Senin, 30 Juli 2007

Saksi Mata: Melawan Pembungkaman

Judul buku: Saksi Mata (Edisi Kedua)
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Penerbit: Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta
Cetakan: Keempat, 2002
Tebal: 166 halaman



Karya sastra oleh kebanyakan orang dipandang sebagai karya fiksi belaka; ia dianggap sebagai semata rekaan yang tak terlalu berkaitan dengan kehidupan nyata. Karya sastra dipandang seolah terlepas dari akar realitas kehidupan sehari-hari, dan memiliki dunia sendiri yang otonom.


Persepsi semacam ini jelas keliru. Karya sastra, seperti produk kebudayaan lainnya, tidaklah hadir dalam ruang kosong. Ia berdialog dan merefleksikan berbagai aspek faktual yang ada di masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Menurut Pierre Bourdieu, sebuah karya sastra, atau kesenian pada umumnya, selalu melewati suatu ruang dalam hubungannya dengan ruang-ruang yang lain. Bourdieu mencatat setidaknya ada tiga ruang yang menjadi variabel penting dalam sebuah produk kesusastraan (dan kesenian). Pertama, medan kekuasaan (the field of power), yaitu perangkat kekuasaan ekonomi-politik yang merupakan cerminan hasil pertarungan kekuasaan di antara sejumlah elite; kedua, medan literer (literary field), yaitu universum literer yang bersifat otonom yang mengikat seorang pengarang dalam bekerja dan berkarya terkait dengan nilai-nilai estetis; ketiga, the genesis of the producers’ habitus, yakni disposisi yang dimiliki setiap penulis yang menentukan wataknya dan selanjutnya menentukan genre kesusastraan yang diambilnya dalam berkompetisi di dalam medan sastra (Dhakidae, 1995: 77).

Pergulatan karya sastra dengan kekuasaan telah melahirkan dinamika yang cukup kaya. Dinamika dan pertemuan karya sastra dan kekuasaan itu cukup menarik untuk dicermati terutama jika ia lahir dalam sebuah lingkungan sosial-politik yang represif, di tengah kekuasaan negara yang begitu menggurita dan sangat berhasrat untuk mengendalikan seluruh arus informasi yang beredar di masyarakat. Dalam situasi semacam ini, pers dan media massa pada umumnya diawasi dengan ekstra ketat agar segala produk dan informasi yang disebarkannya sesuai dengan selera penguasa.


Lingkungan sosial-politik semacam ini di satu sisi telah banyak menghasilkan berbagai bentuk perlawanan beberapa kelompok masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap penguasa (negara). Ada yang menggunakan media bawah tanah untuk menularkan gagasan-gagasan perlawanan yang didistribusikan secara sembunyi-sembunyi. Ada yang mencetak selebaran gelap. Ada pula yang memanfaatkan teknologi internet.


Di sisi yang lain, karya sastra kadang juga menjadi media alternatif untuk menyiarkan gagasan-gagasan bernuansa perlawanan. Dalam ruang yang lebih spesifik, karya sastra kadang juga dapat menjadi media untuk menuturkan kembali berbagai peristiwa aktual yang dalam media-media publik yang bersifat resmi jarang atau sulit diturunkan. Jurnalisme kadang menghadapi tantangan yang cukup rumit untuk dapat bersuara secara terbuka, terutama tema yang terbilang sensitif. Tantangan itu tidak saja berhubungan dengan kepentingan untuk menjaga stabilitas politik (kekuasaan) kelompok penguasa (negara), tetapi juga dapat berupa kepentingan untuk menjaga stabilitas bisnis penguasa modal.


Pada titik semacam ini, yakni ketika jurnalisme menjadi ompong, atau bahkan dibungkam, sastra harus bicara. Seno Gumira Ajidarma menegaskan ini secara eksplisit dalam salah satu esainya. Dalam esainya yang lain, yang kemudian terkumpul dalam satu buku kumpulan esai, Seno menegaskan bahwa jurnalisme harus sadar dengan keterbatasannya. Keterbatasan ini dapat disebut sebagai sebuah ruang kosong yang dalam pengertian tertentu menyiratkan belum terpenuhinya idealisme jurnalisme yang sebenarnya, yakni mengungkapkan fakta kemanusiaan yang bernilai penting secara jujur.

Jurnalisme, dengan demikian, harus kritis terhadap keterbatasannya, dan itu berarti rumus-rumus lama junalisme harus dibongkar dan diperiksa kembali. Memang ada “rubrik-rubrik kasihan” di mana laporan kehidupan para pengungsi atau orang-orang menderita dituliskan, Tetapi masalahnya bukan di situ: para korban masih hanya dianggap sebagai pelengkap penderita—sesuatu yang sudah sewajarnya ada. Menurut saya pandangan semacam ini harus diubah. Para korban harus menjadi prioritas utama, karena tanpa berpihak kepada mereka yang tertindas dan menderita, Jurnalisme akan kehilangan makna sebagai media dalam arti yang sesungguhnya: mengusahakan segalanya demi harkat manusia. Itulah yang saya maksudkan sebagai ruang kosong dalam jurnalisme Indonesia (Ajidarma, 2005: 221-222).


Dalam ungkapan yang lain, kutipan ini menyiratkan bahwa Seno sedang mengkritik dan melawan historisisme, yakni sejarah yang hanya dicipta bagi pembenaran kekuasaan. Sering dikatakan bahwa sejarah adalah milik para pemenang, bukan milik para pecundang. Sejarah berada dalam genggaman tangan penguasa. Kaum pinggiran, para kere, para korban, dan mereka yang ditindas dan dikalahkan, tak mendapatkan tempat dalam sejarah. Tak ada ruang yang disisakan untuk mengangkat kisah-kisah mereka ke permukaan.


Sepertinya, ruang kosong semacam inilah yang oleh Seno kemudian berusaha dimasuki dan dijelajahi lebih mendalam serta lebih subtil, sehingga dari tangannya lahirlah banyak cerita pendek bertema sosial-politik yang berupaya mengolah fakta yang kurang tersentuh dalam dunia jurnalisme secara penuh. Buku kumpulan cerita pendek berjudul Saksi Mata ini adalah salah satunya.

* * *
Saksi Mata edisi kedua memuat enam belas cerita pendek yang sebelumnya dimuat di berbagai media massa, meliputi Harian Kompas (8 cerpen), Suara Pembaruan (2 cerpen), Republika (2 cerpen), Majalah Matra, Horison, Basis, dan Hidup (masing-masing 1 cerpen). Keenam belas cerpen ini ditulis dalam masa pemerintahan rezim Orde Baru, yakni dari Maret 1992 hingga Agustus 1997.


Tidak seperti pada edisi pertamanya yang terbit pada tahun 1994, dalam Saksi Mata edisi kedua ini Seno memberikan pernyataan agak eksplisit melalui catatan pengantarnya bahwa cerpen-cerpen dalam buku ini berkaitan dengan Insiden Dili 12 November 1991 (Ajidarma, 2002: vii). Memang, secara lebih lugas dan komprehensif Seno telah menulis sebuah pemaparan yang utuh tentang konteks proses kreatif cerpen-cerpen dalam Saksi Mata. Ceritanya bermulai dari ketika Seno sebagai pemimpin redaksi Majalah Jakarta Jakarta menurunkan laporan tentang peristiwa yang dalam pemberitaan luar negeri kemudian disebut The Dili Massacre itu, dan kemudian mendapat teguran keras dari pihak militer, hingga akhirnya oleh manajemen perusahaan dicopot dari Jakarta Jakarta selama hampir dua tahun. Selanjutnya, secara lebih eksplisit Seno menulis:

…akhirnya saya sendiri menuliskan kembali Insiden Dili, dalam berbagai bentuk cerita pendek. Tentu saja tentang cerita pendek itu sendiri tidak penting, karena tujuan saya menuliskannya kembali bukan untuk mengejar kualitas sastra, melainkan mengungkap kembali peristiwa itu, sebagai suatu perlawanan.
...Pilihan perlawanan saya jatuh pada hal-hal yang sensitif, karena saya pikir hanya dengan cara itu saya bisa menunjukkan betapa Insiden Dili bukan hanya tidak bisa dilupakan—seperti berita sepenting apa pun yang akan kita lupakan ketika mendapat berita penting yang lain, dari hari ke hari—tapi bahkan saya abadikan. Karena memang di sanalah hakikat perbedaan jurnalistik dan sastra. Saya dengan sadar ingin membuat pembungkaman itu tidak berhasil. Saya melawan (Ajidarma, 2005: 97-98).


Meskipun Seno menyatakan bahwa dalam menulis cerpen-cerpen dalam Saksi Mata ini ia tak bermaksud untuk mengejar kualitas sastra, kita tetap dapat merasakan bahwa kualitas kesusastraan Seno tetap terjaga. Seno tidak terjebak pada teknik-teknik klise atau bersikap menunggangi plot dengan sedemikian rupa untuk memenuhi tujuan seperti yang dipancangkannya di titik mula.
Dalam cerpen berjudul “Saksi Mata” yang menjadi pembuka sekaligus dipilih menjadi judul sampul kumpulan cerpen ini, Seno mengolah unsur surealisme dengan sarkasme. Cerpen ini menceritakan seorang saksi mata di pengadilan yang datang tanpa mata. Di beberapa bagian cerpen ini, Seno memberikan gambaran yang cukup detail tentang bagaimana mata orang itu berlubang dan mengucurkan darah ke sekujur tubuhnya hingga ke lantai ruang pengadilan. Untuk memperkuat deskripsi ini, Seno menyajikan petikan dialog antara Saksi Mata dan Hakim tentang bagaimana Saksi Mata itu kehilangan matanya.

“Saudara Saksi Mata.”
“Saya Pak.”
“Di mana mata Saudara?”
“Diambil orang Pak.”
“Diambil?”
“Saya Pak.”
“Maksudnya dioperasi?”
“Bukan Pak, diambil pakai sendok.”
“Haa? Pakai sendok? Kenapa?”
“Saya tidak tahu kenapa Pak, tapi katanya mau dibikin tengkleng.”
“Dibikin tengkleng? Terlalu! Siapa yang bilang.”
“Yang mengambil mata saya Pak.”
(Ajidarma, 2002: 3-4)


Dalam petikan ini, Seno menambahkan efek sarkastis penggambaran lubang mata si Saksi Mata itu dengan penjelasan bahwa katanya mata itu diambil untuk dibuat tengkleng. Tengkleng adalah masalah khas Surakarta, semacam sop tulang-belulang kambing dengan tempelan daging di sana-sini. Dalam cerpen berjudul “Manuel”, Seno juga membuat gaya penuturan serupa, ketika menggambarkan seorang nenek yang kulit pipinya diiris dan disuruh ditelannya sendiri mentah-mentah saat diinterogasi (Ajidarma, 2002: 28).
Selain surealisme dan sarkasme yang dibangun dalam “Saksi Mata”, Seno juga berhasil memasukkan unsur kritik cerdas yang cukup halus tapi menohok untuk menunjuk kepada pelaku yang mencederai Saksi Mata itu. Saat ditanya oleh Hakim tentang siapa yang mengambil matanya, Saksi Mata itu menjelaskan:

"Itu lho Pak, yang hitam-hitam seperti di film.”
“Mukanya ditutupi?”
“Iya Pak, cuma kelihatan matanya.”
“Aaah, saya tahu! Ninja2 ‘kan?”
“Nah, itu Pak, ninja! Mereka itulah yang mengambil mata saya dengan sendok!”
(Ajidarma, 2002: 5)


Untuk menegaskan bahwa pelaku yang mencederai Saksi Mata itu adalah pihak militer, Seno melakukan dengan teknik yang cukup canggih. Dalam kutipan di atas, pembaca mendapatkan penjelasan bahwa pelakunya adalah orang berpakaian hitam-hitam ala ninja. Bagi masyarakat awam, ninja tak memiliki konotasi makna apa-apa. Kata “ninja” bagi pembaca umum lebih “netral”, merujuk pada jago silat yang pakaiannya menutupi sekujur tubuhnya dan hanya menyisakan matanya saja untuk melihat. Paling jauh, ninja, seperti sering ditampilkan dalam film-film laga produk Amerika, adalah sekelompok penjahat atau pembunuh bayaran. Pada bagian ini, Seno memberi tanda rujukan pada catatan kaki yang pada akhirnya dapat mengantarkan pembaca untuk merasakan nuansa makna konotatif “ninja” yang sebenarnya dimaksudkan dalam kutipan tersebut. Dalam rujukan catatan kaki pada kata “ninja” di cerpen tersebut, Seno menjelaskan bahwa ninja—yang berasal dari kata ninjutsu—merupakan istilah bagi seni spionase dalam tradisi Jepang. Secara detail, Seno memaparkan bagaimana tradisi ninja ini berkembang di Jepang (Ajidarma, 2002: 11-12). Dengan cukup meyakinkan, secara tidak langsung pembaca digugah bahwa kata “ninja” menurut pemahaman konvensional secara denotatif tidaklah cukup untuk memahami konteks cerita ini. Kata “ninja” ternyata memiliki makna konotatif yang terlalu sulit untuk dipisahkan dengan kelompok intelijen (militer) negara.
Gaya surealis cukup banyak mewarnai cerpen-cerpen dalam buku ini. Cerpen berjudul “Misteri Kota Ningi (atawa The Invisible Christmas)” bertutur melalui tokoh aku, seorang petugas sensus, tentang kejanggalan yang terjadi di kota Ningi, bahwa ternyata dari tahun ke tahun penduduk kota itu semakin berkurang. Seno menggunakan kata “Ningi” untuk merujuk pada kota Dili, ibukota Timor Timur. Mayoritas penduduk Indonesia saat itu mungkin tak bisa langsung mengerti bahwa yang Seno maksud dengan kata “Ningi” adalah kota Dili. Dalam hal ini, Seno menggunakan “bahasa gali” di Yogyakarta, yang rumusnya berdasarkan pada 20 bunyi dalam huruf Jawa hanacaraka, dengan menukar baris pertama berpadanan dengan baris ketiga, dan baris kedua dengan baris keempat (Ajidarma, 2005: 107). Teknik semacam ini cukup menarik, karena berhasil memanfaatkan khazanah kebudayaan lokal untuk menjadi media penyiaran informasi yang terbilang sensitif kepada publik yang lebih luas.


Dalam cerpen ini, Seno mengolah data statistik dari tulisan George Junus Aditjondro tentang populasi Timor Timur untuk ditampilkan kembali sebagai bahan objektif. Melalui tokoh aku, Seno menyajikan angka-angka statistik yang berkecenderungan kian menyusut. Selanjutnya, tokoh aku menggambarkan kejadian-kejadian aneh di kota Ningi berkaitan dengan angka statistik tersebut. Kejadian dimaksud berupa sendok-garpu yang bergerak sendiri, gelas yang tertuang ke mulut yang tak kelihatan, suara orang mandi jebar-jebur namun tak kelihatan orangnya, lalu lintas para makhluk tanpa bentuk yang terus berjalan, dan semacamnya. Di bagian akhir cerita, yang menggambarkan suasana peringatan natal, tokoh aku tinggal sendiri saja. Ia merayakan natal bersama orang-orang yang tak kelihatan.


Kemampuan Seno dalam mengolah data faktual untuk digabungkan secara hidup dalam sebuah karya fiksi memang cukup menarik dan terhitung berhasil. Dari kebanyakan cerpen yang ditulisnya yang memang bercorak demikian—bahkan setelah era reformasi memberikan kebebasan berekspresi yang relatif cukup luas bagi para seniman—para pembaca memang tidak hanya memperoleh suatu cara pandang lain terhadap suatu kejadian faktual, akan tetapi juga mendapatkan suatu impresi mendalam yang dikelola dalam suatu kecanggihan cara bertutur dan berekspresi melalui bahasa yang mampu bermain dengan lincah. Dengan segala keterbatasan sebuah genre cerpen, Seno cukup mampu menampilkan sisi-sisi estetis dalam bercerita dan tidak hanya menunggangi bahasa sehingga menjadi sangat mekanis. Pada sisi lain, keasyikan pembaca mengikuti alur dan permainan bahasa Seno di akhir cerita kerap kali tiba-tiba dikejutkan oleh suatu momen atau kejadian yang mampu menjungkirkan dugaan-dugaan pembaca tentang akhir cerita dan—meminjam ungkapan Hasif Amini (1999: 51)—“menjotos kebiasaan maupun kejemuan kita secara telak, secara jitu”. Dengan gaya ini, ketajaman cerpen-cerpen Seno menjadi semakin tampak.


Teknik memasukkan data faktual ke dalam cerpen memang sudah cukup lihai digunakan Seno. Dalam cerpen berjudul “Darah itu Merah, Jenderal”, yang bercerita tentang seorang Jenderal yang sedang bersantai di kolam renang di rumahnya sambil mengenang masa lalunya yang penuh darah, Seno berhasil memasukkan sebuah kutipan menarik yang diambilnya dari sebuah wawancara faktual. Dalam cerpen ini, kutipan berikut merupakan jawaban si Jenderal atas pertanyaan wartawan tentang kekayaan pejabat militer. Sementara itu, di akhir sebuah petikan jawaban si Jenderal, Seno merujukkannya pada catatan kaki yang menjelaskan bahwa petikan ini dikutip dari wawancara yang dimuat di Jakarta Jakarta rubrik Sebagian Kehidupan.

“Lho, jujur saja, memang begitu. Sekarang saya punya rumah, punya mobil itu semua dikasih. Saya tidak malu. Ada orang datang sambil bilang, ‘Pak ini mobil, terima kasih saya dikasih proyek.’ Saya terima saja, tidak malu.”
(Ajidarma, 2002: 104)


Dalam cerpen tersebut, Seno memberikan penjelasan tentang sumber kutipan yang merujuk pada majalah Jakarta Jakarta tersebut, dengan kalimat penjelas yang mengikutinya, berbunyi: “Namun cerpen ini, tentu saja, tetap sebuah cerpen.” Kalimat ini seperti ingin mementahkan kesan bahwa hal yang tergambar dalam kutipan tersebut memang merupakan fakta yang biasa terjadi dalam dunia militer Indonesia. Akan tetapi, dari plot yang disusun, pembaca seperti akan mengalami kesulitan untuk menganggap hal semacam itu hanya fiktif belaka. Di sini, Seno memanfaatkan data faktual untuk bermain-main dan akhirnya mampu melahirkan ironi dan satir yang cukup tajam.


Selain bercorak surealis, ada pula cerpen realis dalam buku ini yang tak kalah menarik. Cerpen berjudul “Kepala di Pagar Da Silva” berkisah tentang kepala yang tertancap di pagar Da Silva, yang tak lain adalah kepala Rosalina, anak perempuan Da Silva satu-satunya. Sebagian besar cerita berpusat pada dua orang di rumah sebelah Da Silva yang menyaksikan kepala bersimbah darah itu di malam hari, saat jam malam. Dari balik pintu, dua orang itu, yang salah satunya ternyata adalah kekasih Rosalina, saling berbisik, gemas, marah, dan merasa kasihan pada Da Silva jika ia mengetahuinya. Alur cerita kemudian bergerak pada kedatangan Da Silva yang lalu masuk ke rumahnya sendiri. Pembaca tentu menunggu-nunggu momen saat Da Silva menemukan kepala anaknya itu. Tapi Seno masih mempermainkan imajinasi pembaca dengan kelebat pikiran Da Silva tentang istri dan tiga anak laki-lakinya yang sudah terbunuh di medan perang, serta percakapan dua orang tetangganya itu. Cerita ditutup dengan mengambang, ketika setelah hujan reda Da Silva membuka pintu rumahnya, untuk kemudian melangkah keluar. Pembaca dibiarkan melanjutkan sendiri kisah tragis Da Silva yang diteror dengan kepala anak perempuannya itu.


* * *
Insiden Dili 12 November 1991 adalah peristiwa kelam dalam sejarah politik Indonesia. Meskipun pemerintah mengakui hal itu sebagai insiden, yang berarti suatu kejadian yang tak disengaja, dan bahwa kemudian pejabat militer dari wilayah yang bersangkutan ternyata diganti, namun peristiwa tersebut—setidaknya oleh rezim Orde Baru—masih dipandang sebagai tabu karena melukai wajah Indonesia di mata masyarakat internasional. Kita akan kesulitan menemukan pemaparan yang cukup detail tentang peristiwa tersebut dalam catatan-catatan sejarah. Setelah Reformasi, kita menemukan beberapa buku yang menuturkan hal tersebut, meski sekilas, seperti yang dilakukan Anders Uhlin (1998: 223-226) yang mengulas kasus Timor Timur tersebut dalam konteks transnasional politik Indonesia, atau dalam buku M.C. Ricklefs (2005: 590-592, 636-637).


Tentu saja, dibandingkan dengan dua buku ini, Saksi Mata mencatat beberapa kelebihan yang unik dan hanya dimiliki genre cerpen (sastra). Cerpen-cerpen dalam Saksi Mata ini datang dengan mengincar sisi batin pembaca, emosi pembaca, untuk disentuh, digugah, dan dibawa ke suasana tragedi kemanusiaan yang terjadi di Timor Timur. Yang cerdas dan khas, tanpa harus mendapatkan penjelasan tersendiri tentang konteks faktual proses kreatif cerpen-cerpen ini, pembaca dapat menangkap kecerdikan Seno untuk melibatkan data faktual yang relevan dalam karya-karyanya. Memang, cerpen-cerpen dalam Saksi Mata dapat dikatakan sebagai eksprimentasi pertama Seno dalam mengolah data faktual semacam itu. Dalam beberapa karya berikutnya, Seno melakukan hal yang sama untuk beberapa kasus serupa, seperti dalam Jazz, Parfum, dan Insiden (Bentang Budaya, 1996) yang juga berkisah tentang Insiden Dili dengan gaya yang lebih vulgar tetapi diselingi dengan esai tentang jazz dan fiksi tentang perempuan dan parfum, komik yang ditulis bersama Zacky berjudul Jakarta 2039 (Galang Press, 2001) yang merefleksikan perkosaan massal Mei 1998, dan naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami? (Galang Press, 2001) tentang penculikan para aktivis.


Saksi Mata adalah sebuah dokumentasi penting yang berusaha menghadirkan sebuah realitas kemanusiaan dengan melawan ketakutan dan pembungkaman. Bagi Seno, cerpen menjadi media alternatif untuk tetap konsisten menyuarakan kebebasan dan kejujurannya yang tak tertolak dalam jurnalisme yang ompong atau jurnalisme yang tak bisa penuh menghadirkan kembali kenyataan dalam beragam nuansa maknanya yang kaya. Seno menegaskan hal ini dapat pasase berikut:

Fakta apa pun, fiksi manapun, hanyalah bagian dari mata rantai komunikasi itu. Menjadi jelas di sini, bahwa apa pun yang diandaikan sebagai kenyataan memang terletak di dalam kurung—dalam arti menjadi sangat relatif. Dengan begitu, jika konstruksi kenyataan hanyalah boleh dipercayai sebagai salah satu simbol dalam hiruk pikuk proses penanggapan dan penafsiran, apakah yang masih bisa dipegang dalam sebuah teks? Tepatnya, apakah moralitas dari pembuatan suatu teks? Jawabannya ternyata masih klise: kebebasan dan kejujuran. Apakah saya bebas, barangkali masih bisa dilacak. Apakah saya jujur, hanya saya sendiri yang tahu—namun saya telah mencoba mengaku (Ajidarma, 2005: 156).


Kredo kepenulisan semacam inilah yang perlu terus dirawat dan ditanamkan dalam kesadaran para pengarang, baik itu fiksi maupun nonfiksi. Jika tidak, kerja kepenulisan kemudian hanya akan berwujud aktivitas pragmatis yang miskin nilai.


Wallahualam.


Bahan Bacaan

Ajidarma, Seno Gumira, 2002, Saksi Mata (Edisi Kedua), Cetakan Keempat, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta.
____________, 2005, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, Edisi Kedua, Bentang Pustaka, Yogyakarta.
Amini, Hasif, 1999, ”Cerita Pendek, Sadar Diri, Main-Main, Diam,” dalam Ahmad Sahal, dkk (ed.), Bertandang dalam Proses: Karya Pilihan Komunitas Utan Kayu, Yayasan Kalam, Jakarta.
Dhakidae, Daniel, 1995, “Kesusastraan, Kekuasaan, dan Kebudayaan suatu Bangsa,” Jurnal Kalam, edisi 6/1995, Yayasan Kalam, Jakarta, hlm. 74-102.
Ricklefs, M.C., 2005, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, penerjemah: Satrio Wahono, dkk., Serambi, Jakarta.
Uhlin, Anders, 1998, Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, penerjemah: Rofik Suhud, Mizan, Bandung.


* Tulisan ini memenangkan Peringkat Pertama Lomba Mengulas Karya Sastra (LMKS) Reguler 2007 Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional RI.


Read More..

Selasa, 24 Juli 2007

Kekerasan terhadap Anak Bertopeng Mendidik

Kekerasan terhadap anak memang masih menjadi persoalan yang akut. Beberapa tahun yang lalu, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur misalnya mengungkapkan bahwa kasus kekerasan terhadap anak yang diungkap di media Jawa Timur sepanjang 2002 ada 210 kasus. Sementara itu, Kak Seto Mulyadi di sebuah media nasional memaparkan, di banyak tempat dan forum pertemuan dengan para orangtua, terungkap bahwa diperkirakan 50-60 persen orangtua mengaku melakukan child abuse dalam berbagai bentuk.

Kesadaran tentang hak-hak anak dan efek buruk kekerasan terhadap anak masih menjadi sesuatu yang cukup langka di masyarakat kita. Bentakan, tamparan, pengurungan, ataupun penelantaran (neglect), dipandang dalam kerangka pendisiplinan anak. Akibatnya, tindakan kekerasan terhadap anak seperti mendapat permakluman dan toleransi serta dipandang sebagai bagian dari pendidikan yang memang merupakan kewajiban orangtua. Selain itu, tindakan kekerasan terhadap anak secara umum juga lebih dipandang sebagai masalah internal keluarga, sehingga relatif menjadi tabu untuk dibicarakan secara lebih terbuka.

Secara umum, ada sejumlah stigma yang berkembang di masyarakat tentang karakter anak tertentu yang dibilang “nakal” atau “susah diatur”, sehingga tindak kekerasan terhadap mereka menemukan pembenarannya untuk maksud mendidik. Mereka mengatakan bahwa anak dengan karakter seperti itu tak dapat dididik dengan cara biasa, tetapi memang harus dengan tindak kekerasan. Ironisnya, pandangan dan sikap seperti ini bahkan juga dianut oleh kalangan pendidik, seperti guru di sekolah formal, atau para orangtua yang berpendidikan. Kerap kali media memberitakan tentang anak yang dipukul, dijewer, atau dimaki secara berlebihan di ruang kelas sebagai bentuk hukuman dengan dalih mendidik atau untuk memberi efek jera.

Perlakuan semacam ini masih terjadi karena kalangan pendidik di sekolah ataupun orangtua pada umumnya tidak memiliki informasi yang cukup tentang dampak kekerasan terhadap anak bagi kehidupan dan stabilitas psikologis mereka kelak. Tindak kekerasan itu hanya diletakkan dalam kerangka mendidik, dan tak diyakini dapat memberi dampak buruk kepada anak. Nyaris dapat dipastikan bahwa di masyarakat kita anak yang dikategorikan “nakal” atau “susah diatur” itu tidak akan mendapatkan perlakuan khusus yang lembut dan lebih baik untuk dapat diarahkan. Mereka dipastikan hanya akan mendapatkan tindak kekerasan.

Torey Hayden, psikolog pendidikan dan guru pendidikan luar biasa yang kini tinggal di Inggris, menulis banyak buku yang berkisah tentang bagaimana ia menangani (mendidik) anak-anak yang oleh masyarakat umum dipandang “nakal” dan “susah diatur”. Dari kisah Sheila yang terbit dalam dua jilid buku berjudul Sheila (Qanita, 2003), misalnya, Torey menunjukkan bahwa anak-anak semacam itu perlu disentuh hatinya dengan kesabaran dan kasih yang mendalam, dengan penuh empati, sehingga akhirnya justru potensi kreatifnyalah yang akan lebih tereksplorasi. Seperti ditegaskan oleh Dr. Karl Menninger, kasih itu menyembuhkan, bagi yang memberi dan yang menerima.

Kekerasan terhadap anak dalam dunia pendidikan juga rentan terjadi pada anak yang dinilai bodoh atau bahkan idiot. Berkat pencitraan media, para orangtua saat ini begitu mengidealkan anak-anaknya untuk dapat berprestasi secara formal di sekolah, pintar menyanyi, lincah menjadi MC, dan semacamnya. Obsesi semacam ini bukannya tidak baik. Akan tetapi, fakta di lapangan yang sering muncul adalah bahwa obsesi semacam ini kadang kala melahirkan sikap yang tak wajar dalam mendidik anak. Anak dengan kemampuan IQ rendah sering mendapatkan perlakuan keras baik di keluarga maupun di kelas untuk dibentuk menjadi pintar dan berprestasi. Sementara yang lainnya sering kali secara berlebihan didorong sedemikian rupa untuk memenuhi impian dan obsesi para orangtua itu, sehingga sering merasa tertekan dan tak punya waktu untuk bermain—sikap yang tak mempertimbangkan hak-hak dan dunia anak yang sebenarnya khas.

Dari uraian singkat ini, tampak jelas bahwa salah satu solusi yang perlu dilakukan untuk dapat mengatasi tindak kekerasan terhadap anak adalah sosialisasi atau penyadaran yang bersifat paradigmatik baik kepada para orangtua maupun kalangan pendidik bahwa kekerasan terhadap anak tak dapat dijadikan topeng sebagai dalih untuk mendidik. Bagaimanapun, kekerasan tetaplah kekerasan. Ia hanya akan melahirkan jejak traumatis yang tidak baik dan tidak menyehatkan bagi perkembangan pribadi anak. Guru, orangtua, dan tokoh masyarakat secara paradigmatik harus memosisikan diri mereka sebagai sahabat anak, memperlakukan mereka secara setara layaknya manusia dengan karakter dan taraf kepribadian yang unik. Kita tentu tak ingin memiliki generasi penerus yang dibebani dan dibayang-bayangi oleh trauma kekerasan dalam dirinya.

Read More..

Jumat, 20 Juli 2007

Galeri Senja


Senja memang terlihat begitu indah jika disaksikan dari pantai. Suara debur ombak yang menyisir bibir pantai, buih yang terlempar ke udara setelah membentur karang terjal, angin yang bertiup kencang, sampan yang melaut di kejauhan, dan cahaya senja yang keperakan—semua seperti lukisan alam yang begitu indah.

Aku seperti berada di sebuah galeri seorang Maestro. Aku tiba-tiba ingin sekali menjadi bagian dari lukisan itu, bagian dari lanskap senja yang menyatu dengan sabda agung Penciptanya. Aku teringat sebuah petikan cerita tentang seseorang yang begitu menyukai senja tempat matahari tenggelam di ufuk samudera. Ia menatap senja itu dengan pikiran seakan ia akan mati di laut, seakan samudera akan menjadi kuburannya.

Aku tak begitu pasti apa yang kurasakan ketika sedang menatap senja di pantai itu. Saat itu aku memang sedang tak teringat pada kematian. Tapi aku bisa menghayati kesementaraan. Matahari, senja, keindahan, segera akan berganti malam. Setelah itu gelap. Awan sudah terlihat menyambut berarak ke arah sisi barat, seperti kelambu yang siap mengantar matahari rebah di peristirahatannya.

Aku mencoba bermain-main dengan ombak di pasir pantai yang tak seberapa luas itu, membiarkan tubuhku dipermainkan arus ombak yang lumayan kuat. Sesekali aku berteriak, ketika gulungan ombak yang tampak begitu besar siap menerpa tubuh kurusku. Tapi suaraku tak berarti apa-apa, ditelan gemuruh ombak yang kemudian mencapai tepian pantai.

Saat matahari semakin turun di ufuk barat, sehingga cahayanya menjadi kemerahan, aku berhenti mandi dan bermain dengan ombak, lalu duduk di sebongkah karang cukup besar yang agak menjorok ke arah lautan. Aku menghadap ke utara, ke arah lautan lepas yang seperti tak berbatas. Jauh ke utara, aku seperti menatap jalan menurun entah menuju negeri apa—mungkin negeri-dalam-lautan, seperti dalam dongeng. Tubuhku yang sedikit menggigil disapu cahaya matahari senja, yang saat itu tak menyisakan terik seperti di siang hari. Sesekali aku menatap ke arah barat, ke cahaya kemerahan yang semakin berpendar di antara gumpalan awan.

Aku tiba-tiba merindukan langit pantai dengan cahaya purnama.

Read More..

Kamis, 19 Juli 2007

Membaca Logika


Hampir setengah hari membolak-balik buku logika, akhirnya aku merasa tambah mual saja. Dari pagi tadi, ke sana kemari aku membaca tentang hukum identitas, term, proposisi, silogisme, sesat pikir, argumentum ad hominem, dan sebagainya. Beberapa halaman penuh dengan lambang Boole dan diagram Venn. Proposisi dalam berbagai bentuk bertaburan di tiap halaman, dengan istilah yang kadang terasa cukup merepotkan untuk diingat.

Rasa mualku semakin menjadi-jadi. Mungkin ini juga reaksi penyakit maagku. Tiba-tiba aku jadi teringat pada dosen pengampu kuliah logika selama dua semester dulu: lelaki separuh baya berkaca mata yang selalu berpenampilan energik, berambut lurus agak gondrong dan agak memutih, dengan mimik dan gaya bicara tak kalah orator ulung, dan selalu mencoba membawa logika ke dunia politik. Rasanya, tak ada yang tersisa di ingatanku tentang materi logika yang disampaikannya—semua seperti bersisa busa.

Apakah logika memang terlalu rumit dan terlalu jauh dari realitas kehidupan sehari-hari? Apakah logika pada saat-saat tertentu justru memang mengantarkan kita pada fakta akan kontingensi dunia, yang, seperti kata Sartre, saat disadari membuat kita ingin muntah?

Logika. Selamat tinggal dulu. Nanti aku tambah sakit. Aku mau pindah ke buku cerita saja.

Aku pilih buku cerita sekenanya saja. Pokoknya yang belum kubaca. Pilihanku jatuh pada buku cerita yang katanya ditulis oleh orang yang suka menulis puisi. Jadinya, isi ceritanya tak hanya sekadang rangkaian kata cerita, kata si penyunting buku, tetapi juga mengembangkan intensitas dan sublimitas bahasa. Apa maksudnya?

Aku coba banyak beberapa. Memang lumayan memikat. Tapi yang kemudian terlintas di benakku, aku semakin yakin bahwa apa yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari kadang terlalu rumit untuk dibaca dengan kaidah-kaidah ilmu logika. Proposisi-proposisi kehidupan tak seterusnya bersifat deklaratif. Sering kali ia juga harus memuat unsur emosi, subjektivitas, dan semacamnya. Keputusan dalam hidup kadang juga tak harus selalu diambil dari penalaran atas proposisi-proposisi yang sudah tertata runtut. Kadang ada lompatan-lompatan dalam bernalar—semacam improvisasi.

Tapi tunggu. Jangan dulu keburu berkesimpulan bahwa tak penting belajar logika. Dalam beberapa keadaan, logika mungkin akan sangat membantu. Tapi untuk saat ini kamu jangan terlalu banyak mikir dulu (dengan logika), kata temanku. Tunggu sampai maagnya sembuh benar. Sementara aku setuju saja, meski temanku bukan dokter, dan penjelasannya tak dibuat dengan proposisi yang cukup jelas dan meyakinkan.

Read More..