Hampir setengah hari membolak-balik buku logika, akhirnya aku merasa tambah mual saja. Dari pagi tadi, ke sana kemari aku membaca tentang hukum identitas, term, proposisi, silogisme, sesat pikir, argumentum ad hominem, dan sebagainya. Beberapa halaman penuh dengan lambang Boole dan diagram Venn. Proposisi dalam berbagai bentuk bertaburan di tiap halaman, dengan istilah yang kadang terasa cukup merepotkan untuk diingat.
Rasa mualku semakin menjadi-jadi. Mungkin ini juga reaksi penyakit maagku. Tiba-tiba aku jadi teringat pada dosen pengampu kuliah logika selama dua semester dulu: lelaki separuh baya berkaca mata yang selalu berpenampilan energik, berambut lurus agak gondrong dan agak memutih, dengan mimik dan gaya bicara tak kalah orator ulung, dan selalu mencoba membawa logika ke dunia politik. Rasanya, tak ada yang tersisa di ingatanku tentang materi logika yang disampaikannya—semua seperti bersisa busa.
Apakah logika memang terlalu rumit dan terlalu jauh dari realitas kehidupan sehari-hari? Apakah logika pada saat-saat tertentu justru memang mengantarkan kita pada fakta akan kontingensi dunia, yang, seperti kata Sartre, saat disadari membuat kita ingin muntah?
Logika. Selamat tinggal dulu. Nanti aku tambah sakit. Aku mau pindah ke buku cerita saja.
Aku pilih buku cerita sekenanya saja. Pokoknya yang belum kubaca. Pilihanku jatuh pada buku cerita yang katanya ditulis oleh orang yang suka menulis puisi. Jadinya, isi ceritanya tak hanya sekadang rangkaian kata cerita, kata si penyunting buku, tetapi juga mengembangkan intensitas dan sublimitas bahasa. Apa maksudnya?
Aku coba banyak beberapa. Memang lumayan memikat. Tapi yang kemudian terlintas di benakku, aku semakin yakin bahwa apa yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari kadang terlalu rumit untuk dibaca dengan kaidah-kaidah ilmu logika. Proposisi-proposisi kehidupan tak seterusnya bersifat deklaratif. Sering kali ia juga harus memuat unsur emosi, subjektivitas, dan semacamnya. Keputusan dalam hidup kadang juga tak harus selalu diambil dari penalaran atas proposisi-proposisi yang sudah tertata runtut. Kadang ada lompatan-lompatan dalam bernalar—semacam improvisasi.
Tapi tunggu. Jangan dulu keburu berkesimpulan bahwa tak penting belajar logika. Dalam beberapa keadaan, logika mungkin akan sangat membantu. Tapi untuk saat ini kamu jangan terlalu banyak mikir dulu (dengan logika), kata temanku. Tunggu sampai maagnya sembuh benar. Sementara aku setuju saja, meski temanku bukan dokter, dan penjelasannya tak dibuat dengan proposisi yang cukup jelas dan meyakinkan.
Kamis, 19 Juli 2007
Membaca Logika
Label: Diary
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar