Judul Buku : Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an
Penulis : Nasr Hamid Abu Zaid
Penerjemah : Khoiron Nahdliyyin
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Januari 2001
Tebal : xvi + 430 halaman
Bagi umat Islam, Al-Qur’an merupakan rujukan paling penting yang menjadi acuan dalam menentukan sikap-sikap keagamaan. Sedemikian penting posisi Al-Qur’an bagi umat Islam sehingga studi tentang tafsir Al-Qur’an menempati posisi yang juga penting, sehingga melahirkan berbagai pecahan bidang studi yang beragam.
Buku ini merupakan studi kritis terhadap studi ilmu-ilmu Al-Qur’an (Ulumul Qur’an) dengan dua maksud utama. Pertama, mengembalikan kaitan antara kajian-kajian Al-Qur’an dengan kajian-kajian kritik sastra. Kedua, sebagai upaya untuk membatasi konsep Islam dalam kategori ilmiah-objektif dengan mengatasi tesis-tesis ideologis yang selama ini berkembang.
Dua tujuan tersebut di atas awalnya merupakan hasil dari refleksi sekaligus keprihatinan terhadap studi ilmu-ilmu Al-Qur’an yang selama ini berkembang, yang menurut Nasr Hamid Abu Zaid, penulis buku ini, memperlakukan teks secara terlalu istimewa (mensakralkan teks secara berlebihan), sehingga menjauhkan karakter tekstual wahyu (Al-Qur’an) yang nyata-nyata dimilikinya.
Watak tekstual Al-Qur’an yang selama ini terpendam melahirkan beberapa ekses negatif yang memprihatinkan. Wahyu Tuhan yang awalnya ditujukan kepada manusia sebagai anggota masyarakat dengan tujuan untuk merekonstruksi realitas demi kebaikan dan kesejahteraan manusia, lambat-laun beralih fungsi lebih dalam wilayah ilustratif-ikonik, yakni dalam kerangka gerak menaik manusia menuju Tuhan. Pandangan Hujjatul Islam Al-Ghazali dalam hal ini dapat dikutip yang menegaskan bahwa tujuan dari pembacaan terhadap kalam Ilahi adalah mengenal Allah, mengungkapkan esensi Yang Mutlak dan sifat-sifat-Nya. Teks kemudian tidak dikaitkan dengan maksud dan tujuan pewahyuan, tetapi dikaitkan dengan Pengirim Wahyu.
Selanjutnya, Al-Ghazali yang nota bene banyak dipengaruhi oleh pandangan-pandangan teologi Asy`ariah mengatakan bahwa kalam Ilahi adalah bagian dari sifat Tuhan dan bukan bagian dari perbuatan Tuhan—seperti diyakini oleh golongan Mu`tazilah. Akibatnya, wahyu terlepas dari realitas sosiologis manusia, dan lebih jauh lagi, menyeret teks dalam suatu wilayah misterius yang berada jauh di luar horizon pengetahuan manusia.
Konsekuensi terjauh dari semua ini adalah semakin tumpulnya peran transformatif-revolusioner Al-Qur’an dengan mengalihkan fungsinya pada batas-batas kesalehan individual semata.
Untuk itulah, rekonstruksi terhadap ilmu-ilmu Al-Qur’an harus segera dilakukan guna mengembalikan kembali watak tekstual Al-Qur’an, sehingga sebagai wahyu Al-Qur’an dapat menegaskan kembali peran konkretnya dalam masyarakat.
Abu Zaid mengawali uraiannya dengan penjelasan metodologis yang mendasari buku ini, yaitu asumsi karakter tekstual wahyu yang berkaitan dengan hubungan teks dengan realitas dan kebudayaan. Hakikat Al-Qur’an bagi Abu Zaid adalah wataknya sebagai teks yang (di)lahir(kan) dengan kesadaran penuh akan kaitannya dengan realitas kultural. Kebenaran suatu teks akan diuji menurut ketepatannya dan kesesuaiannya dengan atmosfer kultural, bahwa ia tidak bertentangan dengan wawasan kebudayaan masyarakat setempat.
Hal ini dapat dibuktikan dengan menelusuri pengertian konsep wahyu dalam masyarakat Arab-Jahiliah. Wahyu dalam pengertian kebudayaan masyarakat ketika itu adalah semacam komunikasi "rahasia" antara manusia dengan jin yang biasanya dikaitkan dengan fenomena puisi dan perdukunan. Karena itu, kedatangan Al-Qur’an sesuai dengan rasionalitas masyarakat Arab, sehingga tidak ditemukan adanya pengingkaran terhadap fenomena wahyu (Al-Qur’an). Penolakan yang muncul lebih berkaitan dengan muatan ajaran wahyu atau pribadi penerima wahyu (Nabi Muhammad).
Aspek lain yang menampakkan wujud keterkaitan antara wahyu dan realitas kultural adalah diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur. Hal ini terjadi karena kebudayaan Arab saat itu adalah budaya lisan yang mengandalkan hafalan.
Uraian-uraian dalam buku utuh ini dapat dikatakan cukup menyeluruh karena menyinggung semua segi dari ilmu-ilmu Al-Qur’an, mulai dari uraian tentang konsep wahyu, penerima wahyu, asbabun nuzul, persoalan makki dan madani, nasikh dan mansukh, kemukjizatan Al-Qur’an, dan yang lainnya.
Buku ini patut diapresiasi bersama terutama karena berada dalam kerangka penolakan terhadap cara pemahaman dogmatis-ideologis terhadap wahyu, dengan mengajukan cara baca yang baru dan menarik terhadap wahyu, sehingga melahirkan pemahaman segar yang mencerahkan dan membebaskan.
Tulisan ini dimuat di Majalah Panji Masyarakat, 21 Februari 2001.
0 komentar:
Posting Komentar