Kamis, 16 Juni 2022

Urgensi Sekolah Melek Ekologi


Kerusakan alam dan lingkungan beberapa tahun terakhir menjadi fakta yang tersiar secara luas melalui berbagai media. Masyarakat sering disuguhi berita bencana alam atau fenomena iklim yang berdampak buruk bagi kehidupan. Apakah berita dan informasi tersebut mendorong adanya langkah perubahan mendasar yang diambil individu dan kelompok untuk meningkatkan mutu kehidupan melalui terobosan strategis dalam pengelolaan alam dan lingkungan?

Fritjof Capra dalam salah satu karyanya memperkenalkan istilah ecoliteracy yang merupakan singkatan dari ecological literacy, berarti melek ekologi. Istilah ini dimaksudkan untuk menggambarkan manusia yang sudah memiliki kesadaran tinggi tentang pentingnya merawat lingkungan hidup untuk kelangsungan hidupnya sehingga bersikap arif demi kelestarian alam.

Bagaimana kesadaran ekologis itu dapat tercipta? Menurut Capra, kita perlu merevitalisasi komunitas-komunitas di masyarakat agar prinsip-prinsip ekologi bisa diwujudkan secara nyata. Di antara komunitas yang disebut Capra adalah komunitas pendidikan.

Iwan Pranoto pada tulisan berjudul ”Arah Baru Pendidikan” di harian Kompas (23/4/2022) mengutip laporan komisi masa depan pendidikan UNESCO yang menegaskan perlunya arah dan tujuan baru dalam praksis pendidikan, yang di antaranya dikaitkan dengan kerapuhan Planet Bumi. Dengan demikian, melek ekologi seharusnya menjadi menjadi bagian yang menyatu dengan visi kegiatan pendidikan di sekolah.

Isu lingkungan merupakan isu yang sangat penting untuk diintegrasikan dengan proses pendidikan di sekolah. Salah satu alasannya, di satu sisi sekolah merupakan tempat untuk menyiapkan generasi yang mampu dan siap menjawab tantangan masa depan yang di antaranya tantangan kelestarian alam. Sementara, di sisi yang lain, masalah lingkungan hidup termasuk masalah mendasar karena berhubungan langsung dengan pemenuhan kebutuhan manusia dan juga keberlanjutan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.

Buta krisis

Namun, mengupayakan melek ekologi melalui sekolah tidaklah mudah. Secara umum, dunia pendidikan di Indonesia masih menghadapi berbagai masalah mendasar, seperti yang terkait dengan mutu guru, visi untuk menyambungkan kegiatan pembelajaran dengan isu-isu konkret dan aktual di masyarakat, fasilitas pendukung, serta kebijakan pemerintah yang dapat mendukung dan kondusif bagi pengembangan pendidikan.

Secara khusus, di kalangan pendidik dan pengelola lembaga pendidikan belum ada pemahaman yang kuat akan situasi krisis yang dihadapi manusia dalam kaitannya dengan kerusakan lingkungan hidup. Hendro Sangkoyo, peneliti pada School of Democratic Economics, menyatakan bahwa masyarakat kita masih buta krisis. Lembaga pemerintah dan masyarakat sipil belum terlihat mengambil langkah strategis dan kolaboratif yang baik untuk menanggulangi dan mengantisipasi krisis sosial-ekologis yang lebih buruk lagi (Kompas, 24/1/2010).

Dari sudut visi dan arah pengembangan, ada kecenderungan sekolah lebih banyak mendorong kegiatan yang memperkuat dimensi produktivitas sehingga aspek konservasi yang merupakan nilai penting dalam konteks solusi menghadapi krisis lingkungan menjadi kurang mengemuka. Sekolah, misalnya, kadang lebih getol mendorong siswa untuk memburu piala pada aneka lomba bergengsi daripada merawat khazanah lokal tertentu, seperti makanan dan permainan tradisional.

Roh peningkatan produksi dan produktivitas dalam kebijakan pengembangan sekolah ini tampak cukup sejalan dengan semangat ideologi kapitalisme yang saat ini dapat dikatakan menguasai dan menyusupi berbagai lini arus kehidupan. Inilah mungkin yang berada dalam kerangka pikir Herbert Marcuse (1964) saat dia mengemukakan bahwa sekolah kadang juga cenderung berada dalam bingkai mekanisme ekonomi kapitalis sehingga pada satu sisi diarahkan pada kepentingan sektor industri yang bisa jadi eksploitatif dan di sisi lain secara tersembunyi mendorong iklim konsumsi berlebihan.

Peningkatan produksi yang eksploitatif yang diiringi dengan dorongan konsumsi besar-besaran semakin meminggirkan perhatian dan kepekaan masyarakat, termasuk insan pendidikan, terhadap nilai-nilai konservasi. Pada titik yang paling jauh, kecenderungan ini ikut mempercepat proses pemutusan kesadaran akan hubungan yang erat antara manusia dan alam sehingga manusia tak lagi memperlakukan alam sebagai bagian integral dari diri dan kehidupannya.

Situasi buta krisis dan kerumitan tatanan ideologi kapitalisme menjadi tantangan terbesar komunitas sekolah untuk menanamkan dan menguatkan visi melek ekologi di sekolah. Selain itu, visi kritis guru dan pengelola lembaga pendidikan untuk membawa orientasi pendidikan pada aspek yang bersifat kekinian dan antisipatif, khususnya yang terkait isu lingkungan hidup, tampak masih sulit tumbuh di tengah tantangan lainnya berupa kecenderungan besarnya beban administratif yang cukup memberatkan guru dan pengelola sekolah.

Berbasis proyek

Dalam konteks pendidikan, pendidikan lingkungan hidup di sekolah memiliki potensi yang sangat besar untuk dapat menjadi salah satu bentuk praksis pendidikan kontekstual. Melalui isu lingkungan hidup, proses pendidikan di sekolah dapat membawa siswa dan guru untuk tidak terpaku kepada teks belaka (text book oriented).

Siswa dan guru didorong untuk memahami gugus pengetahuan dan ilmu teoretis tentang kealaman dari sudut pandang yang luas mulai dari sains, sosial, ekonomi, bahkan politik untuk didialogkan dengan kenyataan sehari-hari di sekitar mereka. Tujuan pokoknya agar melek ekologi dapat terbentuk dan berlanjut pada aksi nyata meski sifatnya sederhana. Siswa dan guru diajak untuk mencapai tingkat melek ekologi untuk kemudian berbuat sesuatu untuk perubahan demi kelestarian lingkungan.

Upaya membentuk melek ekologi melalui sekolah merupakan peluang strategis untuk mengatasi suasana pembelajaran yang membosankan dan terkesan terputus dengan realitas kekinian. Karena itu, upaya untuk mengintegrasikan pencapaian melek ekologi dalam proses pendidikan di sekolah sangatlah penting untuk terus diupayakan.

Selain fasilitas yang bersifat material dan juga guru pendamping dalam proses pembelajaran, melek ekologi di sekolah harus didukung dengan fondasi filosofis dan aspek kurikuler secara integratif. Pertama, harus ada landasan normatif yang menjadi nilai dan roh dari upaya penumbuhan kesadaran lingkungan.

Landasan normatif ini dapat mengacu pada norma dan nilai keagamaan, kearifan lokal, atau pendekatan dan teori yang lebih bersifat ilmiah. Landasan normatif ini dibutuhkan untuk menjadi visi dan kerangka etis yang menjadi rujukan nilai pembelajaran sehingga terpatri dalam kesadaran guru dan murid.

Kedua, melek ekologi membutuhkan butir-butir informasi yang dijalin dengan baik untuk mengilhamkan perubahan mulai dari tingkat perorangan hingga kelompok. Kesadaran individu untuk bisa bersikap peduli kepada upaya pelestarian alam perlu ditopang dengan data dan fakta-fakta menggugah yang bisa membuat individu atau kelompok mengambil jeda sejenak dan merenungkan gaya hidup yang selama ini dipraktikkan. Pada titik ini pula, guru dan murid dilatih untuk mengasah kepekaan mereka atas kenyataan sehari-hari di lingkungan terdekat terkait dengan isu-isu lingkungan.

Ketiga, melek ekologi harus ditumbuhkan melalui kegiatan nyata dengan pengorganisasian yang baik. Siswa dan guru perlu mendapatkan pengalaman belajar alternatif yang bersifat nyata atas problem-problem lingkungan melalui serangkaian kegiatan yang dirancang dan dilaksanakan bersama dalam jangka waktu tertentu dan dengan target tertentu.

Unsur yang ketiga ini sebenarnya dapat menyatukan dua unsur sebelumnya, yakni apabila upaya menanamkan melek ekologi kemudian diwujudkan dalam bentuk proyek. Maksudnya, siswa dan guru dalam jangka waktu tertentu secara bersama-sama membuat sebuah proyek untuk mengatasi masalah lingkungan tertentu yang ada di sekitar sekolah. Dengan berbasis proyek, siswa dan guru didorong untuk peka menemukan masalah dan menetapkan target yang akan dicapai dalam bentuk upaya nyata mengatasi masalah tersebut.

Untuk mengembangkan melek ekologi di sekolah, ketiga hal tersebut di atas membutuhkan dukungan dari para pemegang kebijakan di dunia pendidikan, termasuk juga guru yang dalam hal ini dapat diposisikan sebagai pendamping, fasilitator, dan pengilham perubahan. Pada pokoknya, para pelaku utama di dunia pendidikan, juga termasuk pengambil kebijakan, haruslah memiliki visi yang kuat untuk mengintegrasikan isu lingkungan dalam proses pendidikan. Guru dan kepala sekolah menjadi kunci penting. Di tangan para insan pendidikan ini jugalah dunia mendatang yang lestari akan ditentukan.

Tulisan ini dimuat di rubrik Opini Kompas.id, 16 Juni 2022.
Berkas tulisan ini dapat diunduh di sini.


0 komentar: