Selasa, 28 Juli 2009

Jerat Liberalisasi dan Kedaulatan Energi

Judul buku : Di Bawah Bendera Asing: Liberalisasi Industri Migas di Indonesia
Penulis : M Kholid Syeirazi
Pengantar : K Tunggul Sirait
Penerbit : Pustaka LP3ES, Jakarta
Cetakan : Pertama, Juli 2009
Tebal : xxi + 328 halaman


Dalam suasana pemilu dan pilpres 2009 yang lalu, diskusi tentang neoliberalisme ekonomi sempat ramai dibicarakan di berbagai media. Sayangnya, masalah tersebut cenderung berkembang sebagai isu politik sesaat dalam konteks yang cukup pragmatis, sehingga substansi masalahnya kurang tersentuh. Salah satu indikasinya, saat ini masalah tersebut kembali redup tergantikan isu lainnya.

Buku yang ditulis oleh M Kholid Syeirazi ini mencoba mengupas satu contoh tentang bagaimana liberalisasi di bidang migas sebagaimana yang tampak dalam UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi berimplikasi terhadap masa depan pengembangan industri migas nasional. Kholid juga menelaah konfigurasi ekonomi politik yang melatarbelakangi lahirnya UU tersebut.

Saat dunia belakangan ini dilanda krisis energi, kita semakin sadar betapa minyak memiliki aspek strategis yang sangat signifikan. Kebutuhan akan minyak di semua negara, terutama yang tengah memacu aktivitas ekonomi mereka, sangatlah tinggi. Sementara itu, ketersediaan sumber daya alam minyak terbatas. Karena itu, tak heran jika masalah minyak sering berimbas politis. Keterlibatan Amerika di peta konflik Timur Tengah, misalnya, tak bisa dilepaskan dari kepentingannya untuk memperoleh jaminan suplai minyak.

Membaca uraian yang sangat kaya data di buku yang dikembangkan dari tesis di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI ini, pembaca akan dapat menyimpulkan bahwa UU Migas No 22/2001 bukanlah karya otonom para legislator di DPR dan bukan pula prakarsa otonom negara. Ia lahir dalam suatu konstelasi geopolitik minyak yang menempatkan Amerika sebagai negara yang paling berkepentingan dengan skenario liberalisasi industri minyak di seluruh dunia. Undang-undang tersebut merupakan produk tekanan politis kekuatan ekonomi yang hendak memayungi dan melegalkan jaringan modal dan bisnis mereka di Indonesia.

Ini bisa dirunut dari saat Indonesia terpuruk dalam krisis moneter di penghujung 1997, yang kemudian menempatkan Indonesia tergolek di kursi pasien lembaga kreditor internasional seperti IMF dan World Bank. Mereka itu kemudian menyodorkan resep liberalisasi dan deregulasi sektor keuangan yang di antaranya mewujud dalam bentuk pencabutan subsidi pendidikan, pangan, dan kesehatan. Liberalisasi di bidang energi adalah salah satu poin kesepakatan yang membuka peluang bagi masuknya investor asing di sektor hulu dan hilir migas.

Setelah melalui proses yang cukup panjang, yakni sejak Maret 1999, UU Migas yang baru, yang menggantikan UU No 8/1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (UU Pertamina), disahkan DPR pada 23 Oktober 2001. UU ini menjadikan Pertamina tak lagi berpola usaha yang terintegrasi (hulu dan hilir). Peran ganda Pertamina sebagai regulator sekaligus operator dilucuti. Fungsi regulator ditangani oleh BP Migas dan BPH Migas untuk mengatur kegiatan sektor hulu dan hilir, sedang Pertamina menjadi sekadar salah satu pelaku usaha. Dari sinilah, pemain-pemain asing di bidang migas menemukan pintu masuk yang cukup leluasa untuk bermain di komoditi strategis ini.

Dominasi asing dengan kehadiran UU Migas ini menjadi semakin tampak. Jika dengan UU Pertamina No 8/1971 saja partisipasi Pertamina di sektor migas tidak pernah meraih 10 persen, UU Migas semakin menguatkan dominasi maskapai tambang minyak dunia dalam industri migas nasional.

Catatan dan tinjauan kritis dari beberapa fraksi DPR saat RUU Migas digodok tak mampu mementahkan upaya kekuatan internasional yang bermain di belakang untuk melapangkan jalan liberalisasi migas ini. DPR dihegemoni pemerintah, dan pemerintah berada di bawah dominasi dan tekanan lembaga donor. Demikian pula, upaya sejumlah elemen masyarakat yang mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung di awal 2003 juga berakhir dengan kecewa.

Salah satu argumen untuk menggusur wewenang Pertamina adalah korupsi yang merajalela. Padahal, penghapusan monopoli Pertamina terbukti tak mengakhiri riwayat korupsi di badan usaha ini. Inefisiensi birokrasi baru serta permainan mafia dan calo minyak hingga kini sulit diatasi. Mekanisme impor dan cengkeraman mafia minyak membuat negara dan rakyat harus menanggung harga BBM yang lebih mahal.

Perspektif yang kuat yang ditonjolkan buku ini adalah bahwa UU Migas telah berimplikasi pada rapuhnya kekuasaan negara untuk menjaga ketahanan dan kedaulatan energi sehingga komoditas strategis yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak ini terjerat dalam mangsa spekulasi para pelaku bisnis dunia. K Tunggul Sirait, pensiunan Guru Besar ITB yang juga mantan anggota Pansus RUU Migas DPR RI, dalam pengantar buku ini menulis bahwa bagian-bagian penting buku ini mengingatkan kita bahwa ada “kain merah-putih yang terkoyak” dalam tata kelola energi nasional karena hadirnya UU Migas tersebut, yang dinilai banyak pihak sangat liberal dan mendurhakai Pasal 33 UUD 1945.

Selain ulasan yang komprehensif dan pemaparan data yang lengkap, buku ini menjadi sangat menarik dan kontekstual untuk dibaca karena ia hendak mengajak kita semua merenungkan soal harga diri, martabat, dan kedaulatan kita sebagai sebuah bangsa. Menjelang 64 tahun Indonesia merdeka, dan melewati satu abad kebangkitan nasional, bangsa kita nyatanya masih harus bergelut dan berjuang keras untuk meraih kedaulatannya. Pertanyaannya: apakah perjalanan Orde Reformasi saat ini sebenarnya mengarahkan kita semua untuk merebut kedaulatan, otonomi, dan kemandirian kita sebagai bangsa, atau justru membuai kita dalam kepalsuan citra kesejahteraan di bawah bayang kekuasaan aktor-aktor global?

Versi yang sedikit berbeda dengan tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 26 Juli 2009.

Read More..

Senin, 27 Juli 2009

King: Berbagi Semangat dan Inspirasi

Satu hari mampir di Jogja sebelum melanjutkan perjalanan ke Jakarta, saya sempat nonton film King di Ambarukmo Plaza bersama Badrus. Saya menerima ajakan Badrus untuk nonton film ini lebih sebagai pengisi waktu, dan juga karena saya merasa sudah lama sekali tak menonton film di studio bioskop di Jogja—menurut catatan saya, terakhir nonton di bioskop Jogja September 1999. Tak ada ketertarikan khusus, karena informasi yang saya dapat tentang film itu hanya sekilas saja.

Ternyata film itu melebihi bayangan saya sebelumnya. Ini film istimewa yang penuh inspirasi, tak kalah dengan Laskar Pelangi (2008). Saya jadi teringat beberapa film yang kemudian saya sukai padahal sebelum menontonnya tak ada bayangan bahwa film itu akan luar biasa—seperti King ini.

Pada dasarnya, King adalah sketsa biografis pebulu tangkis Indonesia ternama, Liem Swie King, yang juga dijuluki King Smash. Hanya saja, biografi King tidak dituturkan dengan cara yang lurus-lurus saja dan konvensional. Kisah hidup dan perjuangan King untuk meraih kesuksesannya di bidang bulu tangkis disajikan dengan menggunakan sosok lain, yakni Guntur (diperankan oleh Rangga Aditya), anak desa yang menjadi tokoh utama film ini.

Hidup di sebuah desa terpencil, Guntur dibesarkan hanya berdua bersama ayahnya yang sangat mencintai bulu tangkis. Namun, ayahnya, yang diperankan dengan luar biasa oleh Mamiek Prakoso, bukannya pintar bermain bulu tangkis. Di kampungnya, dia hanya menjadi komentator di setiap pertandingan bulu tangkis, dan sehari-hari menjual bulu angsa untuk dijadikan shuttlecock.

Hidup berdua dengan obsesi yang tinggi dan kehidupan ekonomi yang pas-pasan, si ayah mendidik Guntur dengan cukup keras. Setiap gagal dalam pertandingan, Guntur mendapatkan hukuman disiplin dari ayahnya. Jadi, Mamiek yang lebih sering tampil sebagai komedian di televisi ini banyak menampilkan akting marah dan serius di hadapan anaknya—sehingga konon Mamiek butuh latihan khusus marah untuk perannya di film ini.

Guntur bukan tipe orang yang mudah menyerah. Dengan raket kayu yang kadang membuatnya tak percaya diri, dia terus berlatih keras dan berusaha untuk menjadi juara di kampungnya. Provokasi temannya, Raden (diperankan oleh Lucky Martin), yang mengatakan bahwa di dalam piala yang diperebutkan terdapat uang berlimpah, membuat Guntur semakin keras berlatih, berharap bahwa uang itu nantinya dapat dia belikan raket yang bagus.

Dengan penggambaran karakter dan alur yang sangat hidup, tak membosankan, penuh lika-liku, serta sarat dengan relasi dan drama kemanusiaan yang menyentuh, perjalanan Guntur meraih impiannya pun perlahan menunjukkan kemajuan yang berarti. Kerja keras dan dukungan orang-orang di sekitarnya sangatlah berarti. Namun demikian, ada saat-saat ketika Guntur tampak surut dan putus asa menghadapi hal-hal yang tampak mengecewakannya. Ada juga momen ketika dia merasa perlu menghargai hal-hal sederhana yang dimilikinya sehingga itu menginspirasi dan menyalakan kembali semangatnya.

Saya sungguh kagum dengan kerja tim kreatif film ini (di antara mereka ada nama Dirmawan Hatta, penulis skenario, kawan yang dulu pernah saya kenal di Komunitas B21 UGM). Seperti halnya Laskar Pelangi, film ini juga berhasil mengangkat satu sisi realitas kehidupan di tanah air di antara kesederhanaan dan segala keindahannya. Mengambil latar di desa, film ini menampilkan gambar-gambar yang menawan dari alam pedesaan yang masih perawan. Menurut berita, film ini mengambil lokasi syuting di Bondowoso—saya jadi ingin berkunjung ke teman-teman di Bondowoso.

Selain itu, film ini juga kaya dengan wawasan multikultural. Dengan memilih menuturkan biografi King melalui Guntur yang seorang Jawa, film ini seperti semacam silaturahim budaya antara etnis Tionghoa dengan elemen kultural lainnya di nusantara. Di film ini pula, ada sosok Batak yang lama tinggal di Jawa. Dan tentu penonton film ini juga tak akan melupakan si tukang pos berwajah Papua yang melafalkan bahasa Jawa. Sungguh, sekali lagi, Arie Sihasale, produser sekaligus sutradara film yang sebelumnya sukses dengan Denias (2006) ini, telah berhasil menampilkan wajah nusantara yang indah dan inspiratif.

Saat meninggalkan Jogja keesokan harinya, di antara perjalanan sambil menyaksikan indahnya alam dari atas kereta, alur dan momen-momen inspiratif dari film ini kadang hadir dengan sejumlah pikiran dan pertanyaan lanjutan. Ada banyak hal inspiratif milik kita di sekitar kita yang perlu terus dibagikan kepada sesama, agar kita dapat belajar menghargai dan mengambil pelajaran dari itu semua. Karena itu, seperti sering saya katakan ke beberapa teman, berbagi informasi, berbagi pengalaman, berbagi pengetahuan, dan berbagi inspirasi itu sejatinya juga bernilai ibadah.

Read More..

Minggu, 26 Juli 2009

Keliling Dunia (di) Jakarta (2)

Pekan ini saya kembali melanjutkan berbagai persiapan teknis keberangkatan saya. Setelah libur panjang tiga hari yang saya isi dengan kunjungan ke beberapa rekan dan saudara di sekitar Sawangan dan Ciputat, hari Selasa (21/7) saya ke Departemen Luar Negeri untuk mengambil kutipan akta kelahiran yang dilegalisasi. Saya berharap setelah dari Deplu saya bisa langsung memproses aplikasi visa/residence permit saya di Kedutaan Norwegia—syukur-syukur juga ke Kedutaan Belanda.

Berharap demikian, saya berangkat dari Parung lebih awal dan alhamdulillah saya tiba di Deplu sebelum jam sepuluh. Namun sial nasib saya di hari itu. Ternyata dokumen saya belum selesai ditandatangani oleh pejabat berwenang. Beberapa orang yang juga dijanjikan selesai di hari itu juga tampak kecewa karena belum selesai. Oleh petugas, saya dan beberapa orang lainnya diminta untuk menunggu di situ.

Saat menunggu di Deplu, saya tidak bisa berkonsentrasi untuk membaca-baca buku yang saya bawa. Siang itu suasana di ruang tunggu Deplu cukup ramai, tidak seperti di hari Kamis, saat saya memasukkan dokumen. Saya menunggu lebih dari satu jam. Di saat menunggu itulah, saya kembali bertemu dengan P dan beberapa orang rekannya yang sepertinya sedang membantu melegalisasi dokumen. Di antara orang yang kemudian berbincang dengan P, ada seorang berwajah Arab, berkacamata, dan memiliki jambang yang cukup lebat, yang tampak juga sedang membantu proses legalisasi. Ini saya ketahui ketika dia menerima telepon, dan saya kemudian mendengarkan pembicaraan tentang angka-angka biaya yang sudah dikeluarkan oleh si penerima telepon itu. Saat hendak meninggalkan Deplu, saya sempat berpapasan dengan P, dan dia menyapa sekilas sambil tampak terburu-buru bergegas di hadapan saya menuju pintu keluar.

Ketidaklancaran di Deplu membuat proses selanjutnya tertunda. Dari kawasan Gambir, saya langsung menuju kawasan Mega Kuningan, tepatnya Menara Rajawali, tempat kantor Kedutaan Norwegia. Sayangnya, saat saya sampai di situ jam menunjukkan pukul dua belas kurang beberapa menit, sehingga saya tak dilayani oleh petugas bagian visa. Untuk diketahui, di Kedutaan Norwegia dan Belanda (mungkin juga yang lain), urusan konsuler hanya buka hingga pukul dua belas siang.

Selasa siang itu, saya pun keluar dari Menara Rajawali dengan agak kecewa. Karena sudah tak ada agenda penting lain yang bisa saya kerjakan, saya mencoba melihat-lihat lokasi teror bom di sebelah Menara Rajawali, yakni JW Marriott dan Ritz Carlton.

Tampak banyak petugas keamanan berjaga di sana. Garis polisi juga menghalangi akses jalan, sehingga jalur di lingkar Mega Kuningan dialihkan. Dari Menara Rajawali, saya pun harus berjalan memutar ke arah luar Mega Kuningan untuk tiba di depan Ritz Carlton. Tiba di sana, saya melihat lapangan yang telah dijadikan tempat parkir banyak kendaraan yang saya duga milik para pemburu berita dan petugas keamanan. Ada tenda polisi di salah satu sudut lapangan. Di sekitar lokasi peledakan, tampak beberapa wartawan lalu lalang. Di antaranya tampak wartawan televisi sedang melaporkan langsung dari lapangan. Tampak pula beberapa wartawan asing dengan kamera yang cukup besar.

Dengan bermodal kamera HP yang sudah mulai memburuk hasilnya, saya pun mencoba mengambil gambar di sekitar tempat itu dari beberapa sudut.

Saya kembali lagi ke kawasan Kuningan pada hari Rabu (22/7), keesokan harinya. Yang dituju pertama adalah Kedutaan Belanda. Akan tetapi, ternyata pelayanan konsuler di hari Rabu tutup—saya kurang cermat membaca informasi di website Kedutaan Belanda. Saya pun melanjutkan ke Menara Rajawali, Kedutaan Norwegia. Seperti hari sebelumnya, pengamanan di Menara Rajawali yang juga menjadi kantor beberapa kedutaan itu tampak lebih ketat dibandingkan dengan kunjungan saya sebelumnya sebelum terjadi bom di hari Jum'at. Setiap pengunjung masih diperiksa petugas, termasuk warga negara asing.

Alhamdulillah, urusan aplikasi visa/residence permit di Kedutaan Norwegia berlangsung lancar. Saya juga tak perlu mengeluarkan biaya (hampir dua juta rupiah) untuk itu, karena saya membawa surat pengantar (rekomendasi) dari Uni Eropa. Setelah dokumen-dokumen diperiksa dan dinyatakan tak ada masalah, saya tinggal menunggu informasi selanjutnya dari Kedutaan. Sekitar pukul sebelas siang, saya meninggalkan Menara Rajawali.

Hari Kamis saya kembali ke Kedutaan Belanda untuk memproses legalisasi akta kelahiran yang sudah diproses di Dephukham dan Deplu. Ini dia yang membedakan dengan Norwegia. Untuk proses di Kedutaan Norwegia, setelah dilegalisasi di dua Departemen itu, dokumen bisa langsung digunakan untuk proses izin tinggal di Norwegia. Sedang untuk Belanda, prosesnya masih bertambah lagi. Setelah dilegalisasi di dua Departemen, kutipan akta kelahiran saya masih harus dilegalisasi di Kedutaan Belanda. Jadi, hari Kamis (23/7) saya memasukkan akta kelahiran saya. Biaya legalisasi di Kedutaan Belanda Rp. 367.000,- per dokumen.

Dokumen yang dilegalisasi itu saya ambil hari Jum'at (24/7) keesokan harinya. Namun, sebelum ke Kedutaan Belanda, saya mampir dulu ke Bank BCA Mampang untuk mentransfer biaya MVV visa Belanda. Meski saya sudah menanyakan informasi dan memastikan segala sesuatunya ke pihak BCA sehari sebelumnya, ternyata proses transfer masih agak ribet dan cukup memakan waktu. Baru setelah itu saya meluncur ke Kuningan untuk mengambil akta kelahiran yang sudah dilegalisasi.

Setelah akta kelahiran saya dapatkan, dari Kedutaan Belanda saya langsung melanjutkan proses berikutnya: menerjemahkan akta kelahiran saya di penerjemah tersumpah (sworn translator)—Kedutaan Norwegia tak mensyaratkan proses penerjemahan ini karena kutipan akta kelahiran saya yang baru sudah bilingual. Dari milis, saya mendapatkan informasi jasa penerjemah yang biasa digunakan oleh para calon mahasiswa yang akan studi di Belanda. Penerjemah ini bernama Ediati Kamil yang beralamat di Jalan Saharjo 39 di kawasan Manggarai.

Alhamdulillah prosesnya berjalan cukup lancar. Saya tidak terlalu kesulitan untuk menemukan rumah si penerjemah ini, meski harus berjalan kaki beberapa ratus meter. Sebelum Jum'atan, saya sudah di bus kota menuju Mampang untuk mampir di INFID (shalat Jum'at).

Pekan kedua di Jakarta ini tampak lebih padat daripada pekan sebelumnya. Di sela berbagai persiapan itu, saya bersyukur bisa sekalian juga beraktivitas yang lain, seperti berkunjung ke teman dan saudara di sekitar Jakarta.

Jika semua berjalan lancar, pekan depan adalah pekan terakhir saya di Jakarta. Selain sedikit urusan di Kedutaan Belanda (melanjutkan proses legalisasi akta kelahiran), pekan depan akan ada dua pertemuan pre-departure, yakni yang diselenggarakan oleh Uni Eropa dan Kedutaan Belanda. Di dua acara itu, saya akan berjumpa dengan rekan-rekan yang lain, baik sesama penerima Erasmus Mundus Scholarship 2009 maupun para calon mahasiswa yang akan studi di Belanda.

Tulisan terkait:
>> Keliling Dunia (di) Jakarta (1)
>> Keliling Dunia (di) Jakarta (3-Habis)

Read More..

Senin, 20 Juli 2009

Keliling Dunia (di) Jakarta (1)

Untuk mengurus kelengkapan persyaratan keberangkatan saya melanjutkan studi ke Eropa, saya pun berangkat ke Jakarta. Dari rumah, saya tidak langsung menuju Jakarta. Saya ke Jogja terlebih dahulu untuk mengantar adik saya kembali ke pondok, transit di kos teman satu hari, baru melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Dari Jogja, saya ke Jakarta dengan kereta, berangkat Sabtu (11/7) jelang jam sembilan pagi. Tiba di Jakarta sekitar setengah lima sore, saya langsung menuju Parung, tempat bibi saya.

Ada dua agenda utama yang harus saya selesaikan: melegalisasi kutipan akta kelahiran, dan memproses aplikasi visa ke Norwegia. Misi pertama mulai dikerjakan pada hari Senin (13/7). Rencananya, di hari itu saya akan memproses legalisasi akta kelahiran di Departemen Hukum dan HAM RI. Saya tiba di kantor kementerian yang beralamat di Kuningan itu sebelum pukul sepuluh. Loket tempat pelayanan legalisasi dokumen dan yang lain tampak masih belum begitu ramai. Setelah mengambil nomor antrean dan menunggu sebentar, saya maju ke loket legalisasi.

Seorang petugas berkaca mata yang tampak dingin menanyakan dokumen yang akan dilegalisasi. Saya, yang hanya mendapat informasi tentang proses legalisasi dari milis, mencoba menegaskan beberapa hal terkait dengan negara tujuan saya, yakni Belanda dan Norwegia.

Ternyata dokumen yang akan saya legalisasi, yakni fotokopi akta kelahiran, tidak bisa diproses hari itu di Dephukham. Pasalnya, saya tidak membawa spesimen tanda tangan pejabat Capil yang tanda tangan (melegalisasi) di fotokopi akta kelahiran itu. Sebenarnya saya sudah mendapat informasi bahwa saya mesti membawa spesimen tanda tangan itu. Akan tetapi, yang saya pahami, spesimen yang dibawa adalah spesimen penanda tangan kutipan akta kelahiran, dan tidak usah spesimen tanda tangan pejabat Capil yang melegalisasi fotokopi akta kelahiran saya. Karena itu, di Capil Sumenep, saya hanya meminta spesimen tanda tangan Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Sumenep, pejabat yang menandatangani kutipan akta kelahiran saya.

Petugas Dephukham mengatakan bahwa dokumen kutipan akta kelahiran saya (yang asli) bisa diproses untuk dilegalisasi di Dephukham, tapi yang fotokopi tidak bisa. Dia menjelaskan bahwa saya harus mendapatkan spesimen tanda tangan si pejabat, atau—alternatifnya—saya meminta pengesahan dokumen versi fotokopi itu ke notaris.

Dari loket, saya berembuk dengan bibi saya perihal langkah berikutnya. Ketika kami sedang berbincang, seseorang tampak mendekat dan menanyakan masalah saya. Saya jelaskan kepadanya. Saya juga mencoba menanyakan tentang dokumen yang akan saya legalisasi apakah sebaiknya juga termasuk dokumen yang asli. Dia bilang, kalau yang ke Belanda bisa yang fotokopi, tapi yang Norwegia tidak tahu.

Orang yang kemudian memperkenalkan diri dan berinisial P serta sempat memberikan nomor ponselnya ke saya itu kemudian juga menjelaskan soal pengesahan notaris dan biaya yang mesti dikeluarkan untuk itu.

Mempertimbangkan penjelasan P dan petugas Dephukham, akhirnya saya memutuskan untuk ke Kedutaan Norwegia dan Belanda terlebih dahulu untuk mendapatkan kepastian. Untung saja, kedua kedutaan itu masih berada di wilayah Kuningan juga, sehingga perjalanan ke sana tak cukup memakan waktu.

Pertama, ke Kedutaan Norwegia, yang berkantor di Menara Rajawali kawasan Mega Kuningan—bersebelahan dengan Ritz Carlton Hotel yang baru saja mendapat teror bom itu. Di sana saya sekalian menanyakan kembali prosedur dan persyaratan aplikasi visa. Khusus untuk legalisasi akta kelahiran, ternyata untuk Norwegia tidak seribet Belanda. Mereka menerima legalisasi dokumen versi fotokopi. Selain itu, jika kutipan akta kelahiran kita sudah ada terjemahan bahasa Inggrisnya (akta kelahiran versi baru yang bilingual), kita tidak perlu menerjemahkannya lagi.

Lain Norwegia, lain pula Belanda. Untuk masuk ke tempat pelayanan informasi pun, di Kedutaan Belanda kami tidak diperkenankan membawa tas dan ponsel. Tas dan ponsel harus diletakkan di loker setelah saya mengambil semacam nomor antrean. Maklum, Kedutaan Belanda memiliki komplek gedung yang luas, tidak seperti Kedutaan Norwegia yang berkantor bersama beberapa kedutaan negara Skandinavia yang lain serta perusahaan di Menara Rajawali.

Petugas di Kedutaan Belanda yang logat bicara bahasa Indonesianya sudah berbau Belanda itu menyarankan agar dokumen yang dilegalisasi itu yang asli saja, karena menurutnya ada kota tertentu di Belanda yang tidak menerima versi fotokopi. Sampai di sini saya menyimpan rasa penasaran saya: mengapa dokumen asli (akta kelahiran) mesti dilegalisasi? Biasanya, dokumen yang perlu dilegalisasi itu kan versi fotokopi, pikir saya.

Agenda selanjutnya adalah mencari pengesahan ke notaris. Dari Kedutaan Belanda, kami mampir ke kantor INFID di Mampang Prapatan. Dari situ, sambil mencari informasi notaris, saya juga mencoba mencari informasi tentang apakah untuk kota Utrecht menerima dokumen akta kelahiran versi fotokopi (yang sudah dilegalisasi). Petugas Kedutaan Belanda sebenarnya menyarankan agar saya meminta informasi ke International Office Utrecht University, agar mereka menanyakan ke dinas terkait di Utrecht. Akan tetapi, menurut saya ini jelas akan memakan waktu; sementara email penting saya yang terakhir belum dibalas oleh mereka. Saya pun mencoba mencari informasi dari rekan-rekan yang ada di Utrecht. Beruntung di siang itu beberapa di antara mereka sedang online di Facebook. Saya pun menanyakan hal ini, dan ternyata saya tak menemukan jawaban yang pasti. Akhirnya, saya putuskan bahwa untuk ke Belanda saya akan melegalisasi dokumen akta kelahiran yang asli.

Setelah membuat keputusan ini, saya pun ke notaris diantar oleh Om Warno. Saya diantar ke notaris yang biasa dipakai INFID yang kebetulan tak terlalu jauh dari Mampang. Di sana saya mengesahkan dua lembar fotokopi akta kelahiran, karena aplikasi visa Norwegia membutuhkan dua salinan dokumen. Biaya per lembar lima puluh ribu rupiah.

Saya tidak bisa melanjutkan proses legalisasi ke Dephukham di hari itu, karena jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Maka saya pun kembali ke kantor Dephukham keesokan harinya. Tiba di Dephukham sekitar pukul setengah sebelas di hari Selasa (14/7), saya masih harus melengkapi syarat-syarat legalisasi berupa fotokopi KTP (sudah disiapkan), materai sejumlah dokumen yang akan dilegalisasi (3 lembar), fotokopi dokumen yang akan dilegalisasi, dan surat permohonan serta map khusus yang dibeli di Koperasi AHU Dephukham.

Saat antre di loket yang kebetulan cukup ramai di siang itu, saya bertemu kembali dengan P yang tampak baru masuk ke tempat antre. Dia tampak sudah sangat akrab dengan tempat ini. Dia sempat bertanya ke saya tentang proses legalisasi yang saya lakukan. Saat dia membuka tasnya, saya sempat melihat dia membawa lembaran materai yang sangat banyak.

Alhamdulillah, sebelum jam dua belas siang, permohonan legalisasi saya sudah masuk dan diproses. Setelah itu, saya langsung membayar biaya legalisasi (dua puluh lima ribu rupiah per dokumen) di Bank BNI di komplek Dephukham.

Dua hari berikutnya, yakni hari Kamis (16/7), saya kembali ke Dephukham untuk mengambil dokumen saya itu. Alhamdulillah lancar. Lagi-lagi saya melihat P ada di situ sedang berbincang dengan seseorang. Setelah saya selesai memproses legalisasi di Dephukham, saya jadi mengerti mengapa dokumen asli pun harus dilegalisasi. Di cap/stempel legalisasi Dephukham, tertulis: “LEGALISASI TANDA TANGAN”. Jadi, rupanya Dephukham ini melegalisasi keaslian tanda tangan di dokumen kita sebagai pengantar sebelum dokumen kita itu “diinternasionalisasi” (digunakan dalam wilayah hukum internasional) untuk kemudian diproses di kedutaan negara yang kita tuju.

Dari Dephukham, saya langsung meluncur ke Departemen Luar Negeri di dekat Gambir. Proses legalisasi di Deplu tak seribet di Dephukham. Loket tampak tak begitu ramai, karena di Deplu saya lihat jenis layanan di loket tak sebanyak di Dephukham. Persyaratannya pun sederhana: fotokopi dokumen yang akan dilegalisasi (yang sudah dicap di Dephukham), map kuning yang saya beli di toko/fotokopi dekat Deplu, dan biaya legalisasi sebesar sepuluh ribu rupiah per dokumen. Petugas Deplu mengatakan bahwa saya bisa mengambil dokumen saya di hari Selasa (21/7).

Proses pengurusan legalisasi dokumen ini memang menjadi pekerjaan teknis yang cukup ribet dan cukup memakan waktu, tenaga, dan biaya. Akan tetapi, saya berusaha menikmatinya. Saya cuma agak menyesalkan mengapa informasi yang cukup terperinci tentang hal-hal terkait tak saya temukan di website lembaga-lembaga itu, termasuk di website kedutaan. Khusus terkait dengan Kedutaan Norwegia, saya mendapatkan informasi tentang aplikasi visa dari mereka via email (catatan: konsultasi via email harus berbahasa Inggris), dan ketika saya berkunjung langsung ke sana, saya mengambil formulir aplikasi visa/residence permit (yang sebenarnya bisa saya unduh dan cetak sendiri dari website mereka) dan mendapatkan kejelasan tentang legalisasi akta kelahiran (bahkan saya sampai diperlihatkan contoh dokumen yang sudah diproses).

Untuk proses legalisasi di Dephukham, sebenarnya saya sempat menelepon langsung ketika masih di rumah menanyakan persyaratannya secara lebih jelas karena tak berhasil menemukan penjelasannya di website. Sayangnya, petugas yang menerima telepon saya terkesan enggan memberikan penjelasan lengkap di telepon. Jadinya, spesimen tanda tangan yang saya bawa ternyata kurang tepat—padahal saya mendapatkannya dengan proses yang agak berliku di Sumenep.

Jika kekurangjelasan informasi itu hanya berakibat bahwa saya harus bolak-balik menegaskan atau menyiapkan hal yang kurang jelas sebelumnya, itu masih mending. Saya menduga bahwa kekurangjelasan informasi ini di antaranya membuka peluang adanya praktik-praktik yang cukup mengganggu di Dephukham. Dari beberapa orang yang juga mengajukan proses legalisasi, saya menjadi tahu bahwa di Dephukham ini banyak orang-orang yang menawarkan jasa membantu proses legalisasi dengan imbalan tertentu—jelasnya: calo. Justru dari mereka inilah beberapa informasi mengenai persyaratan atau prosedur legalisasi bisa didapat lebih terperinci, meski mereka jelas menyimpan motif tertentu.

Terkait dengan aturan, koordinasi dengan instansi terkait tampak lemah. Catatan Sipil Sumenep, misalnya, tidak paham soal legalisasi akta kelahiran di Dephukham ini dalam kaitannya dengan persyaratan spesimen tanda tangan. Menurut P, spesimen dibutuhkan karena contoh tanda tangan pejabat Capil di daerah yang mestinya dikirimkan ke Dephukham nyatanya tak tersedia (tak dikirimkan).

Karena kekurangjelasan informasi inilah, calo di Dephukham menawarkan jasa, di antaranya, untuk memproses pengesahan ke notaris dengan tarif yang ternyata cukup jauh dari standar. Seorang yang saya jumpai di Dephukham dan sedang memproses legalisasi ijazah untuk melanjutkan studi ke Taiwan menceritakan bahwa di komplek gedung Dephukham ini sebenarnya ada notaris yang bisa mengesahkan fotokopi dokumen kita, dengan tarif yang ternyata cukup murah.

Di sebuah blog, saya menemukan seseorang yang juga mencoba menjelaskan proses legalisasi akta kelahiran menulis bahwa “rumitnya birokrasi ternyata bisa menjadi mata pencaharian untuk sebagian orang”. Benar juga ya, pikir saya. Akan tetapi, masalahnya, seperti saya singgung di atas, fenomena ini juga terkait dengan transparansi informasi yang buruk dan koordinasi antar-instansi pemerintah yang lemah.

Saat di kantor Dephukham, sempat terpikir: ini instansi yang termasuk berupaya menegakkan supremasi hukum di negeri ini. Akan tetapi, kenyataannya, warga masyarakat yang sedang ingin mendapatkan pelayanan administrasi hukum di sini justru kadang masih harus “terteror” oleh calo (bukan “drakula” lho) yang gentayangan yang terjadi—di antaranya—gara-gara akses informasi yang terbatas. Pertanyaannya: apakah aparat hukum di negeri kita masih belum mengagendakan atau memprioritaskan upaya pemberantasan “terorisme percaloan” di berbagai sudut dan instansi pemerintah di negeri ini—mungkin juga termasuk calo politik?

Tulisan terkait:
>> Keliling Dunia (di) Jakarta (2)
>> Keliling Dunia (di) Jakarta (3-Habis)

Read More..

Kamis, 16 Juli 2009

Arogansi, Mental-Tak-Mau-Melayani, ataukah Hidup-Salah-Zaman?

Setelah agak terlantar beberapa waktu karena masih merampungkan tugas-tugas di sekolah dan yang lainnya, akhirnya saya pun mulai mengurus kepentingan saya untuk melanjutkan studi. Pengumuman kelulusan saya di program Master of Applied Ethics di Utrecht University (Belanda) dan NTNU (Norwegian University of Science and Technology) Trondheim (Norwegia) beasiswa dari Komisi Eropa (badan eksekutif Uni Eropa) sebenarnya sudah agak lama, tepatnya 1 Mei yang lalu. Tapi sejak pengumuman keluar, saya tidak bisa fokus ke berbagai persiapan yang perlu saya lakukan, baik teknis maupun nonteknis. Saya hanya sempat membuat paspor dan mengumpulkan informasi awal dari internet tentang beberapa hal.

Satu hari sebelum Pilpres 2009, saya mengirimkan aplikasi visa saya ke Belanda. Pengiriman aplikasi visa sempat tertunda agak lama, dan saya sempat sangat khawatir gara-gara nomor mahasiswa saya di Utrecht University tak kunjung diinformasikan oleh International Office—padahal saya sudah kirim email dan sempat menelepon juga.

Sementara itu, aplikasi visa Norwegia tidak bisa diproses karena saya mesti memproses legalisasi akta kelahiran. Legalisasi akta kelahiran ini juga saya perlukan untuk keperluan di Belanda nanti, termasuk untuk pengambilan visa Belanda di konsulat/kedutaan. Dan untuk urusan inilah saya masih terhambat oleh birokrasi Catatan Sipil di Sumenep.

Berdasarkan informasi yang saya himpun di internet (milis, blog), terutama berdasarkan pengalaman mereka yang sebelumnya pernah studi ke Belanda dan Norwegia dan juga negara Eropa lainnya, ketentuan dan persyaratan tentang legalisasi akta kelahiran ini memang beragam. Khusus di Belanda, secara umum bisa dibilang agak ribet. Mereka mensyaratkan bahwa akta kelahiran yang akan digunakan berusia tak lebih dari lima tahun. Saya menjadi lebih jelas ketika saya bertanya langsung ke Kedutaan Belanda. Selain itu, katanya, juga ada kantor kependudukan di salah satu kota di Belanda yang tak menerima dokumen legalisasi versi fotokopi—jadi yang dilegalisasi harus dokumen asli.

Urutan proses legalisasi adalah sebagai berikut. Dokumen akta kelahiran yang akan dilegalisasi (asli dan atau fotokopi) diproses di Departemen Hukum dan HAM RI, setelah itu dilegalisasi di Departemen Luar Negeri RI, kemudian dilegalisasi di kedutaan negara yang kita tuju. Untuk legalisasi di Dephukham, mereka mensyarakatkan kita untuk membawa spesimen tanda tangan pejabat yang mengesahkan atau menandatangani dokumen kita itu (untuk diverifikasi).

Hambatan di Catatan Sipil Sumenep dimulai ketika pada hari Kamis tanggal 25 Juni saya hendak membuat kutipan akta kelahiran yang baru, karena akta yang saya punya dikeluarkan 12 tahun yang lalu sehingga tak akan diterima di Belanda nanti. (Lagipula, andai saya menggunakan akta keluaran tahun 1997, bagaimana saya bisa mendapatkan spesimen tanda tangan pejabat yang tanda tangan di akta tersebut?) Pejabat di Kantor Catatan Sipil Sumenep bersikeras bahwa jika sudah memiliki kutipan akta kelahiran, maka saya tidak bisa membuat kutipan yang baru. “Ini kan berlaku seumur hidup?” kata si pejabat. Ya, siapa yang tidak tahu bahwa akta kelahiran itu berlaku seumur hidup, pikir saya. Masalahnya: bisakah saya mendapatkan spesimen tanda tangan R.B.H. Abd. Karim, BA, pejabat Catatan Sipil yang katanya sudah pensiun itu? Sampai di sini si pejabat tak bisa memberi solusi, dan berargumen bahwa menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, saya tak boleh membuat kutipan baru (karena sudah punya).

Saya berbincang agak lama dengan pejabat Catatan Sipil Sumenep itu, sampai akhirnya saya sama sekali tak diberi pilihan jalan keluar. Pokoknya tidak bisa! Saya masih ingat, pertama pejabat di loket malah meminta saya agar membawa surat dari Dephukham yang menerangkan bahwa saya butuh kutipan akta kelahiran yang baru. Walah, ada-ada saja. Berdasarkan informasi yang saya dapatkan langsung dari Dephukham via telepon di hari itu, mereka mengatakan bahwa saya akan sia-sia saja jika terpaksa membawa akta kelahiran yang lama, karena itu nanti tidak akan diterima di Belanda. Saat ditanya tentang spesimen tanda tangan, pejabat di Dephukham itu mengatakan bahwa ketentuan soal itu tidak ada di undang-undang, tapi dijelaskan melalui surat edaran.

Hari itu saya pulang dengan kecewa. Setiba di rumah, saya pun mencoba mencari jalan keluar sendiri. Tampaknya saran rekan-rekan di milis benar: daripada ribet, lebih baik memproses ulang membuat kutipan akta kelahiran baru dengan alasan kutipan yang lama hilang. Ini kurang lebih mirip dengan saran dua orang yang saya jumpai di luar Kantor Catatan Sipil Sumenep, setelah mereka menyaksikan saya agak lama sedikit bersitegang dengan petugas di sana.

Penasaran, saya mencoba mencari ketentuan perundangan, termasuk yang disebut oleh si petugas Capil Sumenep. UU No 23/2006 berhasil saya unduh di internet. Juga Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil di Daerah, dan juga beberapa peraturan daerah di beberapa kabupaten/kota di Indonesia (termasuk Sumenep) terkait dengan itu. (Sebagai catatan, mendapatkan perda melalui laman instansi pemerintah di Sumenep tidaklah mudah; padahal, katanya, instansi di Sumenep sudah lama menerapkan E-Government). Saya coba baca-baca, dan ternyata tak satu pun saya temukan klausul eksplisit atau implisit yang menyatakan bahwa jika sudah punya kutipan akta kelahiran, tak boleh membuat kutipan yang baru. Bahkan, di perda kependudukan beberapa kabupaten, termasuk Sumenep, tercantum tarif/biaya pembuatan kutipan akta kelahiran yang kedua (dan seterusnya)—nah, berarti mestinya bisa buat lagi kan?

Kesimpulan saya: si pejabat Capil Sumenep sebenarnya tidak mengerti aturan yang sebenarnya. Mungkin dia cuma tidak mau ambil pusing dengan kasus baru (permintaan saya) yang dia alami siang itu, sehingga langsung saja ambil jalan pintas dengan mengatakan: tidak bisa! Saat saya mencoba berbagi dengan beberapa rekan soal kejadian ini, beberapa di antaranya mencatat beberapa kemungkinan yang lain. Ada yang mengatakan bahwa mental sebagian pejabat kita bukan melayani, dan mereka tampil arogan di hadapan masyarakat yang membutuhkan pelayanan yang mestinya menjadi kewajiban mereka. Apalagi, dalam konteks Sumenep, sebagian pejabat (merasa) berasal dari kasta masyarakat yang lebih tinggi dari orang kebanyakan. Adik saya menyebut kemungkinan seperti yang saya tulis di atas: ini kasus baru, mereka tak tahu peraturan yang sebenarnya, dan tetap saja tak mau bergerak keluar dari tempurung mereka yang sebenarnya pengap itu.

Sebenarnya, yang paling membuat saya kesal adalah karena mereka tak mau memberi saya jalan keluar—bahkan terkesan mempersulit. Mereka tidak mencerahkan saya dengan peraturan atau ketentuan yang mungkin dapat saya jadikan dasar untuk menjadi jalan keluar. Saya bertambah kesal setelah saya tahu bahwa ketentuan undang-undang yang mereka jadikan tameng dibawa dari alam mimpi!

Akhirnya saya memutuskan jalan yang akan saya ambil: saya mau membuat lagi kutipan akta kelahiran yang baru dengan alasan hilang. Saya minta tolong adik saya untuk menguruskan kelengkapan persyaratannya ke pejabat desa dan kecamatan. Lagi-lagi, saya menemukan versi yang berbeda dengan informasi yang saya dapatkan dari Kantor Capil Sumenep dan perda. (Artinya, peraturan yang ada tidak tersosialisasikan dengan baik, bahkan di kalangan mereka yang bertugas—apalagi ke masyarakat).

Akan tetapi, akhirnya saya tidak mengikuti jalur ini. Secara kebetulan, ada seorang santri alumnus Annuqayah yang siap membantu saya mendapatkan kutipan akta kelahiran dengan jalur cepat: satu hari jadi. Okelah, saya ikut jalur ini saja, karena sudah mencoba baik-baik tapi tidak diberi solusi. (Sempat terlintas di pikiran: apa saya yang sedikit bego ya, tidak memahami sosiologi politik-kebudayaan pejabat di Sumenep, sehingga saya “memaksa” ikut aturan?).

Alhamdulillah, akhirnya pada hari Kamis 2 Juli saya bisa mendapatkan kutipan akta kelahiran yang baru. Biayanya cuma 15 ribu rupiah. Sama seperti yang tercantum di perda kependudukan Sumenep.

Tapi hambatan dari Capil belum berakhir di sini. Saya masih butuh spesimen tanda tangan pejabat yang menandatangani kutipan akta kelahiran saya yang baru. Maka pada hari Senin tanggal 6 Juli, saya minta tolong si santri yang membantu saya untuk mendapatkan spesimen itu. Saya tidak bisa mengurus sendiri karena di hari itu saya masih ada tugas di pesantren, sambil menyiapkan kelengkapan informasi dan dokumen yang harus saya urus ke Jakarta.

Dan, ini dia berita yang paling lucu: pejabat di Kantor Capil Sumenep mengatakan bahwa untuk mendapatkan spesimen itu, saya harus izin kepada Bupati Sumenep. Hhhaaah?? Apakah bupati memang masih mengurusi tetek bengek macam ini? Sungguh kasihan jika K.H. Moh. Ramdan Siraj, Bupati Sumenep, di tengah berbagai kesibukannya yang lebih strategis masih akan dibuat repot dengan hal seperti ini. Lagipula, tak satu pun pasal saya temukan soal itu di peraturan perundangan kependudukan yang saya punya.

Pembaca, dalam konteks ini, akhirnya saya pun merasa perlu untuk mengungkapkan satu hal berikut ini: bahwa menurut UU No 23/2006 tentang Kependudukan, yang mulanya disebut-sebut oleh pejabat Capil Sumenep itu, tepatnya di pasal (2) tentang hak dan kewajiban penduduk, disebutkan bahwa “Setiap Penduduk mempunya hak untuk memperoleh... (a) Dokumen Kependudukan; (b) Pelayanan yang sama dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil; (c) Perlindungan atas data pribadi; (d) Kepastian hukum atas kepemilikan dokumen.” Ya, kita berhak memperoleh kepastian hukum atas kepemilikan dokumen. Faktanya, saya, warga negara Indonesia, tak menemukan kepastian itu, dan seperti dipermainkan oleh abdi negara.

Karena saya saat itu sungguh sudah terdesak oleh waktu (jika tak segera diproses, aplikasi visa Norwegia saya tak kunjung bisa dimasukkan ke Kedutaan), maka saat itu pun saya menelepon salah seorang anggota DPRD Sumenep yang pernah menjadi guru wali kelas saya selama tiga tahun saat duduk di MTs 1 Annuqayah (1991-1994). Saya bertanya tentang kebenaran kata-kata si pejabat tentang syarat untuk mendapatkan spesimen tanda tangan itu. Beliau, yang memang bertugas di bidang yang menangani masalah ini, menyangkal keterangan si pejabat Capil. Saya pun meminta kesediaannya untuk membantu mengatasi masalah ini.

Alhamdulillah, keesokan harinya, beliau membantu saya mendapatkan spesimen tanda tangan tersebut. Sayangnya, saya sendiri tidak bisa mengurus ini dan bertemu dengan beliau, karena di hari Senin malam saya berhasil mendapatkan nomor mahasiswa saya di Utrecht University, dan karena itu di hari Selasa pagi saya segera berangkat ke Surabaya untuk mengirimkan dokumen aplikasi Visa ke Utrecht melalui jasa pengiriman DHL.

Di perjalanan pulang dari Surabaya, melintasi Jembatan Suramadu yang ketika itu hampir genap satu bulan diresmikan, saya tak habis pikir dengan pengalaman saya berurusan dengan kantor yang juga sempat terkait dengan kisruh DPT Pemilu/Pilpres 2009. Jika orang yang cukup berpendidikan seperti saya saja mengalami kesulitan berurusan langsung dengan mereka (dan harus menggunakan “orang dalam” atau “orang kuat”), bagaimana dengan masyarakat yang kurang berpengalaman dan atau kurang berpendidikan?

Dalam hati saya merasa kasihan kepada mereka, para pejabat itu—termasuk kepada seorang ibu di kantor itu yang ikut nyletuk seperti untuk menyudutkan saya—, bila melihat dari sudut pandang betapa mereka sebenarnya tidak sadar dengan kekeliruan cara mereka bersikap. Kita sudah hidup di zaman baru, era informasi dan komunikasi yang canggih. (Buktinya, saya dapat dengan cukup mudah memperoleh undang-undang yang mereka jadikan alasan untuk sedikit merepotkan saya, dan saya juga sangat mudah untuk berbagi pengalaman saya ini dengan orang-orang sedunia). Dan mereka bersikap seolah-olah ini adalah zaman ketika informasi masih dimonopoli oleh para clerus, sehingga mereka berani saja bicara dengan dasar aturan yang keliru.

Bagaimanapun, kita harus mengakui bahwa ini adalah gambaran tingkat peradaban masyarakat kita yang masih tak kunjung dewasa.

Semoga mereka, dan kita juga, dapat segera bangun dari tidur nyenyak ini, dan segera menyadari bahwa untuk menghadapi tantangan milenium ini, kita harus membangun keadaban yang sejati, dengan kerja keras dan ketulusan, penghargaan kepada sesama, kerja sama, dan sikap progresif lainnya.

Read More..

Rabu, 15 Juli 2009

Inspirasi dari Kaliandra dan Malang

Begitu mobil yang saya tumpangi tiba di PPPTK VEDC Malang, malam itu saya kembali ke keramaian kota. Lampu-lampu bertebaran dari bangunan-bangunan dan kendaraan yang lalu lalang, dan suara binatang-binatang malam tertimbun deru mesin kendaraan. Saat saya melangkah ke kamar tempat menginap di komplek VEDC, suasana menjadi sedikit agak senyap. Komplek VEDC sangatlah luas, berisi bangunan-bangunan tempat praktik pendidikan yang bermacam-macam dalam bidang otomotif dan elektronika. Kamar tempat saya menginap terletak di sudut komplek di bagian belakang, sehingga dari halaman depan komplek, saya harus berjalan agak lama ke sudut belakang.

Di malam hari, VEDC beristirahat dari kesibukannya, dan hanya menjadi tempat istirahat bagi alat-alat praktik dan sejumlah peserta pelatihan yang kebetulan sedang dilaksanakan di salah satu unit pelaksana teknis tempat penggemblengan para tenaga kependidikan di lingkungan Depdiknas itu. Di balik pagar yang memanjang sepanjang sisi barat VEDC, kadang terdengar suara pengeras suara yang menyebut nama bus dan trayeknya dengan setengah berteriak. Memang, di sebelah barat komplek VEDC, terminal Arjosari, terminal terbesar di kota Malang, nyaris selalu hidup 24 jam.

Saat melangkah menyusuri lorong-lorong yang panjang dan beratap, di antara lelah, pikiran saya masih terus teringat dengan tiga sesi yang saya ikuti hari itu. Tiga sesi di hari Selasa (16/6) itu dilaksanakan di Kaliandra, di Dusun Gamoh, Desa Dayurejo, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan. Sekali lagi, kunjungan saya ke Kaliandra memberi inspirasi banyak hal. Seharian di Kaliandra, saya tidak saja disuguhi dengan pemandangan, semangat, dan keramahan yang membuat pikiran saya ke mana-mana. Bersama para trainer Depdiknas, hari itu saya berdiskusi dengan Om Didit bersama lima orang anak dari Sanggar Alang-Alang Surabaya, Mas Rosek Nursahid dari PWEC (Petungsewu Wildlife Education Center) dan ProFauna, dan Mas Prigi Arisandi dari Ecoton (Ecological Observation and Wetlands Conservation).

Acara seharian di Kaliandra ini adalah bagian dari kegiatan Training of Trainers Education for Sustainable Development: Climate Change Education Resources Project (CCERP) yang dilaksanakan oleh PMPTK Depdiknas bekerja sama dengan British Council Jakarta 15-19 Juni 2009. Alhamdulillah saya bisa mengikuti kegiatan ini sebagai “penggembira” atas undangan British Council. Kegiatan ini bertujuan untuk menyusun modul pembelajaran yang mengintegrasikan berbagai disiplin pelajaran di sekolah dengan perspektif pendidikan lingkungan. Para peserta sebelumnya sudah dibekali berbagai macam wawasan tentang pendidikan lingkungan, dan Selasa kemarin, di Kaliandra, mereka mendapatkan pengayaan bahan.

Selasa kemarin kami berangkat ke Kaliandra dari VEDC Malang pada pukul 08.15 WIB. Perjalanan ditempuh sekitar satu jam. Tiba di Kaliandra, kami langsung disuguhi makanan ringan dan minuman khas ramah lingkungan. Setelah ada penyambutan singkat dari Kaliandra, rombongan kemudian dibagi dalam tiga kelompok untuk berkeliling komplek Kaliandra. Meski sudah pernah satu minggu di Kaliandra, saya tetap ikut berkeliling menikmati udara segar dan pemandangan hijau yang menyejukkan. Acara keliling Kaliandra berakhir jelang makan siang.

Sesi diskusi yang pertama dimulai setelah kami makan siang. Menurut jadwal, sesi pertama yang akan diisi oleh Sanggar Alang-Alang Surabaya akan mencoba memperkaya kami dengan perspektif sosial dan budaya. Saya yang terbilang tak pernah menonton televisi sejak tiga tahun terakhir dan jarang membaca koran dengan cermat tak pernah bertemu dengan nama Sanggar Alang-Alang. Akan tetapi, saat Om Didit Hape, pengelola Sanggar Alang-Alang, mulai menceritakan latar belakang dan aktivitas Sanggar, perhatian saya langsung terpaku untuk tidak melewatkan kisah-kisah menarik yang dipaparkannya. Presentasi Sanggar Alang-Alang ini diselingi dengan permainan dan aktivitas musik yang menyenangkan.

Sanggar Alang-Alang yang dikelola Om Didit berusaha memberikan pendidikan alternatif untuk anak-anak jalanan di Surabaya. Saat ini, lebih 160 anak sehari-hari bersama Om Didit dengan segala aktivitas kependidikannya. Saya membayangkan, Sanggar Alang-Alang ini mirip dengan tempat rehabilitasi dan reorientasi anak-anak yang berkeliaran di jalanan. Memang, persoalan anak-anak jalanan di kota-kota besar di Indonesia belakangan menjadi problem tersendiri yang tak kunjung menemukan pemecahan konkret dan radikal.Dari presentasi dan kisah Om Didit, yang diperkuat dengan kesaksian lima anak yang menyertainya, saya dapat merasakan bagaimana komitmen dan kerja keras Om Didit menyelamatkan masa depan anak-anak yang sebelumnya hidup dalam suram itu. Problem sosial yang begitu akut telah menempatkan anak-anak itu di jalanan, menjadi liar, tak berpendidikan, dan bahkan dieksploitasi oleh orangtua mereka. Di sisi yang lain, anak jalanan telah tertempeli berbagai stigma negatif dalam masyarakat: bahwa mereka itu jorok, jahat, tak tahu sopan santun, dan semacamnya.

Di Sanggar Alang-Alang, Om Didit berusaha menghidupkan kembali sisi-sisi manusiawi anak jalanan. Om Didit berupaya menghidupkan kembali harapan mereka yang redup. Om Didit mengembalikan harga diri anak-anak tak berdosa itu sehingga di masa depan mereka dapat hidup bermasyarakat dengan baik.

Om Didit menjelaskan empat hal mendasar yang ingin ditanamkan di Sanggar Alang-Alang: etika, estetika, norma, dan agama. Keempat hal itu secara sederhana diterjemahkan menjadi: tahu sopan santun, tidak jorok dan menjaga kebersihan, taat peraturan, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama. Keempat hal ini secara kuat ditanamkan di antara berbagai kegiatan kependidikan Sanggar yang secara sederhana dibagi menjadi tiga jenjang: Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Pendidikan Anak Usia Sekolah (PAUS), dan Pendidikan Anak Usia Remaja (PAUR). Saat anak-anak itu sudah berusia 18 tahun, mereka harus meninggalkan Sanggar. Mereka yang keluar dari Sanggar dianggap lulus jika mereka telah dapat bekerja dan mandiri secara ekonomi.

Pendidikan di Sanggar diarahkan untuk dapat membumi. Karena itu, pada tingkat remaja, anak-anak diajak untuk mendiskusikan peristiwa-peristiwa yang hangat dibicarakan masyarakat. Anak Sanggar tidak diwajibkan sekolah formal. Akan tetapi, jika mereka tetap mau bersekolah, baik itu dengan mengikuti Kejar Paket A/B/C, mereka diberi dukungan.

Saat sesi tanya-jawab, ada yang menanyakan tentang relasi anak-anak dan Om Didit dengan para orangtua anak-anak jalanan itu. Dari penjelasan Om Didit yang kemudian disambung dengan penjelasan kelima anak yang bersama Om Didit, saya mendapatkan kesimpulan bahwa ternyata kepedulian dan proses perjuangan Om Didit di satu sisi dapat pula menghidupkan semangat para orangtua anak-anak jalanan yang kebanyakan para preman atau orang-orang yang tersisih dan tertekan secara sosial-ekonomi. Setiap hari Jum'at, misalnya, Om Didit bersama orangtua dan anak-anak Sanggar secara khusus mengagendakan kegiatan pelajaran agama di Sanggar.

Mendengarkan kisah dan pengakuan kelima anak yang menyertai Om Didit, yakni Ghea (15), Silvi (15), Mujil (14), Tomi (15), dan Bambang (16), mata saya seperti dibukakan kembali dengan berbagai agenda sosial yang harus dikerjakan: anak-anak yang terlantar dan tak memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang baik dan mencukupi serta menyiapkan diri menghadapi tantangan dan problem zaman yang tak terkirakan. (Tidakkah mereka juga ada di sekitar kita?)

Penuturan kelima anak ini menjadi contoh tentang kerasnya kehidupan perkotaan pada khususnya. Bambang mengatakan pernah mengamen selama dua bulan sehingga dia berhenti dari sekolah saat dia masih duduk di bangku kelas dua SD. Dia mengamen atas perintah orangtuanya, dan jika dia tidak mau mengamen, dia dipukul. Sementara itu, Tomi, jika mengamen, biasanya baru satu minggu pulang ke rumah. Silvi menceritakan kesan yang mendalam sejak dia ikut Sanggar, sehingga dia menemukan tempat berbagi dan menemukan kasih sayang yang tak dia dapatkan di rumahnya. Mujil, yang mengaku dulu termasuk nakal, setelah masuk Sanggar merasa menemukan banyak hal selain ilmu dan pengalaman. Ghea, yang mengaku tomboy, merasa menemukan kembali kasih sayang orangtuanya setelah ia bergabung di Sanggar dan menampakkan perubahan sikap yang positif.

Mengikuti sesi presentasi dari Sanggar Alang-Alang ini, banyak peserta yang tampak terharu. Kehidupan saat ini mungkin telah menipiskan kesempatan kita untuk sejenak berempati dengan orang-orang malang di sekeliling kita.

Jika sesi pertama ini seperti menceritakan tentang nestapa kehidupan anak-anak jalanan, pada sesi berikutnya, kami berdiskusi dengan Mas Rosek dari PWEC/ProFauna. Mas Rosek dengan kedua organisasinya itu mempunyai perhatian dan kepedulian pada penyelamatan satwa liar. Akibat perubahan iklim, kehidupan dan keberlangsungan satwa liar saat ini terancam. Perubahan iklim mengancam mereka karena satwa liar memiliki kemampuan adaptasi (survival) yang berbeda dengan manusia. Elang dari kawasan negeri utara, saat di sana musim dingin, akan bermigrasi ke wilayah tropis/selatan. Akan tetapi, jika di selatan ternyata cuacanya tak lagi panas, tentu mereka akan menghadapi masalah. Mas Rosek bercerita tentang kegiatannya bersama jaringan peduli satwa liar lainnya yang pernah mencoba mengamati jalur migrasi elang-elang itu, dan bagaimana mereka terganggu oleh perubahan iklim.

Keterancaman satwa liar ini senyatanya juga adalah ancaman bagi manusia, karena dalam pelajaran Biologi kita diajari tentang rantai makanan; di situ dijelaskan bahwa keterancaman satu jenis hewan atau tumbuhan dapat memberi pengaruh pada manusia. Saat satu spesies ikan kecil di lautan terancam punah, berarti akan ada satu rantai yang terputus, dan itu berarti mengancam keseimbangan ekosistem laut. Nah, hal semacam ini sebenarnya juga berarti merupakan satu ancaman bagi nelayan, tepatnya pada sumber penghasilan nelayan, dengan kemungkinan akan berkurangnya jenis dan jumlah ikan yang biasa mereka tangkap setiap hari.

Mas Rosek bersama PWEC berusaha mendorong masyarakat untuk peduli terhadap kelangsungan hidup satwa liar ini. Bersama rekan-rekannya, dia mempromosikan sikap hidup yang bersahabat dengan satwa liar, menyebarkannya ke berbagai komunitas dan masyarakat luas.

Sesi ketiga berlangsung setelah makan malam. Saya agak telat di sesi ini karena saat istirahat shalat Maghrib, saya meninggalkan Kaliandra untuk berkunjung ke rumah teman tak jauh dari Kaliandra.

Di sesi ketiga ini, Mas Prigi menceritakan aktivitasnya di Ecoton yang fokus pada upaya penyelamatan sungai. Satu poin paling menarik yang dapat saya simpulkan dari penuturan Mas Prigi adalah pernyataan bahwa selama ini ruang partisipasi masyarakat untuk ikut mengontrol sumber daya alam agar dapat tetap berkelanjutan cenderung dihadang oleh aturan-aturan pemerintah. Nah, Mas Prigi bersama Ecoton berupaya untuk memperluas ruang partisipasi bersama berbagai perangkat pendukungnya itu, dengan fokus pada sungai. Mas Prigi bercerita tentang pencemaran sungai di Surabaya, sehingga impian masa lalunya tentang mandi di sungai sudah tak bisa dimiliki oleh generasi anak-anak masa kini. Manfaat sungai sebagai sumber air bersih menjadi surut gara-gara pencemaran dari limbah industri dan masyarakat yang tak diberi ruang untuk ikut peduli dan berpartisipasi menjaga sungai.

Pada titik inilah Mas Prigi melakukan berbagai kegiatan advokasi sungai ke berbagai komunitas, terutama mereka yang hidup berdampingan dengan sungai. Yang menarik, Mas Prigi juga bergerak ke sekolah: menanamkan kesadaran kecintaan untuk menjaga sungai kepada mereka yang muda, karena merekalah yang sebenarnya akan mendapatkan dampak buruk dari situasi sekarang ini. Mas Prigi bercerita bahwa ia secara khusus bekerja sama dengan satu sekolah yang fokus pada upaya pelestarian sungai. Mas Prigi, yang dalam presentasinya tampak selalu berapi-api, menegaskan bahwa dengan keterlibatan para muda ini, mestinya mereka yang tua-tua malu karena hanya mewariskan kerusakan pada anak cucunya.

Secara agak akademik—tapi sederhana—Mas Prigi memperkenalkan satu cara pengamatan tingkat ketercemaran sungai dengan meneliti jenis binatang yang masih bisa bertahan hidup di sungai itu. Jadi ada semacam tabel yang menunjukkan gradasi tingkat ketahanan binantang sungai terhadap pencemaran. Di level teratas, salah satu binatang yang paling tahan dari pencemaran adalah cacing, dan yang paling rentan adalah udang. Saya lalu jadi teringat di salah satu sumber air di dekat rumah saya yang dulu menjadi salah satu tempat kesukaan saya untuk bermain di masa kecil. Di hulu, dekat sumber mata air, banyak sekali udang. (Apakah sekarang masih ada?)

Tiga sesi diskusi di Kaliandra ini sungguh memberi inspirasi tentang berbagai hal. Saya kira peserta pelatihan yang lain juga merasakan hal yang serupa.

Tiga hari berikutnya acara pelatihan mulai difokuskan pada upaya penyusunan modul suplemen untuk pengintegrasian pendidikan lingkungan di sekolah. Sebelum masuk ke situ, Rabu pagi dan siang masih ada materi lagi tentang Green Map (Peta Hijau) yang tak kalah menginspirasi, serta pemaparan dari Ibu Sari Oktafiana dari Sekolah Ciputra.

Saat penyusunan modul suplemen, saya mencoba bergabung di tim SMA, sambil berusaha berbagi pengalaman saya bergiat di kegiatan pendidikan lingkungan di SMA 3 Annuqayah. Pada mulanya, saya merasakan bahwa kami kesulitan untuk mencari pintu masuk, bagaimana agar pendidikan lingkungan dapat benar-benar terintegrasi ke dalam kurikulum sekolah. Yang menjadi tantangan di sini adalah soal integrasi, dalam pengertian bahwa pendidikan lingkungan tidak hanya menjadi isu bidang studi tertentu, tapi melibatkan beberapa bidang studi. Tantangan paling konkret yang tampak sejak awal adalah bagaimana guru-guru bidang studi dari mata pelajaran yang akan diintegrasikan dalam satu proyek pendidikan lingkungan ini siap menerima dan berkomitmen untuk mengkampanyekan isu lingkungan itu di bidangnya masing-masing. Tidak hanya sebagai tempelan, tapi berangkat dari kepedulian dan tanggung jawab. Artinya, ada ideologi, nilai, dan kesadaran. Pada tingkat yang paling sederhana, guru-guru itu pertama harus duduk bersama dulu untuk menyamakan visi, menyusun strategi, dan secara teknis memanfaatkan modul suplemen seperti yang sedang disusun ini untuk menjadi perangkat teknis yang mendukung.

Hari Kamis (18/6), masing-masing tim sesuai tingkat pendidikan seharian bekerja keras untuk menyelesaikan modul suplemen dan perangkat pembelajaran pendukung. Dengan segala keterbatasan yang ada, akhirnya keesokan harinya, sebelum penutupan, draft hasil kerja masing-masing tim dipresentasikan untuk diberi masukan sekadarnya. Dibilang sekadarnya karena draft modul suplemen ini masih akan digodok oleh tim penyunting sebelum akhirnya dipresentasikan dalam suatu forum yang lebih komprehensif dan melibatkan banyak pihak, termasuk dari kementerian pendidikan nasional.

Setelah satu bulan dari pelatihan di Malang, saya memang masih belum mendapat kabar lebih terperinci soal hasil dan tindak lanjutnya. Meski demikian, workshop di Malang ini adalah satu langkah awal yang strategis untuk memasukkan isu pendidikan lingkungan ke sekolah. Memang, ada kawan yang agak meragukan keberhasilan langkah ini, mengingat pola dan budaya di lingkungan sekolah negeri yang cenderung formal, birokratis, top-down, dan semacamnya, yang menyulitkan berkembangnya improvisasi dan pengayaan pendidikan yang lebih substansial semacam isu pendidikan lingkungan ini. Meski demikian, upaya melalui jalur formal tentu akan bernilai penting.

Tanpa membayangkan akan seperti apa nanti hasilnya, buat saya pribadi, workshop di Malang ini memberi banyak inspirasi untuk pengembangan isu pendidikan lingkungan di lembaga tempat saya bergiat (Annuqayah). Selain berbagai sesi yang disajikan, perbincangan dan diskusi pribadi dengan beberapa orang di forum ini sungguh memberikan pencerahan tentang banyak hal, tak hanya soal pendidikan lingkungan, tapi juga tentang pendidikan sebagai penguatan peradaban masyarakat. Dalam konteks pendidikan lingkungan, strategi baru yang lebih kaya perlu terus dikembangkan, agar sikap hidup yang lebih bersahabat dan ramah lingkungan dapat tersebar, atas dasar rasa syukur atas anugerah Allah swt.

Sumenep-Parung
Juni-Juli 2009

Tulisan terkait:
>> Sepekan di Kaliandra

Read More..