Judul Buku : Perang Suci
Penulis : Karen Armstrong
Penerbit : Serambi, Jakarta
Cetakan : Pertama, Oktober 2003
Berhadapan dengan tatanan dunia global dan pelbagai gugus pemikiran alternatif saat ini, agama dalam beberapa segi sedang dilanda krisis. Salah satu bentuk krisis yang dihadapi agama-agama dunia, terutama tiga agama besar yang berakar pada tradisi Semit yakni Yahudi, Kristen, dan Islam, adalah mulai mengelupasnya semangat kesejukan dan kedamaian yang terpancar dari ajaran-ajaran dan nilai-nilainya yang fundamental. Bila agama mula-mula bertekad untuk mengembalikan manusia ke dalam kefitriannya, muncul sejumlah fenomena kuat yang menunjukkan bahwa agama justru berbalik menjadi pengaduk nafsu yang menyorongkan semangat anti-kemanusiaan. Contohnya adalah berbagai bentuk tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama, baik itu berupa perang suci, praktik inkuisisi, atau yang serupa. Dasar asumsi yang melandasinya adalah pandangan yang menganggap orang atau kelompok lain sebagai sosok jahat, iblis, musuh Tuhan, yang patut dilaknat dan dimusnahkan.
Apakah kumpulan nilai, ajaran, dan latar sejarah ketiga agama monoteis itu memang cukup potensial memunculkan cara-cara pandang semacam ini? Dari perspektif monoteisme, sebenarnya bisa muncul dua kemungkinan yang berseberangan. Di satu sisi monoteisme kadang bisa menjadi dasar klaim monopoli kebenaran. Karena Tuhan hanya satu, maka agama merekalah yang benar. Tapi di sisi lain, dari perspektif filsafat perennial, monoteisme justru dapat menempatkan kebenaran dalam spektrum keterbukaan dan toleransi. Tuhan dan Kebenaran itu hanya satu, tapi terpancar dalam seribu wajah yang sangat kaya.
Penelaahan lebih jauh tentang kemungkinan dan potensi yang dikandung ketiga agama Semit tersebut dalam memicu dan mendesakkan doktrin kekerasan bisa dilakukan dengan penelusuran sejarah. Kilas-balik sejarah ini bukan sekadar pemaparan dan analisis yang biasa, tapi juga berkerangkakan pola-pola dan titik-titik krusial dalam ajaran dan sejarah agama yang kemudian memancarkan energi negatif ini. Inilah yang dilakukan Karen Armstrong dalam buku ini.
Dalam pemaparannya yang begitu jernih, tangkas, luas, mendalam, dan komprehensif, Armstrong bertitik tolak dari peristiwa Perang Salib yang terjadi di akhir abad ke-11 hingga akhir abad ke-13. Pilihan Armstrong ini bukan tanpa alasan, karena ternyata Perang Salib memang telah menyeret ketiga agama Semit itu dalam sebuah jalinan-akut yang begitu rumit, yang pada tingkat tertentu menempatkan kelompok agama lain sebagai penghalang terpenuhinya nubuat penyelamatan versi agama mereka. Ada tontonan antologi kebencian dan dendam yang mendalam dalam kisah-kisah Perang Salib, sehingga bahkan cukup mampu memercikkan bara di atas tumpukan ajaran agama yang mengajarkan cinta kasih, pembebasan dari ketertindasan, dan menjunjung kemanusiaan.
Mundur sedikit ke belakang, Armstrong memaparkan peristiwa-peristiwa kunci yang mendahului Perang Salib orang-orang Kristen Eropa untuk menguasai Yerusalem. Di abad ke-10, Eropa dihuni oleh orang-orang yang berperadaban tertinggal setelah hancurnya Kekaisaran Romawi. Krisis identitas orang Eropa di satu sisi berusaha dicarikan pemecahannya oleh gerakan reformasi yang disponsori komunitas Biara Ordo Benedektin Cluny di Burgundy. Dari gerakan reformasi inilah lahir sejumlah benih yang mempertautkan kerinduan orang-orang Kristen Eropa pada kesucian negeri Yerusalem. Penjelasan Armstrong yang menarik sedikit ke belakang dalam konteks perang suci ini bahkan menghujam lebih ke dalam lagi, ketika di bab pertama Armstrong memberikan kilasan singkat sejarah agama Yahudi, Kristen, dan Islam, dimulai dari kisah Ibrahim. Pada bagian ini Armstrong memberikan penekanan pada sejumlah peristiwa sejarah yang kemudian menjadi landasan pembenaran perang suci, eksplisit atau implisit.
Setelah kisah Perang Salib dituturkan secara cukup detail dari tahun ke tahun pada bagian kedua buku ini, Armstrong melanjutkan dengan menegaskan tesis utamanya tentang adanya keterkaitan yang kuat antara Perang Salib di Abad Pertengahan di Tanah Suci dengan konflik antara orang-orang Arab dan kaum Yahudi di Timur Tengah saat ini. Di sinilah ketajaman analisis Armstrong terlihat begitu jelas. Armstrong mampu merajut berbagai peristiwa sejarah dalam satu wadah persoalan yang cukup padu. Misalnya, tentang kisah Perang Salib, terbentuknya Zionisme, juga keterlibatan (baca: keberpihakan) Amerika terhadap Israel dalam konflik Timur Tengah saat ini. Bahkan, dalam soal yang terakhir ini, Armstrong mampu merujukkannya kembali ke sejarah pembentukan masyarakat Amerika itu sendiri.
Apa yang diinginkan Armstrong dari seluruh uraiannya dalam buku ini adalah bagaimana membentuk “visi berangkai tiga” (triple vision) dari ketiga tradisi agama Semit itu dalam memandang tragedi perang-perang suci. Armstrong dalam hal ini tidak saja mengurai belitan legitimasi religius dalam perang suci, tapi juga legitimasi ilmiah yang dalam sejarahnya sempat muncul beberapa kali, seperti dalam karya-karya orientalis. Dari segi inilah kelebihan karya ini mencuat ke permukaan. Selain itu, di sepanjang pemaparan masalah, Armstrong berusaha kuat untuk tetap terpandu oleh objektivitas dan sikap proporsional, bahkan dengan risiko pengakuan dosa-dosa orang Barat sendiri.
Yang paling menarik, karya Armstrong ini tidak saja akan dapat menjadi sebuah upaya klarifikasi-sejarah yang bersifat objektif atas berbagai tragedi dan luka sejarah yang perlu dipulihkan itu. Uraian-uraiannya tidak saja mengupas tuntas kronologi historis perang-perang suci, tapi juga berhasil memberi semacam pendekatan subjektif: di beberapa bagian, Armstrong berhasil menarik emosi dan empati pembacanya untuk terlibat lebih langsung dan lebih intens dengan pengaruh pedih perang suci yang tertanam dan bahkan diwariskan antar-generasi. Ini bukan saja dapat dilakukan karena cara peneguhan argumentasi Armstrong yang juga banyak menggunakan data berupa karya-karya sastra, tapi juga karena sejak awal Armstrong sadar bahwa masalah perang suci atau kekerasan berlatar agama tidak dapat diselesaikan semata-mata dari pendekatan rasional atau politik. Umat ketiga agama juga harus digugah rasa pertanggungjawabannya, dari sisi eksistensial-kemanusiaan, untuk kembali ke semangat primordial agama-agama sebagai rahmat bagi semesta.
Dengan cukup terpenuhinya perspektif dari dimensi objektif dan subjektif yang terdapat dalam sejarah agama dan kekerasan, maka langkah rekonsiliasi tentu menjadi lebih mudah dan terbuka. Buku ini adalah upaya untuk meredakan bara nafsu yang mengurung cara pandang umat beragama dalam teologi dendam dan kekerasan, menyambung kembali ruh epistemologis ajaran-ajaran agama yang rindu akan kesejukan dan kasih sayang, mengundang kembali nalar dan nurani yang telah dicampakkan di antara reruntuhan perang dan di sekujur tubuh-peradaban.
Bahan pengantar Peluncuran Buku Perang Suci karya Karen Armstrong di British Council Jakarta, 17 Oktober 2003.