Setiap arus waktu yang telah berlalu tak dapat lagi kembali. Bahkan, upaya untuk merangkumnya dalam suatu bentuk dokumentasi, bila itu diartikan secara ketat, hanya akan berakhir dengan kekecewaan. Apa yang telah berlalu, akan segera retak--dalam istilahnya Goenawan Mohamad. Tetapi, manusia adalah makhluk dengan kemampuan untuk selalu mengatasi berbagai bentuk keterbatasannya (transendensi). Dalam konteks inilah, manusia menurut Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan Martin Heidegger (1889-1976) ditandai dengan ciri historisitas (historicity). Historisitas adalah khas menandai manusia, dan tidak dimiliki oleh makhluk yang lainnya. Dalam pengertian ini, manusia adalah subyek sekaligus obyek sejarah. Di satu sisi, manusia terlahir dalam suatu kubangan sejarah tertentu yang akan terus membentuknya sepanjang waktu, sementara ia sendiri juga senantiasa berusaha melakukan inovasi-inovasi kreatif dalam rangka "mengubah" jalannya sejarah. Pada yang terakhir ini, nampaklah dimensi kebebasan manusia dalam memutuskan setiap keputusan tindakannya, yang selanjutnya akan menumbuhkan bakat kreatif, inovatif, serta inventif dalam diri manusia.
Museum Benteng Vredeburg--untuk selanjutnya akan disebut Vredeburg saja--adalah bagian dari usaha manusia (Indonesia) untuk dapat mengenang kembali berbagai hal (yang dianggap) penting yang terjadi di Indonesia. Secara khusus, Vredeburg adalah sebuah museum perjuangan, yang mempersaksikan kegigihan rakyat Indonesia untuk mencapai kemerdekaannya dari cengkeraman penjajah. Vredeburg adalah saksi mata atas tekad bangsa Indonesia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di masa depan, yang diikuti oleh suatu proses tawar-menawar dialektis antara berbagai pihak yang berkepentingan.
Sebagaimana disebutkan dalam Buku Panduan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, museum ini bertugas untuk mengumpulkan, meneliti, merawat dan mengkomunikasikan benda-benda bersejarah kepada masyarakat. Dari benda-benda tersebut tentu dapat mengkomunikasikan nilai-nilai luhur yang berkembang dalam sejarah perjuangan Indonesia. Secara historis, Vredeburg dibangun mulai 1767 dan selesai pada tahun 1787. Pembangunan Vredeburg dibangun atas usul Kompeni Belanda dengan dalih untuk menjaga keamanan keraton. Padahal, maksud Kompeni ketika itu adalah untuk lebih mempermudah kontrol terhadap aktivitas kraton kalau-kalau hendak melawan Kompeni. Secara yuridis, Vredeburg adalah milik kasultanan Yogyakarta, meski secara de facto Vredeburg selalu digunakan oleh bukan hanya orang kraton Yogyakarta.
Fungsi Vredeburg senantiasa berubah sepanjang sejarahnya. Kadang sebagai media pertahanan militer, penampungan prajurit, balai pengobatan, gudang senjata, dan sebagainya. Terakhir, dengan sebuah ketetapan dalam bentuk Surat Keputusan Mendikbud RI Prof. Dr. Fuad Hassan No. 0475/0/1992 tanggal 23 November 1992, secara resmi Vredeburg menjadi Museum Khusus Perjuangan Nasional Bangsa Indonesia dengan nama Museum Benteng Yogyakarta.
Koleksi yang dimiliki Vredeburg setidak-tidaknya sudah cukup mampu membuktikan serta menunjukkan semangat bangsa kita, dulu. Berbagai peristiwa bersejarah dipentaskan, baik dalam bentuk lukisan, foto, benda-benda, maupun visualisasi lainnya. Tengoklah misalnya, lukisan aksi Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di bawah pimpinan Letkol Soeharto, atau koleksi mesin ketik dan Kenap yang digunakan sebagai sarana perjuangan Tentara Pelajar di daerah Turi, Sleman. Atau, lukisan-lukisan pada saat-saat proses pembangunan Kraton Yogyakarta.
Namun demikian, bila Vredeburg memang dimaksudkan untuk dapat mengantarkan para pengunjungnya untuk bertamasya ke masa lalu, masuk dalam arus semangat juang rakyat melawan segala bentuk penindasan, maka yang penting sebenarnya adalah soal kesediaan mereka (pengunjung) untuk dapat terlibat dengan momen-momen bersejarah itu. Artinya, berbagai koleksi yang ada di Vredeburg sebenarnya hanyalah semacam monumen sekaligus dokumen--dalam istilahnya Michel Foucault (1926-1984). Dan, yang menentukan kebermaknaan benda-benda itu adalah sejauh mana pengunjung dapat ikut terlibat sekaligus menghayati etos masyarakat ketika itu.
Inilah kesulitan yang cukup problematik untuk dapat memenuhi maksud dari Vredeburg itu sendiri. Apalagi, di saat mana kesadaran historis dikekang dan diblokade sedemikian rupa, kesulitan ini menjadi kian meningkat. Dalam pandangan Goenawan Mohamad, tidak ada institutional memory yang mampu menghubungkan pengalaman antar-generasi dalam masyarakat Indonesia, sehingga kesadaran sejarah sulit terbentuk. Apalagi, blokade informasi yang hendak bermaksud memberikan versi alternatif terhadap model sejarah yang resmi dijaga dengan ketat, sehingga semakin memiskinkan akses masyarakat menuju pengetahuan masa lalu itu.
Dalam konteks inilah, maka Vredeburg secara agak ekstrem bisa juga dilihat sebagai suatu versi dari sejarah Bangsa Indonesia. Artinya, sebagai sebuah museum perjuangan, Vredeburg bisa jadi hanya menyajikan sejumlah etos sejarah milik kelompok tertentu, dan mengabaikan faktor-faktor lain yang secara obyektif juga berperan dalam proses sejarah itu sendiri. Pembacaan alternatif semacam inilah yang sebenarnya dibutuhkan dalam memahami setiap peninggalan sejarah suatu masyarakat.
Daftar Bacaan
Bertens, K., Panorama Filsafat Modern, Jakarta: Gramedia, 1987.
Budiharja, (Ed.), Buku Panduan Museum Benteng Yogyakarta, Yogyakarta: Museum Benteng Yogyakarta, 1998.
Goenawan Mohamad, "Menyalakan Lilin dalam Kegelapan", dalam FX Baskara T. Wardaya (Ed.), Mencari Demokrasi, Jakarta: ISAI, 1999.
Horrock, Chris, dan Jevtic, Zoran, Mengenal Foucault for Beginners, Bandung: Mizan, 1997.
Jumat, 19 November 1999
Bertamasya ke Masa Lalu: Catatan dari Museum Benteng Vredeburg
Label: Cultural Issues, Philosophy
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar