Selasa, 03 Juli 2001

Potret Kekerasan di Mata Para Sastrawan

Judul: Mata yang Indah: Cerpen Pilihan Kompas 2001
Penyunting: Kenedi Nurhan
Penerbit: Kompas, Jakarta
Cetakan : Pertama, Juni 2001
Tebal: xlvi + 222 halaman



Kumpulan Cerpen Terbaik Kompas 2001 ini adalah antologi yang kesembilan yang telah diterbitkan Harian Kompas sejak tahun 1992. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, antologi yang berisi 16 cerpen pilihan dewan juri ini—yang sebelumnya dimuat di Kompas dalam rentang tahun 2000—diberi judul sesuai dengan cerpen terbaik yang diseleksi secara ketat. Cerpen terbaik dalam antologi ini berjudul Mata yang Indah karya Budi Darma, seorang sastrawan terkemuka yang sebelumnya juga pernah mendapat anugerah cerpen terbaik Kompas pada tahun 1999 dengan cerpennya yang berjudul Derabat.
Cerpen Mata yang Indah karya Budi Darma ini berkisah tentang seorang pengembara bermata indah yang pulang dari kelananya hanya untuk bertemu dengan ibunya yang sedang menanti ajal. Dalam pengembaraannya dia nyaris diperkosa seorang perempuan yang mengira sebagai suaminya. Menjelang ajal, si ibu menuturkan bahwa ia pernah memperkosa seorang lelaki bermata indah. Dengan alur yang bercorak simbolis dan surealistik cerpen ini kemudian nampak melebur dan mengaburkan sosok pengembara itu dengan ayahnya, si ibu dengan “perempuan pemerkosa” itu.
Kecuali cerpen terbaik karya Budi Darma ini, cerpen-cerpen lain dalam antologi ini kebanyakan bersifat realistik: semacam potret atau kesaksian lain atas kenyataan-kenyataan sosial di masyarakat dengan sudut pandang tokoh tertentu yang terlibat dalam realitas tersebut. Tak jarang beberapa cerpen mengacu kepada fakta historis tertentu, seperti cerpen Sori Siregar berjudul Krueng Semantoh. Cerpen ini bertutur tentang pertemuan sahabat lama, Sahat dan Parlagutan. Dalam pertemuan itu, Sahat yang berprofesi sebagai guru terkejut dengan penuturan Parlagutan yang cukup misterius, bahwa ia sudah “capai melakukan kekerasan dan kekejaman”, untuk kemudian lebih memilih bekerja sebagai kepala keamanan di sebuah perkebunan kelapa sawit. Di akhir cerita terungkap bahwa Parlagutan ternyata pernah menjalani pengalaman buruk ketika korps(militer)nya bertugas di Krueng Semantoh yang kemudian mengubah jalan hidupnya.
Atau juga cerpen Martin Aleida yang berjudul Elegi untuk Anwar Saedy, yang berkisah tentang tokoh Anwar Saedy yang berhadapan dengan kontras dunia subjektif yang dialaminya dulu dan dunia faktual saat ini yang amat mengecewakan. Anwar Saedy adalah sosok lelaki Aceh yang pernah memimpin pemogokan buruh di New York menjelang akhir masa kolonialisme Belanda di Indonesia. Ternyata, kekecewaan yang amat sangat dialami Anwar Saedy di masa tuanya, ketika ia sama sekali tidak dihargai sebagai pahlawan, bahkan menjadi korban kekerasan rezim di Jakarta ketika mencoba mengadu nasib sebagai pedagang kaki lima.
Potret kekerasan sosial memang seperti menjadi ruh dari cerpen-cerpen dalam antologi ini. Selain dua cerpen di atas, cerpen Gus tf Sakai berjudul Upit mempersaksikan kekerasan terhadap perempuan bernama Upit yang hidup dalam cengkeraman hidup keluarganya yang penuh keterpaksaan. Upit dipaksa kawin oleh ayahnya dengan majikannya yang belakangan diketahui homoseks. Upit tak kuasa keluar dari kubangan penderitaannya. Bahkan ketika seorang tetangganya yang bernama Haris berusaha menolongnya, ia malah dituduh mengganggu istri orang.
Cerpen Jujur Prananto berjudul Jakarta Sunyi Sekali di Malam Hari adalah sebuah kesaksian atas kerasnya kehidupan kota Jakarta yang menimpa seorang bapak bernama Mudakir yang hendak mengunjungi anaknya yang telah lama tidak pulang kampung atau memberi kabar. Malangnya, si bapak malah tersesat setelah uangnya habis ditipu seorang perempuan hingga akhirnya menggelandang bertahun-tahun dan hidup tak menentu dan terpisah dari keluarga.
* * *
Fenomena kekerasan memang masih menjadi realitas sosial yang tiada henti dipertontonkan di republik ini. Setting Indonesia saat ini yang sedang mengalami masa transisi dan ditandai dengan suasana yang penuh dengan ketidakpastian semakin mendukung kecenderungan hidup yang penuh dengan kekerasan itu.
Cerpen-cerpen yang terkumpul dalam antologi ini tidak lain adalah cara pandang para sastrawan melihat fakta kekerasan itu. Dalam hal ini karya sastra memang kurang lebih memiliki kelebihan dibandingkan dengan media lainnya, seperti berita atau laporan jurnalistik. Bila berita atau laporan jurnalistik memaparkan fakta-fakta empiris secara kaku menurut kaidah berbahasa “yang baik dan benar”, maka karya sastra berusaha menembus itu semua dengan melakukan sebuah eksplorasi bahasa yang mendalam dan sedemikian rupa, sehingga mampu memunculkan sisi kemanusiaan yang intens dan mendalam dari gejala kekerasan itu.
Aspek inilah sebenarnya yang cukup mampu mengangkat nilai relevansi buku ini dalam konteks kekinian. Ketika segala kehidupan di negeri ini berjalan tanpa adanya sikap santun dan manusiawi, maka cerpen-cerpen dalam antologi ini berusaha mengangkat sisi lain yang selama ini terlupakan: nilai-nilai khas yang bersifat manusiawi. Cerpen-cerpen dalam antologi ini menggedor mata hati para pembacanya untuk keluar dari kesumat dan cara pandang emosional, untuk kembali kepada kearifan memaknai geliat perubahan zaman.
Melalui penuturan para cerpenis dalam antologi ini, kita semua diajak untuk tidak begitu saja menyerah menghadapi getir dan kerasnya kehidupan untuk terus menghimpun energi kreatif memaknai setiap potensi yang tersisa.
* * *
Antologi cerpen pilihan Kompas tahun 2001 ini berisi 16 cerpen pilihan yang ditulis oleh cerpenis-cerpenis terkemuka, yakni Budi Darma, Jujur Prananto, Yanusa Nugroho, Martin Aleida, Ratna Indraswari Ibrahim, Sori Siregar, K. Usman, Veven Sp Wardhana, Gus tf Sakai, Cok Sawitri, A.A., Navis, Indra Tranggono, Herlino Soleman, Wilson Nadeak, Harris Effendi Thahar, dan Umar Kayam.
Buku ini juga dilengkapi dengan dua buah tulisan pendamping berupa komentar dan ulasan yang ditulis oleh Hasif Amini (redaktur Jurnal Kalam) dan Alois A. Nugroho (dosen Unika Atma Jaya Jakarta).
Antologi ini adalah bukti dari masih kuatnya sastra koran di negeri ini. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, tentu buku ini layak dibaca untuk mendapatkan cara baca dari sisi lain fenomena sosial yang makin tak menentu di negeri ini.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

I live my life not by books.
Believe it or not, never do I finish reading any book. (I'm 20 now)
Any suggestion how to work finishing reading books and getting the essences?
Thanks a lot.
Nice to kno'cha'

regards,
Vero
^_^