Potret diri Raden Saleh - foto diambil dari Wikipedia |
Namun, seiring berjalannya waktu serta bertambahnya bacaan dan pengalaman saya, saya seperti menghayati semangat tertentu saat di awal tahun pelajaran 2012/2013 ini mendiskusikan Raden Saleh bersama murid-murid di ruang kelas. Saya merasa menemukan makna tertentu di balik diskusi yang diliputi nuansa kesejarahan tersebut.
Membawa Raden Saleh ke ruang kelas nun jauh di pelosok Madura bagi saya terasa seperti mengantar semangat modern ke hadapan murid-murid saya. Di mata saya, mendiskusikan sosok Raden Saleh di depan murid yang kebanyakan bahkan masih tak pernah menginjakkan kaki di Jakarta adalah menanamkan semangat kosmopolitanisme untuk sebuah masa depan yang semakin majemuk.
Lini masa Raden Saleh di sepanjang abad ke-19 mencerminkan pergulatan seorang pemuda Indonesia yang mengecap gairah modern Eropa. Modernisme Raden Saleh tampak dari fakta bahwa dialah yang pertama merintis seni lukis modern Indonesia yang dibawanya dari Eropa setelah berkelana lebih 20 tahun di sana. Raden Saleh juga dipandang memelopori pelajaran kesenian di Indonesia, karena pada 1863 dia menyusun buku pelajaran menggambar untuk anak-anak sekolah dan disebar ke beberapa wilayah Nusantara.
Namun peneguhan label modern untuk Raden Saleh tak semata berdasar atas fakta-fakta tersebut. Modernisme adalah juga terutama sebuah gagasan. Memberikan label modern kepada Raden Saleh dalam dunia seni rupa Indonesia juga dilakukan karena dia membawa ide modern dalam karya lukisannya.
Salah satu gagasan modern yang mengemuka dari Raden Saleh adalah sumbangannya dalam membentuk sikap antipenjajahan. Lukisannya yang berjudul “Penangkapan Pangeran Diponegoro” yang diselesaikan pada 1857 dan dipersembahkan kepada Raja Willem III di Den Haag banyak diulas dan diapresiasi berbagai kalangan untuk menunjuk pada kesimpulan ini.
Semangat antipenjajahan ini, yang bagi sebagian kalangan juga dipandang sebagai cikal bakal tumbuhnya nasionalisme, saya diskusikan dengan penuh semangat di ruang kelas bersama murid-murid saya. Saat makna kebangsaan kini tertantang oleh aneka problem kebangsaan dalam kehidupan sosial yang semakin mendunia, saya jadi merasa seperti tengah memunguti semangat yang tersimpan dalam kisah hidup pelukis berdarah Arab ini untuk kemudian meletakkan nasionalisme dalam konteks yang lebih bermakna.
Dalam beberapa sumber, seperti ditulis oleh Werner Kraus, digambarkan betapa Raden Saleh—yang pernah tinggal di Belanda, Jerman, dan Prancis—sangat terpikat dengan modernisme Eropa. Kraus secara khusus menggambarkan bahwa kota Dresden di Jerman menjadi tempat yang istimewa di hati Raden Saleh. Tak hanya menemukan ekspresi artistik dan kepercayaan dirinya sebagai seorang seniman, periode Dresden digambarkan sebagai masa paling bahagia dalam hidupnya. Di sisi yang lain, masyarakat Jerman memberikan penghormatan yang tinggi kepadanya. Kisah Raden Saleh di Maxen, selatan Dresden, dan tinggalannya berupa Masjid Biru menjadi bagian dari peringatan ke-750 hari jadi kota Maxen tahun 2005 lalu.
Namun demikian, Raden Saleh melalui lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” tampak menyerap gagasan modern. Ia tampil sebagai individu yang independen. Meski mengagumi dan lama dididik, bekerja, dan dibesarkan di Eropa, Raden Saleh melalui adikaryanya itu memperlihatkan keteguhannya untuk menjungkirbalikkan gambaran Nicolaas Pieneman tentang peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro pada 28 Maret 1830. Fakta-fakta dalam lukisan Pieneman yang dibuat atas pesanan Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock berjudul “Penyerahan Diri Diponegoro” (1835) itu oleh Raden Saleh dibalik dan dibantah.
Sikap independen yang bertolak dari prinsip dan gagasan modern seperti antipenjajahan atau antipenindasan ini yang juga diperkaya dengan pengalaman dunia dan dedikasinya pada dunia seni bagi saya adalah semangat yang sangat berharga untuk ditanamkan pada generasi muda yang menurut saya akan menghadapi sebuah masa depan yang semakin mondial.
Saat mengakhiri kelas yang baru saja membahas tiga artikel tentang Raden Saleh dari berbagai sumber terpilih pekan lalu, saya teringat potret diri Raden Saleh di Rijksmuseum Amsterdam yang sempat saya tatap lekat-lekat di bulan Desember 2009. Saya membayangkan kelak di antara murid-murid saya ini mungkin akan ada yang juga menatap lukisan yang sama di museum terkemuka di Belanda itu. Mereka mungkin akan bersentuhan langsung dengan berbagai peradaban dunia. Atau saya pikir paling tidak mereka kelak pasti akan banyak bergelut dengan ide-ide dunia dan gagasan modern.
Dalam konteks dan kerangka seperti inilah, saya pikir pergulatan hidup Raden Saleh menjadi relevan untuk direfleksikan bersama murid-murid saya.
Guluk-Guluk, 16 September 2012
Bahan Bacaan
Dharmawan, Budi N.D.. 2012. “Pionir di Celah Dua Loka”. National Geographic Indonesia, Mei 2012.
Kraus, Werner. 2004. “Raden Saleh di Jerman”. Jurnal Kalam, No 21, 2004.
Sachari, Agus. 2010. Seni Rupa dan Desain untuk SMA Kelas XII. Jakarta: Erlangga. Cetakan Ketiga.
Supangkat, Jim. 2000. “Raden Saleh dan Revolusi 1848”. 1000 Tahun Nusantara. Editor: J.B. Kristanto. Jakarta: Penerbit Kompas.
Suyono, Seno Joko, dkk. 2010. “Merawat Raden Saleh”. Majalah Tempo, 5 Juli 2010.
Esai ini menang dalam Kompetisi Esai Mengenang Raden Saleh (Kategori Akademisi) yang diadakan oleh Goethe Institut Indonesia, Tempo Institute, Majalah Historia, dan Badan Kerjasama Kesenian Indonesia (BKKI). Fragmen esai ini dibacakan dalam Peluncuran Buku Raden Saleh: Awal Seni Lukis Modern Indonesia karya Dr. Werner Kraus di Langgeng Art Foundation, Yogyakarta, 12 Desember 2012.
0 komentar:
Posting Komentar