya ke arah permenungan makna dan hakikat pengalaman manusia’.
* * *
Dengan dua cara baca tersebut di atas, diharapkan bahwa warisan sejarah bangsa Indonesia dapat dimaknai secara produktif, dengan maksud agar itu semua dapat menjadi titik tolak kesadaran untuk membangun peradaban bangsa yang lebih baik di masa depan. Masa lalu tidak boleh menjadi beban yang menyebabkan ketertutupan, melainkan harus menjadi elan vital bagi Orde Reformasi, dengan tetap bertopang pada kesadaran pluralistik bangsa Indonesia. Seperti disebutkan dalam pamflet film Puisi tak Terkuburkan karya Garin Nugroho: “Setiap bangsa memiliki trauma kekerasan politis. Saatnya, setiap individu bangsa bebas menafsir trauma bangsa lewat kreativitas. Untuk nantinya tidak muncul dalam berbagai bentuk kekerasan baru.”


Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 1 Oktober 2001.

0 komentar: