Minggu, 04 November 2001

Atmosfer Kebebasan dan Paradoks Pers Reformasi

Judul Buku : Politik Media dan Pertarungan Wacana
Penulis : Agus Sudibyo
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Agustus 2001
Tebal : xviii + 332 halaman


Setelah proses reformasi berlangsung selama lebih dari tiga tahun, ada sebuah pertanyaan besar menyangkut dunia pers di Indonesia: sudahkah atmosfer kebebasan yang dihirupnya telah mampu mengantarkan pers Indonesia ke sebuah peran konstruktif untuk mendukung proses demokratisasi dan reformasi? Sudahkah pers Indonesia selama ini mengawal proses reformasi pada jalur yang positif?

Pertanyaan ini menarik dan penting dijawab karena carut-marut wajah dunia politik di Indonesia yang tak kunjung usai ini di satu sisi sebenarnya juga membutuhkan dukungan dari salah satu unsur pembentuk dan penyokong demokrasi: dunia pers. Pers idealnya dapat mendorong terciptanya sebuah public sphere (menurut istilah seorang filsuf Jerman, Jurgen Habermas), yakni sebuah medan luas di antara negara dan masyarakat tempat semua warga negara dapat terlibat dalam isu-isu penting tentang permasalahan bersama secara wajar, adil, dan proporsional.

Memang tidak mudah untuk menilai kinerja pers Indonesia selama proses reformasi ini berlangsung. Dan kehadiran buku ini setidaknya dapat menjadi salah satu penimbang untuk menyodorkan jawaban atas persoalan tersebut. Buku yang ditulis oleh analis media pada program media watch Institut Studi Arus Informasi (ISAI) ini adalah sekumpulan hasil penelitian lapangan terhadap pelbagai perilaku pers Indonesia pasca-Orde Baru.

Dalam spektrum yang lebih luas, pers reformasi memang hadir dalam sebuah ruang luas tempat kebebasan dirayakan besar-besaran. Arus kebebasan berekspresi ini tidak hanya dimiliki oleh kalangan elit-elit politik atau dunia pers saja, tetapi juga masyarakat kalangan bawah yang sebelumnya relatif awam terhadap dunia politik. Karena itu, amat wajar bila pentas politik diwarnai dengan sejumlah pertunjukan yang beragam, mulai dari pernyataan-pernyataan atau isu kontroversial seorang tokoh, gejala disintegrasi, konflik antarkelompok masyarakat, atau aksi-aksi protes masyarakat bawah terhadap institusi pemerintah. Dalam struktur lingkungan sosial-politik yang sedemikian rupa itulah para kuli disket itu bekerja.

Dari beberapa topik penelitian yang tersaji dalam buku ini, terungkap adanya kecenderungan pekerja pers untuk abai terhadap persoalan yang mungkin dianggap sepele tapi sebenarnya cukup berpengaruh dalam pemberitaan. Pemilihan sumber berita misalnya menjadi suatu persoalan yang patut disorot secara kritis, karena menurut penulis buku ini sumber berita hadir membawa definisi realitas yang diam-diam bersifat hegemonik.

Dalam kasus pemberitaan mengenai konflik antara petani dengan pemilik perkebunan dan pemerintah yang terjadi awal 1999 di Malang misalnya pers masih lebih sering mengutip sumber dari satu pihak: pemilik perkebunan dan aparat keamanan. Para petani pun diberi label sebagai “penjarah”—padahal, siapa sebenarnya yang telah “menjarah” hak-hak kaum petani.

Demikian pula dalam pemberitaan kasus Aceh Merdeka. Pengamatan terhadap Harian Kompas, Republika, Terbit dan Pos Kota selama bulan November hingga Desember 1999 menunjukkan bahwa sumber berita dari pemerintah menempati porsi 51%, sedang sumber dari masyarakat Aceh sendiri hanya 13%. Yang lebih mengenaskan, perbincangan tentang penyelesaian masalah Aceh ternyata lebih bersifat retoris, terbukti dengan sering munculnya rekomendasi penyelesaian yang tidak jelas opsi-opsinya.

Ketidakcermatan awak media dalam memburu berita yang bersifat faktual ini juga tampak dalam pemberitaan kasus kontroversial semacam Buloggate dan Bruneigate. Penelitian terhadap Harian Kompas, Media Indonesia, Pos Kota, dan Rakyat Merdeka selama bulan Juni 2000 mengungkapkan bahwa pemberitaan pers tentang kedua kasus yang melibatkan Presiden Abdurrahman Wahid itu justru banyak bertumpu pada fakta psikologis daripada fakta sosiologis. Penggunaan term-term yang secara psikologis berbau KKN, seperti “orang-orang dekat presiden”, “kroni-kroni”, “penyalahgunaan wewenang”, dan sebagainya, lebih bersifat propaganda ketimbang usaha investigasi yang lebih dalam. Laporan yang disusun pun dibuat tidak berdasarkan sumber langsung yang berkompeten terhadap kasus tersebut, tapi lebih banyak dari kalangan legislatif—itupun kebanyakan yang kontra-Gus Dur.

Buku bagus ini telah cukup mampu membuka mata kita lebar-lebar bahwa ruang publik yang bebas dari intervensi pasar maupun negara masih belum sepenuhnya terbentuk di alam reformasi ini. Transaksi wacana secara fair masih merupakan pekerjaan rumah yang menunggu penyelesaian segera, sebelum justru melahirkan persoalan baru yang menambah akut proses reformasi ini.


Tulisan ini dimuat di Koran Tempo, 4 November 2001.


0 komentar: