Jumat, 09 Maret 2018

Derita, Makna, dan Kebebasan Batin


Judul buku: Man’s Search for Meaning
Penulis: Viktor E. Frankl
Penerjemah: Haris Priyatna
Penerbit: Noura Books, Jakarta
Cetakan: Pertama, Desember 2017
Tebal: xxii + 234 halaman
ISBN: 978-602-385-416-5


“Segala sesuatu yang tidak membunuh saya, membuat saya jadi lebih kuat”. Demikian ujar Nietzsche. Viktor E Frankl (1905-1997), seorang neuorolog dan psikiater terkemuka di Eropa, telah membuktikan pernyataan ini.

Frankl selama tiga tahun (1942-1945) pernah berada di empat kamp konsentrasi yang berbeda, termasuk Auschwitz. Di antara kekejaman, keganasan, dan penderitaannya di kamp, Frankl menemukan dan berhasil merefleksikan banyak hal yang kemudian dituliskannya setelah ia bebas. Dari situ, lahirlah buku yang berjudul Man’s Search for Meaning ini. Hingga sekarang, buku ini telah dicetak ulang lebih dari 100 kali dalam edisi bahasa Inggris dan diterbitkan dalam 49 bahasa ini.

Melalui buku ini, Frankl kemudian dikenal sebagai pendiri teori psikologi logoterapi. Dalam teorinya, Frankl menyatakan bahwa dorongan utama manusia dalam hidup bukanlah untuk mencari kesenangan atau kepuasan atau juga kekuasaan. Logoterapi meyakini bahwa perjuangan untuk mencari makna adalah dorongan utama manusia. Karena itu, logoterapi lebih memfokuskan pada masa depan. Dalam konteks ini, logoterapi membantu seseorang untuk menemukan makna hidupnya melalui proses yang bersifat analitis (hlm. 142-143).

Manusia yang tidak dipandu oleh makna hidup akan mengalami kehampaan eksistensial. Ini adalah fenomena yang mewabah khususnya sejak abad ke-20. Karena menjalani hidup tanpa orientasi makna yang jelas, manusia kemudian mengubah arah hidupnya pada upaya untuk mencari kesenangan belaka (hlm. 155).

Dalam pandangan logoterapi, makna hidup bukanlah hal yang bersifat abstrak. Makna hidup yang harus ditemukan adalah makna yang spesifik. Dalam pengertian sederhana, ia adalah tugas yang unik yang dijalani dalam hidup sehari-hari. Hidup dengan tugas khusus yang disadari bagi Frankl adalah juga sebentuk pertanggungjawaban atas hidup itu sendiri.

Pengalaman Frankl hidup di kamp selama tiga tahun membuktikan bahwa makna hidup bermakna sangat penting saat seseorang menjalani pengalaman negatif atau penderitaan. Menurut Frankl, orang yang relatif memiliki makna hidup akan lebih mudah bertahan menghadapi berbagai bentuk ancaman fisik dalam tahanan. Frankl memberi kesaksian bahwa kekuatan batin manusia bisa berdiri lebih tinggi dari nasib yang menimpa fisiknya (hlm. 98).

Kehidupan di kamp yang sangat kejam tidak hanya dapat menumpulkan emosi seseorang, tapi juga dapat membunuh harapan. Namun, bagi seseorang yang kebebasan batinnya masih terawat baik, orientasi makna hidupnya dapat menjadi tempat berlindung dari kehampaan dan keterasingan (hlm. 54).

Pada titik ini, logoterapi tampak menempatkan kebebasan positif di tempat yang istimewa pada kehidupan seseorang. Kebebasan positif, yakni kebebasan untuk secara sadar dan aktif mengorientasikan hidupnya pada titik tujuan tertentu atau kebebasan untuk menentukan sikap dalam setiap keadaan, akan dapat menjadi benteng dan sekoci penyelamat bagi seseorang yang sedang berada di titik nadir penderitaan.

Dengan kekuatan kebebasan batin dan kebebasan spiritual yang hebat, penderitaan sebagai sebuah nasib yang tak terhindarkan kemudian dilihat sebagai kesempatan untuk memperdalam makna hidup. Bahkan, kalau perlu penderitaan dilihat sebagai bagian dari tugas hidup. Berbekal orientasi makna hidup yang kuat, perasaan lemah dan takut lalu disingkirkan, sedangkan keberanian mengemuka.

Di tengah beratnya beban hidup di masa kini yang rawan menciptakan kegalauan, kecemasan, dan bahkan kehampaan eksistensial, buku ini membawa pesan yang kuat bahwa dalam kondisi terburuk pun hidup punya potensi untuk memiliki makna. Tugas kitalah untuk menemukannya. Dengan cara ini, buku ini berusaha memupuk optimisme dan memperluas cakrawala harapan kita.

Naskah ini adalah versi awal yang kemudian dimuat di Koran Jakarta, 9 Maret 2018.


Read More..