Rabu, 31 Oktober 2001

Perspektif Positif Menyikapi Fundamentalisme


Judul Buku: Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme dalam Islam, Kristen, dan Yahudi
Penulis: Karen Armstrong
Penerbit: Serambi Jakarta bersama Mizan Bandung
Cetakan: Pertama, Agustus 2001
Tebal: xx + 641 halaman

Fundamentalisme seringkali dihubungkan dengan sikap dan pandangan keras atau militan dalam sikap keberagamaan. Orang juga sering mengaitkannya dengan terorisme dan aksi kekerasan berupa bom bunuh diri seperti kejadian tragedi gedung WTC di New York, membunuh para dokter di klinik aborsi, menembaki jamaah yang sedang beribadah, dan sebagainya.
Citra negatif yang dilekatkan pada kaum fundamentalis ini tak jarang malah berakibat memperluas medan konflik. Kaum fundamentalis menjadi semakin merasa dendam. Ditambah lagi bila solidaritas masyarakat lain yang merasa seideologi tumbuh diikuti dengan penyikapan yang mirip dengan cara-cara kaum fundamentalis.
Fenomena keberagamaan semacam itu menggejala tidak hanya pada agama-agama besar seperti Yahudi, Kristen, atau Islam, tapi juga terjadi pada agama Hindu, Budha, atau bahkan Kong Hu Cu.
* * *
Buku ini mencoba memberikan perspektif baru yang cukup menarik terhadap gejala fundamentalisme. Penulisnya, Karen Armstrong, yang juga penulis buku bestseller A History of God (yang telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Penerbit Mizan dengan judul Sejarah Tuhan) mengajukan suatu cara pandang yang berbeda dengan ilmuwan Barat pada umumnya. Bila Bassam Tibi dalam The Challenge of Fundamentalism misalnya mencoba menyorot fenomena fundamentalisme ini dari perspektif politis, sehingga akhirnya juga memberi rekomendasi yang bersifat politis berupa penguatan demokrasi (sekuler) dan hak-hak asasi manusia, maka Armstrong dalam buku ini mendekati fenomena fundamentalisme dari perspektif sosiologis dan kultural-eksistensial.
Dengan mengambil fokus pada tiga agama besar, yakni Yahudi, Kristen, dan Islam, Armstrong melacak secara kronologis perkembangan fundamentalisme secara sosiologis. Kerangka yang digunakan lebih bersifat kultural-eksistensial. Artinya, fundamentalisme bagi Armstrong—terlepas dari aspek sosio-politis yang sering melekatinya—dipandang sebagai suatu eksprimen pemaknaan terhadap usaha untuk menjadi sosok yang religius ketika agama dihadapkan dalam sebuah masa transisi sosio-kultural berupa terjadinya gelombang modernisasi dan globalisasi.
Modernisme telah merombak tatanan sosial masyarakat sedemikian rupa yang bahkan menyelusup ke seluruh bidang kehidupan: ekonomi, atau sosial-politik-intelektual. Pola masyarakat yang berkembang bukan lagi masyarakat agrikultur, tetapi masyarakat industrial. Hal inilah yang menurut Armstrong dalam bidang keagamaan mendorong lahirnya berbagai ekspresi yang bersifat eksprimental sebagai bentuk budaya tanding bagi arus modernitas itu sendiri.
Secara historis hal ini sebenarnya pernah terjadi pada sekitar tahun 700-200 SM, ketika perkembangan teknologi agraria telah mendorong lahirnya kerajaan-kerajaan baru, muncul fenomena penolakan masyarakat terhadap corak teologi nenek moyang yang bersifat paganistik, beralih kepada pencarian zat agung yang bersifat tunggal, transenden, dan menjadi sumber kesakralan.
Dalam A History of God Armstrong juga menengarai bahwa pemikiran ateistik yang lahir di akhir abad ke-19 merupakan suatu reaksi terhadap ketidakcukupan konsep ketuhanan yang ada ketika itu dalam menghadapi tantangan perubahan sosial yang bersifat massif. Kelahiran fundamentalisme juga didorong oleh tuntutan pendefinisian ulang ajaran (spiritualitas) keagamaan ketika modernisasi—seperti pendapat Anthony Giddens—nyaris membunuh kultur-kultur lokal suatu masyarakat.
Uraian kronologis dalam buku ini dimulai dari tahun 1492, yang menurut Armstrong menjadi titik tolak lahirnya gejala fundamentalisme. Inilah periode yang selain dibarengi dengan lahirnya beberapa corak pemikiran filosofis yang amat berbeda dengan periode sebelumnya, juga diikuti oleh sebuah peristiwa penting yang memicu berkembangnya gejala fundamentalisme, yakni ketika Raja Ferdinand dan Ratu Isabella—dua penguasa Katolik yang pernikahannya pada waktu itu mampu menyatukan dua kerajaan Iberia kuno, Aragon dan Castile—berhasil menaklukkan negara-kota Granada.
Pendudukan ini mengakibatkan terusirnya penduduk muslim Spanyol kembali ke wilayah Timur Tengah, karena mereka diberi dua pilihan: pindah agama atau dideportasi. Demikian pula kaum Yahudi, sehingga tercatat ada sekitar 80.000 orang Yahudi yang menyeberang ke Portugal, dan 50.000 orang mengungsi ke kerajaan Utsmaniyah di Turki. Sementara itu, kaum Yahudi yang bertahan di Spanyol dan memeluk agama Kristen lambat-laun kembali ke kepercayaan semula, dan membentuk sebuah organisasi bawah tanah untuk mengajak para converso lainnya kembali ke agama asli mereka. Akan tetapi, Raja Ferdinand mencium aktivitas ini, sehingga ada 13.000 converso dibunuh oleh program Inkuisisi dalam dua belas tahun pertama program tersebut.
Memasuki abad ke-16 orang-orang Yahudi di Eropa sama sekali tidak menghirup udara bebas. Mereka tinggal dalam suatu komunitas tertutup bernama “ghetto”. Segregasi atau pemisahan ini pada akhirnya semakin meningkatkan prasangka anti-Semit, dan kaum Yahudi ini lalu memandang dunia non-Yahudi yang kejam itu dengan kepahitan dan mata penuh curiga.
Akumulasi pengalaman orang-orang Yahudi yang sedemikian pahit dan tragis inilah yang mengantarkan mereka pada suatu situasi disorientasi yang begitu dalam dan menjadikan mereka menjadi masyarakat terasing secara religius dan spiritual. Proses modernisasi yang dibawa Raja Ferdinand bagi mereka menunjukkan karakter agresif dari modernitas sehingga akhirnya mereka dituntut untuk mengembangkan suatu bentuk kepercayaan baru yang dapat membuat tradisi lama mereka tetap relevan dan berarti, di tengah-tengah situasi lingkungan yang berubah secara radikal.
Hal semacam ini pulalah yang dialami umat Islam ketika terusir dari Spanyol. Seperti diurai Armstrong di Bab 2, orang-orang Islam yang menjadi korban dari sebuah tatanan sosial baru ini lalu pindah membangun sebuah tatanan yang dalam bahasa Marshall G. S. Hodgson mengusung “semangat konservatif”. Semangat konservatif yang dibangun ini ditandai dengan diproklamasikannya pintu ijtihad yang telah tertutup, dan hanya mempersilahkan umat untuk taklid.
Konservatisme ini terus semakin menjadi-jadi ketika kawasan Timur Tengah mengalami periode imperalisme oleh bangsa Eropa pada akhir abad ke-18, sehingga memunculkan gerakan-gerakan bercorak fundamentalistik.
* * *
Cara pandang menarik yang dijadikan kerangka teoritik oleh Armstrong dalam buku ini semakin memperkokoh nilai penting buku ini dalam kondisi kekinian. Buku ini tidak saja memaparkan secara sosiologis perkembangan fundamentalisme dalam agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Akan tetapi, perspektif Armstrong dalam menguraikan observasinya ini mengajak kita bersama untuk melihat fundamentalisme dari kacamata yang lebih bersifat positif.
Dari perspektif ini, fundamentalisme adalah sebuah kritik terhadap perkembangan modernitas yang nyaris bergerak tanpa kontrol. Modernisme yang sejak awal menjadikan manusia sebagai tolok ukur segalanya—yang secara epistemologis semula dimaksudkan untuk memperkokoh logos dan menggusur mitos dengan merayakan peran rasio—justru seringkali terjebak dalam kelemahan moral yang menganggap remeh martabat dan harga diri manusia. Acapkali ditemui sekelompok masyarakat yang dengan tega melakukan pembunuhan atas nama rasionalitas dan kemanusiaan. Ini terutama banyak dialami oleh kelompok masyarakat dunia ketiga yang terhegemoni oleh globalisasi hasil impor kelompok dunia pertama (negara-negara maju).
Buku ini menunjukkan bahwa citra negatif kaum fundamentalis bisa jadi memang merupakan suatu produk konstruksi struktural dunia modern yang hegemonik, invasif, agresif, dan destruktif. Karena itu, dengan mengangkat sisi lain fundamentalisme, buku ini kemudian memberikan suatu tawaran cara yang lebih arif dan bijak dalam menyikapi fenomena fundamentalisme. Agenda mendesak yang perlu dikedepankan adalah upaya mengatasi kekecewaan kelompok fundamentalis ini—yang sebenarnya juga dirasakan oleh kelompok lain—terhadap berbagai ekses modernisme yang tidak mengakomodasi kebutuhan spiritual manusia. Upaya-upaya untuk mencari titik kesepahaman menjadi amat penting untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih baik dan penuh kedamaian.
Dan buku ini dari suatu perspektif sebenarnya adalah suatu pintu masuk menuju ruang dialog yang dimaksudkan tersebut. Ditulis oleh seorang yang dibesarkan dalam tradisi dan kebudayaan Barat modern, maka buku ini tidak lain adalah suatu kritik internal masyarakat Barat terhadap produk kebudayaannya sendiri terutama dalam mempersepsikan sesuatu yang dinilai negatif dan dimiliki kelompok masyarakat lain. Buku ini adalah semacam oksidentalisme, studi ke-Barat-an yang justru dilakukan oleh orang Barat sendiri—seperti yang juga pernah dilakukan Michel Foucault ketika mengkritisi sejarah pembentukan identitas masyarakat kelas menengah Eropa. Buku ini adalah cerminan suatu sikap terbuka dan rendah hati untuk kebersediaan memahami pilihan sikap dan tindakan orang lain, dan merupakan benih dialog antar-peradaban yang selayaknya diikuti dengan sejumlah langkah bijak lainnya.


Tulisan ini dimuat di Majalah Gamma, 31 Oktober 2001.

Read More..

Senin, 01 Oktober 2001

Mengelola Luka Sejarah Tragedi Bangsa

Tragedi pembantaian di tahun 1965 yang dipicu oleh gerakan yang disebut dengan Gerakan 30 September (G-30-S) bagi bangsa Indonesia merupakan sebuah luka sejarah yang tak kunjung sembuh. Bekas luka yang begitu dalam itu masih tetap menganga dan darahnya menggenang di kesadaran sejarah dan memori kolektif masyarakat. Sayangnya, luka sejarah itu tak jarang menimbulkan sikap-sikap yang kontra-produktif terhadap proses pembangunan peradaban bangsa.

Ini yang pernah dilontarkan Muhammad Qodari (Tempo, 2-8 Oktober 2000) ketika menyatakan keheranannya atas penolakan besar-besaran beberapa kelompok masyarakat terhadap usul Gus Dur mencabut Tap XXV/MPRS/1966 tentang larangan mempelajari, menyebarkan, dan mengamalkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme itu—sebuah produk yang lahir tidak lama setelah peristiwa tragis itu. Qodari menganggap hal itu sebagai sebuah “anomali” reformasi. Betapa tidak, ketika seluruh elemen bangsa ini sedang melakukan upaya dekonstruksi di sana-sini terhadap segala bentuk warisan pola pikir dan sikap (politik) Orde Baru, ternyata dalam hal pencabutan Tap XXV/MPRS/1966 masyarakat bersikap “aneh”.

Kasus ini hanyalah salah satu contoh dari cara penyikapan masyarakat terhadap (tragedi) sejarah yang dimilikinya. Diam-diam terungkap bahwa akibat rasa ketakutan yang lahir dari sejarah tragis kehidupan bangsa ternyata malah melahirkan sikap yang berseberangan dengan semangat reformasi yang sedang digalakkan di berbagai sektor kehidupan bangsa, terutama untuk membangun kesadaran hidup berkebangsaan yang baru.

Melihat praktik semacam itu tampaklah bahwa ternyata sejarah kehidupan bangsa sesekali dapat menjadi tameng kepentingan kelompok tertentu yang bersifat sementara. Sementara elemen komunitas sosial bangsa yang lain, yang mendapat atribut sebagai “the other” dalam sejarah, diabaikan—bahkan mungkin dihilangkan—dari panggung sejarah.

Pengelolaan memori sejarah sosial ternyata menjadi cukup penting. Rezim Orde Baru telah menunjukkan betapa selama kekuasaannya mereka telah begitu cerdik memanfaatkan momen-momen tragis kehidupan bangsa—terutama peristiwa G-30-S—untuk dijadikan legitimasi “kebijakan” pemerintahannya. Sejarah telah ditunggangi dan hanya dipersembahkan kepada sang penguasa demi memperoleh pembenaran politik.

Menjadi terang benderanglah bahwa pengelolaan sejarah sosial suatu bangsa menjadi sedemikian penting. Pada satu sisi ia dapat melahirkan legitimasi untuk mendukung status quo, dan pada sisi yang lain ia sebenarnya dapat menjadi suatu kekuatan suatu bangsa untuk membangun kembali peradaban bangsa. Persoalannya adalah bagaimana caranya?
* * *
“Orang yang tidak dapat mengambil pelajaran dari masa tiga ribu tahun, hidup tanpa memanfaatkan akalnya,” demikian ujar Goethe, seorang penyair Jerman terkemuka. Sejarah memang dimiliki oleh tiap manusia. Namun tidak hanya seorang manusia, setiap bangsa pun juga memiliki sejarahnya masing-masing. Ernst Cassirer (1847-1945) dalam bukunya An Essay on Man menyatakan bahwa sejarah adalah kesaksian evolusi organisme peradaban suatu masyarakat. Dengan begitu, sejarah sebenarnya dapat digunakan sebagai modal awal untuk mengetahui proses pembentukan identitas suatu masyarakat (bangsa). Masyarakat Yunani Kuno misalnya mempraktikkan pendefinisian identitas ini dengan menciptakan referensi sejarah yang mengacu kepada masa lampau yang bersifat mitis, yakni melalui mitos-mitos yang berkaitan dengan fenomena kosmologis ataupun genealogis.

Dalam terang gagasan tersebut, upaya pembacaan ulang terhadap warisan sejarah tragis kehidupan bangsa berada dalam kerangka perumusan identitas kebangsaan, yakni untuk memahami proses evolusi peradaban bangsa Indonesia. Jangkauan masa depan yang diharapkan adalah terbentuknya suatu kearifan sejarah yang pada gilirannya dapat membentuk suatu rancang bangun budaya politik yang kondusif bagi pengembangan demokrasi.

Dengan kerangka baca seperti tersebut di atas, maka proses pembacaan berbagai tragedi kemanusiaan dalam sejarah kebangsaan Indonesia dapat dilihat dalam dua kategori. Pertama, kategori obyektif. Berbagai sejarah tragedi kemanusiaan itu dikaji dan diklarifikasi dengan menggunakan kategori obyektif-empiris. Sisi pembacaan ini mengandaikan adanya keterbukaan faktual dari obyek kajian yang dipelajari. Medan warisan sejarah tragis kehidupan bangsa dibuka lebar-lebar untuk diungkapkan dari berbagai versinya, sehingga latar sosio-kultural yang berada di belakang peristiwa itu menjadi jelas.

Setelah itu, pembacaan dilanjutkan dengan menguraikan unsur-unsur sosial yang melatarbelakangi kejadian-kejadian itu. Ini berarti bahwa integrasi sosial misalnya yang selama ini dimitoskan dengan memendam segala perbincangan yang berkaitan dengan SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan) dibongkar sehingga akar penyebab tragedi-tragedi kemanusiaan yang sarat dengan kekerasan horizontal itu terungkap jelas.
Karena kategori obyektif ini berlandaskan kepada sejarah obyektif yang bersifat empiris, maka penyikapan selanjutnya yang harus diambil mesti dikaitkan dengan konsep rasionalitas politik demokrasi. Untuk itu, pada tahap yang paling akhir, jika memungkinkan, pembacaan dengan kategori obyektif merekomendasikan penindaklanjutan penyelesaian masalah secara hukum maupun politis.

Yang diharapkan dari kategori obyektif terhadap pembacaan berbagai tragedi sejarah ini adalah adanya political will dan usaha sistematis yang kuat untuk mendedahkan lembar-lembar sejarah yang tertimbun di lapisan terdalam sejarah kehidupan bangsa ini, serta bila dipandang perlu dan memungkinkan, berbagai kasus tragedi kemanusiaan itu dituntaskan melalui jalur hukum atau politik.

Sebuah contoh bagus bagi pembacaan obyektif terhadap kasus G-30-S misalnya ditunjukkan dari buku Hermawan Sulistyo berjudul Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966) yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (Juni 2000). Buku yang mulanya adalah disertasi doktoral ini menelusuri akar-akar pembantaian massal PKI tahun 1965-1966. Dengan mengambil lokasi penelitian di Jombang dan Kediri, Hermawan mengungkapkan bahwa ternyata peristiwa pembantaian tersebut bukan semata-mata berkaitan dengan peristiwa G-30-S, yakni pembunuhan sejumlah perwira tinggi di Jakarta, melainkan berakar dari konflik sosial antara berbagai elemen sosial masyarakat yang sebelumnya telah terjadi. Dalam buku ini Hermawan tidak terjebak kepada penjelasan yang semata-mata memusatkan pada elit-elit politik nasional ketika itu, dan lebih memberi ruang bagi dinamika kehidupan masyarakat bawah di Jombang dan Kediri yang pada akhirnya memungkinkan meluasnya konflik sosial secara lebih massif.

Cuma sialnya, beberapa masyarakat justru mengkategorikan buku ini sebagai buku “kiri”, sehingga beberapa waktu yang lalu sempat pula di-sweeping. Inilah cara baca kaum awam terhadap sejarah yang kelihatan begitu gegabah dan emosional.

Pembacaan yang kedua adalah melalui kategori subyektif. Bila pembacaan dengan kategori obyektif berada dalam bingkai politik demokratisasi dalam masyarakat bangsa secara luas, maka kategori subyektif lebih menempatkan berbagai tragedi sejarah kemanusiaan itu dalam wilayah kultural-eksistensial. Cara baca subyektif terhadap sejarah ini dilakukan untuk mencapai hasil yang lebih tajam dalam mengeksplorasi sejarah suatu bangsa. Aspek intuisi kemanusiaan begitu ditekankan. Bila cara baca yang pertama lebih menekankan aspek yang lebih ilmiah—terutama dalam kacamata historiografi—maka cara baca kedua ini lebih mengusahakan terengkuhnya pengalaman-pengalaman kemanusiaan yang dialami dalam sejarah.

Sejarah dalam kondisi primordial tidak berkaitan dengan observasi empiris, karena setiap peristiwa sejarah pada hakikatnya bersifat “sekali terjadi”. Karena itu sejarah hanya bisa diteliti melalui dokumen-dokumen, monumen, atau pelaku sejarah itu sendiri. Pembacaan dengan kategori subyektif ini menghendaki agar hasil dari pembacaan obyektif dapat dijadikan sebagai upaya untuk menghubungkan pengalaman-pengalaman historis antar-generasi sehingga akhirnya sejarah dapat menjadi sarana sosialisasi dan pewarisan nilai.

Dengan menekankan pada aspek individual-eksistensial, pembacaan subyektif menghendaki agar fakta obyektif sejarah itu dijadikan “kawan dialog” yang menyampaikan pesan-pesannya generasi penerus suatu bangsa. Dalam pembacaan ini, yang diandalkan adalah kepekaan intuitif untuk memberi pemaknaan yang bersifat produktif-kreatif terhadap berbagai tragedi kemanusiaan itu. Kepekaan intuitif ini berarti bahwa setiap individu hendaknya mengembalikan semua peristiwa itu dalam situasi primordial kemanusiaan yang memiliki kepekaan dan keprihatinan etis dalam bingkai semangat humanisme yang tinggi.

Usaha Garin Nugroho melalui filmnya, Puisi tak Terkuburkan, adalah contoh yang sangat tepat dikemukakan. Film tersebut mengisahkan kesaksian seorang penyair Aceh yang dipenjara di Tanah Gayo pada tahun 1965. Budi Irawanto, kritikus film dari Yogyakarta, menunjukkan kekagumannya atas keberhasilan film itu dalam mengungkap sisi-sisi kemanusiaan yang begitu bermakna dari kisah tragis itu. Dalam pandangan Budi, film tersebut mampu ‘mensugestinya ke arah permenungan makna dan hakikat pengalaman manusia’.
* * *
Dengan dua cara baca tersebut di atas, diharapkan bahwa warisan sejarah bangsa Indonesia dapat dimaknai secara produktif, dengan maksud agar itu semua dapat menjadi titik tolak kesadaran untuk membangun peradaban bangsa yang lebih baik di masa depan. Masa lalu tidak boleh menjadi beban yang menyebabkan ketertutupan, melainkan harus menjadi elan vital bagi Orde Reformasi, dengan tetap bertopang pada kesadaran pluralistik bangsa Indonesia. Seperti disebutkan dalam pamflet film Puisi tak Terkuburkan karya Garin Nugroho: “Setiap bangsa memiliki trauma kekerasan politis. Saatnya, setiap individu bangsa bebas menafsir trauma bangsa lewat kreativitas. Untuk nantinya tidak muncul dalam berbagai bentuk kekerasan baru.”


Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 1 Oktober 2001.

Read More..