Sabtu, 06 Desember 2008

Tarian Tetes Hujan

Hujan turun, tes tes tes tes, menetes satu-satu jatuh perlahan ke bumi. Lama kelamaan cucurannya berakselerasi. Derai-derai air seumpama jarum-jarum putih yang luruh semakin cepat itu seperti ingin menyamai kecepatan entakan drum double pedal Portnoy atau Ulrich.

Ada tetes hujan yang langsung jatuh ke tanah. Ada tetes hujan yang jatuh ke genteng atau atap seng, lalu mengalir deras melalui saluran air atau pancuran, jatuh meluncur ke tanah, sehingga menghasilkan bunyi yang lebih tebal. Ada tetes hujan yang terjatuh ke plester, atau di tembok semen. Ada pula tetes hujan yang terjatuh di rerimbunan daun pohon asam.

Dari serambi timur rumah depan kamar, menghadap ke timur, tampak air hujan yang terjun bebas dari langit itu akhirnya tiba di landasan terakhir mereka. Di pagar tembok dan di genteng, air-air yang menetes itu jatuh dan memercik. Percikan-percikan itu membentuk huruf-huruf “V” imajiner yang berjejer ke samping berdesakan. Garis-garis hurufnya putus-putus. Titik jatuh air menjadi semacam poros tempat huruf “V” itu berjangkar. Ada banyak huruf “V” yang ujung-ujungnya menempel di titik yang sama dan memutar—entah berapa jumlahnya.

Tetesan-tetesan air yang melayang di udara terjun dengan derajat kemiringan tertentu, mengikuti embusan angin. Jika hujan turun deras dengan angin yang juga keras, maka terpaan angin seperti mempermainkan tetes-tetes hujan itu sehingga kadang meliuk ke kanan dan ke kiri. Air hujan seperti itu tampak lincah menari, lalu rebah menyatu ke bumi.

Tetes-tetes hujan itu lalu berhimpun di tanah, mencari dataran paling rendah, kembali ke rahim bumi—tempat asal mereka. Begitulah air—yang berhulu dan bermuara. Begitulah alam—saling mengingatkan tentang hukum kehidupan.

0 komentar: