Sabtu, 21 April 2007

Senja di Pelabuhan (2)


Aku tiba di pelabuhan itu di suatu senja dengan sisa-sisa gerimis. Senja memang sudah akan segera berakhir. Di seberang, kota sudah mulai bertaburan cahaya. Begitu pula kapal-kapal di pelabuhan seberang. Bola matahari di barat seperti lampu yang bersinar lemah kemerahan Tak tampak aura keperkasaan yang dipancarkannya. Ia menebarkan suasana indah yang begitu padu bersama senja dengan jejak gerimis di sekelilingnya. Langit seperti berkabut. Aku bisa melihatnya di kaki langit yang berbatasan dengan puncak gedung-gedung tinggi di seberang sana, juga di antara bebukitan di arah belakangku. Aku bisa merasakan dingin yang menyelimutiku, berusaha masuk menembus di antara jaket yang kukenakan. Aku duduk di geladak kapal paling atas. Dari ketinggian, aku memerhatikan pantulan cahaya kemerahan yang memanjang di lautan yang sedikit beriak. Perlahan, cahaya kemerahan itu memudar, raib bersama gelap yang datang menggantikan.

“Kak, ini senja yang indah,” katamu dengan sedikit berbisik.

“Ya, dan aku ingin sekali menghadiahkannya untuk mbakmu,” kataku pelan, sambil tetap menatap ke arah barat. “Kupikir ia juga sudah lama tak menikmati indahnya senja di pelabuhan ini.”

Read More..

Jumat, 20 April 2007

Sepotong Kartu Pos tentang Insomnia

- catatan yang tertinggal

Malam mulai beranjak larut. Suara mesin bis terdengar keras di pertigaan kecil itu. Nyanyian jangkrik dan binatang malam lainnya lumat olehnya. Beberapa penumpang sudah duduk lebih awal di dalam bis—mungkin agar mendapatkan tempat duduk yang cocok. Memang belum semua penumpang hadir di tempat itu. Tapi para pengantar telah menambah ramai suasana. Beberapa di antara mereka terlihat saling berbincang sambil berdiri, entah tentang apa.

Tanda waktu sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam. Kursi bis sudah hampir penuh. Sepertinya sudah tak ada lagi yang ditunggu. Aku bergegas mengeluarkan kertas catatan daftar penumpang dari saku celanaku, naik ke dalam bis, dan mencoba memastikan bahwa tak ada lagi penumpang yang tertinggal. Begitu selesai, aku memberi tahu sopir bahwa sudah waktunya berangkat. Pintu bis kemudian ditutup rapat. Suaranya menghentak di antara bunyi mesin bis yang mulai mengeras. Bis mulai bergerak pelan, menikung ke arah barat, dan meluncur mengikuti jalan kecil sedikit berkelok yang seperti dipenuhi tubuh besar bis itu.

Para penumpang kelihatan masih asyik berbincang di dalam bis. Aku duduk di kursi paling belakang, kecapekan. Seharian tak istirahat, membantu mempersiapkan keberangkatan di malam ini. Punggung kusandarkan ke kursi bis yang memanjang. Nikmat rasanya, mencoba meregangkan otot-otot di punggung. Aku mencoba menikmati momen itu. Pergerakan bis yang pelan tak cukup mengganggu. Sopir mengemudikannya dengan baik.

Aku menghidupkan pemutar mp3 di telepon genggamku. Sebelum berangkat, aku memang telah memilih beberapa lagu untuk menemani perjalananku ini. Lagu-lagu yang berkisah tentang bulan, purnama, perjalanan, keceriaan, kegundahan, juga harapan. Suara lagu yang mulai mengalun memang tak sangat jelas terdengar di sela-sela tarikan gas bis yang meluncur di jalan-jalan desa. Aku tak bisa detail menikmati permainan musik dan lantunan suara yang dibawakan oleh pasangan suami-istri itu. Tapi aku masih bisa menangkap suasana yang ingin disampaikan lagu mereka itu.

Saat itu bis baru berjalan sekitar lima belas menit, melintasi areal persawahan yang memanjang ke arah timur, ketika pemutar mp3ku tiba-tiba seperti tersedak, berhenti sejenak. Sepotong kartu pos dengan resolusi 640 x 480 piksel kuterima sesaat kemudian. Ada beberapa kata tertulis singkat di bawahnya. Kata-kata itu, kartu pos itu, bercerita tentang insomnia. Memang tak panjang. Sayang, aku sudah tak ingat lagi bagaimana persisnya kata-kata itu. Tapi kira-kira begini: “Yulis dari tadi mau tidur ga bisa-bisa. Yulis pura-pura merem aja dech...biar cepet tidur.” Di sisi kiri atas kartu pos itu, tampak seikat rambut terurai di sudut mata yang memejam.

Ekspresi mata itu seperti tak mudah dibaca. Ia hanya bercerita tentang insomnia. Tak lebih. Ia tak menceritakan lebih jauh tentang insomnianya itu. Bahkan ketika kemudian aku meneleponnya, di antara guncangan bis yang terus bergerak ke arah timur, aku tak mendapatkan penjelasan yang memuaskan. Tapi aku memang dapat mengatakan bahwa tatapan binar penuh keceriaan si pemilik mata itu, yang mudah kusaksikan di antara perjumpaanku dengannya, tak lagi dapat kusaksikan dalam sepotong kartu pos itu. Tak seperti kartu pos yang dikirimnya tadi siang. Saat kutanya di telepon, ia hanya menjawab singkat, dengan senyuman yang seperti tertahan: “Yulis ingin menyimpannya untuk pertemuan berikutnya.”

Aku menunggu cukup lama untuk mata indah yang telah menatap hitam-putih dunia yang dengan tegar dihadapinya. Ya, aku telah menunggu cukup lama. Mungkin sekitar sembilan purnama kemudian aku baru menyaksikannya dari dekat.

Read More..

Rabu, 04 April 2007

Kutukan-Menjadi-Matahari


Kau mungkin memang harus menjadi matahari. Kau bukan untuk siapa-siapa. Kau untuk semua. Kau hanya pipa gas yang menyuplai energi untuk orang-orang. Kau adalah energi panas yang akan mengeringkan jemuran. Maka jangan pernah berpikir bahwa kau akan menyorot ke suatu titik. Mungkin, jika begitu energimu—yang konon dalam sedetik mampu menghasilkan energi yang lebih besar daripada energi yang telah digunakan manusia dalam sepuluh ribu tahun terakhir—akan menghancurkan, bukan memberi kekuatan.

Mungkin kau memang ditakdirkan untuk menjadi matahari, karena hanya dengan begitu kau akan menemukan makna hadirmu.


* Semacam sekuel dari posting: Karena Aku Bukan Matahari.


Read More..

Selasa, 03 April 2007

Tentang Menulis

Menulis adalah mencoba menjajaki batas penguasaan kita atas suatu masalah. Menulis adalah menelisik, mencermati, dan menata berbagai hal yang terserak untuk dihimpun dalam suatu kerangka dan alur yang rapi. Realitas, apa yang kita jumpai, apa yang kita alami, apa yang kita baca, semuanya masih acak, liar, dan mudah kabur dari ingatan. Sebuah kata-kata bijak dalam bahasa Arab mengungkapkan, bahwa ilmu itu ibarat binatang buruan, dan tulisan itu adalah pengikatnya. Menulis membiasakan kita untuk teliti dan, selanjutnya, membagikan apa yang kita peroleh kepada orang lain. Karena itu, menulis adalah berkomunikasi. Menulis adalah mempersaksikan gagasan atau jalinan realitas yang kita temukan kepada orang lain. Menulis adalah menyatakan diri bahwa kita ada. Yang terpenting, menulis adalah mensyukuri salah satu wujud anugerah Tuhan, yakni kemampuan untuk memberi nama, atau merangkai aksara (Q., s. al-Baqarah/2: 31-33)—tak ada makhluk lain yang memiliki anugerah dan kemampuan seperti ini.

Read More..

Senin, 02 April 2007

Sketsa Dunia dan Penindasan Manusia


Judul buku: Perjalananku Mengelilingi Dunia: Catatan Perjalanan Seorang Penulis Feminis
Penulis: Nawal el Saadawi
Penerjemah: Hermoyo
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Cetakan: Pertama, November 2006
Tebal: xiv + 306 halaman


Konon beberapa penulis banyak menemukan inspirasi mereka di perjalanan. Bagi para penulis, perjalanan seperti membuka banyak kemungkinan pemaknaan dalam pertemuannya dengan beragam realitas kompleks kehidupan. Dalam perjalanan, seorang penulis diajak untuk merekam bermacam sketsa peristiwa, untuk kemudian menatap dan mencermatinya dengan perspektif dan kerangka pandang yang dimilikinya.

Dalam kata pengantar buku yang merupakan kumpulan kisah perjalanan ini, penulisnya, Nawal el Saadawi, menegaskan bahwa dengan perjalanan, yakni dengan pertemuan dengan orang lain, kita akan lebih mampu mempelajari diri kita sendiri. Feminis Mesir terkemuka yang lahir pada 1931 itu menjelaskan bahwa kita akan melihat realitas tanah air kita dengan lebih jelas bila kita jauh berada di luar lingkungan kita sendiri.

Hal yang mengemuka dari sebelas kisah perjalanan yang dituturkan Nawal dalam buku ini, yang berlangsung sepanjang tahun 1960-an dan 1970-an, adalah potret carut marut dunia dan tragedi penindasan manusia. Secara lebih khusus, Nawal menatap berbagai persoalan yang ditemuinya itu dengan perspektif perempuan khas kaum feminis, sambil diolah dengan perspektif kritis hegemoni kapitalisme. Cara pandang demikian yang dominan dalam buku ini cukup dapat dimaklumi, mengingat Nawal berasal dari belahan dunia ketiga, yakni Mesir, yang kental dengan realitas kemiskinan, ketertindasan (kaum perempuan khususnya), dan semacamnya.

Berbagai negeri yang dikunjunginya pun kebanyakan merupakan dunia ketiga dengan problem yang serupa dengan di Mesir, mulai dari Aljazair, Iran, India, Thailand, hingga Etiopia dan Senegal. Problem umum yang ditemukan Nawal di sana adalah problem khas negara bekas jajahan. Kaum imperialis meninggalkan warisan kemiskinan dan sistem sosial yang menindas masyarakat kelas bawah. Di India misalnya Nawal menjumpai wajah kemiskinan di mana-mana. Bahkan ketika dinyatakan merdeka, kekayaan India banyak sekali yang mengalir ke kantong perusahaan asing. Di daerah Madras Nawal menemukan sebuah kawasan perkebunan teh. Para warga di sana mengabdikan seluruh hidup dan keluarganya untuk produksi teh, dengan pembatasan jumlah anak oleh perusahaan (agar tidak mengganggu proses produksi) dan upah buruh yang sangat murah.

Sementara itu, di Bangkok Nawal mencatat sebuah pengalaman unik, saat ia menyamar sebagai seorang laki-laki dan masuk ke sebuah panti pijat. Aksi Nawal ini ia lakukan setelah setiba di penginapan suaminya ditawari “layanan khusus” oleh petugas hotel. Di tempat pelacuran berkedok panti pijat itu, Nawal menyaksikan dengan jelas bagaimana para perempuan dipajang dan diperlakukan sebagai barang dagangan pemuas nafsu seks laki-laki.

Perjalanan Nawal ke luar negeri kadang juga dilakukan dalam rangka kepentingan ilmiah, seperti untuk menghadiri kongres para dokter, para penulis, dan sebagainya. Dalam forum semacam ini, Nawal kadang menemui sikap yang paradoksal. Dalam sebuah pertemuan pakar internasional PBB di Dakkar untuk proyek pembangunan di Senegal, Nawal mencatat sikap paradoks para pakar itu. Setelah merancang anggaran untuk pembangunan di Senegal, Nawal mengajukan hasil laporan PBB tentang kegagalan proyek-proyek pembangunan PBB di beberapa negara dunia ketiga—bahkan dalam beberapa kasus proyek pembangunan itu cenderung memperlebar jurang antara kaum kaya dan kaum miskin. Yang menarik adalah komentar para pakar lain menanggapi pemaparan Nawal itu. Saat salah satu di antara mereka menyatakan bahwa kegagalan itu disebabkan oleh ledakan penduduk yang tak terkendali di negara dunia ketiga, pakar yang lain lalu melanjutkan dengan mengkambinghitamkan kesuburan kaum perempuan sebagai penghambat suksesnya proyek pembangunan. Diskusi kemudian berlanjut hangat dan seru, sampai akhirnya terungkap bagaimana proyek pembangunan semacam itu sebenarnya tetap dibuat dalam kerangka kepentingan kaum kapitalis negara adidaya.

Di bagian yang lain, Nawal juga menyorot sikap totaliter penguasa dalam mengontrol pandangan yang berbeda dari kelompok oposisi. Saat mengunjungi Iran, Nawal menyaksikan dari dekat bagaimana rezim Syah Reza yang merupakan boneka dari kekuatan asing terus memantau kaum intelektual-kritis, bahkan tak segan untuk menyingkirkannya dengan paksa. Kasus semacam ini sebenarnya pernah dialami Nawal sendiri. Pada tahun 1972 Nawal diberhentikan dari Kementerian Kesehatan tempat ia bekerja, tak lama setelah menerbitkan buku Women and Sex. Tahun 1981 Nawal dijebloskan ke penjara sebagai tahanan politik rezim Anwar Sadat.

Dalam buku ini sosok Nawal tidak hadir semata sebagai seorang feminis, sebagaimana dia lebih dikenal dengan karya-karyanya yang kental dengan kritik atas konstruksi budaya patriarki. Jika dalam novel-novelnya seperti Perempuan di Titik Nol (Woman at Point Zero, 1979) atau Catatan dari Penjara Perempuan (Memoirs from the Women's Prison, 1984) Nawal banyak menyajikan potret ketertindasan kaum perempuan, dalam kumpulan catatan perjalanan yang tersaji dengan gaya bertutur yang khas ini Nawal dengan cermat memaparkan bagaimana masalah kebebasan berekspresi dan ketimpangan sosial turut terjalin erat dengan masalah yang dihadapi kaum perempuan. Dengan demikian, dalam buku ini Nawal menegaskan bahwa upaya pembebasan kaum perempuan tak boleh dipisahkan dengan upaya pembebasan suatu bangsa dari keterkungkungan berekspresi dan ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi.

Analisis dan pendekatan Nawal yang memberi porsi cukup besar pada ketimpangan sosial menempatkannya sebagai feminis sosialis. Pandangannya ini cukup terlihat ketika Nawal menuturkan perjalanannya ke Uni Soviet, tepatnya ketika ia mengunjungi sebuah pabrik kain terbesar di Leningrad. Nawal menggambarkan suasana pabrik itu dengan kesan kagum atas sistem yang sedemikian rupa sehingga mampu meminimalisasi ketimpangan dan memberi perlakukan yang adil bagi kaum perempuan.

Cara pandang Nawal dalam mencermati problem sosial kemasyarakatan yang disajikan sepanjang catatan perjalanannya ini terasa memiliki makna relevansinya untuk dicermati dalam konteks situasi negeri kita. Kondisi sosial-politik Mesir sebagai latar kehidupan Nawal tak jauh berbeda dengan Indonesia, yang hingga kini masih belum mampu keluar dari warisan suram kaum imperialis. Dalam konteks inilah buku ini menjadi layak diapresiasi.


Read More..