- catatan yang tertinggal
Malam mulai beranjak larut. Suara mesin bis terdengar keras di pertigaan kecil itu. Nyanyian jangkrik dan binatang malam lainnya lumat olehnya. Beberapa penumpang sudah duduk lebih awal di dalam bis—mungkin agar mendapatkan tempat duduk yang cocok. Memang belum semua penumpang hadir di tempat itu. Tapi para pengantar telah menambah ramai suasana. Beberapa di antara mereka terlihat saling berbincang sambil berdiri, entah tentang apa.
Tanda waktu sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam. Kursi bis sudah hampir penuh. Sepertinya sudah tak ada lagi yang ditunggu. Aku bergegas mengeluarkan kertas catatan daftar penumpang dari saku celanaku, naik ke dalam bis, dan mencoba memastikan bahwa tak ada lagi penumpang yang tertinggal. Begitu selesai, aku memberi tahu sopir bahwa sudah waktunya berangkat. Pintu bis kemudian ditutup rapat. Suaranya menghentak di antara bunyi mesin bis yang mulai mengeras. Bis mulai bergerak pelan, menikung ke arah barat, dan meluncur mengikuti jalan kecil sedikit berkelok yang seperti dipenuhi tubuh besar bis itu.
Para penumpang kelihatan masih asyik berbincang di dalam bis. Aku duduk di kursi paling belakang, kecapekan. Seharian tak istirahat, membantu mempersiapkan keberangkatan di malam ini. Punggung kusandarkan ke kursi bis yang memanjang. Nikmat rasanya, mencoba meregangkan otot-otot di punggung. Aku mencoba menikmati momen itu. Pergerakan bis yang pelan tak cukup mengganggu. Sopir mengemudikannya dengan baik.
Aku menghidupkan pemutar mp3 di telepon genggamku. Sebelum berangkat, aku memang telah memilih beberapa lagu untuk menemani perjalananku ini. Lagu-lagu yang berkisah tentang bulan, purnama, perjalanan, keceriaan, kegundahan, juga harapan. Suara lagu yang mulai mengalun memang tak sangat jelas terdengar di sela-sela tarikan gas bis yang meluncur di jalan-jalan desa. Aku tak bisa detail menikmati permainan musik dan lantunan suara yang dibawakan oleh pasangan suami-istri itu. Tapi aku masih bisa menangkap suasana yang ingin disampaikan lagu mereka itu.
Saat itu bis baru berjalan sekitar lima belas menit, melintasi areal persawahan yang memanjang ke arah timur, ketika pemutar mp3ku tiba-tiba seperti tersedak, berhenti sejenak. Sepotong kartu pos dengan resolusi 640 x 480 piksel kuterima sesaat kemudian. Ada beberapa kata tertulis singkat di bawahnya. Kata-kata itu, kartu pos itu, bercerita tentang insomnia. Memang tak panjang. Sayang, aku sudah tak ingat lagi bagaimana persisnya kata-kata itu. Tapi kira-kira begini: “Yulis dari tadi mau tidur ga bisa-bisa. Yulis pura-pura merem aja dech...biar cepet tidur.” Di sisi kiri atas kartu pos itu, tampak seikat rambut terurai di sudut mata yang memejam.
Ekspresi mata itu seperti tak mudah dibaca. Ia hanya bercerita tentang insomnia. Tak lebih. Ia tak menceritakan lebih jauh tentang insomnianya itu. Bahkan ketika kemudian aku meneleponnya, di antara guncangan bis yang terus bergerak ke arah timur, aku tak mendapatkan penjelasan yang memuaskan. Tapi aku memang dapat mengatakan bahwa tatapan binar penuh keceriaan si pemilik mata itu, yang mudah kusaksikan di antara perjumpaanku dengannya, tak lagi dapat kusaksikan dalam sepotong kartu pos itu. Tak seperti kartu pos yang dikirimnya tadi siang. Saat kutanya di telepon, ia hanya menjawab singkat, dengan senyuman yang seperti tertahan: “Yulis ingin menyimpannya untuk pertemuan berikutnya.”
Aku menunggu cukup lama untuk mata indah yang telah menatap hitam-putih dunia yang dengan tegar dihadapinya. Ya, aku telah menunggu cukup lama. Mungkin sekitar sembilan purnama kemudian aku baru menyaksikannya dari dekat.
Jumat, 20 April 2007
Sepotong Kartu Pos tentang Insomnia
Label: Journey
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar