Gemuruh perang Irak pelan-pelan mereda. Tapi orang-orang di sana tentu masih belum bisa mengusir sedih dan gelisah mereka: hilangnya sahabat dan kerabat tercinta, lantaknya bangunan tinggal dan tempat bersejarah, belum lagi masa depan yang masih dipenuhi jelaga. Kita yang berada di belahan dunia lain mestinya mampu berempati dengan kemanusiaan mereka yang tercederai semena-mena. Tapi sungguh, tragedi perang semacam di Irak itu bukan hanya sepenggal berita tentang direnggutnya nyawa atau harta. Bukan pula sekadar ajang permainan politik antar-negara-negara adidaya yang berebut kuasa. Sungguh, ini adalah kabar buruk tentang masa depan peradaban dunia. Di awal milenium baru ini, justru peradaban kita mengalami involusi ke titik yang cukup jauh.
Dalam film arahan Oliver Stone yang dirilis tahun 1986 berjudul Platoon, yang merefleksikan pengalaman Stone ketika terjun di perang Vietnam, Chris (diperankan oleh Charlie Sheen) berkata tentang suasana perang di Vietnam: “Konon seseorang menulis: Neraka adalah kemustahilan nalar. Aku merasakan tempat ini demikian. Ya, neraka.” Ungkapan ini dengan tepat mengungkapkan involusi peradaban yang baru saja berulang ini.
Makna involusi yang dimaksudkan di sini akan terlihat begitu benderang bila kita mencermati bagaimana Immanuel Kant, seorang filsuf Jerman abad ke-18, mendefinisikan Pencerahan (Aufklärung). Pencerahan baginya adalah “jalan keluar” yang membebaskan manusia dari ketidakdewasaannya. Jalan menuju kedewasaan di sini diungkapkan Kant dengan keberanian menggunakan rasio sendiri, terangkum dalam semboyan: Sapere Aude! (Beranilah berpikir sendiri!).
Dari sini kita dapat memperoleh sebuah gambaran kontras, bagaimana perang yang dalam ungkapan Chris merenggut nalar kemanusiaan dan mencipta neraka di dunia itu pada dasarnya sungguh menggerogoti pencapaian keberhasilan manusia untuk senantiasa hidup dituntun oleh akal sehatnya. Periode Pencerahan di Barat adalah penegasan semangat Renaisans sekaligus anti-tesis pola pikir Abad Pertengahan. Etos Pencerahan di satu sisi telah mendorong banyak perkembangan pemikiran dan kemajuan peradaban, termasuk segenap hal yang diraih abad informasi sekarang ini. Tapi dari Chris, kita tersentak, bahwa ternyata kita masih bisa terjerembab ke jurang ketidakdewasaan itu.
Dalam kasus perang Irak, ketidakdewasaan itu bisa mewujud dalam cara berpikir berstandar ganda dalam memperlakukan sebuah negara. Bandingkanlah, misalnya, bagaimana Amerika memperlakukan Irak dan Israel. Ketidakdewasaan juga tercermin dalam egoisme dan kesombongan hegemonik yang dimiliki Amerika atas negara-negara yang lain.
Perang tidak saja mengoyak akal sehat, tapi juga nurani dan peradaban yang subjek utamanya adalah manusia. Perang adalah peninggalan peradaban biadab yang hanya mengedepankan kekuatan fisik. Sementara kualitas-kualitas kemanusiaan sejati diabaikan. Ironi sebuah perang memang benar-benar hanya menciptakan neraka! Dalam buku bagus berjudul Holy War, yang bercerita tentang perang suci agama, dengan lincah Karen Armstrong menyajikan gambaran ambigu dan paradoksal dari sebuah perang: betapa pada Perang Salib Keempat, tentara-tentara Kristen Eropa akhirnya malah memerangi saudara-saudara seiman mereka, yakni kaum Kristen Ortodoks Yunani, bukannya kaum muslim di Tanah Suci Yerusalem. Bukan hanya nalar yang dicampakkan, tapi bahkan iman keagamaan juga diinjak oleh adonan “kemustahilan nalar” yang menggumpal.
Kita yang hidup di tanah nusantara ini mungkin memang (semoga) tidak akan mengalami perang sedahsyat di Irak. Tapi ketidakdewasaan, sungguh masih menjadi momok yang kerap menguntit di belakang kita. Caranya bekerja memang selalu lihai, bergerak diam-diam menumpang di atas label-label pembenaran tertentu, atau bersembunyi di balik retorika dan pemutarbalikan fakta dan kata-kata, sehingga kerap sulit teridentifikasi.
Tidak perlu kita jauh-jauh membayangkan bahwa hal semacam ini terjadi pada level sosial dan bersifat massif, yang tentu saja akibatnya akan juga meluas. Seorang kepala keluarga bisa saja bertindak tidak dewasa dengan mengabaikan kemandirian berpikir anggota keluarganya dan hanya memaksa untuk menerima gagasannya, tapi tidak mengindahkan pengertian dan pengalaman kompleks anggota keluarganya atau justru bersikap apriori. Bila ini masih terjadi, elemen mendasar dalam masyarakat kita tentu akan sulit dididik berlaku dewasa.
Seusai perang, kita harus kembali mengingatkan semuanya untuk menabuh genderang perang melawan cara-cara tidak dewasa yang hanya akan menyurutkan keberadaban kita. Bahkan bila kita harus menghadapi lawan yang mungkin saja adalah diri kita sendiri. Dengan begitu, kita bisa terus menjaga harkat kemanusiaan kita.
April 2003
Sabtu, 26 April 2003
Seusai Perang
Label: Cultural Issues
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar