Judul Buku : Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992
Penulis : Rizal Mallarangeng
Pengantar : Dr Muhammad Chatib Basri
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation
Cetakan : Pertama, Maret 2002
Tebal : xxx + 269 halaman
Rezim Orde Baru memang adalah sebuah pemerintahan sentralistik, totaliter, dan nyaris merengkuh setiap segi kehidupan masyarakat. Tetapi, yang menarik, pada pertengahan dekade 1980-an, terjadi pendobrakan terhadap model sentralistik dalam bidang perekonomian. Semenjak itu, secara diam-diam, praktik-praktik ekonomi Indonesia bercorak liberalistik.
Buku ini adalah studi serius terhadap liberalisasi ekonomi di Indonesia pada periode 1986-1992. Yang membedakan studi ini dengan kajian-kajian yang lain terletak pada dimensi yang dibidik. Studi ini berusaha mengeksplorasi peran gagasan dalam rentang historisitas proses liberalisasi ekonomi di Indonesia. Rizal Mallarangeng, penulisnya, memperkenalkan istilah “komunitas epistemis liberal”, yakni institusi yang menjadi semacam infrastruktur gagasan, variabel perantara yang memainkan peran penting dalam mengejawantahkan gagasan menjadi kebijakan.
Perspektif ini dipergunakan Mallarangeng dalam seluruh uraiannya, termasuk ketika di awal bagian memotret kebijakan ekonomi pada awal Orde Baru. Kelahiran Orde Baru dibarengi dengan semangat untuk membuka diri ke luar, mendorong langkah-langkah liberalisasi, menyehatkan mekanisme pasar, dan membuka pintu bagi perdagangan dunia. Adalah sekelompok intelektual yang kemudian dikenal dengan Mafia Berkeley, di antaranya Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, yang menjadi pemasok dan pendorong gagasan mengenai hal ini, setelah sebelumnya melakukan kritik habis-habisan terhadap kebijakan ekonomi Soekarno yang terlalu mendasarkan diri pada pertimbangan politik, bukan rasionalitas ekonomi. Dan jelas, Soeharto bersama rezim Orde Baru mengakomodasi pemikiran-pemikiran kelompok ini.
Tetapi, Peristiwa Malari 1974 yang menelan banyak korban telah mengubah arah kebijakan Indonesia kembali dalam bentuknya yang sentralistik. Ini juga tidak lepas dari kritik para penentang kelompok Widjojo, seperti Muhammad Hatta, Soedjatmoko, atau Mochtar Lubis. Pasca-Malari, sentralisme ekonomi bertahan didukung oleh meningkatnya penerimaan negara dari sektor migas.
Ketergantungan terhadap sektor migas ini akhirnya justru menggoyahkan gagasan sentralisme ekonomi, ketika sejak 1981 harga minyak dunia anjlok. Ditambah lagi utang negara yang semakin membengkak. Pada saat itulah, kelompok Widjojo kembali menabur gagasan liberalisasi ekonomi. Yang menarik, tidak hanya kelompok lama (Widjojo dkk) yang mendukung gagasan ini yang notabene pernah atau sedang berada dalam lingkaran kekuasaan, tapi juga “orang luar” yang terdiri dari para ekonom, intelektual, peneliti, penulis, dan wartawan, sehingga lebih leluasa memasarkan gagasan-gagasan mereka. Merekalah kelompok komunitas epistemis liberal, yang di antaranya adalah Anwar Nasution, Kwik Kian Gie, Pande Raja Silalahi, Jakob Oetama, dan Nono Anwar Makarim.
Terhitung sejak tahun 1985, muncul beberapa kebijakan yang mengarah kepada semangat liberalisasi ekonomi. Seperti penghapusan dinas bea-cukai, pemangkasan sistem perizinan, reformasi sektor perbankan, atau kebijakan-kebijakan investasi yang memberi angin segar kepada investor asing. Beberapa tahun kemudian, terasa beberapa dampak liberalisasi, seperti menurunnya peran regulasi negara dan diambil alih oleh pasar, serta pertumbuhan pesat ekspor non-migas yang semakin meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi. Beberapa kenyataan tersebut pada sisi lain ternyata semakin memperlebar konstituen pendukung kebijakan ekonomi liberal.
Namun memasuki dekade 1990-an, ekonomi liberal Indonesia mengalami kelelahan deregulasi. Kritik bertubi terhadap liberalisasi kembali muncul. Ini dibarengi dengan tuduhan lahirnya monster baru yakni para konglomerat yang sebagian besar adalah keturunan Tionghoa yang justru semakin memperlebar kesenjangan sosial. Demikian pula mulai merebaknya gejala kroniisme. Dalam situasi demikian, Soeharto yang kekuasaannya sudah cukup mapan mengambil langkah-langkah individual melangkahi para pembantu ekonominya, yang semua itu dilakukan demi melanggengkan kursi kekuasaannya.
Buku yang diangkat dari disertasi Mallarangeng di The Ohio State University ini menunjukkan betapa segugus gagasan dapat mengubah jalan suatu peradaban. Dalam konteks Indonesia, kajian ini telah membuka dan memperkaya perspektif baru tentang ekonomi politik liberalisasi, yang pada gilirannya dapat diharapkan menjadi dasar-dasar pertimbangan pemikiran untuk memulihkan kembali ekonomi Indonesia yang saat ini lantak berantakan.
Tulisan ini dimuat di Harian Media Indonesia, 19 Mei 2002.
0 komentar:
Posting Komentar