Ternyata, jalan pulang untuk bertobat tak cukup mudah ditempuh. Iblis telah tersebar ke sekian banyak tempat. Ia menarik, menggiring, menguntit, dan mengepung, agar kita tetap merasa hangat dalam pelukannya. Iblis tahu betul setiap kali ada anak buahnya yang mencoba berusaha mengambil jalan lain atau kabur dari kelompoknya.
Demikianlah. Si Pengantin telah menetapkan keputusannya: menjadi istri yang baik, menjaga toko kasetnya, menemani hari-hari suaminya, melepas masa lalunya yang kelabu. Si pengantin ingin memulai sesuatu yang baru, catatan baru yang indah dalam episode hidupnya. Entah berapa lama ia harus berpikir keras untuk membuat keputusan itu. Entah seteguh apa hati dan tekadnya sehingga ia cukup berani untuk kabur dari lingkaran gelap yang telah ia hidupi sekian lama.
Keputusannya yang bulat itu lalu akan berlanjut di sebuah kapel kecil di perbatasan negeri. Tempatnya cukup terpencil, tandus, jauh dari ingar bingar dan pusat kota. Bangunannya sederhana, dari papan kayu yang disusun rapi dan kokoh. Tempat itu seperti menyimpan keheningan dan kekhidmatan. Cocok untuk sebuah langkah awal suatu pertobatan.
Dia belum betul-betul masuk ke pintu pertobatannya, ketika dalam sesi gladi yang dilakukan sehari sebelum resepsinya, iblis-iblis itu datang seketika, dengan rentetan salak senapan yang tak terkira. Para iblis itu tak membutuhkan waktu yang lama untuk mengantarkan mereka yang hadir di kapel itu ke alam baka. Si Pengantin pun terbujur telentang di lantai. Perutnya yang membuncit semakin jelas terlihat di antara gaun pengantin putih yang ia kenakan, yang telah bersimbah darah.
Tapi mungkin memang benar, Tuhan Maha Pengampun. Tuhan telah mencatat niat pertobatan Si Pengantin. Dengan cara yang tak terjelaskan nalar, Tuhan telah mengirim malaikat untuk menyelamatkan Si Pengantin. Tuhan menahan roh kehidupan Si Pengantin untuk lepas meninggalkan raganya. Memang tak cepat. Dua tahun. Saat kemudian Si Pengantin menemukan dirinya terbujur kaku di atas ranjang rumah sakit, dengan infus dan peralatan medis. Dengan perut yang tak lagi buncit. Dengan janin yang telah raib.
Si Pengantin masih ingat segalanya. Jalan pertobatan yang hendak ditempuhnya telah diputus. Para iblis itu telah mengacaukan niat sucinya. Para iblis yang adalah teman-teman dari balik halaman masa lalunya. Para iblis yang diam-diam menghidupkan kembali sosok-iblis-dalam-dirinya. Para Iblis yang telah mengundang kembali Si Ular Hitam Dari Afrika, Black Mamba, untuk keluar dari sarang lamanya yang pengap.
Si Pengantin menemukan kuldesak, jalan buntu yang berujung di titik dendam, yang menagih untuk segera dilunasi. Si Pengantin memang tak hendak menagih dendam dengan impas. Dia hanya ingin riwayat para iblis keparat itu tamat. Dia hanya ingin mereka tahu bahwa ia tulus dengan pertobatannya, dan bahwa Tuhan telah merestuinya, sehingga Tuhan sendiri turun tangan untuk menyelamatkannya dan memberi jalan untuk balas dendamnya. Karena itu, ia sangat sadar bahwa perjalanannya menuntaskan dendam adalah juga perjalanan spiritual, yang mungkin tak jauh berbeda nilainya dengan pertobatan.
Tentu ia tak dapat menghindar dari pembantaian. Karena melawan para iblis, tak boleh ada ragu untuk mengayun samurai, memotong leher dan lengan, mencongkel mata, atau menusuk jantung. Satu persatu, Si Pengantin membuat perhitungan, mengantar mereka semua ke ranjang peristirahatan mereka yang terakhir. Satu persatu, Si Pengantin mengakhiri riwayat mereka dalam kematian yang indah.
Si Pengantin melukis hamparan salju putih dengan darah, di antara butir-butir salju yang berderai dihembus angin, dengan latar Fuji yang indah, di halaman belakang Pondok Daun Biru. Ada iringan musik yang berkisah tentang bunga yang bermekaran di antara ladang pembantaian, yang dinyanyikan dengan penuh penghayatan, sehingga melantunkan aura spiritual yang mendalam. Aura spiritual yang juga dapat ditemukan dalam lukisan seorang gembala yang sedang sendiri, merenungi jalan hidup penuh misteri yang digariskan untuknya.
Si Pengantin menghamburkan sereal di dapur yang dicat warna-warni. Sereal itu tak ia hamburkan sendiri. Ia hanya melesakkan pisau ke jantung seorang iblis-curang yang menembaknya seketika, saat ia pura-pura membuatkan sereal untuk anaknya. Padahal ia tak ingin menghabisi iblis-curang itu di depan anaknya. Ia tak ingin anak itu mendendam, dan kemudian juga menjadi iblis seperti ibunya.
Si Pengantin sungguh disayang Tuhan. Ia tak perlu membunuh salah satu iblis itu dengan tangannya sendiri. Dua iblis saling berbunuhan, karena sifat tamak yang tak sanggup mereka pendam. Dan Tuhan betul-betul menyayangi orang-orang yang bertobat. Kuburan yang dibuat untuknya dia tinggalkan sepi tanpa penghuni. Mungkin dahulu Tuhanlah yang menuntunnya untuk belajar pada Sang Suhu, tentang bagaimana mengoyak papan dengan kepalan tangan.
Si Pengantin berduel dalam karavan sempit yang penuh dengan barang-barang yang berantakan. Si Pengantin membuktikan ketangguhannya bermain samurai yang dia dapat dari seorang Empu. Setelah cukup tegang berjibaku, Si Pengantin membalaskan dendam Sang Suhu dengan sisa satu kelopak mata iblis yang ia injak tanpa ampun.
Perburuan iblis terus berlanjut. Daftar iblis bersisa satu nama. Si Pengantin tahu, iblis yang satu ini adalah Raja Iblis. Dan untuk melawan dan menaklukkan Raja Iblis, yang dibutuhkan tak hanya nyali dan ketangkasan olah tubuh. Karena berburu Raja Iblis sangat mungkin akan mengantarkannya ke salah satu bilik dirinya sendiri. Karena pertempuran paling hebat memang adalah pertempuran menghadapi diri sendiri dan menundukkan hawa nafsu. Karena Raja Iblis diam-diam adalah sosok yang dicinta, sehingga ia juga menitipkan anak-anaknya untuk dibesarkan, dirawat, dan dijaga. Di titik ini, Si Pengantin harus bersitegang dengan dilema.
Sebenarnya, Si Pengantin telah menjawab dilema terbesar dalam dirinya dengan jalan pertobatan yang telah dipilihnya itu. Si Pengantin tak ingin anaknya tumbuh dewasa dengan mengetahui yang sebenarnya, bahwa bapaknya adalah seorang Raja Iblis. Si Pengantin tak ingin anaknya menjadi penerus Raja Iblis. Tapi untuk memilih jalan itu, Si Pengantin memang harus menghimpun segenap kekuatan hatinya untuk dapat memutuskan untuk meninggalkan lelaki yang diam-diam dicintainya itu.
Berdiri di hadapan Raja Iblis di sebuah medan duel memaksanya untuk kembali ke halaman depan gerbang pertobatannya, beberapa tahun sebelumnya. Di situ, Si Pengantin merasa berada di sepotong senja penuh bimbang, saat dia harus memutuskan ke manakah dia akan pulang. Konon, di senja hari, setan-setan memang tengah berpesta, berkeliaran mencari-cari mangsa. Si Pengantin buru-buru membuat rumah darurat di senja itu, demi menyelamatkan calon anaknya yang akan segera menyaksikan dunia.
Bayangan senja itulah yang lebih dulu menyerangnya, bersama dengan pertanyaan-pertanyaan Raja Iblis yang membangkitkan semua kenangannya tentang dilema di senja penuh bimbang yang mencekam itu.
Balas dendam memang bisa seperti belantara, yang dapat membawanya ke arah yang tak pernah diduga. Dan akhirnya, Si Pengantin memang harus kembali memutuskan. Membuat jawaban di antara dua pilihan yang sebenarnya tak jauh berbeda. Si Pengantin harus bersikap dingin, tegar, dan kuat, untuk menetapkan pilihan. Dengan kepedihan yang menyayat, ia pun mengakhirinya dengan jurus Tapak Lima Langkah Mematikan.
Si Pengantin pun pulang di pagi yang cerah, ke rumah barunya. Si Pengantin pun menapaki jalan takdirnya yang baru.
* Mengenang insomnia, awal Maret 2005--ditemani gerimis.
Rabu, 22 Februari 2006
Pembalasan Si Pengantin
Label: Movie
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
i love this movie too. g dapet blog lo dari wazeen, dia bilang lo suka Q.tarantino...
Posting Komentar