Minggu, 17 Januari 2016

"Meradikalkan" Revolusi Mental di Sekolah


Judul buku: Strategi Pendidikan Karakter: Revolusi Mental dalam Lembaga Pendidikan
Penulis: Doni Koesoema A
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2015
Tebal: xviii + 158


Di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, pemerintah memperkenalkan istilah ”revolusi mental” yang kurang lebih semangatnya mirip dengan pendidikan karakter. Namun, sejauh mana revolusi mental menjadi konsep yang dapat mengambil peran perubahan yang lebih nyata?

Sejak diluncurkan pada tahun 2010, konsep pendidikan karakter di dunia pendidikan tampaknya belum banyak memberi dampak nyata. Indikatornya bisa terlihat dari masih banyaknya kasus kekerasan di lingkungan sekolah baik yang melibatkan siswa ataupun guru.

Buku ini lahir dari keprihatinan bahwa konsep pendidikan karakter sulit untuk dapat berfungsi transformatif di sekolah karena masih banyak kultur nonedukatif di kalangan pendidik dan pengelola pendidikan. Misalnya kultur teknis, sikap yang terlalu berorientasi praktis dalam melihat pendidikan karakter sehingga mengabaikan hal-hal yang bersifat mendasar terkait dengan visi dan orientasi pendidikan. Akibatnya, pelaku pendidikan terjebak dalam kultur teknis dan tanpa sadar cenderung mengambil posisi sebagai robot yang bekerja hanya dengan berfokus pada petunjuk teknis atau prosedur operasi standar.

Doni Koesoema A, penulis buku ini, mengajak para pendidik dan pengelola pendidikan mencermati aspek mendasar dalam pendidikan karakter. Doni menegaskan bahwa praksis pendidikan memiliki fungsi transformatif bagi individu dan masyarakat. Visi radikal ini harus menjiwai praksis pendidikan karakter di sekolah.

Poin utama buku ini, Doni berusaha menyajikan cara mendesain strategi pendidikan karakter di sekolah sebagai sebuah revolusi mental. Namun, sebelum masuk ke uraian tentang strategi yang bersifat praktis, Doni mengajak pembaca untuk mula-mula membereskan terlebih dahulu aspek mendasar dalam pendidikan karakter. Doni percaya bahwa praksis pendidikan karakter dipandu pemahaman teoretis tentang posisi mendasar guru dan visinya dalam mengabdi di dunia pendidikan.

Lima tahap

Menurut Doni, ada lima tahap yang harus diperhatikan sebagai landasan pengembangan pendidikan karakter di sekolah. Pertama, harus dipastikan bahwa sekolah dapat menjadi lingkungan yang mampu memberikan perlindungan bagi individu sehingga ia merasa nyaman, diterima, dan merasa dihargai. Bagaimanapun, sekolah adalah perpanjangan dari pendidikan dalam keluarga. Komunitas sekolah harus dibentuk sebagai keluarga. Sebagai keluarga, nilai penghormatan, apresiasi, dan partisipasi harus dijunjung tinggi.

Setelah prasyarat lingkungan sekolah yang kondusif terwujud, maka pada tahap kedua sekolah harus mendefinisikan nilai yang akan menjadi prioritas pengembangan. Terkait hal ini, sekolah harus memfasilitasi para warganya untuk mengemukakan gagasannya. Warga sekolah dimaksud bukan hanya guru, melainkan juga petugas satpam, penjaga kantin, petugas kebersihan, dan yang lainnya. Langkah partisipatif ini penting agar semua pihak mampu memahami posisi perannya dalam konteks pendidikan karakter di sekolah.

Pada titik ini Doni mengkritik pemerintah yang dalam rumusan pendidikan karakter menentukan 18 nilai yang wajib diajarkan di sekolah negeri dan mengabaikan partisipasi dan penghargaan pada konteks lokal yang lebih berakar. Tahapan kedua ini selanjutnya dilengkapi dengan menyusun indikator dari nilai prioritas yang menjadi tujuan pengembangan pendidikan karakter. Indikator di sini berfungsi evaluatif sekaligus proyektif.

Setelah dua tahapan ini beres, tahapan ketiga adalah merancang program konkret pendidikan karakter. Menurut Doni, yang penting dipahami adalah bahwa proses penyusunan program pendidikan karakter ini pada dasarnya merupakan upaya untuk membentuk ”habitus” dari nilai prioritas. Habitus di sini maksudnya nilai moral yang sudah terinternalisasi pada diri individu sehingga sikap yang lahir dari pemahaman nilai itu dilakukan secara spontan dan konsisten.

Agar habitus yang terbentuk dapat tetap stabil, pada tahap berikutnya (keempat) nilai-nilai prioritas itu harus dilembagakan ke dalam sistem sekolah. Ini penting dilakukan untuk memastikan keberlanjutan program pendidikan karakter di sekolah sehingga meski pemimpin atau pengelola sekolah berganti, program pendidikan karakter masih terus berlanjut.

Pada tahapan yang paling akhir (kelima), pendidikan karakter harus senantiasa dievaluasi dan direfleksikan. Nilai-nilai unggulan secara berkala perlu dicermati secara mendalam dan direfleksikan agar nilai-nilai tersebut tidak kehilangan relevansi dan nilai kontekstualnya.

Perspektif radikal

Pemaparan Doni Koesoema dalam buku ini menggunakan perspektif radikal berbasis filsafat. Dengan perspektif radikal, penjelasan tentang strategi pendidikan karakter yang dipaparkan terlihat bercorak kritis sekaligus begitu padu dan sistematis. Pertama, Doni mengkritik berbagai kecenderungan berpikir dangkal dalam praksis pendidikan di Indonesia, termasuk terkait program pendidikan karakter.

Selain itu, sudut pandang radikal yang digunakan Doni menghendaki para praktisi pendidikan terlebih dahulu mengokohkan landasan gagasannya dengan menjelaskan aspek mendasar pendidikan karakter. Setelah itu, tahapan strategi berikutnya harus diikat secara kuat dengan titik tolak landasan pemikiran teoretisnya itu.

Dengan sudut pandang radikal ini, Doni hendak mengembalikan watak humanis dan transformatif pendidikan yang secara nyata terancam oleh cara berpikir pragmatis dan teknis. Bagi Doni, proses pendidikan bukanlah proses mekanis dan teknis karena pelaku dan yang terlibat adalah manusia luhur yang harus dihargai. Kegagalan pendidikan karakter dan revolusi mental berakar dari asumsi teknis yang dangkal.

Selain itu, keunggulan buku ini terletak pada penyajian contoh konkret berbasis pengalaman yang diambil dari keterlibatan Doni saat menjadi guru di Yogyakarta dan Jakarta. Buku ini sangat penting dibaca oleh para guru, pengambil kebijakan di dunia pendidikan, dan siapa pun yang tertarik dengan dunia pendidikan agar pendidikan karakter dan revolusi mental benar-benar berkontribusi bagi perubahan.


Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 17 Januari 2016.


1 komentar:

Anonim mengatakan...

terimaksih banyak atas informasinya, sangat membantu saya dalam membuat rancangan pembelajaran.