Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal - Q., s. al-Hujurat [49]: 13
Pada hari penaklukan Mekah di tahun kedelapan hijriah, di antara kebahagiaan yang dirasakan umat Islam, Bilal mengumandangkan azan di Ka’bah. Namun, ternyata setelah Bilal azan di Ka’bah, sebagian orang orang yang hadir di situ berkomentar dengan nada melecehkan. Diceritakan bahwa Usayd bin Abi al-‘Ish berkata: “Alhamdulillah ayahku wafat sebelum melihat kejadian ini.” Al-Harits ibn Hisyam denga nada serupa melontarkan tanya: “Apa Muhammad tidak menemukan orang lain yang lebih pantas untuk azan selain burung gagak ini?”
Ibn ‘Asyur menyatakan bahwa sikap mengejek semacam ini cukup sering terjadi dalam masyarakat jahiliyah. Berbangga atas kehebatan kelompoknya dan menjatuhkan kabilah yang lain bahkan juga ditemukan dalam syair-syair Arab. Dalam konteks inilah, demikian Ibn ‘Asyur, ayat ini menyerukan umat manusia untuk menjaga diri dari cara pandang dan sikap tak terpuji seperti itu.
Dalam kaitan dengan beberapa ayat sebelumnya, ayat ini tampaknya berusaha untuk membangun pandangan etik yang bersifat pribadi dan lebih bersifat ke dalam yang umum sifatnya. Jika pada ayat-ayat sebelumnya al-Qur’an memberikan tuntunan bagaimana etika berhubungan dengan sesama muslim (seperti perintah untuk hati-hati menerima informasi, dorongan untuk berdamai, larangan untuk berprasangka dan melecehkan orang lain), ayat ini seperti hendak merangkum secara lebih luas tentang bagaimana segala bentuk relasi antarsesama mesti dibangun di tengah fakta keberagaman manusia.
Ayat ini dimulai dengan seruan dan peringatan kepada seluruh umat manusia yang pada titik intinya menunjukkan dua hal: bahwa manusia itu diciptakan dari laki-laki dan perempuan, dan bahwa tujuan diciptakannya manusia yang beragam dari berbagai bangsa dan suku adalah untuk saling mengenal.
Poin pertama pada awal ayat ini hendak menegaskan bahwa semua manusia itu berasal dari seorang laki-laki dan seorang perempuan—tak ada yang berbeda sehingga semua setara. Jika proses penciptaan semua manusia itu sama, lalu masih adakah alasan untuk merasa lebih unggul daripada orang lain hanya karena, misalnya, kita terlahir dengan kulit yang lebih putih ketimbang orang lain?
Poin berikutnya, fakta bahwa ada beragam bangsa dan suku tidak lain dirancang oleh Allah agar manusia itu saling mengenal. Jadi, tujuan penciptaan yang beragam itu adalah pengenalan. Dengan demikian, pengenalan (saling mengenal) adalah kunci awal dalam setiap orang membangun jalinan kemitraan antarmanusia baik pada tingkat yang paling sederhana (perorangan) hingga tingkat yang lebih luas (kelompok masyarakat atau bangsa).
Menurut Quraish Shihab, pengenalan ini menjadi kunci bagi semakin terbukanya peluang kerja sama untuk bisa saling memberi manfaat. Kedamaian dan kesejahteraan hidup bersama pada tingkat yang paling mendasar harus dibangun dengan adanya sikap terbuka untuk mau saling mengenal orang atau kelompok lain. Quraish mengutip surah al-‘Alaq [96]: 6-7 yang menjelaskan bahwa orang yang merasa dirinya tidak butuh pada orang lain (dan karena itu tak berminat untuk mengenal orang lain) termasuk orang yang sewenang-wenang.
Khaled Abou El Fadl memberikan kerangka yang lebih radikal dalam memahami soal pengenalan dalam tujuan penciptaan sebagaimana disampaikan ayat ini. Abou El Fadl, yang memosisikan dirinya sebagai muslim moderat, berpandangan bahwa al-Qur’an tidak hanya menerima realitas keragaman di dalam masyarakat. Al-Qur’an bahkan mengharapkan realitas keragaman itu. Ini juga sekaligus merupakan tantangan bagi manusia agar mereka sudi untuk saling mengenal, dan dari pengenalan itu lahirlah kebajikan-kebajikan yang lebih luas (seperti kerja sama untuk kebaikan) yang tidak hanya akan berdampak pada satu kelompok masyarakat tertentu saja.
Dalam kaitannya dengan kisah Bilal, budak dari Etiopia yang menjadi muazin pertama dalam Islam, bagian selanjutnya ayat ini menegaskan bahwa orang yang paling mulia di antara kita adalah yang paling bertakwa. Di sisi Allah, takwa adalah ukuran kemuliaan. Prinsip ini banyak juga dijelaskan dalam hadits-hadits Nabi, di antaranya sebagaimana yang tertuang dalam kisah haji wada’ (perpisahan). Pada peristiwa itu Nabi berpesan bahwa manusia itu berasal dari satu nenek moyang dan bahwa semua manusia itu setara, tak peduli warna kulit dan asal suku bangsanya. Nabi mengingatkan bahwa ketakwaan adalah ukuran kemuliaan yang sebenarnya.
Studi al-Qur’an yang menggunakan pendekatan semantik sebagaimana dilakukan Toshihiko Izutsu menyingkapkan satu hal yang sangat menarik dalam membedah bagian ini. Dua kata kunci pada bagian ini, yakni kata “akram” atau “karim” dan “taqwa” atau “atqa” menurut Izutsu dalam kerangka makna masyarakat Arab pra-Islam yang bercorak nomaden memiliki arti yang sama sekali lain yang kemudian diubah oleh pandangan-dunia Islam (al-Qur’an). Berdasarkan pengamatan Izutsu pada syair-syair Arab pra-Islam, termasuk al-mu‘allaqat (syair yang menang dalam lomba syair di Suq ‘Ukaz yang kemudian digantungkan di dinding Ka’bah), Kata “karim” di masa jahiliyah bermakna “kemuliaan karena garis keturunan”, sedangkan “taqwa”, yang kemudian menjadi konsep kunci dalam ajaran Islam, dalam masyarakat Arab pra-Islam sama sekali tidak digunakan dalam konteks religius. Sebagai kata kerja, “taqwa” diartikan “membela diri dengan menggunakan sesuatu”.
Nah, melalui ayat ini dan pemaknaannya pada dua kata tersebut, al-Qur’an menurut Isutzu telah melakukan revolusi sejarah gagasan moral Arab. Pada waktu itu, tak seorang pun berpikir untuk mengaitkan “kemuliaan” dengan “taqwa”, yang dalam pandangan-dunia Islam bermakna “takut pada hukuman Ilahi pada hari Kiamat.”
Namun, meski melalui berbagai titik ajaran Islam lainnya semangat baru makna “karim” yang dikaitkan dengan “taqwa” ini terus dikuatkan, dalam perjalanan sejarah, sikap primordial seperti tecermin dalam kisah Bilal dan tradisi jahiliyah yang berusaha untuk diruntuhkan di atas masih saja terjadi dalam sejarah Islam yang semakin mendunia. Fakhruddin al-Razi dalam menjelaskan ayat ini berkisah tentang sekelompok bangsawan di Khurasan yang merasa dirinya mulia karena memiliki ikatan keluarga yang paling dekat dengan Sayyidina Ali. Mereka bahkan melecehkan seorang budak hitam yang oleh masyarakat lebih dihormati karena ilmu dan amal kebajikannya.
Jika ketakwaan adalah ukuran kemuliaan, lalu apa pengertian takwa? Secara sederhana, takwa adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Namun, pada tingkat yang paling tinggi, demikian al-Razi menjelaskan, orang yang paling bertakwa adalah dia yang hari-harinya disibukkan hanya dengan Allah.
Yang menarik dari al-Razi dalam menjelaskan bagian ini adalah bahwa menurutnya ketakwaan sejati itu hanya dapat diperoleh dari ilmu. Al-Razi mengutip sabda Nabi yang menyatakan bahwa satu orang yang berilmu lebih ditakuti oleh setan daripada seribu hamba yang beribadah. Ia juga mengutip surah Fathir [35]: 28: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” Menurut al-Razi, orang yang rajin beribadah tapi tak dilandasi ilmu yang cukup sangat mungkin ibadahnya itu tidak lahir dari kesadaran diri yang utuh atau bahkan beribadah dengan model transaksional dengan Allah—seolah sedang menukarkan amalnya dengan pahala dan surga.
Dalam pemahaman yang lebih utuh atas ayat ini, tergambar bahwa takwa sebagai ukuran kemuliaan menjadi jangkar penting dalam jalinan kemitraan manusia. Rangkaian penjelasan dalam ayat ini seolah hendak menegaskan bahwa semua jalinan kemitraan manusia, terutama yang bersifat personal, haruslah berlandaskan dan bertujuan untuk memperkuat semangat ketakwaan kepada Allah.
Cukup menarik kiranya saat kita menemukan bahwa dalam versi yang lain, ayat ini dikisahkan turun dalam kasus yang berkaitan dengan jalinan kemitraan dalam bentuk pernikahan. Dalam riwayat yang lain, diceritakan bahwa suatu hari, saat Abu Hind membekam Nabi, Nabi meminta tetua Bani Bayadhah untuk menikahkan Abu Hind dengan salah seorang putri mereka. Namun permintaan Nabi ini tidak ditanggapi positif. Pasalnya, Abu Hind dahulu adalah budak mereka.
Sikap Bani Bayadhah ini dikecam al-Qur’an dengan diturunkannya ayat ini. Allah mengajarkan bahwa pertimbangan penting dalam jalinan kemitraan yang berbentuk pernikahan tak boleh didasarkan pada hal-hal yang bersifat luaran. Seorang budak bisa saja lebih mulia daripada seorang merdeka atau seorang kaya karena mutu takwanya yang lebih tinggi.
Pada titik inilah ayat ini sebenarnya juga menjadi titik tolak perdebatan mazhab fikih dalam soal kafâ’ah, yakni sejauh mana kafâ’ah itu dituntut dalam jalinan pernikahan. Dalam fikih, istilah kafâ’ah berarti keserasian atau kecocokan (mumâtsalah, suitability) antara pasangan suami-istri demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dalam hubungan pernikahan. Ada mazhab yang berpendapat bahwa ayat yang membawa semangat persamaan derajat (kesetaraan) ini menjadi dalil bagi tidak diperlukannya syarat kafâ’ah dalam pernikahan. Pendapat ini dikemukakan oleh Sufyân al-Tsawrî, Hasan al-Bashrî, dan al-Karakhî.
Namun, mazhab yang lain berpendapat bahwa semangat kesetaraan yang dibawa oleh ayat ini terkait dengan kesetaraan hak dan kewajiban. Sedangkan ada fakta lain bahwa setiap orang dalam kehidupan masyarakat bisa memiliki kelebihan tertentu yang juga diapresiasi oleh al-Qur’an. Misalnya sebagaimana tercantum dalam surah al-Mujadilah [58]: 11 yang menggambarkan kelebihan orang yang menguasai ilmu. Demikian juga, surah al-Nahl [16]: 71 menjelaskan kelebihan orang yang memiliki harta.
Kebanyakan mazhab fikih berpendapat bahwa kafâ’ah perlu dipertimbangkan dalam pernikahan. Namun secara teknis terjadi perbedaan pendapat. Berdasar pada ayat ini, misalnya, mazhab Maliki berpandangan bahwa pertimbangan dalam kafâ’ah hanya meliputi kadar mutu keagamaan saja (ditambah kondisi fisik, bukan dalam arti soal kecantikan, tetapi cukup untuk memastikan apakah calon pasangannya tidak memiliki cacat tubuh tertentu yang dapat mengurungkan niatnya untuk menikahi orang tersebut). Mazhab Maliki juga berargumen bahwa faktanya, ada beberapa sahabat Nabi yang berasal dari kalangan budak yang menikahi perempuan merdeka, seperti Zayd ibn Haritsah yang menikahi Zaynab bint Jahsy. Ada juga hadis Nabi yang mengisahkan sahabat Bilâl yang hendak melamar seorang perempuan dari kaum Anshâr dan didukung oleh Nabi, padahal kaum Anshâr sendiri menolak. Jadi, sesuai dengan pernyataan ayat ini, yang terpenting adalah mutu ketakwaan (agama).
Sementara itu, mazhab yang lain, seperti mazhab Syafi’ie, menyebut lima hal yang termasuk dalam unsur kafâ’ah: agama, status kemerdekaan, nasab, cacat fisik, dan mata pencaharian.
Terlepas dari perdebatan tentang kafâ’ah ini, pada intinya hampir semua pendapat ini bermuara pada prinsip dan tujuan sosial pernikahan yakni untuk mengukuhkan pewarisan nilai dan integrasi sosial, di samping juga dengan melihat unsur kesetaraan manusia.
Dari semua pembahasan di atas, alur gagasan dan pesan yang hendak disampaikan ayat ini kurang lebih adalah sebagai berikut. Manusia itu diciptakan setara. Sementara itu, keberagaman harus disikapi secara positif sebagai sebuah tantangan etis untuk bersedia terbuka dan mengenal yang lain sehingga dari situ terbuka jalinan kerja sama untuk menyebar kebajikan. Secara khusus, segala bentuk jalinan kemitraan, yakni di kalangan muslim, seharusnya berdasar dan bertujuan untuk meningkatkan mutu ketakwaan.
Di penutup ayat ini, Allah menegaskan bahwa diri-Nya Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Quraish Shihab memberikan penekanan bahwa kalimat di penghujung ayat ini sangatlah khas. Sifat ‘alîm dan khabîr dalam al-Qur’an hanya tiga kali dipergunakan secara bersanding. Selain di akhir ayat ini, kedua sifat Allah itu disebut di surah Luqman [31]: 34 dalam kaitannya dengan pengetahuan tentang kematian seseorang dan juga di surah al-Tahrim [66]: 3 dalam kasus pembicaraan rahasia di antara istri-istri Nabi menyangkut sikap mereka kepada Rasul akibat kecemburuannya pada istri Nabi yang lain, Zaynab bint Jahsy.
Pada intinya, kedua sifat yang disebut secara bersamaan ini menunjukkan pengetahuan Allah yang sangat mendalam dan tak terbatas untuk hal-hal yang sangat sulit atau bahkan mustahil diketahui manusia. Dalam kaitannya dengan ayat ini, demikian Quraish Shihab, ini menunjukkan bahwa manusia tak akan mampu menakar mutu keimanan dan ketakwaan seseorang. Manusia tak dapat menjadi hakim moral untuk menilai ketakwaan orang lain.
Wallahua‘lam.
Daftar Pustaka
Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami‘ li-Ahkamil Qur’an, Dârul Hadits, Kairo, 2007.
Fakhruddin Muhammad bin ‘Umar bin al-Husayn al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr (Mafâtîhul Ghayb), Dârul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 2004.
Khaled Abou El Fadl, Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists, HarperSanFrancisco, New York, 2005.
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Lentera Hati, Jakarta, 2009.
Muhammad al-Thahir ibn ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Dâr Suhnun, Tunisia, 1997.
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap al-Qur’an, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1997.
Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Dârul Fikr, Damaskus, 2010.
Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî‘ah wa al-Manhaj, Dârul Fikr, Damaskus, 2009.
Baca juga:
>> Membincang Kafâ’ah
0 komentar:
Posting Komentar