Senin, 11 Maret 2002

Memupuk Kepekaan Spiritual Anak

Judul Buku : 10 Prinsip Spiritual Parenting: Bagaimana Menumbuhkan dan Merawat “Sukma” Anak-Anak Anda
Penulis : Mimi Doe dan Marsha Walch
Penerbit : Kaifa, Bandung
Cetakan : Pertama, November 2001
Tebal : 328 halaman


Kebudayaan modern yang berkembang saat ini cenderung menjadi kebudayaan yang bercorak positivistik, kering, terlalu rasional, dan nyaris tidak mengakomodasi berbagai potensi diri manusia yang diklaim tidak berdasar, seperti potensi spiritualitas (iman), dan sebagainya. Berbagai produk kebudayaan modern mengarahkan orientasi hidup manusia pada hal-hal yang berbau material dan abai terhadap hal-hal yang berbau moral-spiritual.

Serbuan kebudayaan modern yang bersifat negatif ini masuk ke seluruh relung kehidupan, tanpa mengenal batas usia. Anak-anak adalah salah satu objek hegemoni budaya ini. Tayangan televisi dan iklan-iklan turut menyumbang proses penyumbatan dimensi spiritual anak, dengan menawarkan dan menggiring imaji-imaji kesuksesan berupa kebahagiaan material.

Buku ini berisi serangkaian panduan praktis untuk mengembalikan anak kepada potensi spiritualitas yang dimilikinya sebagai sosok manusia yang utuh. Sejak awal Mimi Doe dan Marsha Walch, penulis buku ini, sudah mengungkapkan bahwa anak-anak secara alamiah sebenarnya adalah makhluk spiritual, yang tercermin dalam kreativitas tak terbatas, imajinasi yang luas, dan pendekatan terhadap kehidupan yang terbuka dan gembira. Spiritualitas di sini memang tidak diartikan secara sempit, sebagai sebuah wilayah yang hanya berada dalam ranah agama, tapi juga terhampar luas dalam pelbagai kisi-kisi kehidupan yang sederhana.

Urgensi spiritualitas itu sendiri tidaklah perlu diragukan lagi. Mimi Doe dan Marsha Walch mengajukan tiga hal makna spiritualitas dalam kehidupan manusia. Pertama, spiritualitas adalah dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral, dan rasa memiliki. Kedua, spiritualitas memberi arah dan arti pada berbagai pengalaman hidup—yang manis, atau bahkan yang pahit. Dan ketiga, spiritualitas sebagai pengakuan terhadap adanya kekuatan nonfisik yang lebih besar dari manusia—yang kemudian disebut Tuhan—membantu menghubungkan kita dengan Zat Mahaagung tersebut.

Anak-anak itu sendiri pada dasarnya adalah profil yang penuh dengan kejujuran dan ketulusan dalam mengapresiasi hidup. Ada sejumlah kalangan yang menyamakan anak-anak dengan profil seorang filsuf, yang selalu berusaha takjub terhadap hal-hal sederhana yang sebenarnya menggugah “dimensi dalam” manusia. Karena itu, upaya memupuk spiritualitas anak yang dimulai dari lingkungan keluarga sebenarnya adalah suatu proses alami, mengikuti bakat spiritual anak.

Sesuai dengan judulnya, buku ini menyajikan 10 prinsip pokok untuk menyemai benih-benih spiritualitas dalam diri anak dan lingkungan keluarga. Meski disebut prinsip, kesepuluh hal yang diuraikan dalam buku ini nyaris bersifat praktis. Kesepuluh prinsip itu adalah: Pengetahuan bahwa Tuhan selalu mengawasi manusia, bahwa semua kehidupan itu berhubungan dan bertujuan, kesiapan dan kehendak untuk mendengarkan ujaran dan pikiran sang anak, penggunaan kata-kata secara hati-hati dan cermat, mendorong impian, keinginan, serta harapan anak, memberi sentuhan keajaiban pada hal-hal yang bersifat biasa, menciptakan struktur keluarga yang luwes, memberi teladan positif kepada anak dalam keluarga, melepaskan pergulatan yang menekan, dan menjadikan setiap hari sebagai suatu awal baru.

Pada umumnya, kesepuluh prinsip ini berusaha menggali dan mendekati persoalan hidup sehari-hari yang sederhana dari perspektif spiritualitas alamiah anak. Adanya kesadaran tentang keterlibatan dan pengawasan Tuhan bagi anak-anak misalnya dapat diidentikkan dengan memposisikan Tuhan sebagai Orang Tua Tertinggi yang memberi asuhan dan perhatian hangat. Untuk itu, anak-anak perlu diyakinkan bahwa suara Tuhan juga ada dalam diri mereka. Ingatkan anak-anak untuk mendengar dengan seksama, bahwa Tuhan akan berbicara dengan cara yang sangat mudah dimengerti, dengan suara penuh kasih dan ramah, bukan dengan suara menakutkan dan keras. Dimensi lembut dan kasih sayang dari Tuhan di sini harus mendapat penekanan, sehingga citra Tuhan yang diterima anak adalah sosok Tuhan yang penuh cinta.

Beberapa cara praktis untuk membantu anak menjalin hubungannya yang akrab dengan Tuhan adalah dengan memancing mereka dengan doa-doa spontan, atau dengan pertanyaan sederhana semisal: “Jika kau dapat menelepon Tuhan, apa yang akan kau katakan, pertanyaan dan permintaan apa yang akan kau ajukan?”.

Selain hubungan hangat dengan Tuhan, anak-anak perlu juga diberi kesadaran tentang integralitas kehidupan alam semesta, bahwa seluruh kehidupan saling berhubungan dan bertujuan. Di sini, anak-anak diajak untuk memahami luas dan beragamnya ciptaan Tuhan, dan bahwa semua itu diciptakan tidak dengan sia-sia (bandingkan dengan Al-Qur’an, surat Alu `Imran/3:190-191).

Kesadaran akan keterjalinan kehidupan ini didorong dengan menghimbau mereka berperilaku sopan dalam kehidupan sehari-hari dan dengan penyadaran akan nilai kerja sama sehingga sesuatu masalah dapat terselesaikan dengan lebih baik. Nilai kesopanan terhadap sesama di sini dapat diajarkan dengan menjelaskan bahwa semua manusia itu sebenarnya adalah pernyataan cinta Tuhan. Karena itu, anak-anak diajak untuk selalu mencari hal-hal positif dari orang lain. Penanaman nilai semacam ini memang dapat dimulai dari hal-hal yang dianggap sepele, dengan menyentuh kehidupan sesama melalui senyum ramah, anggukan, ikut tertawa dalam kebersamaan, atau bisikan doa untuk orang lain.

Partisipasi kesadaran anak terhadap integralitas semesta juga perlu dilanjutkan dengan peningkatan kesadaran lingkungan. Bagaimana mereka peduli dengan penderitaan orang lain, kebersihan lingkungan, keseimbangan ekosistem, binatang, dan semacamnya.

Upaya untuk menyatukan anak dengan seluruh elemen kehidupan sosial ini adalah langkah awal untuk menumbuhkan rasa kemasyarakatan dalam diri anak, sehingga nanti mereka tidak hanyut dalam pergaulan hidup yang semakin mekanis.

Prinsip menarik lainnya adalah prinsip-prinsip yang berusaha mengakomodasi sifat khas anak, seperti spontanitas, harapan, impian, dan keinginan mereka yang kadang cukup aneh, atau ocehan mereka yang kadang tidak diperhatikan. Padahal, di situlah sebenarnya benih potensi spiritualitas mereka ditemukan, sehingga nantinya mereka dapat menjalani hidup dengan lebih luwes, berani, dan optimis.

Letak menarik buku ini tidak hanya karena sifat praktisnya dalam upaya-upaya menumbuhkan dan merawat “sukma” anak-anak. Dalam buku ini juga ada banyak ungkapan-ungkapan anak-anak yang dicatat Mimi Doe dan Marsha Walch yang sangat sederhana, polos, tapi menyentuh. Misalnya yang satu ini: “Tuhan dapat membuat semua orang bahagian jika saja manusia mau mendengarkan. Kita selalu tahu jauh di lubuk hati apa yang harus dilakukan. Hanya saja ini bergantung pada seberapa dalam Anda memutuskan untuk mendengar” (Usia enam tahun).

Dari sini sebenarnya para orang tua juga diajak untuk banyak belajar dari kesederhanaan, kepolosan, kejujuran, dan kepekaan anak-anak terhadap berbagai pengalaman hidupnya. Karena itu, para orang tua juga diajak untuk lebih memberi perhatian terhadap aktivitas hidup si anak.

Buku ini pada dasarnya adalah sebuah buku yang tengah mengikuti arus besar perubahan orientasi pada bidang psikologi (pendidikan) di lingkungan akademik Barat. Buku ini adalah sebuah pengakuan dan penegasan tentang perjumpaan epistemologis antara agama dan psikologi—seperti juga dengan semakin diakuinya urgensi SQ (kecerdasan spiritual)—sehingga dimensi-dimensi khazanah spiritual manusia itu sendiri diupayakan untuk terus digali.

Penting untuk dicatat, bahwa spiritualitas yang dimaksudkan buku ini bukan semata-mata spiritualitas yang bercorak religius. Melainkan lebih sebagai spiritualitas sosial yang kemudian diartikan secara luas. Ini memang seiring dengan model spiritualitas sekuler masyarakat Barat yang belakangan juga mulai tumbuh subur.

Akan tetapi, itu bukan berarti mengurangi nilai penting buku ini. Karena upaya-upaya penggalian nilai spiritualitas anak tersebut pada sisi lain juga searah dengan langkah penyadaran nilai kemanusiaan sehingga anak-anak nantinya memiliki wawasan hidup yang toleran, ramah lingkungan, terbuka, dan penuh dengan pancaran cinta kasih. Nilai-nilai semacam inilah yang amat dibutuhkan dunia saat ini untuk mengatasi carut-marut kehidupan yang semakin keras dan tak lagi ramah.


Tulisan ini dimuat di Koran Tempo, 10 Maret 2002.


0 komentar: