Senin, 16 Februari 2004

Merawat Khazanah Budaya Lokal

Setelah diterbitkannya Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, banyak yang berharap bahwa konsep otonomi daerah yang sudah diatur oleh UU No. 22/1999 terutama dalam bidang pendidikan akan dapat dibicarakan dengan lebih leluasa oleh putera-putera daerah sendiri. Ada sebentuk harapan bahwa kekayaan nuansa dan kekhasan warna khazanah lokal di daerah akan dapat dijelajahi dengan lebih mendalam untuk kemudian dikembangkan lebih lanjut dalam praktik pendidikan di daerah.


Namun demikian, sejauh ini perbincangan soal pendidikan di daerah yang secara khusus ditangani oleh Dewan Pendidikan masih banyak terfokus pada masalah-masalah teknis seperti ketersediaan guru di sekolah terpencil, bantuan dana pendidikan, dan semacamnya. Mungkin saja ini adalah persoalan-persoalan yang memang mendesak di daerah, setelah sekian lama sentralisme politik Orde Baru memburatkan dampak yang mewujud dalam terlantarnya pengelolaan pendidikan terutama di daerah pelosok (baca: pemerataan pendidikan).


Tulisan singkat ini ingin membuka kembali perbincangan tentang salah satu segi dari otonomi pendidikan di daerah—yang salah satu wujudnya adalah dibentuknya Dewan Pendidikan—dalam hubungannya dengan pengelolaan khazanah lokal, khususnya di Kabupaten Sumenep. Perlu ditegaskan bahwa tulisan ini berpegang pada asumsi bahwa praktik pendidikan tidak dapat dilepaskan dari aktivitas pembudayaan. Pendidikan bukan hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi berupa penyediaan tenaga kerja. Usaha pendidikan bukan hanya dilakukan untuk menjadi pelayan bagi sistem ekonomi kapitalistik, karena bila demikian maka pendidikan hanya akan terjerat dalam jaringan sistem ketergantungan global yang menjadi ciri hubungan internasional saat ini (Abdurrahman Wahid, 1984, “Pembebasan Melalui Pendidikan: Punyakah Keabsahan?: Tinjauan Sepintas Atas Sebuah Pendekatan”, kata pengantar dalam buku Paulo Freire, Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan, PT Gramedia, Jakarta, hlm. xvi-xvii).


Bila pendidikan dilihat sebagai kerja kebudayaan, maka salah satu konsekuensinya dalam konteks otonomi daerah adalah perlunya penggalian khazanah kebudayaan lokal untuk dijadikan titik-tolak praktik pendidikan sekaligus dengan menjadikan pendidikan sebagai media sosialisasi khazanah kebudayaan lokal lintas-generasi. Ini tentu saja mengandaikan tersedianya bahan-bahan mentah yang nantinya akan diolah baik untuk kepentingan penanganan pendidikan di daerah.


Contoh konkret yang bisa diajukan dalam konteks Sumenep di sini adalah persoalan sejarah. Sumenep memiliki sejarah yang cukup panjang yang merentang berabad-abad hingga kini. Sejarah suatu masyarakat sebagai bagian dari wujud keberadaban manusia dapat menjadi bagian dari kesadaran warganya untuk bertindak dan mengelola tanah kelahirannya. Sejarah memuat nilai dan menghimpun berbagai kearifan. Persoalannya saat ini sejarah lokal mengalami himpitan luar biasa dari arus globalisasi untuk menemukan ruang sosialisasinya yang efektif. Berbagai fasilitas sosial yang dapat merujukkan pengalaman aktual para generasi baru kepada tatanan nilai para pendahulunya kurang mendapat tempat yang cukup diperhatikan. Museum-museum sudah terlalu kering dan hambar, pelajaran sejarah lokal di sekolah tidak ditemukan, dan kesenian-kesenian daerah kalah dengan musik-musik populer. Pun, tak ada lagi cerita sebelum tidur tentang legenda-legenda masyarakat daerah, karena para orang tua sudah digantikan perannya oleh sang kotak ajaib bernama televisi (M. Mushthafa, “Menghargai Sejarah”, Jawa Pos, 13 April 2003).


Sungguh menggembirakan ketika tersiar kabar melalui situs resmi Pemda Sumenep (www.sumenep.go.id, update berita tanggal 3 September 2003) bahwa Pemerintah Daerah melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan akan meluncurkan buku sejarah tentang Sumenep. Buku sejarah yang disusun melibatkan tokoh-tokoh budaya terkemuka seperti H. D. Zawawi Imron, Edi Setiawan, RB. Ahmad Rifa’i, dan sejarawan Edi Mukarram ini akan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang kurang cukup menemukan media memadai untuk menyelami sejarah masyarakatnya. Menurut penulis, buku sejarah semacam ini berfungsi tidak hanya “untuk meluruskan kebenaran sejarah Sumenep, karena dilihat dari beberapa sumber buku sejarah yang ada terjadi kesimpang siuran,” seperti dinyatakan oleh Kepala Dinas Pariwisaata dan Kebudayaan Sumenep, Iskandar Sulkarnain, tapi juga dapat menjadi pengaya wawasan dan sudut pandang sebagai suluh untuk membawa Sumenep ke masa depan yang lebih gemilang.


Berkaitan dengan hal ini, tidak ada salahnya bila kemudian dibuka kemungkinan dimanfaatkannya buku sejarah Sumenep tersebut untuk dijadikan sebagai bagian dari pelajaran formal di sekolah di Kabupaten Sumenep. Kemungkinan ini akan menarik dilanjutkan untuk didiskusikan bila menimbang beberapa hal (M. Mushthafa, “Pendidikan Nilai dan Khazanah Lokal”, Kompas, 24 April 2003). Pertama, dari segi kegunaan, dimasukkannya pelajaran sejarah lokal (Sumenep) di sekolah akan dapat menjadi bagian dari proses sosialisasi yang saat ini cukup sulit menemukan media yang berdaya guna. Khazanah sejarah yang juga bisa disebut tradisi ini pada titik tertentu dapat menjelma visi dan orientasi bersama yang dapat mengarahkan gerak maju masyarakat. Dalam ranah tersebut pula dimungkinkan terjadinya proses dialog-kreatif baik bersifat personal-eksistensial maupun sosial-kolektif antara kondisi konkret kekinian yang dihadapi masyarakat dan nilai-nilai keberadaban yang termuat dalam sejarah yang menjadi muasal akar hidup masyarakat itu sendiri. Kedua, saat ini juga telah tersedia sejumlah sumber tentang Madura pada umumnya selain buku sejarah Sumenep yang diterbitkan Pemda tersebut, seperti disertasi Prof. Kuntowijoyo berjudul Madura 1850-1940 yang diterbitkan oleh Penerbit Mata Bangsa Yogyakarta (ulasan tentang buku ini, lihat M. Mushthafa, “Determinasi Ekologi dalam Sejarah Madura”, Sinar Harapan, 13 September 2003), Carok karya Dr. A. Latief Wiyata yang diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta (ulasan tentang buku ini, lihat M. Mushthafa, “Carok, Ketika Malo Tada’ Ajina”, Gatra, 14 April 2002), Lebur yang diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia Jakarta, atau buku klasik Hubb de Jonge yang diterbitkan oleh Gramedia, Madura dalam Empat Zaman.


Belum lagi bila kemudian Pemerintah Daerah Sumenep memiliki political will untuk melibatkan kalangan muda, sebutlah misalnya kalangan mahasiswa, untuk bergabung dalam proses penggalian khazanah lokal ini. Wujudnya bisa dengan menginventarisasi karya-karya akademik atau penelitian semacam skripsi yang berhubungan dengan Sumenep untuk kemudian diolah dan dikumpulkan oleh Pemerintah Daerah. Bila ini dilakukan, akan terjadi keberuntungan ganda (simbiosis-mutualisme) antara pemerintah dan kalangan muda Sumenep: para muda akan merasa dihargai dengan kerja budaya yang dilakukannya dan pemerintah dapat memetik manfaat langsung dari mereka dengan himpunan data dan sejumlah analisis dari beragam perspektif yang bisa saja menjadi bahan pertimbangan untuk kebijakan publik tertentu. Ini berarti, medan partisipasi pembangunan daerah pada umumnya akan diperluas, tidak hanya dengan menjadikan sekelompok tertentu sebagai objek, tapi juga sebagai subjek untuk berbagi sudut pandang dan aspirasi. Hal semacam ini juga diharapkan dapat menarik perhatian para putera muda daerah untuk ikut intens memikirkan masa depan daerahnya, mengembalikan orientasi mereka kepada pembangunan daerah.


Ada arah timbal-balik yang manfaatnya akan dapat dirasakan oleh kedua belah pihak. Ini kira-kira tidak sama misalnya dengan program beasiswa kepada para mahasiswa yang diberikan oleh Pemda Sumenep yang selama ini sudah dilakukan (meskipun ada keluhan bahwa penyebaran informasinya masih kurang terbuka sehingga proses seleksinya kurang kompetitif), tapi tidak dibarengi dengan upaya untuk mengarahkan para penerima beasiswa itu untuk kepentingan daerah (misalnya dengan ditugasi untuk menulis semacam masukan saran atau pemikiran, tentu dengan bobot yang tidak main-main, kepada Pemerintah Daerah).

* * *

Hal-hal yang sudah dipaparkan secara singkat dalam uraian di atas bertolak dari asumsi bahwa saat ini kita sudah memiliki seperangkat aturan, lembaga, maupun juga keleluasaan yang dapat mengakomodasi kekayaan khazanah lokal, terutama dalam bidang pendidikan. Tak ada salahnya bila kemudian perangkat-perangkat tersebut lebih dimaksimalkan fungsi dan kegunaannya, dan dijadikan momentum untuk memperluas medan partisipasi dan jangkauan sudut pandang tentang pembangunan (pendidikan dan kebudayaan) di daerah. Khazanah yang terpendam sebaiknya terus gigih digali, dan apa yang sudah dimiliki terus dimanfaatkan dan ditindaklanjuti untuk dijelajahi nilai-nilai kegunaannya di masa kini.


Pada saat kecanggihan teknologi informasi dan globalisasi menyedot massa ke dalam arus global, amatlah penting untuk lebih menancapkan akar kedirian kita ke ranah tradisi yang lebih kukuh. Dalam persoalan ini, kita tidak bisa berharap bahwa tugas semacam ini akan dilakukan oleh orang lain.


Tulisan ini dimuat di Harian Radar Madura, Minggu, 15 Februari 2004.

0 komentar: