Krisis ekonomi dan moneter yang melahirkan efek domino di berbagai sisi pada akhirnya meruntuhkan berbagai sendi utama kehidupan bangsa Indonesia. Disintegrasi menjadi hantu gentayangan yang selalu membayangi kehidupan sehari-hari, seiring dengan berbagai tindak kekerasan sosial-politik yang mengalami eskalasi. Pembangunan di berbagai sektor mengalami interupsi, karena berbagai prasyarat yang dibutuhkan telah luluh-lantak disapu-bersih badai krisis multidimensional. Krisis multidimensional ini bukan saja menimpa para petinggi di republik ini, tetapi juga akut di kalangan masyarakat luas. Hal ini membuat mata masyarakat harus terbuka lebar menghadapi kenyataan lemahnya bangunan peradaban dan integritas kebangsaan masyarakat negeri ini.
Gelombang reformasi merupakan paket jalan keluar yang diajukan masyarakat untuk mengembalikan dan memulihkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlepas dari variabel sosial-politik yang begitu rumit, krisis multidimensional yang menimpa bangsa ini dapat pula dilihat sebagai lemahnya sumber daya manusia (SDM) bangsa Indonesia, yang tentunya amat terkait dengan praktik pendidikan yang selama ini berlangsung. Artinya, krisis multidimensional tersebut dapat disebut berakar dari gagalnya proyek pendidikan. Karena itu, beberapa kalangan lalu menjadi peduli untuk merekonstruksi kembali—atau bahkan mendekonstruksi—berbagai paradigma pendidikan yang diberlakukan selama ini. Merancang masa depan pendidikan yang lebih memungkinkan bagi terciptanya demokratisasi dan kesejahteraan masyarakat kemudian menjadi sesuatu yang niscaya. Apalagi bila dikaitkan dengan konteks internasional atau variabel global. Tantangan sebagai bangsa untuk bersaing di kehidupan global semakin menantang dunia pendidikan guna mempersiapkan kader-kader bangsa yang mumpuni.
Pengambinghitaman terhadap rezim Orde Baru yang telah menunggangi sektor pendidikan untuk kepentingan kekuasaan mungkin dapat dijadikan salah satu alasan bagi gagalnya program pendidikan. Akan tetapi, bila dilihat dari perspektif Michel Foucault tentang kekuasaan, patut dipertanyakan secara lebih jauh dan kritis, mengapa masyarakat luas justru “tunduk” dan turut “menikmati” represi negara (baca: rezim Orde Baru) dalam bidang pendidikan itu? Dalam hal ini perspektif Foucault memberikan penjelasan bahwa sebenarnya kekuasaan itu tidak semata-mata berada pada poros kekuasaan negara, tetapi juga berada dalam tubuh masyarakat sendiri. Dalam konteks kegagalan pendidikan ini berarti ada sejumlah faktor lain yang inheren dalam tubuh masyarakat kaitannya dengan pendidikan yang turut mendukung proses gagalnya proyek pendidikan itu—dan ini tak bisa diabaikan.
Kalau memang demikian, lalu di manakah letak kesalahan lain yang cukup signifikan itu, selain politisasi pendidikan seperti yang dilakukan Orde Baru? Prof. Dr. Winarno Surakhmad menengarai bahwa kekacauan dunia pendidikan disebabkan tidak adanya landasan falsafah yang mendasari praksis pendidikan di lapangan. Landasan falsafah dalam pendidikan ini bagi Winarno identik dengan “visi bersama” yang mampu mempertemukan berbagai pemikiran tentang praksis pendidikan itu. Karena ketiadaan falsafah inilah, maka berbagai perbincangan tentang masalah pendidikan ‘terjebak di dalam persoalan-persoalan yang bersifat teknis metodologis’ (Kompas, 11 Februari 2000, dan 3 Februari 2000).
Pandangan yang dikemukakan oleh mantan rektor IKIP Jakarta ini (kini menjadi Universitas Negeri Jakarta) sebenarnya cukup menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Pertanyaan serupa yang kurang lebih serumpun dengan gagasan Prof. Dr. Winarno Surakhmad ini adalah masalah orientasi atau visi pendidikan nasional. Kemana sebenarnya arah pendidikan di Indonesia ini akan dibawa?
Kesalahan terbesar pemerintah Orde Baru dalam hal pengembangan pendidikan adalah terlalu kuatnya kehendak intervensi politis dalam soal pendidikan, sehingga dunia pendidikan tergantung oleh interest politik kelompok penguasa. Pendidikan Pancasila yang melibatkan seluruh lapisan kaum pelajar misalnya tidak menjadi wahana diskusi ilmiah bagi pengembangan ideologi bangsa menghadapi tantangan kehidupan bangsa yang kian kompleks, melainkan lebih dijadikan sebagai alat kuasa untuk menundukkan lawan-lawan politik penguasa. Pancasila kemudian direduksi semata-mata menjadi alat hegemoni.
Pada sisi yang lain, pendidikan selama pemerintahan Orde Baru telah melakukan perselingkuhan dengan ideologi ekonomi internasional, yakni kapitalisme-global. Inilah sebenarnya warisan visi pendidikan dari zaman kolonialisme Belanda, yakni ketika pendidikan diarahkan hanya untuk memenuhi kebutuhan ‘negara induk’ (baca: Negara Belanda) di sektor ekonomi. Pendidikan selama Orde Baru diarahkan bagi pemenuhan kebutuhan barang murah untuk dapat diekspor ke negara-negara industri maju, yang nota bene bekas penjajah. Maka untuk memperoleh laba yang cukup besar, penguasa dan pengusaha harus menekan upah buruh serendah mungkin. Ketika pendidikan hanya menjadi pelayan bagi sistem ekonomi yang kapitalistik itulah, maka pendidikan terjerat dalam jaringan sistem ketergantungan global yang menjadi ciri hubungan internasional saat ini (Abdurrahman Wahid, 1984: xvi-xvii).
Pandangan semacam inilah yang selama ini menjadi “landasan falsafah” praktik pendidikan di Indonesia. Karena itu, landasan inilah yang harus “dibuldozer” dan dirumuskan ulang secara lebih baik.
Prof. Dr. N. Driyarkara (1991: 80-83) memandang pendidikan sebagai hominisasi dan humanisasi. Pendidikan pada tahap yang paling minimal merupakan proses penjadian manusia. Manusia tidak semata-mata dilihat sebagai sosok makhluk biologis, melainkan juga sebagai sosok pribadi sekaligus sebagai subyek. Maka pada taraf ini pendidikan harus diusahakan untuk membentuk makhluk yang mempribadi dan berperan sebagai subyek. Inilah proses hominisasi. Lebih jauh lagi, pendidikan juga merupakan proses humanisasi. Humanisasi berada pada tahapan yang lebih tinggi dari sekedar hominisasi. Humanisasi dalam konteks pendidikan berarti bahwa pendidikan juga dilihat sebagai suatu proses pembangunan peradaban manusia. Hal ini berdasarkan pengandaian bahwa manusia adalah juga makhluk sosial yang membentuk peradabannya secara bersama-sama dan bersifat lintas-generasi. Dengan melihat praktik pendidikan sebagai suatu wujud kerja kultural maka manusia yang menjadi subyek pendidikan harus dilihat dari totalitas unsur-unsur penyusunnya (tubuh dan jiwa). Pendidikan juga harus dilihat dalam bingkai ekspresi cipta, rasa, dan karsa manusia.
Berdasarkan pandangan di atas, pandangan terhadap pendidikan harus digeser dari sekedar pemenuhan kebutuhan ekonomi negara menjadi pandangan bahwa pendidikan adalah juga strategi pembangunan peradaban bangsa—dan inilah yang lebih penting. Pendidikan adalah sebuah proses human investment, sehingga pendidikan juga merupakan aset paling penting dalam pembangunan.
Atas landasan pemikiran berupa orientasi baru inilah berbagai praktik pendidikan dapat didasarkan. Dengan acuan pemikiran tersebut, bukan berarti pendidikan harus diputuskan dari kebutuhan konkret masyarakat yang mendesak. Paradigma baru tersebut kurang lebih menawarkan sebuah tawaran jangka panjang untuk memposisikan pendidikan menurut perspektif yang lebih luas dan kepentingan yang lebih dalam, yakni untuk mewujudkan suatu kehidupan bangsa yang beradab (civilized).
Selain itu, perselingkuhan antara kekuasaan-kapitalisme-pendidikan yang mengarah pada kecenderungan politisasi pendidikan dan terbukti telah mengebiri tujuan pendidikan itu sendiri mesti dicegah. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa pendidikan sama sekali lepas dari dimensi politik. Keterlibatan pemerintah dalam urusan pendidikan tidak bisa dipotong sama sekali. Yang perlu menjadi perhatian di sini adalah upaya mempolitisasi pendidikan demi kepentingan kelompok tertentu. Kebijakan pemerintah di bidang pendidikan tetap merupakan suatu kebijakan politik. Persoalannya adalah bagaimana agar kebijakan itu dibuat dalam kerangka good will bagi terciptanya arus pengetahuan dan informasi yang lebih terbuka, sehingga dunia pendidikan sebagai wahana pengembangan masyarakat ilmiah secara epistemologis bersifat independen. Perlunya kebijakan desentralisasi pendidikan yang juga diikuti dengan desentralisasi kurikulum, misalnya, merupakan suatu keputusan politis yang didasarkan atas pemikiran bahwa komunitas pendidikan di setiap wilayah memiliki kekhasannya sendiri-sendiri (lebih jauh, baca tulisan Iwan Jazadi, Kompas, 25 Februari 2000). Pendidikan sebagai sebuah proses pembangunan peradaban bangsa mau tidak mau juga membutuhkan suatu komitmen semua pihak—terutama pemerintah—untuk memposisikan pendidikan sebagai strategi penyadaran politik warga negara.
Memposisikan pendidikan sebagai strategi pembangunan peradaban bangsa berarti bahwa proses ini melibatkan seluruh elemen masyarakat. Pendidikan bukan hanya sekedar urusan yang berkaitan dengan ‘sekolah’, tetapi juga urusan keluarga, organisasi atau perkumpulan sosial, dan masyarakat. Pandangan konvensional yang melihat sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan harus diruntuhkan. Namun demikian, harus diakui bahwa sekolah memang merupakan elemen pendidikan yang penting. Cuma saja, persepsi yang selama ini berkembang tentang sekolah masih berada dalam kerangka paradigma berpikir yang lama, yang memperlihatkan keberhasilan konspirasi kekuasaan-kapitalisme-pendidikan.
Untuk itu, sekolah sebagai suatu elemen pendidikan formal yang cukup penting juga mesti mendapat perhatian. Dengan mengutip pandangan John Dewey (Kleden, 1996, 8-9), ada tiga fungsi penting sekolah dalam konteks hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya. Pertama, sekolah adalah sebuah lingkungan buatan yang disederhanakan dari lingkungan hidup masyarakat yang kompleks. Dengan hal ini, maka sekolah berarti berfungsi untuk memilih berbagai hal yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari agar mudah diajarkan dan mudah mendapat respon dari peserta didik. Kedua, sekolah juga berfungsi untuk memurnikan berbagai kecenderungan negatif dan destruktif dalam masyarakat sehingga sekolah berposisi sebagai korektor terhadap perkembangan sosial. Ketiga, sekolah bertugas menciptakan perimbangan antara berbagai unsur dalam lingkungan sosial yang beragam agar peserta didik dapat keluar dari kungkungan keterbatasan lingkungan asalnya.
Dari pandangan Dewey di atas secara implisit tersimpul bahwa pendidikan memang bukan sekedar urusan yang berhubungan dengan pengembangan pengetahuan, tetapi juga berhubungan dengan masalah nilai. Ini berarti bahwa pandangan Dewey semakin meneguhkan konsepsi di atas bahwa pendidikan memang harus didudukkan dalam kerangka pengembangan peradaban.
Hakikat peradaban atau kebudayaan itu sendiri terfokus pada manusia yang menjadi pelaku dan pencipta kebudayaan. Karena itu, manusia dalam konteks peradaban—dan oleh karena itu, demikian juga dalam proses pendidikan—dianggap sebagai makhluk yang memiliki sejumlah potensi kreatif dan otonom untuk mengatasi permasalahan secara baik. Kepercayaan terhadap kemampuan kreatif dan otonom pada diri manusia ini dalam konteks pendidikan pada akhirnya berlabuh pada pandangan klasik tentang pendidikan, yakni bahwa praktik pendidikan adalah sebuah praktik pembebasan, seperti lantang disuarakan oleh praktisi pendidikan asal Brazil, Paulo Freire (1984).
Dengan perspektif di atas, pendidikan kemudian berada dalam sorotan spektrum yang lebih luas dan dalam, yakni dalam kerangka memanusiakan manusia serta secara lebih khusus dalam kerangka penyadaran politik demi terwujudnya masyarakat yang terbuka, terbebaskan, dan menghargai nilai-nilai demokratis. Ke arah rancangan seperti itulah sebaiknya arus proses pendidikan digiring.***
Daftar Pustaka
Abdurrahman Wahid, 1984, “Pembebasan Melalui Pendidikan: Punyakah Keabsahan?: Tinjauan Sepintas Atas Sebuah Pendekatan”, kata pengantar dalam buku Paulo Freire, Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan, PT Gramedia, Jakarta.
Freire, Paulo, 1984, Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan, PT Gramedia, Jakarta.
Iwan Jazadi, 2000, “Mencermati Perubahan Paradigma Pendidikan Indonesia”, Harian Kompas, 25 Februari 2000.
Kleden, Ignas, 1996, “Linking dan Delinking dalam Pendidikan dan Kebudayaan: Mempertanyakan Konsep Link and Match”, Majalah Basis, No. 3-4, Th. ke-45, Mei-Juni 1996.
N. Driyarkara, 1991, Driyarkara tentang Pendidikan, Cet. III, Kanisius, Yogyakarta.
“Kekacauan Pendidikan Akibat Ketiadaan Landasan Falsafah”, berita Harian Kompas, 11 Februari 2000.
“Rumuskan Visi Pendidikan Nasional bagi Seluruh Bangsa”, berita Harian Kompas, 3 Februari 2000.
Tulisan ini dimuat di Harian Bernas, 22 Mei 2000, dan menjadi Pemenang Utama I dalam Lomba Penulisan Artikel Pendidikan dalam rangka Dies Natalis Universitas Negeri Yogyakarta ke-36.
Senin, 22 Mei 2000
Reorientasi Pendidikan sebagai Investasi Masa Depan
Label: :: Published - All ::, Education
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar