Minggu, 27 September 2009

Radikalisasi Peran Guru

Judul buku: Pendidik Karakter di Zaman Keblinger: Mengembangkan Visi Guru sebagai Pelaku Perubahan dan Pendidik Karakter
Penulis: Doni Koesoema A
Penerbit: Grasindo
Cetakan: I, 2009
Tebal: xvi + 216 halaman


Saat sendi bangunan peradaban bangsa terancam berantakan, banyak orang berharap pendidikan dapat menjadi penyelamat. Guru kemudian menjadi aktor kunci untuk menjadi pelaksana misi penyiapan generasi bangsa yang tangguh. Lalu, bagaimana jika guru itu sendiri justru menjadi sumber masalah?

Buku yang ditulis praktisi dan pemerhati pendidikan ini memberi peta persoalan dan tawaran solusi cukup radikal untuk menguatkan kembali peran dan posisi guru. Tentu saja dalam konteks pembangunan peradaban masyarakat yang tengah terbelit dalam krisis yang kompleks dan akut.

Doni Koesoema, penulis buku ini, berupaya mengembangkan dan meradikalkan visi dan peran guru sebagai pelaku perubahan dan pendidik karakter. Hal tersebut perlu, terutama kala profesi keguruan cenderung mudah terjebak dalam perangkap konflik kepentingan, ekonomi, dan kelompok politik tertentu yang dangkal.

Menurut penulis buku ini, guru bisa memainkan peran memperbarui tatanan sosial masyarakat. Caranya dengan memperkaya dan memperkokoh kepribadian siswa serta menanamkan kesadaran kritis. Fungsi transformatif pendidikan dimulai dengan pembentukan dan pendidikan karakter. Proses pengembangan karakter di sekolah dilakukan menyeluruh (integral) antara diskursus dengan praktik dan antara kegiatan kurikuler (akademis) dengan pergaulan sehari-hari.

Zaman ”keblinger”
Berhadapan dengan kutub ideal ini, penulis mencatat sekarang ini kita hidup pada zaman keblinger, sebuah zaman saat dunia lari tunggang langgang dan menciptakan situasi yang membuat guru kehilangan orientasinya.

Otonomi dan kebebasan untuk merumuskan jati diri sebagai guru menjadi sulit sekali untuk dijaga. Sebuah ilustrasi yang sangat bagus digambarkan dalam buku ini. Jangankan untuk menghambat terorisme global, untuk melawan ujian nasional yang merenggut otonomi guru saja mereka tidak mampu. Jangankan berurusan dengan perusahaan multinasional, untuk mengurus uang Bantuan Operasional Sekolah (BOS) saja tidak becus.

Dalam situasi seperti ini, guru sering tidak sadar dengan peran dan visi strategis dan radikal yang mesti mereka miliki. Bagaimana bisa menjadi pelaku perubahan jika untuk mengubah dirinya saja guru masih kesulitan. Ketika sekolah atau otoritas negara berupaya meningkatkan mutu guru melalui sejumlah kegiatan, seperti pelatihan, lokakarya, seminar, atau semacamnya, ternyata semua itu tidak cukup memberi dampak positif. Bahkan, untuk sebuah perubahan mendasar yang menyangkut kemampuan pedagogis maupun penguasaan bahan ajar.

Hal itu menurut penulis buku ini terjadi karena tak ada kerangka kerja jangka panjang yang melatarinya sehingga perubahan radikal yang diharapkan tak kunjung dicapai. Untuk itulah, Doni kemudian merumuskan tujuh strategi untuk membumikan gagasannya yang hendak meradikalkan visi dan peran guru sebagai pelaku perubahan dan pendidik karakter.

Ketujuh strategi itu adalah menjernihkan visi sebagai guru, menumbuhkan semangat peneliti dalam diri guru, membiasakan umpan balik dari para pemangku kepentingan, menumbuhkan kejujuran akademis, mempraktikkan pembelajaran kolaboratif, mengembangkan sekolah sebagai komunitas belajar profesional, dan menumbuhkan kultur demokratis di sekolah.

Ketujuh strategi tersebut memang tidak bersifat teknis karena hal yang ingin dicapai adalah perubahan paradigma. Meski demikian, di beberapa bagian terdapat uraian yang cukup praktis. Misalnya, tentang pentingnya penjernihan visi sebagai guru. Di situ dipaparkan visi yang berfungsi sebagai orientasi dan landasan yang memotivasi guru bertindak, beraktivitas, dan mengembangkan diri. Dia juga menegaskan, visi seseorang sebagai guru juga dapat dilihat dari bagaimana dia memahami tujuan pendidikan, pengajaran, siswa, pengetahuan, dan masyarakat. Dengan kata lain, visi sangat berkaitan dengan sejumlah asumsi dasar yang akan sangat berpengaruh terhadap praktik pendidikan dan pembelajaran di kelas.

Visi guru sebagai pendidik dengan pemahaman seperti ini dipertajam dengan studi kasus pemberitaan di media. Di antaranya tentang aktivitas Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo yang menyatakan kebijakan pendidikan menengah akan diarahkan pada meningkatnya proporsi sekolah menengah kejuruan dibandingkan dengan sekolah menengah atas. Penulis kemudian mengajukan sejumlah pertanyaan reflektif dan menguraikan berbagai implikasi arah kebijakan tersebut dengan cukup panjang lebar.

Tidak sederhana
Tentu saja upaya mengubah paradigma dan visi mendasar dari profesi keguruan tidaklah sederhana. Bagian awal buku ini menguraikan kompleksitas persoalan yang dihadapi guru di lapangan.

Pada zaman keblinger, misalnya, mistifikasi profesi guru terjadi ketika muncul euforia berlebihan oleh komunitas dalam mengidealkan berfungsinya peranan guru. Di sisi yang lain, beban kerja dan rutinitas di sekolah semakin menyulitkan guru mengembangkan dan mengubah diri.

Saat menguraikan strategi kedua mengenai menumbuhkan semangat peneliti dalam diri guru, penulis tampak sedang berefleksi dengan apa yang tengah dia lakukan selama lebih dari sepuluh tahun terakhir. Dalam kadar tertentu, buku ini sebenarnya semacam refleksi diri setelah terlibat langsung dalam pengelolaan pendidikan di beberapa sekolah. Lebih jauh lagi ketika kemudian ia mendalami pedagogi di Universitas Salesian Roma, Italia, dan Boston College Lynch School of Education, Boston, Amerika Serikat. Dengan kata lain, penulis telah mempraktikkan sekaligus menegaskan dengan memosisikan diri sebagai peneliti, ia tak hanya terlibat dalam praksis peningkatan mutu pendidikan.

Di sisi lain, penulis buku ini juga dapat berbagi makna personal yang berkembang selama ia menjalani dan menghayati aktivitas keguruan dan kependidikan, baik dalam dirinya maupun dengan komunitas (guru) yang lebih luas. Ia mengonstruksi pengalamannya melalui kerja-kerja dokumentasi, pengamatan, analisis, dan refleksi. Selanjutnya ia menciptakan gugus pengetahuan dan ilmu ”baru”.

Buku ini sangat cocok dibaca para guru, pengelola lembaga pendidikan, dan mereka yang peduli terhadap masa depan bangsa ini. Paparan buku ini memberikan peta dan agenda persoalan bersifat mendasar untuk lebih memperkuat peran dan visi guru dalam pembangunan peradaban.

Lebih dari sekadar berbagi makna dan kepedulian, buku ini juga mencatat sejumlah pekerjaan rumah bersama yang bersifat pragmatis maupun praktis, meski pada sisi lain lebih menekankan pada pendekatan dan perspektif yang bersifat individual dalam upaya menjaga makna substantif profesi keguruan yang mulia pada kerangka kerja peradaban.

Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 27 September 2009.

Read More..

Sabtu, 26 September 2009

Mencari Masjid

Sejujurnya, saya bukan termasuk orang yang “benar-benar terpaut hatinya dengan masjid”. Saya merasa masih jauh untuk disebut sebagai seorang muslim yang baik. Selama ini, mungkin saya agak kecewa dengan masjid yang belum dapat menjadi tempat berbagi masalah-masalah keagamaan dan sosial dalam arti yang luas—tidak hanya tempat ritual. Dan saya sendiri mungkin masih terlalu picik untuk memulai berbuat sesuatu demi mengatasi kekecewaan saya itu.

Namun begitu, setelah lebih dua pekan hidup di negeri asing, ada rasa rindu untuk menemukan masjid, tempat kaum muslim berkumpul, meski masih hanya sekadar untuk memenuhi kewajiban (ritual) keagamaan. Saya merindukan deretan jamaah yang berbaris rapi, suara adzan, juga lantunan suara imam yang berwibawa dan menyentuh emosi. Lebih dari itu, saya merindukan bangunan yang berbentuk masjid—bukan masjid dalam pengertian sederhana, yakni tempat bersujud, yang itu bisa di mana saja.

Saat menjelang pelaksanaan shalat Idulfitri kemarin, saya sempat berharap bahwa itu akan berlebaran di tempat yang “benar-benar masjid”. Ternyata tidak. Shalat 'Ied kemarin dilaksanakan di sebuah sekolah muslim di tengah kota Utrecht.

Pada hari Kamis kemarin, saya pun berketetapan bahwa untuk shalat Jum'at pekan ini, saya harus menemukan masjid. Sudah dua kali shalat Jum'at saya lewatkan—di antaranya karena saya sedang kurang sehat hingga tak berpuasa. Saya pun berusaha memastikan tempat sebuah masjid yang alamatnya saya ketahui dari seorang gadis berjilbab asal Maroko yang saya tanya di bus pada hari Kamis sebelumnya. Pencarian saya sebelumnya tak berhasil, sampai akhirnya Kamis kemarin saya menemukan alamat website masjid tersebut. Dari situlah, dengan bantuan Wikimapia, akhirnya saya dapat memastikan lokasi masjid dan rute ke arah masjid itu dari apartemen saya.

Masjid itu bernama al-Muttaqien, berjarak 2,5 km dari apartemen saya. Tempatnya di daerah De Clomp, pinggiran barat kota Zeist. Masjid itu dibangun pada tahun 1993, dan, ini yang cukup menggembirakan saya, bangunannya memang benar-benar berbentuk masjid.

Saya tiba di masjid itu pada pukul 13.30, saat orang-orang mulai berdatangan untuk shalat Jum'at. Saya sama sekali tak kesulitan menemukan masjid itu. Menara kecilnya terlihat jelas di dekat rerimbunan pohon di salah satu sudut bangunan.

Begitu memasuki bangunan tersebut, saya langsung meletakkan tas dan berwudu. Saat saya masuk ke dalam ruang utama masjid, adzan sedang dikumandangkan. Suasana begitu hening dan khidmat. Saya pun mengambil posisi di tempat yang masih kosong. Memandang berkeliling, tampak beberapa tiang dan lengkungan seperti masjid pada umumnya. Ada rak al-Qur'an di dinding bagian depan. Jendela-jendelanya yang tertutup kaca juga bermotif arsitektur masjid. Lantainya dihampari karpet berwarna hijau dan merah. Orang-orang yang hadir kebanyakan berwajah Arab. Beberapa di antara mereka mengenakan pakaian panjang (gamis). Tak hanya orang tua, saya juga melihat beberapa anak belia di antara jamaah shalat Jum'at.

Saya melewatkan shalat Jum'at di masjid itu dengan perasaan puas. Kerinduan saya terobati: pada masjid, adzan, khotbah Jum'at, dan jamaah kaum muslim yang hadir di situ—meski tak satu pun saya kenal. Khotbah disampaikan dalam bahasa Arab yang dilantunkan dengan sangat fasih. Khotib berdiri di podium yang anggun. Jamaah menyimak pesan-pesan keagamaan yang dituturkan dengan baik, ringkas, padat, dan bermakna. Dengan pengeras suara yang sepertinya hanya terdengar di dalam ruangan, khotib mengingatkan jamaah untuk terus menjaga hikmah Ramadan, agar terus menjaga semangat untuk memperbaiki kualitas keimanan dan ketakwaan. Dia mengatakan bahwa salah satu tanda puasa dan ibadah kita diterima adalah manakala kita dapat melanjutkannya dengan bentuk kebaikan yang lain.

Di akhir khotbah, sang khotib mengumumkan bahwa di akhir pekan, jamaah diminta untuk kerja bakti membersihkan masjid. Wah, sepertinya komunitas muslim di sini sudah cukup kompak merawat masjid ini.

Yang agak kurang mengenakkan buat saya adalah ketika usai shalat, sebagian jamaah langsung bubar keluar. Memang, mereka keluar masjid dengan tertib, melewati satu-satunya pintu keluar satu persatu. Akan tetapi, kenyataan bahwa mereka tak berdzikir dan berdoa membuat saya bertanya-tanya keheranan.

Saya berdzikir sejenak dan berdoa. Di sekitar saya tampak beberapa orang masih berdzikir dan berdoa. Ada yang shalat sunnah. Ada pula yang mengobrol. Tak lama kemudian, saya pun keluar. Di luar masih mendung—sejak pagi nyaris tiada henti. Saat saya hendak membuka kunci sepeda saya di tempat parkir, seseorang berjarak dua meter dari tempat saya memanggil. Ouw, ternyata ada orang Indonesia juga di sini. Kami pun berkenalan. Namanya Wangsa Tirta Ismaya. Dia sudah tiga kali shalat Jum'at di sini, meski dia tinggal di pusat kota Utrecht. Kebetulan kampusnya di Uithof—sama seperti saya. Dia bilang, Jum'atan di sini enak, daripada di masjid orang Turki.

Kami berbincang cukup lama, dan terus berlanjut ke sebuah supermarket yang berada tak jauh dari masjid itu. Akhirnya, saya pun pulang ke apartemen, setelah berbelanja beberapa kebutuhan sehari-hari di situ.

Dalam perjalanan pulang, saya merasa lega dan puas. Saya sudah menemukan masjid. Saya sudah menemukan tempat saudara-saudara saya, kaum muslim, berkumpul setiap Jum'at. Saat mengayuh sepeda di jalanan sambil melawan angin yang terasa dingin, diam-diam terbersit harapan bahwa masjid ini dapat mengantarkan saya pada kualitas keagamaan yang lebih baik. Saya berdoa untuk itu.

Saya berjanji, Jum'at mendatang, saya akan datang lebih awal. Insya Allah.

>> Beri rating untuk tulisan ini di Blog Radio Nederland Wereldomroep.

Read More..

Jumat, 25 September 2009

Berlebaran di Rantau



Ini adalah pengalaman saya yang pertama: berlebaran di rantau. Tak tanggung-tanggung, lebaran kali ini, saya berjarak hampir 12 ribu kilometer dari rumah saya, dari keluarga saya, dari tempat saya dibesarkan.

Lalu, apakah ada bedanya? Bagaimana rasanya? Ruang yang memisahkan mulanya memang terasa biasa, seperti tak berbeda. Saat bangun di waktu Subuh di hari lebaran, saya seperti di rumah saja. Dari kamar saya yang berukuran 4 x 3,5 meter, perbedaan itu belum begitu terasa.

Tapi, begitu saya melangkah keluar, berangkat menuju “masjid” tempat kaum muslim Indonesia akan melangsungkan Shalat 'Ied, satu persatu perbedaan itu semakin terasa. Saya keluar dari aparteman sekitar pukul 7.20. Tiba di luar, saya menemukan jalanan yang diselimuti kabut tebal, yang membuat pandangan menjadi terbatas. Udara pagi juga menyengat dingin. Saya agak bergegas berjalan ke halte, mengejar bus pertama yang menuju Central. Jalanan masih sangat sepi. Mungkin karena hari Minggu.

Tak ada suara petasan atau gema takbir bersahutan. Tak ada orang lalu-lalang dengan pakaian-pakaian terbaik mereka. Kabut menambah sepi yang dingin.

Sepanjang perjalanan, di beberapa halte yang kebanyakan masih sangat sepi, saya menjumpai beberapa orang yang sepertinya juga tengah berangkat menuju masjid untuk berlebaran—orang-orang berwajah Arab atau Afrika. Sempat terpikir: apakah mereka juga tengah berada di perantauan, atau justru sudah lama berumah tinggal di negeri ini?

Tak sulit untuk menemukan “masjid” tempat kaum muslim Indonesia akan melaksanakan Shalat 'Ied. Alamatnya di Marnixlaan 362, Utrecht, di komplek Sekolah Aboe Daoed. Shalat digelar di ruang aula sekolah. Saat saya tiba, beberapa orang sudah tampak di dalam.

Saat takbir mulai dibacakan oleh salah seorang panitia, perasaan saya mulai tersentuh. Meski tampak terdengar tak begitu fasih dan kadang terkesan agak tertatih, gema takbir di hari itu tampak berbeda. Saya tidak tahu bagaimana menggambarkannya secara persis. Makna kebesaran Allah dan keagungan-Nya seperti muncul menyelinap begitu saja, bercampur aduk dengan kerinduan akan lantunan takbir serupa di kampung halaman.

Seusai shalat dan khotbah, acaranya salam-salaman dan makan-makan. Kaum muslim Indonesia yang hadir saat itu mungkin hampir berjumlah 100 orang. Cukup ramai. Di hari itu, mereka adalah keluarga saya—meski hampir semuanya tak saya kenal, bahkan namanya saja.

Acara usai menjelang pukul 12 siang. Setelah membantu membereskan tempat acara sebentar, saya pun pulang ke apartemen. Ya, saya langsung pulang. Tak ada acara lain. Tak ada acara silaturahim keliling ke famili. Di aparteman, saya langsung kembali ke keseharian saya di sini.

Berlebaran di rantau membuat saya mulai mengerti makna hari lebaran di kampung halaman. Saya mulai memaklumi, mengapa di Indonesia setiap tahun orang-orang berbondong-bondong mudik ke kampung halaman mereka di hari lebaran—bahkan dengan layanan dan situasi transportasi yang penuh tantangan.

Orang-orang menyimpan kerinduan akan kampung halaman—dan kebersamaan. Orang-orang ingin menjenguk masa lalu mereka, meski sekadar serupa kenangan. Dan mereka yang tengah di rantau tak mungkin mendapatkan semua itu. Mereka hanya bisa berdoa dari kejauhan.

Read More..

Selasa, 15 September 2009

Dari Pinggiran Kota Kecil Dekat Utrecht


Sebelum tiba di Belanda, saya tidak tahu bahwa saya tidak akan tinggal di kota Utrecht. Maklum, saya memang masih belum mengerti peta lokasi dan detail tempat yang akan saya tinggali. Saya mendapat kepastian akomodasi saya tepat satu minggu sebelum keberangkatan saya. Karena mencari akomodasi di Belanda cukup sulit, maka saat penyedia akomodasi memberi penawaran kamar buat saya, saya tak berpikir panjang untuk menerimanya.

Warande, itu nama komplek dua bangunan berbentuk L yang terletak di pinggiran kota Zeist yang kini saya tinggali. Zeist adalah sebuah kotamadya yang berada di arah timur kota Utrecht. Karena berada di wilayah pinggiran, suasana Warande relatif sepi. Apalagi ia dikelilingi oleh rerimbunan pohon-pohon menjulang serupa cemara yang tingginya bisa melebihi kamar saya yang berada di lantai empat. Lebih sepekan tinggal di Warande, saya merasakan suasana yang sunyi. Jarang sekali ada “keramaian” di sekitar sini. Suara-suara kendaraan dari jalan utama yang berjarak sekitar 250 meter pun tidak terdengar cukup keras dari sini.

Jarak Warande dengan Kampus Uithof sekitar 5 kilometer. Jika menggunakan sepeda ontel, ini ditempuh sekitar 20 menit. Jika dengan bus, tentu bisa lebih cepat. Ada beberapa halte bus di sekitar Warande yang bisa mengantar saya ke kampus, pusat kota Utrecht, atau tempat yang lain.

Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, komplek pertokoan Vollenhove, yang oleh website SSH (pengelola komplek ini) disebut “big shopping center”, dapat dicapai dalam hitungan beberapa menit. Di sana ada beberapa supermarket, toko buah, toko pakaian, toko obat, dan sebagainya. Setelah beberapa kali ke komplek itu, saya jadi agak heran mengapa tempat itu mereka sebut “big”, karena bangunannya hanya seperti ruko biasa, dan para pengunjungnya pun tidaklah ramai—biasa-biasa saja.

Dari ketinggian lantai empat di kamar saya, setiap hari saya menikmati sajian ujung-ujung pohon yang menari diterpa angin musim gugur yang mulai tiba. Biasanya, di pagi hari, saat matahari mulai terbit, saya membuka pintu ke arah balkon agar udara segar masuk ke kamar. Kebetulan, kamar saya agak menghadap ke timur.

Pemandangan menarik di balkon pagi hari selalu saya dapatkan jika langit sedang tidak begitu mendung. Setiap pagi, saya dapat menyaksikan langit yang seperti dilukis oleh jejak asap pesawat terbang yang menuju atau lepas landas dari Bandara Schipol, Amsterdam—bandara tersibuk kelima di Eropa. Garis-garis putih yang tampak lembut saling menyilang di angkasa, berlatar langit biru yang sebagian menyala merah keperakan. Sungguh, ini pemandangan indah.

Akan tetapi, saya tidak berani berlama-lama membuka pintu ke arah balkon itu. Apalagi duduk-duduk agak lama. Udara dingin sudah terasa sangat menusuk buat saya yang berasal dari negeri tropis dan baru pertama kali tinggal di negeri berempat musim seperti di sini. Jika sebelum tiba ke sini saya cukup terobsesi dengan balkon, membayangkan bisa duduk-duduk santai sambil menikmati pemandangan dari ketinggian, saya baru sadar bahwa itu tidak berlaku jika kita tidak cukup siap berhadapan satu lawan satu dengan udara dingin yang bisa mencapai 11 derajat celcius—atau bahkan lebih rendah!

Sejak sore kemarin, gerimis sesekali datang. Beberapa bagian di lantai balkon tampak tergenang air bersama dedaunan yang kecokelatan. Hingga siang ini, gerimis kadang masih turun. Saya di kamar saja, tak bisa ke mana-mana. Lagipula, semalaman saya mengerjakan tugas kuliah dan baru selesai pagi ini.

Gerimis mengolah kesunyian Warande mencipta suasana yang tampak absurd buat saya. Saya tak mencium bau tanah, seperti saat hujan pertama turun di rumah. Gerimis hanya menebalkan kesunyian—tak lebih. Saya tidak tahu, apakah orang-orang yang sudah cukup lama tinggal di komplek ini memang sudah terbiasa dengan suasana semacam ini. Atau, barangkali, saya saja yang merasakan kesunyian di Warande.

Saya tak mau berpikir terlalu lama tentang ini. Tapi, rasa gentar tiba-tiba tampak berkelebat mendatangi saya, saat ingat bahwa sebentar lagi musim dingin akan tiba. Saya tidak punya cukup senjata untuk mengantisipasi serangan salju dan suhu di sekitar nol derajat—dan kesunyian yang akan menyertainya.

Dari pinggiran kota kecil dekat Utrecht di suatu siang yang dingin, sekali lagi saya tersadar bahwa saya kini tengah memulai satu perjalanan baru untuk rentang waktu 10 bulan ke depan. Perjalanan yang harus dilalui dengan penuh perjuangan dan kerja keras. Saya datang ke sini bukan untuk berlibur. Saya ke sini untuk menimba ilmu, pengetahuan, pengalaman, dan banyak hal lainnya. Saya telah menyimpan banyak harapan dan keinginan tepat saat saya meninggalkan kampung halaman jelang akhir Agustus kemarin. Dan saya butuh kesungguhan, optimisme, keteguhan, dan kekuatan untuk melaluinya dengan baik dan penuh makna. Saya berdoa untuk itu semua. Amien.

Read More..

Jumat, 11 September 2009

Akhirnya, Saya Tiba di Belanda

Tanpa begitu terasa, ini sudah masuk hari keenam saya tiba di Utrecht, Belanda. Perjalanan Jakarta-Amsterdam selama 16 jam pada Sabtu hingga Ahad kemarin cukup lancar—alhamdulillah. Mulanya saya sempat agak nervous, meski tepat di hari keberangkatan saya sudah bisa merasa tenang. Apalagi, ada keluarga sepupu dan bibi di Jakarta yang ikut mengantar ke Cengkareng—karena di tempat mereka pula saya tinggal selama di Jakarta.

Dalam perjalanan Jakarta-Amsterdam, seperti yang sempat saya duga, saya bertemu dengan beberapa orang Indonesia yang hendak ke Belanda. Ada yang tujuan studi, menjemput istri, dan ada yang cuma short course. Sekali lagi, saya bersyukur karena tiba di Schipol saya dijemput oleh seorang teman yang sudah setahun tinggal di Belanda. Kebetulan dia tinggal di Utrecht, tepatnya di dekat Central Station. Jadi, begitu tiba di Utrecht, kami mampir terlebih dahulu di kontrakannya.

Pesawat saya mendarat di Schipol tepat pukul 6.55 waktu setempat. Meski pada saat yang sama matahari sudah mulai tampak, saya langsung disergap udara dingin, yang menurut petugas pesawat mencapai 16 derajat celcius. Saat tiba di Utrecht, sekitar pukul 8 lewat beberapa menit, udara dingin semakin terasa saat angin bertiup. “Anginnya dingin menusuk,” kata saya. Switer yang saya gunakan tak berdaya menahan udara dingin. Sepertinya udara dingin menyelusup di antara sela-sela switer saya ini.

Saya tidak lama di kontrakan Mbak Salamah Agung, teman saya itu, karena saya langsung diajak ke sebuah Pameran Buku di daerah situ yang kebetulan adalah hari terakhir. Menjelang jam 10, kami berangkat ke sana, dan kembali sekitar pukul dua belas. Saya membeli tiga buku tebal—semua 16,45 Euro. Dari pameran, saya langsung menuju Warande, Zeist, tempat kontrakan saya.

Tapi, karena belum mengambil kunci di kampus, saya masih menumpang di tempat seorang kenalan dari Kupang, yang kebetulan juga tinggal di komplek yang sama dan sudah satu minggu di sana. Saya sendiri baru mendapatkan kunci saya hari Senin siang, setelah dibantu seorang kenalan baru.

Banyak hal yang ingin saya bagi di hari-hari pertama di sini. Akan tetapi, saya ternyata masih harus berurusan dengan banyak hal. Saya menyebutnya “survival matters”. Saya masih sedang berusaha membuka akun bank di sini untuk pencairan beasiswa, mendapatkan sepeda sehingga dapat lebih berhemat dan menikmati perjalanan dan suasana, menyesuaikan dengan makanan dan cuaca (termasuk bagaimana saya berpuasa), juga menyesuaikan dengan iklim perkuliahan yang sudah dimulai sejak Senin kemarin, dan berurusan dengan birokrasi Belanda terkait izin tinggal dan registrasi warga asing. Saya kira semuanya adalah hal-hal menarik yang bisa menjadi cerita tersendiri.

Saya berharap dapat segera mendapatkan waktu yang cukup tenang dan leluasa untuk menuliskan itu semua.

Read More..

Rabu, 02 September 2009

Menyongsong Belanda dan Norwegia

Keberangkatan saya untuk studi di Eropa sudah tinggal beberapa hari lagi. Akhir pekan ini, saya sudah akan meninggalkan Jakarta menuju Amsterdam.

Beberapa saat sebelum saya meninggalkan rumah di Madura, sempat terbersit di kepala saya tentang dua negara yang akan menjadi tempat studi saya: Belanda dan Norwegia. Muncul pertanyaan: mengapa saya ternyata ditakdirkan akan belajar di dua negara Eropa itu? Mengapa bukan di negara yang lain? Mungkin ini termasuk pertanyaan bodoh.

Namun begitu, secara tak sengaja pikiran saya terus menyusur ke belakang, ke masa-masa yang cukup lampau, sampai akhirnya saya pun menemukan sedikit jawaban yang bisa saja dilihat sebagai suatu kebetulan. Saya teringat pada sebuah buku saya berjudul Negeri Belanda: Selayang Pandang. Buku ini sebenarnya sudah terlupakan. Ia tak terdata dalam daftar koleksi buku saya.

Sebelum bertolak ke Jakarta, saya mencoba mencari buku ini, dan, alhamdulillah, akhirnya ditemukan di tumpukan buku-buku lama saya. Saya beruntung bahwa ternyata saya mencatat tanggal penerimaan buku itu, yakni 27 Juli 1993. Itu berarti enam belas tahun yang lalu. Jika tak salah, itu saat saya mau naik ke kelas tiga Tsanawiyah (setingkat SMP).

Saya menerima buku itu secara gratis dari Kedutaan Besar Belanda bersama beberapa buku lain yang tak berhasil saya temukan di rumah. Seingat saya, ada kamus kecil bahasa Belanda, peta Belanda, dan beberapa buku lain. Saya masih ingat, saya mengirimkan kartu pos ke Kedutaan Besar Belanda di Jakarta untuk meminta buku bacaan. Entah seperti apa bahasa yang saya gunakan di kartu pos itu.

Tahun 1993 buat saya adalah semacam tahun peralihan, ketika saya mulai berani mencoba membaca buku-buku ilmiah (nonfiksi). Sebelumnya, bacaan saya hanya sebatas buku fiksi, terutama cerita silat legendaris Wiro Sableng yang mulai saya kenal sejak tahun 1988. Minat saya untuk mulai membaca tulisan nonfiksi bisa dikata juga didorong dari perkenalan saya dengan surat kabar dan hobi saya mengkliping. Di tahun 1992, koran sore Surabaya Post masuk ke kampung saya, setelah jauh sebelumnya Jawa Pos sudah bisa dibaca—entah sejak kapan tepatnya. Kemudian di tahun 1993, saat mulai terbit, Republika juga masuk, meski dengan kedatangan yang terlambat.

Buku Negeri Belanda: Selayang Pandang mungkin adalah buku gratis pertama yang saya dapatkan. Menyusul berikutnya, saya juga mendapatkan kiriman buku gratis dari Kedutaan Republik Islam Iran, Radio NHK Jepang, Deutsch Welle, dan yang lainnya, termasuk juga kiriman gratis buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya dari Cendana.

Saya jadi berpikir bahwa mungkin Belanda paling tidak secara relatif juga sedikit menandai mulai meluasnya minat bacaan dan kepenulisan saya. Jika sebelumnya saya hanya menulis untuk majalah dinding sekolah dan catatan harian, di pertengahan Tsanawiyah saya mulai berani mencoba menulis surat (“mempublikasikan” tulisan [?]) untuk minta buku gratis ke kedutaan-kedutaan atau badan lainnya.

Bagaimana dengan Norwegia? Terus terang, mula-mula saya tak begitu menyangka bahwa rute studi saya—selain Belanda—adalah Norwegia. Konsorsium MAE (Master of Applied Ethics), program studi saya, selain kedua negara itu juga termasuk Swedia. Dan saya menduga bahwa saya akan ditempatkan di Belanda dan Swedia. Namun, saat surat pelulusan dari Konsorsium MAE dan Uni Eropa saya terima, ternyata rute studi saya adalah Belanda dan Norwegia.

Pada saat itulah seketika saya lalu teringat pada salah satu penulis favorit saya: Jostein Gaarder. Saya jadi berpikir, mungkin garis keputusan ini juga ada kaitannya dengan sosok yang mulai saya kenal sejak awal 1997 ini, saat saya hampir lulus dari Madrasah Aliyah (setingkat SMA). Mungkin ini adalah jalan yang akan memungkinkan saya untuk bertemu langsung dengan penulis yang produktif menghasilkan novel-novel filsafat dan tinggal di Oslo ini.

Gaarder buat saya adalah sosok yang kuat pengaruhnya, terutama untuk memantapkan tekad saya mempelajari filsafat sebagai sebuah disiplin ilmu. Sebenarnya, perkenalan saya dengan filsafat dimulai lebih awal, tepat satu tahun sebelum saya membaca novel Jostein Gaarder yang ternama, Dunia Sophie (Mizan, Desember 1996). Di paruh kedua 1996, saya telah membaca beberapa buku filsafat yang relatif berat, seperti Nietzsche (LKiS, Mei 1996) karya St. Sunardi, Postmodernisme (Kanisius, 1996) karya I. Bambang Sugiharto, dan yang lainnya. Akan tetapi, baru setelah saya amat terpikat saat membaca Dunia Sophie, yakni awal 1997, saya merasa mantap untuk mendalami filsafat.

Dengan demikian, Gaarder, yang menulis novelnya dalam bahasa Norwegia, bisa dibilang adalah sosok yang mengantarkan saya ke Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta di pertengahan tahun 1997, dan selanjutnya membukakan samudera pemikiran yang begitu luas dari dunia filsafat.

Dengan begitu, saya merasa bahwa mungkin kini saya tengah menyongsong undangan Gaarder untuk sebuah jamuan di taman filsafat di dekat rumahnya. Saya mengharapkan sebuah jamuan musim semi yang indah, di bawah naungan langit utara dengan bintang-bintangnya yang memikat. Saya juga berharap nanti dapat membawa pulang oleh-oleh cerita pengalaman dari sana—pengalaman yang tampaknya terlalu berharga untuk dilewatkan tak tercatatkan begitu saja.

Read More..

Selasa, 01 September 2009

An Orientation to Applied Ethics

Erasmus Mundus Masters Course in Applied Ethics would begin on September 1st with Introduction Days in Linköping University, Sweden. Unfortunately, I will miss this Introduction Days. But the MAE Consortium have sent a book for me, Perspectives on Applied Ethics (Göran Collste, ed.). I received the book on Monday, July 5th. They want me to have read the book before I arrive in Europe. The book contains seven articles about applied ethics written by professors and lecturers of this program and would be a preliminary papers on the Introduction Days that will be held before the Masters Course begin.

Those articles explore various themes on applied ethics, reflecting the wide scope of applied ethics and its place in the discourse of philosophy. From the first page, I can feel that this book is a kind of academic book. But the most important thing, this book really gave me a thought-provoking warming up before the course is kicked off. This book inducted me to the interesting discussion on applied ethics.

The first essay, written by Bo Petersson (Professor of Philosophy, Linköping University), invited me to a deep and radical reflection about the ethics. Professor Petersson examined his reflection with critical reviews and analysis on the essay of Paul van Tongeren, “On the Beginning of Ethics” (in G. De Stexhe & J. Verstraeten (eds.), 2000, Matter of Breath, Foundations for Professional Ethics, Leuven: Peeters). In fact, I couldn't read the original and complete version of this essay—I don't have access to the book. But it's not a problem. I could still follow the clear explanations.

The essay of van Tongeren itself actually is an analysis of Book I of Plato's Republic about the birth of ethics. And Petersson emphasized and analyzed van Tongeren's with some critical reflections. I got, at least, three important points from this chapter. First, about the birth of ethics. Reflecting on Plato's text, Petersson underlined that there was a moment when ethics was born. By ethics, it means ethical reflection both meaning reflection within ethics and reflection about ethics (meta-ethics). There is such situation when ethical reflection doesn't needed. Van Tongeren mentioned about archaic period, it's about period before 600 BC, when society and the rules were static and they were not questioned.

In the classical period, from 600 BC to 300 BC, the static society breaks up. Through wars and expanding trade, people became aware of other cultures and other habits and systems of evaluation. On this intense interaction of people, the meaning of the moral concepts were questioned, and this inquiry constitutes the beginning of ethics. The breaking up event of this socio-cultural situation might be started in the level of individual.

I have two important questions on this point: first, is there such a group of people right now living in a social conditions when people had a fixed place within a society and they don't need ethical reflection? Second, what is the feature of fundamental changes in society that make the ethical reflections being important?
The second point of this article is about the threat to ethics. Relativism and traditionalism threaten ethical reflections with different strategies. Both relativism and traditionalism render ethical inquiries as an activity (inquire, ask) meaningless. Relativism believes that there are no true and definitive answers to meta-ethical questions, and traditionalism believes that the authorities know the answers to meta-ethical questions and we also know them through the authorities. So, the threat of ethics is such situation that make the reflections useless.

Just like my second question on the first point, we also could explore this second point criticizing the situation when the ethical reflections are necessary.

The last point of this article is about the deep meaning of ethics itself. If our inquiry leads us to an answer which we have all reasons to believe to be true, that would mean the end of our inquiry. Is the ethics, as an activity, would be ended on this point? I think that this point, once again, examine our understanding of ethics and ethical reflection. In my mind, maybe this is an entry point to applied ethics. Ethics, and ethical reflection, have strong relation to the practices in our every day life. There will be an intense interaction between moral concepts and our understanding to factual life. On this point, I feel that Professor Petersson have invited us to the real field of challenging applied ethics.

The second article by Professor Göran Collste (Linköping University), the MAE Programme Coordinator, carried on the access to applied ethics by giving us clear and brief description about applied and professional ethics. Three point was emphasized concerning the rise of applied ethics: wide spread of secularization characterized by moral autonomy of individual, new moral problems facing the society due to new technical possibilities, and philosophical response to a new social situation. Professor Collste wrote that applied ethics appeared when ethics itself was in decline—that was in the 1960. Applied ethics as the art of reflecting in moral dilemmas and moral problems indicate a turn from descriptive ethics to normative ethics. I remembered, Kees Bertens mentioned applied ethics as a contemporary development of normative ethics in his book, Etika (Gramedia, Jakarta, 2002).

Professor Collste asserted that applied ethics not just the application of ethics to special arenas of human activity. It implies interplay between theory and practice, between experience and reflection and between intuitions and principles. To describe this in detailed explanation, Professor Collste tried to discuss about early born babies, so called neonates, using applied ethics framework, particularly reflective equilibrium of John Rawls' theory as a method. In this example, Professor Collste clarified how this method works: structuring argumentation in applied ethics, for decision making, or for justification.

Second part of the article explained about the professional ethics, a moral reflection in work that has its basis in the practice of a profession. Professional ethics contains two parts: the common goal of the profession, and rules for behaviour. It function is as a guide to the professionals facing difficult moral decision and as a reference for those professionals who want to act fairly.

I found something interesting on this part of the article, especially concerning my recent activities as a teacher in a rural school religious communities. The complex of crisis haunted in my contemporary social condition of my country has also seen as a failure of system of education. Educational institution have failed to response the challenge of the age so we only have the leader with egoistic and narrow vision, people has a minimum solidarity toward poor people, and so on. Teacher, as a key actor on educational institution, has a weak and peripheral vision on his profession. It seems that the guide for their activities now is not a clear vision of their noble profession.

I anxiously reflect this point based on my experiences. If the ethics itself always be connected with concrete moral dilemmas, now I feel that the moral dilemmas could be not only as “concrete” or explicit one. The significance of professional ethics might be clear in the long term and broader context.

The Third article, “Ethical Pluralism” by May Thorseth (NTNU), seems to give additional explanation about threat to ethics as Professor Petersson explained, focusing on relativism. Thorseth made clear why relativism epistemologically and morally problematic. As we know, moral relativism recognized that we get a plurality of different standard of justice. Moral claims are true only relative to some standard of framework. So, moral relativism has the lack of common standards for judging between different cultures. Hence, moral relativism allow for the rise of two opposite views of the same action.

If we back to the explanation of Professor Petersson, we underline that this situation make the ethics as activity has no significance.

I think the key problem of moral relativism concerns with different moral values and judgments in different society and culture. Thorseth then discussed how we considered the differences. Thorseth differentiated moral relativism and value pluralism. Value pluralism is the root of ethical pluralism as a third alternative between relativism and absolutism—another threat of ethics. Value pluralism recognizes the differences, respects other moral values, but still makes an appeal to some moral claims. Value pluralism leaves open the possibility to interfere another moral system when it is in fact not good. In this context, tolerance and respect was put on positive meaning. Abstaining from substantive judgment could be a kind of moral relativism.

The next chapter written by Marcel Verweij (Utrecht University), “Moral Principles and Justification in Applied Ethics”. In this article, Verweij explored the roles of principles in moral theory in applied ethics. The important conclusion in this article is: that it is a misunderstanding of moral principles and ethical theory to see principles as devices designed for answering moral problems. There must be a great effort to do to achieve moral judgments—not only by basing a principle upon a particular moral case.

Moral principles are to much general or abstract to provide practical guidance in decision making. In addition, a different principle could point to another directions of moral stand. Verweij tried to place the moral principles in a proportional role. Moreover, Verweij implied that applied ethics and ethical reflection will be a challenging and complex enterprise. The main feature of philosophical way of thinking should be invited to help us to achieve better result. So, it is obvious that in applied ethics, interpretation and critical thinking also have a great importance to be maintained.

If the first four chapters of this book give a general and rather theoretical perspectives on applied ethics, the last three chapters focused on particular concern of applied ethics. The article of Professor Frans W.A. Brom (Wageningen University) highlights the interplay of concrete legislation and public morality based on the case of animal protection legislation in the Netherlands. Professor Brom put forward the expressive-communicative function of legislation, that constitutes an audience in society. Individuals in society become an audience because they share a certain language. The legal framework pre-structures the moral discussion and moral deliberation.

Professor Anders Nordgren (Linköping University) wrote about the interdependence of ethics and science. One important idea explored here is about moral responsibility of scientist, and Nordgren put forward three aspects of this: responsibility “of”, “to”, and “for”. Who is responsible in science? To whom and to what are scientists responsible? For what are scientists responsible? Nordgren also asserted that scientists responsible for the application of the science as well.

The last chapter, written by Rune Nydal (NTNU), is about the social contract between science and society. The discussion on this chapter focuses on the interaction between epistemic aspect and ethical-political aspect on the development of science. Philosophical discourse, mainly on applied ethics, had tried to clarify the conditions for true scientific activity on the one hand and true political activity on the other hand. Nydal asserted that education has an important role to enforce and adjust the ideals of this social contract.

Reading this book with an in-depth approach will give the reader an orientation to applied ethics as a new developing discipline in philosophy. Our runaway world affected the relation and interaction of people, and it aroused new question on various problem of ethics—not only about relation between people, but also with animal and nature.

Read More..