Jumat, 28 Agustus 2015

Kosmopolitanisme Islam ala Gus Nadir

Judul Buku: Dari Hukum Makanan Tanpa Label Halal hingga Memilih Mazhab yang Cocok
Penulis: Prof. H. Nadirsyah Hosen, Ph.D.
Penerbit: Mizania, Jakarta
Cetakan: Pertama, Juni 2015
Tebal: xliv + 228 halaman


Ada anggapan bahwa hukum Islam itu kaku dan cukup sulit beradaptasi dengan perkembangan dunia. Melalui buku ini, Gus Nadir, panggilan akrab Prof. H. Nadirsyah Hosen, Ph.D., membuktikan bahwa anggapan itu keliru.

Buku ini sebagian besar berisi tanya-jawab tentang hukum Islam dengan mengambil latar situasi masa kini dan dunia global. Bertolak dari pengalaman tinggal di Australia selama 18 tahun, Gus Nadir mengangkat masalah-masalah sederhana di bidang hukum Islam yang biasa dialami sehari-hari di kehidupan modern, terutama di luar negeri.

Misalnya tentang hukum makanan tanpa label halal. Umat Islam yang pernah tinggal di luar negeri pasti akan merasakan masalah mencari makanan halal. Di Eropa, umat Islam biasanya akan berbelanja di toko-toko muslim Maroko atau Turki. Memang ada juga daging yang diberi label halal. Tapi bagaimana hukum daging tanpa label halal?

Dalam buku ini, Gus Nadir mengangkat kegelisahan seorang muslim Indonesia yang belajar di Australia tentang daging yang dibelinya di supermarket biasa dan tanpa label halal. Sebagian rekannya yang juga muslim jadi ragu untuk menikmati hidangan yang dibuatnya.

Atas situasi ini, Gus Nadir, yang memiliki 6 gelar akademik di bidang hukum dan hukum Islam, menjelaskan dengan cukup teperinci, termasuk dari sudut pandang beberapa mazhab hukum Islam. Misalnya, ada yang mewajibkan secara mutlak agar sembelihan itu dilakukan dengan menyebut nama Allah (basmalah). Namun begitu, Imam Syafi’ie memberi hukum sunnah. Yang dilarang adalah menyembelih dengan menyebut selain nama Allah karena itu seolah-olah berarti mempersembahkan sembelihan kepada selain Allah.

Ada lagi kisah yang agak lucu tapi bagi mereka yang pernah hidup di luar negeri pasti sudah terbiasa mengalaminya. Di luar negeri, selain di masjid, cukup sulit menemukan tempat berwudu seperti di Indonesia karena toilet yang ada berjenis toilet kering. Jadinya, jika berwujud di wastafel, seorang muslim harus mengangkat kakinya saat membasuh kaki. Selain terlihat geli, ini juga membuat lantai menjadi basah atau becek.

Gus Nadir menjelaskan bahwa dalam menerapkan syariat, Islam berprinsip untuk memudahkan pelaksanaan ajaran tertentu dalam situasi khusus seperti dalam kasus di atas. Untuk masalah ini, Gus Nadir merujukkannya pada contoh yang diberikan Rasulullah yang memperbolehkan mengusap khuff (sesuatu yang menutupi kaki sampai mata kaki baik berupa sepatu atau kaos kaki) saat berwudu. Nabi melakukan ini baik dalam status bermukin maupun saat di perjalanan. Tentu saja ada syarat dan ketentuan tertentu dan hal lain mengatur hal ini yang diuraikan dengan baik oleh Gus Nadir.

Selain masalah yang spesifik berkaitan dengan hukum Islam, Gus Nadir juga memaparkan tentang masalah keislaman secara umum, seperti ucapan selamat natal, mencari fatwa keagamaan (termasuk bertanya via Google), penghinaan terhadap Nabi Muhammad, dan sebagainya.

Gus Nadir juga mengangkat masalah Islam di Australia. Sebagaimana di masyarakat Barat Kristen pada umumnya, Islam kadang memang disalahpahami di Australia. Misalnya, pada tahun 2005, Menteri Pendidikan Australia, Brendan Nelson, menyarankan agar sekolah Islam di Australia mengadopsi Simpson values atau jika tidak they should “clear off”. Simpson values ini adalah nilai-nilai kepahlawanan yang merujuk pada legenda John Simpson Kirkpatrick (w. 1915).

Gus Nadir, yang kini mengajar di Fakultas Hukum Monash University, Australia, menyesalkan kecurigaan dan miskomunikasi Barat yang bahkan terjadi di kalangan pejabat teras ini. Nelson, tulis Gus Nadir, rupanya tidak tahu tentang kisah kepahlawanan tokoh muslim seperti Shalahuddin al-Ayyubi yang legendaris yang mencerminkan nilai-nilai Islam yang tak jauh berbeda dengan Simpson values yang dimaksud. Yang terjadi, lanjut Gus Nadir, bukanlah the clash of civilization, tapi the clash of ignorance.

Dari kasus-kasus hukum Islam sehari-hari dan politik di Australia pada khususnya, Gus Nadir dengan penguasaannya yang mendalam atas khazanah Islam klasik dalam buku ini berhasil menunjukkan wajah kosmopolitanisme Islam: bahwa dalam hal hukum, syariat Islam itu tidaklah kaku dan dapat hidup dengan selaras di era modern. Selain itu, Islam juga membawa nilai-nilai agung yang sangat relevan dan kontekstual hingga kini.

Penyampaiannya yang bersifat populer, yakni bermodel naratif dan penuh dengan dialog, membuat buku yang ditulis oleh lulusan Pesantren Buntet Cirebon putra almarhum Prof. K.H. Ibrahim Hosen ini renyah dicerna. Meski demikian, dengan referensi yang kaya dan otoritatif, jelaslah bahwa buku ini bukan karya sembarangan dan tak boleh disepelekan.


Tulisan ini dimuat di Koran Madura, 28 Agustus 2015.

Read More..

Kamis, 27 Agustus 2015

Senjata Orang-Orang Mukmin

Judul buku: Kitab Doa Tertua: Al-Ma’tsurat
Penulis: Abu Bakr al-Thurthusyi al-Andalusi
Penerbit: Zaman, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2015
Tebal: 478 halaman


Bagi seorang yang beriman, doa menjadi kunci penting dalam mengarungi tantangan hidup. Doa tidak saja memberi jawaban atas masalah keduniawian tapi juga atas masalah keakhiratan.

Buku ini adalah kitab klasik karya seorang ulama terkemuka dari Andalusia (Spanyol), yakni Abu Bakr al-Thurthusyi al-Andalusi (w. 520 H.). Buku memberi uraian yang sangat lengkap tentang doa, meliputi pengertian, manfaat, tata cara atau panduan, dan contoh-contoh doa Nabi yang semuanya bersumber dari rujukan otoritatif.

Doa pada dasarnya menjadi bagian pokok dari agama sehingga bernilai sangat penting bagi pemeluknya. Seorang mukmin adalah hamba Allah yang membaktikan seluruh hidupnya sebagai ibadah atau penghambaan kepada Allah. Erat dengan status seorang mukmin sebagai hamba, doa menurut Abu Bakr bisa bermakna penyembahan atau juga penghambaan (‘ibadah). Selain itu, doa juga bisa bermakna permintaan tolong (isti‘anah), memohon dan meminta, atau juga berarti panggilan.

Doa menjadi penanda penghayatan seorang mukmin. Dalam surah al-A‘raf ayat 55, setelah memberi perintah untuk berdoa, di akhir ayat Allah menyebutkan bahwa Dia tidak menyukai orang yang melampaui batas. Al-Qurthubi kemudian menafsirkan bahwa yang dimaksud orang yang melampaui batas adalah orang yang enggan berdoa. Keengganan untuk berdoa dipandang identik dengan kesombongan atau bahkan sikap menentang.

Dalam pengertian memohon atau meminta, doa adalah sebentuk komunikasi manusia dengan Tuhan. Karena itu, agar lebih sempurna, ada tata cara tertentu yang mesti diperhatikan. Ada yang berkaitan dengan sikap batin. Misalnya, sebelum berdoa, seseorang harus merendahkan dan memasrahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Demikian pula, harus ada kebulatan tekad dan optimisme selain rasa khusyuk. Bahkan, teladan dari para nabi, rasul, wali, dan orang saleh mengajarkan bahwa sebelum berdoa, kita memulai dengan bertobat atas maksiat dan pelanggaran yang telah diperbuat.

Tata cara berdoa yang bersifat lahiriah misalnya sebaiknya kita berdoa dengan suara lirih atau pelan. Ini seperti yang dikisahkan al-Qur’an saat Nabi Zakariya berdoa agar mendapatkan keturunan. Selain itu, berdasarkan hadis, berdoa dilakukan sambil menengadahkan tangan.

Dalam melafalkan doa, telah lazim diketahui bahwa sebaiknya dimulai dengan memuji dan mengagungkan Tuhan, kemudian dilanjutkan dengan mengucapkan shalawat atas nabi-Nya. Sementara itu, terkait redaksi doa, dikatakan bahwa memohon dengan cara halus lebih baik daripada terang-terangan sebagaimana telah banyak dicontohkan oleh para nabi, seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan yang lainnya.

Sebagian ulama berpendapat bahwa memuji kepada Tuhan itu lebih utama daripada sekadar berdoa. Ini yang misalnya dapat kita temukan dalam kisah Nabi Yunus yang ditelan ikan besar. Al-Qur’an surah al-Anbiya’ ayat 87 merekam apa yang dibaca Nabi Yunus. Dari bacaan itu, kita melihat bahwa yang dilakukan Nabi Yunus bukan memohon, tapi mengesakan dan menyucikan Tuhan serta mengakui kesalahannya.

Abu Bakr menulis bahwa Allah telah memuliakan umat Nabi Muhammad saw dengan diturunkannya surah al-Fatihah yang sangat istimewa. Surah ini menjadi contoh yang sangat baik tentang doa karena paruh awalnya memuat pujian dan pengagungan, dan separuh sisanya memuat doa.

Abu Bakr juga menguraikan tentang waktu-waktu yang mustajab untuk berdoa. Berdasarkan keterangan beberapa hadis, disebutkan bahwa di antara waktu yang mustajab adalah tengah malam, hari jum’at, antara azan dan iqamat, setelah shalat fardu, malam lailatul qadar, dan hari ‘Arafah.

Lebih dari separuh buku yang aslinya berjudul al-Du‘a’ al-Ma’tsur wa Adabuhu wa Ma Yajibu ‘ala al-Da‘i Ittiba‘uhu wa Ijtinabuhu ini memuat doa-doa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Ada banyak contoh doa, mulai dari yang sifatnya umum seperti tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir, atau juga doa yang sifatnya spesifik atau terkait dengan hal tertentu. Ada doa ketika mendengar azan, masuk rumah, mendengar kokok ayam, ditimpa kesusahan, digigit binatang beracun, naik kendaraan, ketika terkejut, dan sebagainya.

Melimpah dan beranekanya contoh doa Nabi ini di satu sisi menegaskan makna spiritual doa bagi seorang mukmin. Ini memberi gambaran ideal bahwa kehidupan seorang mukmin harus selalu diliputi oleh kepasrahan dan kebergantungan pada Zat Yang Mahakuasa yang kemudian terekspresikan melalui doa.

Keunggulan buku ini tidak saja terletak pada sumber rujukannya yang otoritatif, tapi juga pada kelengkapan uraiannya tentang berbagai segi doa. Selain itu, dalam menguraikan doa-doa Nabi, juga dijelaskan latar peristiwa yang ada di balik doa-doa tersebut.


Tulisan ini dimuat di Kabar Madura, 27 Agustus 2015.

Read More..