Senin, 27 Februari 2012

Mengantarkan Perpustakaan ke Ruang Kelas

Siswa SMA 3 Annuqayah menikmati suguhan "perpustakaan" yang diantar ke ruang kelas.

Membangkitkan minat baca menjadi salah satu persoalan penting di negeri kita, termasuk juga di sekolah. Apalagi di tengah terbatasnya fasilitas perpustakaan sekolah dan kurang terbiasanya siswa dalam membaca di lingkungan sebelumnya, misi untuk menumbuhkan kebiasaan membaca di sekolah menjadi semakin menantang. Perpustakaan yang tampil kurang menarik dan buku bacaan yang terbatas membuat siswa enggan datang ke perpustakaan dan menekuri buku. Beginilah mungkin nasib dan tantangan siswa dan sekolah khususnya di daerah pelosok yang minim fasilitas.

Tambahan lagi, sekolah-sekolah di pedalaman kadang juga berhadapan dengan masalah keaktifan dan kedisiplinan guru untuk datang tepat waktu ke sekolah.

Sekitar setahun yang lalu, saya menemukan tawaran ide untuk menjawab dua persoalan ini. Jadi, dalam rangka membangkitkan minat baca siswa di sekolah dan sekaligus sambil menunggu guru yang belum masuk kelas (aspek yang kedua ini bisa diabaikan jika guru-guru sudah bisa masuk tepat waktu ke sekolah/kelas), maka saya pikir akan menarik kiranya jika kita mencoba mengantarkan perpustakaan ke ruang kelas.

Mengantarkan perpustakaan ke ruang kelas? Maksudnya?

Sambil menunggu guru datang, atau di awal jam pelajaran, kita bagikan satu tulisan bermutu dan inspiratif kepada tiap siswa untuk dibaca di dalam kelas. Karakteristik dan kriteria tulisannya adalah: panjangnya berkisar antara 600 hingga 700 kata, memuat ide atau tema yang menarik dan atau inspiratif serta dekat dengan kehidupan atau pengalaman siswa, memiliki gaya bertutur naratif atau mudah dicerna, dan bisa mendukung kepada kegiatan pembelajaran dan pendidikan.

Mengapa 600 hingga 700 kata? Jumlah ini sebenarnya bersifat relatif. Tapi tulisan dengan panjang sedemikian ini kira-kira dianggap cukup nyaman dibaca karena siswa hanya akan membutuhkan waktu sekitar 3-5 menit untuk menuntaskannya. Jika berhadapan dengan tulisan yang relatif panjang, mereka yang belum terbiasa membaca bisa jadi sudah akan merasa malas sebelum mulai membaca.

Dari mana tulisan itu diambil? Tulisan-tulisan itu bisa diambil dari buku, majalah, koran, internet, dan sebagainya. Patokannya adalah kriteria di atas tadi, yang pada dasarnya dibuat dengan asumsi bahwa kriteria ini akan menjaga mutu tulisan sekaligus akan cocok untuk mereka yang belum terbiasa membaca—dengan kata lain, bisa membangkitkan semangat membaca.

Siapa yang memilih tulisan itu? Semula, saya melakukannya sendiri. Tetapi selanjutnya saya juga menghubungi beberapa teman yang cukup akrab dan mengerti dengan dunia perbukuan dan kepenulisan, berpesan kepada mereka bahwa jika mereka menemukan tulisan dengan kriteria di atas, mohon untuk memberi tahu saya. Tentu saja saya juga memaparkan gagasan di balik permohonan saya ini. Jadi, bisa dikatakan tulisan dipilih oleh tim.

Sampai di sini, saya merasa gagasan ini cukup menarik, karena bisa dibilang juga menjadi bagian dari gagasan yang sangat saya dukung—dan pernah saya tulis serta dicoba dipraktikkan saat saya menjadi Kepala Perpustakaan Madaris 3 Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, tahun 2008-2009 lalu—agar perpustakaan bisa lebih aktif mendorong tradisi membaca dengan bentuk kegiatan dan inovasi-inovasi kreatif.

Secara sederhana, dengan program ini saya menargetkan siswa akan membaca paling sedikitnya 100 tulisan bermutu (dengan kendali mutu yang harus dijaga dengan ketat) dalam satu tahun pelajaran. Untuk diketahui, dalam satu tahun pelajaran biasanya ada sekitar 230 hari efektif. Jadi target 100 tulisan per tahun pelajaran ini sebenarnya adalah target minimal yang tidak muluk dan cukup realistis.

Jika dalam satu tahun pelajaran siswa membaca paling sedikit 100 tulisan bermutu, maka dalam tiga tahun mereka akan telah membaca 300 tulisan! Saya pikir target ini masih sangat mungkin berlipat ganda.

Tantangannya sementara ini adalah menemukan tulisan yang benar-benar bermutu, bertema beragam, dan cocok dengan siswa. Karena itu, catatan saya ini sebenarnya saya maksudkan sekaligus sebagai undangan kepada semua pihak untuk berpartisipasi. Mari, jika punya atau ketemu dengan tulisan bagus yang kira-kira cocok dengan kriteria dan latar belakang di atas, segera hubungi saya. Atau mungkin Anda memiliki tulisan karya Anda sendiri yang kira-kira layak diantarkan ke ruang kelas, silakan, saya tunggu.

Andaikan para pengelola sekolah punya gagasan yang sama dengan saya dan mau bekerja sama menemukan esai-esai atau tulisan dengan mutu dan racikan yang tepat, saya kira target menemukan sekian ratus judul bisa lebih mudah. Karena itu, mari, jika ada kepala sekolah atau kepala perpustakaan yang mau bekerja sama, saya tunggu.

Berapa tulisan yang sejauh ini sudah terkumpul? Meski gagasan ini sudah muncul sekitar setahun yang lalu, tapi saya baru bisa menggarapnya secara lebih serius beberapa waktu yang lalu. Sampai sejauh ini saya sudah mengumpulkan sekitar 60 judul tulisan. Artinya, 60 judul itu sudah diketik ulang. Tapi tidak semuanya siap pakai, karena masih ada proses yang harus dilalui, di antaranya memastikan mutu dan kelayakan tulisan sebelum diperbanyak dan dibagikan kepada siswa.

Selain 60 judul tersebut, ada beberapa tulisan yang sedang dalam proses pengetikan.

Seperti apa contoh tulisan yang sudah dianggap layak dan bermutu? Sekali lagi, saya memilih tulisan atas dasar kriteria di atas. Dalam prosesnya, saya menemukan tulisan Jalaluddin Rakhmat, M. Quraish Shihab, Nurcholish Madjid, Dewi Lestari (Dee), Goenawan Mohamad, Jakob Sumardjo, dan sebagainya. Yang menarik, sangat mungkin ada satu buku yang sangat layak untuk disuguhkan semua ke ruang kelas dengan cara dicicil. Misalnya, saya sedang memproses buku Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Kebahagiaan (Serambi, 2010), untuk disuguhkan semuanya ke ruang kelas karena semua bagian di buku ini tampaknya akan sangat cocok dan bakal disukai siswa.

Mungkin siswa—khususnya yang belum terbiasa membaca—bisa menolak untuk membaca sebuah buku tertentu, meski itu bagus. Tapi kalau dengan cara dicicil, bisa jadi dia akan tuntas membaca buku tersebut tanpa merasa terbebani.

Jika sebuah tulisan sudah melewati proses “jaminan mutu” dan diketik rapi, apa langsung siap pakai dan diperbanyak?

Nah, ini dia yang menarik. Untuk mendukung tujuan besar yang terkandung dalam proyek ini, menurut saya, kita juga layak bekerja keras dengan menyuguhkan kamus kecil untuk setiap tulisan yang akan dibawa ke ruang kelas itu. Kamus kecil ini bukan semacam makanan penutup. Ini lebih merupakan sayur yang akan menambah gizi tulisan yang disajikan ke ruang kelas itu. Jadi, kata-kata yang sekiranya belum cukup akrab untuk siswa dicetak tebal, dan di bagian bawah kemudian disajikan kamus kecil yang definisinya diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa. Kamus kecil ini juga akan menerangkan nama-nama tokoh atau tempat yang ada dalam tulisan tersebut.


Salah satu contoh tulisan yang diantarkan ke ruang kelas.


Di antara naskah yang saya pilih, ada cerita-cerita singkat penuh hikmah dengan tokoh Nasruddin yang juga terkenal di kalangan sufi yang diceritakan ulang oleh Sugeng Hariyanto dalam bahasa Inggris. Bukunya diterbitkan oleh Penerbit Kanisius. Saya mengambil cerita berbahasa Inggris dari buku ini sekaligus juga dengan disertai terjemahan bahasa Indonesianya yang disusun oleh Klub Penerjemah Perpustakaan Madaris 3 Annuqayah pada tahun 2008 lalu. Anggota klub ini dahulu kebanyakan adalah siswa SMA 3 Annuqayah. Nah, untuk tulisan seperti ini, kamus kecilnya adalah kamus bahasa Inggris.

Di banyak kesempatan jika saya berbicara tentang kepenulisan atau mengajar bahasa Indonesia di ruang kelas, saya sering menekankan pentingnya penguasaan kosa kata bagi mereka yang ingin belajar bahasa—bahasa apa pun. Jadi, proyek mengantarkan perpustakaan ke ruang kelas ini sekaligus juga memastikan bahwa mereka juga disuguhi kamus bahasa.

Dalam praktiknya, yakni di tempat saya mengajar, SMA 3 Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, saya senang sekali saat kemarin melihat beberapa siswa tampak dengan rajin mencatat kosa kata yang dicantumkan dalam tulisan yang dibagikan tersebut. Artinya, mereka tidak hanya mencerna makanan utamanya, tetapi juga menikmati sayurnya.

Tanggapan positif lain yang sudah muncul dan menggembirakan adalah saat ada beberapa siswa yang kemudian datang ke kantor sekolah dan minta izin untuk memfotokopi tulisan yang sebelumnya dibagikan dan telah dibacanya di kelas. Ini mungkin bisa menjadi dorongan agar saya sebagai pengelola harus terus menjaga dan mengevaluasi kualitas setiap tulisan yang dibagikan.

Terakhir, saya ingin menggarisbawahi bahwa program mengantarkan perpustakaan ke ruang kelas ini pada dasarnya hanyalah program pemicu. Tujuannya adalah membangkitkan minat baca dan menginspirasi siswa untuk bergerak menjelajah lebih jauh ke perpustakaan—seperti apa pun kondisinya—atau ke sumber-sumber pengetahuan dan ilmu lainnya. Khusus tentang perpustakaan, bagaimanapun ia akan memainkan peran penting untuk memfasilitasi siswa atau masyarakat pada umumnya untuk terus belajar dan menggali pengetahuan dan ilmu.

Karena itu, wahai pembaca yang budiman, lebih jauh lagi saya sampaikan bahwa sebenarnya, selain berharap dukungan dan partisipasi konkret dari para pembaca sekalian untuk pelaksanaan proyek ini, saya juga berharap dukungan para pembaca yang budiman untuk turut juga membantu memajukan perpustakaan di komunitas saya, misalnya dengan menyumbangkan buku-buku, majalah, dan sebagainya. Andaikan nanti minat baca siswa semakin baik, di antaranya mungkin karena keberhasilan proyek ini, misalnya, maka ini tentu juga akan menuntut peningkatan kualitas perpustakaan untuk memenuhi hasrat akan pengetahuan yang sudah tumbuh di kalangan mereka.

Saya tidak punya banyak daya untuk membangun perpustakaan di komunitas saya—di sekolah tempat saya mengajar, juga di pesantren tempat saya berkhidmat—sendirian, karena kami punya banyak keterbatasan. Tapi saya tidak tinggal diam. Program mengantarkan perpustakaan ke ruang kelas ini, misalnya, adalah salah satu langkah konkret saya menghadapi sekian keterbatasan itu.

Namun, jika Anda, pembaca yang budiman, sepakat dan bersedia menjadi satu tim dengan saya untuk mendukung secara konkret gagasan-gagasan saya di atas, maka keterbatasan itu mungkin tak akan begitu terasa buat saya. Dengan dukungan konkret itu, Anda, pembaca yang budiman, pada akhirnya mungkin akan menjelma lilin-lilin yang pelan-pelan dapat mengusir gelap di sini, di sebuah kampung di pedalaman Madura yang senyatanya sudah tak bisa lepas dari arus globalisasi.

Saya rasa demikian.

Saya tunggu.

Terima kasih.

Read More..

Selasa, 21 Februari 2012

Melek Informasi

Ada berapa status Facebook yang saya baca hari ini? Ada berapa tweet yang saya ikuti hari ini? Ada berapa iklan yang—sadar atau tidak—menyerbu saya hari ini melalui koran, televisi, radio, internet, dan sebagainya? Ada berapa judul dan teras berita yang saya baca hari ini?

Pertanyaan-pertanyaan ini muncul di benak saya saat saya berpikir soal banjir informasi dari berbagai media yang menimpa kehidupan saya dan orang lain di zaman ini. Informasi itu menyerbu saya melalui bermacam bentuk media komunikasi yang terus memperbarui diri secara cepat. Media komunikasi itu—seperti televisi, internet, koran atau majalah, iklan—tak putus berusaha untuk tampil dengan wajah baru untuk lebih memikat dan menarik perhatian orang banyak.

Di zaman informasi ini, kita memang dikepung oleh media dan informasi. Saya teringat pemaparan Annie Leonard yang menyatakan bahwa warga Amerika saat ini disasar oleh lebih dari tiga ribu iklan setiap hari—bahkan ada yang bilang lebih dari itu.

Saya, yang hidup di pelosok kampung di Madura, mungkin diserbu iklan tak sebanyak itu. Tapi saya yakin jumlahnya bisa mencapai puluhan. Saya akan menemuinya di lembar-lembar koran yang saya baca. Tanpa sadar, saya juga akan melihat iklan di laman-laman yang saya buka. Di kawasan “pertigaan emas” dekat rumah saya, saya akan menemukan iklan-iklan di beberapa toko yang berderet di situ.

Sementara itu, berita-berita, baik itu di koran terbitan lokal maupun nasional, atau juga di internet, setiap hari menyajikan informasi yang melimpah. Saya rasanya ingin menyerapnya setiap pagi. Tapi sering kali waktu saya terbatas untuk melahap informasi yang sepertinya tak terbatas itu.

Kehadiran media yang memuat informasi yang banyak dan beragam, alirannya yang deras, serta kemasannya yang cermat dan memikat ini menurut saya memiliki kekuatan dan pengaruh yang luar biasa dalam kehidupan masyarakat saat ini. Pengaruhnya memang tidak serta-merta terasa, karena perubahan yang kemudian dimunculkannya sering serupa tangga dengan sudut yang agak landai—bukan seperti tikungan tajam.

Pengaruh media ini bagi saya menjadi begitu terasa justru karena saya hidup di kampung. Masyarakat kampung di tempat saya, dengan segala keterbatasan mereka, rata-rata tidak memiliki ruang gerak yang memungkinkannya berjumpa secara langsung dengan banyak hal di luar kebudayaan dan lingkungan mereka. Akan tetapi, kehadiran media, mulai dari yang sederhana seperti televisi hingga internet yang belakangan relatif mulai semakin mudah didapat, telah memberi kemungkinan baru bagi masyarakat di pedalaman—tentu termasuk saya—untuk mengenal dan bersentuhan dengan hal-hal baru, yakni hal-hal yang sebelumnya tampak asing.

Di kelas, misalnya, saya bisa menemukan dengan cukup mudah siswa yang hafal nama-nama pasangan artis dengan beberapa perincian penggalan kisah kehidupan pribadi mereka. Mereka mungkin juga telah memiliki perbendaraan kata berupa istilah-istilah trendi yang bisa saja tak saya pahami. Lebih jauh lagi, mereka bahkan sangat mungkin tak hanya hafal nama-nama atau kosakata, tapi juga diam-diam mengikuti gaya atau segi tertentu dari orang atau hal-hal yang mereka temukan di media. Tambahan lagi, saya kadang bersentuhan langsung dengan orang yang tampaknya telah menjadi korban media di lingkungan pendidikan tempat saya bergiat—dan saya seperti sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi untuk membantu keluar dari jeratan dan pengaruh buruknya.

Media mungkin memang telah menjadi kiblat sekaligus “rasul” yang menawarkan bimbingan ke arah hidup tertentu. Tapi izinkan saya menyebutnya dengan ungkapan yang lain: media saat ini telah menjadi rezim yang diam-diam mengendalikan kehidupan kita. Ia adalah pemerintah yang mungkin tanpa sadar kita pilih melalui sebuah pemungutan-suara-tiada-henti-setiap-hari saat kita menyimak berita, berbelanja, dan sebagainya.

Sampai di sini saya lalu teringat Althusser yang menyatakan bahwa media adalah perkakas ideologis negara. Media bekerja untuk secara diam-diam mengendalikan kehidupan masyarakat agar tetap selaras dengan kepentingan ideologis mereka yang menikmati empuknya kursi kekuasaan.

Menyadari situasi dan tatanan yang sedemikian rupa ini, saya semakin sadar bahwa baik perorangan maupun lembaga-lembaga di masyarakat saat ini sebenarnya memiliki tugas bersama untuk menyiapkan generasi dan masyarakat yang melek informasi dan melek media. Secara khusus, kaum muda tampaknya telah dan akan menjadi sasaran dan mangsa empuk media, karena situasi kejiwaan mereka yang tengah berada di persimpangan jalan memberikan banyak peluang dan keuntungan bagi mereka yang menguasai media untuk dapat diarahkan sesuai dengan kehendak mereka.

Sebagai orang yang setiap hari bergelut di dunia pendidikan, saya pun bertanya: untuk mereka yang memerankan dirinya sebagai pendidik, apakah mereka menyadari dan mengamati tantangan media dalam kehidupan masyarakat saat ini? Jika jawabannya positif, apakah mereka sudah mereka-reka dan merancang siasat yang perlu dipersiapkan untuk menjawab tantangan berat ini? Lebih masuk lagi, kemudian, di pelajaran apakah dan di kegiatan apakah sekolah dan lembaga pendidikan serupa ikut bersama-sama membekali kaum muda untuk bisa lebih sadar informasi dan sadar media sehingga mereka tak mudah diperdaya?

Saya teringat iklan-iklan politik di koran lokal di Madura saat musim pemilihan umum atau calon anggota legislatif yang dimuat sedemikian rupa sehingga tampak seperti berita. Saya juga teringat berita-berita yang masih menggunakan pilihan-pilihan kata yang tidak adil, seperti kata “menggagahi” untuk kasus pemerkosaan, sehingga pemerkosaan diam-diam dikesankan sebagai sesuatu yang gagah. Saya juga teringat berita-berita di koran yang memuat penggambaran elite-elite politik yang kemudian naik daun karena terkesan tampil merakyat atau peduli dengan nasib rakyat, sementara kenyataan atau rekam jejaknya kadang tampak menunjukkan hal yang berseberangan. Saya pun merasa risau jika mengingat tayangan-tayangan televisi yang sering kali menjauhkan pikiran masyarakat dengan kehidupan nyata di sekitar mereka.

Apa jadinya jika generasi masa depan kita terus dibiarkan melahap sampah informasi dan atau virus-virus yang kadang ikut menyertai banjir informasi di zaman ini?

Sambil terus bergelut menuntaskan pemberantasan buta aksara, saat ini bangsa kita menghadapi tantangan baru untuk menyiapkan dan mendidik warga masyarakatnya agar melek informasi. Tugas ini penting disadari dan ditindaklanjuti dengan langkah nyata, karena jika dibiarkan, masyarakat yang tak dibekali kemampuan kritis untuk mencerna informasi dapat terjatuh pada perbudakan akal budi sehingga kemudian harkat dan martabat kemanusiaannya mungkin bisa terlucuti.

Wallahualam.

Read More..

Minggu, 19 Februari 2012

Sejarah Dunia Perspektif Islam: Problem Identitas dan Dialog Peradaban

Judul buku: Dari Puncak Bagdad: Sejarah Dunia Versi Islam
Penulis: Tamim Ansary
Penerjemah: Yuliani Liputo
Penerbit: Zaman, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2010
Tebal: 590 halaman


History is not knowledge of external facts or events; it is a form of self-knowledge.
—Ernest Cassirer

Dalam buku berjudul An Essay on Man yang mengulas tentang manusia dan kebudayaan, Ernst Cassirer (1847-1945) menempatkan sejarah dalam satu konteks yang menarik. Menurut Cassirer, sejarah bukanlah pengetahuan yang memuat fakta dan kejadian eksternal. Sejarah adalah bentuk pengenalan-diri, atau upaya manusia untuk “terus-menerus kembali kepada dirinya sendiri” (constantly returns to himself). Cassirer menjelaskan bahwa sejarah berbeda dengan proses yang terdapat dalam ilmu alam yang oleh Max Planck dilukiskan sebagai upaya untuk menghilangkan unsur-unsur antropologis, mengubur manusia dan menyingkap hukum-hukum alam yang sebelumnya tersembunyi. Sementara itu, apa yang dikejar oleh sejarah dinyatakan Cassirer dalam formula yang cukup paradoks, yakni “antropomorfisme objektif” (Cassirer, 1944: 241-242).

Pernyataan Cassirer ini tentu saja tak dimaksudkan untuk menutup karakter objektif dalam catatan sejarah. Poin penting yang hendak disampaikan Cassirer dalam butir pemikiran ini adalah terkait dengan makna sejarah dalam arus kehidupan dan peradaban manusia. Sejarah sangat terkait erat dengan identitas manusia, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok masyarakat. Individu maupun kelompok masyarakat merumuskan identitas mereka dengan mencari rujukan sejarah dalam berbagai bentuknya. Ada sekelompok masyarakat yang mungkin merumuskan identitas mereka dengan rujukan historis yang bersifat mitis. Ada pula yang mencari acuan pada jalinan peristiwa yang dirumuskan secara ilmiah (objektif). Namun terkadang rujukan mitis dan ilmiah itu dapat bersanding.

Sampai di sini, ada satu sudut pandang menarik untuk melihat pembedaan kategori rujukan sejarah yang bersifat mitis dan ilmiah ini. Sejak pemikiran yang berlabel postmodernis menjadi salah satu gairah intelektual di berbagai penjuru dunia, muncul pandangan yang kritis dalam melihat pembedaan antara kategori mitos dan logos (yang mitis dan yang ilmiah). Logos, yang dalam bahasa Yunani bisa berarti ilmu dan dipahami sebagai ilmu dalam kategori ilmiah-objektif, tanpa disadari terkadang sesungguhnya berpindah menempati kategori mitos. Kedokteran modern, misalnya, sebagai contoh yang mewakili logos, pada kasus tertentu kadang didudukkan sebagai mitos oleh orang atau masyarakat tertentu.

Dalam kerangka kritik semacam ini, Tamim Ansary dalam buku ini berusaha untuk menguliti sejarah dunia arus utama dengan menghadirkan sejarah dunia dengan sudut pandang yang “tak cukup biasa”, yakni sudut pandang Islam. Dalam istilah yang agak ekstrem, langkah ini mungkin bisa disebut sebagai “demitologisasi” (sejarah). Sebagai seorang muslim yang menggeluti disiplin sejarah begitu lama sejak dibesarkan di Afghanistan, melalui buku ini Ansary menyampaikan kritik atas Erosentrisme sejarah dunia. Erosentrisme ini mewujud dalam bentuk penyingkiran peran Islam sebagai sebuah kelompok masyarakat dan peradaban dalam titik-titik penting arus perjalanan peradaban manusia.

Di bagian kata pengantar, Ansary bercerita tentang keterlibatannya dalam sebuah proyek penyusunan buku teks sejarah dunia untuk sekolah di Amerika pada tahun 2000. Saat menyusun sistematika buku bersama tim editor yang lain, Ansary merasakan bagaimana unsur-unsur sejarah dan peran masyarakat Islam dipandang sebagai sesuatu yang tak begitu penting sehingga cenderung untuk dikeluarkan, dikecilkan, atau dipinggirkan. Memang tak ada klaim langsung bahwa Islam itu lebih buruk daripada Barat, atau semacam itu. Akan tetapi, Ansary merasakan begitu kuat asumsi yang tampaknya sudah menjadi kesepakatan para editor lainnya bahwa “Islam adalah fenomena relatif kecil yang dampaknya sudah berakhir jauh sebelum Renaisans” (hlm. 16).

Ansary begitu heran mengapa orang-orang Barat ini dapat mengabaikan Islam begitu saja. Padahal, cukup hanya dengan memberikan gambaran berupa fakta geografis “dunia Islam” saat ini, kita akan menyadari betapa Islam masih menjadi sebuah kelompok masyarakat yang besar dari masa ke masa sejak era kelahirannya.

Erosentrisme yang dirasakan Ansary ini kemudian disadarinya memang telah merasuk begitu dalam, mungkin tanpa sadar, pada bidang sejarah. Ansary mengingat salah satu buku favoritnya di masa kecil karya V.V. Hillyer berjudul Child’s History of the World yang ternyata sangat Erosentris. Demikian pula, buku Perspectives on the Past, buku teks sejarah dunia edisi 1997, berbicara tentang Islam hanya dalam satu bab dari 37 bab yang ada.

Bagaimana Erosentrisme ini terjadi? Mari kita sedikit simak teori analisis wacana kritis (critical discourse analysis) yang berada dalam wilayah kajian konsumsi produk media. Pendekatan analisis wacana memahami media sebagai sebuah alat dominasi, yang dalam bahasa Louis Althusser berperan sebagai ideological state aparatus. Dominasi dan hegemoni media dalam kerangka kepentingan kelompok tertentu berlangsung dengan beberapa cara, seperti pemilihan fakta yang diangkat sebagai berita, pemilihan nara sumber, pemilihan sudut pandang pemberitaan, pilihan kata atau istilah kunci, dan termasuk juga terkait beberapa aspek teknis tata bahasa (Eriyanto, 2001).

Erosentrisme dalam buku sejarah kurang lebih bisa ditemukan dengan cara seperti demikian ini. Selain dalam soal pemilihan fakta, misalnya, dalam wujud yang lebih umum dan sederhana Erosentrisme ini tampak juga dalam penggunaan istilah-istilah dan pemilihan sudut pandang penceritaan. Istilah “Timur Tengah”, misalnya, jelas menunjukkan sudut pandang Eropa. Demikian pula istilah “Zaman Kegelapan” (dark ages) yang merujuk pada era kegelapan masyarakat Barat yang kala itu dikuasai dogma agama.

Saya lalu teringat salah satu bagian dalam novel N. Marewo, Lambo, yang menceritakan seorang siswa yang menggugat guru sejarahnya di kelas saat dikatakan bahwa Columbus adalah orang yang pertama kali menemukan benua Amerika. Kata “menemukan” di sini jelas cerminan sudut pandang orang Eropa. Padahal, kata tersebut akan menjadi sulit dicerna akal sehat jika dipahami dari sudut pandang penduduk asli Amerika (Marewo, 1995: 8-9).

Masih terkait Columbus dan penjelajahan orang-orang Eropa, saya sering teringat betapa buku pelajaran di sekolah tak memberi tempat pada kisah hebat pelayaran Laksamana Cheng Ho dari Dinasti Ming di Cina. Padahal, sebagaimana dibahas oleh Frank Viviano, armada Cheng Ho jauh lebih besar dari ekspedisi kaum Eropa. Viviano menggambarkan, bila seluruh armada kapal Columbus dan Vasco da Gama digabungkan, maka cukup ditempatkan di satu geladak kapal dalam armada Cheng Ho (Viviano, 2005: 28-51). Tapi mengapa buku pelajaran sejarah di sekolah tak memberi ruang untuk ekspedisi laksamana muslim berdarah Asia Tengah yang berlayar menjelajah dunia hampir satu abad lebih awal daripada Columbus itu?

Menghadapi pendekatan sejarah yang seperti ini, lalu apa sebenarnya yang tengah dilakukan Ansary melalui buku ini? Dalam pengantarnya, Ansary menegaskan bahwa ia ingin bercerita tentang sejarah dunia dari kacamata seorang muslim. Disebut bercerita karena Ansary terutama bertujuan “untuk menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi menurut pikiran kaum muslim” (hlm. 25). Ansary mengibaratkan penuturannya ini lebih seperti perbincangan di kedai kopi daripada sebagai buku teks ilmiah.

Nah, sampai di sini, saya ingin kembali ke awal, saat saya mengutip Cassirer yang menghubungkan sejarah dengan pencarian identitas. Pilihan Ansary untuk menyajikan sejarah dunia dari sudut pandang Islam dengan gaya bercerita, yakni sejarah dunia menurut pikiran kaum muslim, menurut saya kurang lebih dapat menjadi penjelasan atas istilah “antropomorfisme objektif” yang disebut Cassirer di atas. Istilah antropomorfisme di sini dapat merujuk pada bagaimana kita memahami semangat hidup yang memotivasi umat Islam berabad-abad, yakni kerangka makna yang dibangun umat Islam. Istilah ini juga memiliki keterkaitan dengan soal identitas, terutama dalam pengertian kolektif. Sedangkan istilah objektif menyiratkan bahwa penuturan Ansary ini tak bisa dipandang sebagai semacam alegori belaka. Narasi sejarah dunia bersudut pandang Islam ini juga memiliki semangat yang sama sebagai catatan sejarah, sebagaimana halnya kaum muslim sejak awal telah mengembangkan satu model metode kritik sejarah yang canggih dalam disiplin ilmu ‘ulûmul hadîts (Shihab, 2011: 11).

Dengan latar dan cara pandang seperti ini, Ansary kemudian menyusun kerangka besar sejarah dunia versi Islam dalam beberapa tahapan, dimulai dari era Mesopotamia dan Persia, lalu masuk ke zaman Islam hingga terus ke zaman terkini dengan garis utama pengalaman umat Islam sebagai suatu kelompok masyarakat.

Di bagian paling awal, sebelum bercerita tentang peradaban awal di Mesopotamia, Ansary sedikit menuturkan cikal-bakal dua peradaban dunia saat ini: Barat dan Islam. Menurut Ansary, peradaban Barat lahir dari perkembangan lebih lanjut dari dunia Mediterania yang terpusat dan terhubung melalui rute laut. Sementara itu, peradaban Islam berkembang dari jalinan Dunia Tengah (yang dalam perspektif Barat disebut Timur Tengah) yang terhubung melalui rute darat.

Peradaban awal manusia di kawasan Dunia Tengah diceritakan dengan cukup singkat oleh Ansary, tepatnya hanya 22 halaman, sebelum kemudian langsung masuk pada kisah penting tentang kelahiran dan awal pertumbuhan Islam. Untuk bagian ini, Ansary memberikan pemaparan yang cukup detail, karena ini adalah masa-masa ditegakkannya dasar-dasar narasi Islam. Dalam menguraikan masa awal pertumbuhan Islam, Ansary menekankan bahwa Islam adalah sebuah proyek sosial, yakni sebuah ikhtiar untuk membangun masyarakat yang adil dan setara secara sosial. Ini adalah visi mendasar yang tampak jelas pada awal pertumbuhan Islam, termasuk juga selama periode empat khalifah: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali.

Perjalanan Islam sebagai sebuah agama dengan visi yang sedemikian ini mengalami dinamika dalam bentangan sejarah. Terlepas dari beberapa kekurangan yang bersifat manusiawi, Ansary menegaskan bahwa keempat khalifah yang populer dengan gelar Khulafâ’ al-Rasyidûn tersebut dapat dipandang sebagai penjaga visi komunitarian Nabi Muhammad saw. yang bergulat untuk menerapkan wahyu dengan tulus. Setelah kematian Ali, tulis Ansary, “kekhalifahan hanyalah sebuah kekaisaran” (hlm. 126).

Penilaian Ansary atas perjalanan Islam setelah periode ini memang tak secara eksplisit diurai panjang lebar dari sudut pandang politik kekuasaan saja. Memang ada pernyataan tentang pemerintahan Umayyah yang gagal dalam mewujudkan visi persaudaraan egaliter sebagaimana yang dijanjikan Islam akibat dominannya bayang-bayang politik kesukuan di saat kekuasaan Islam semakin meluas (hlm. 148). Namun Ansary menyatakan hal ini untuk menjelaskan cikal-bakal kemunculan Dinasti Abbasiyah. Ini tak seperti ulasan Asghar Ali Engineer, misalnya, yang menggunakan data dan analisis panjang lebar dan kemudian menyimpulkan hal yang kurang lebih senada dengan Ansary. Engineer menulis masalah ini dalam bukunya yang berjudul Islamic State, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Devolusi Negara Islam (2000).

Uraian Ansary untuk menjelaskan pernyataan bahwa kekhalifahan Islam (setelah empat khalifah pertama) kemudian menjadi “hanyalah sebuah kekaisaran” lebih berupa pemaparan tentang jatuh-bangunnya kekuasaan politik berbagai kelompok dalam Islam atau muncul dan berkembangnya sekte-sekte politik dalam Islam, termasuk juga lahirnya kantong-kantong kekuasaan muslim baru di beberapa wilayah seperti Dinasti Fathimiyah di Mesir, peran unik keluarga Buwaihi keturunan Persia dalam kekuasaan Abbasiyah, dan Dinasti Seljuk yang menandai masuknya orang-orang Turki dalam sejarah Islam.

Dalam menjelaskan dinamika politik kekuasaan ini, Ansary juga tetap mengacu dan menghubungkan dengan cita-cita atau visi mendasar Islam tersebut di atas. Demikian juga ketika Ansary menjelaskan kelahiran disiplin keilmuan utama dalam Islam yang melahirkan komunitas intelektual tertentu, yakni ulama (fiqih dan teologi), filsuf (filsafat dan sains), dan kaum sufi (tasawuf). Artinya, kemunculan tiga gugus komunitas utama dalam Islam ini oleh Ansary diletakkan dalam kerangka Islam sebagai sebuah proyek peradaban.

Anak judul buku ini, “Sejarah Dunia Versi Islam”, juga bermakna bahwa pengalaman umat Islam dalam kisah sejarah dunia dijadikan sebagai sudut pandang utama. Karena itu, banyak hal menarik yang diungkapkan Ansary dalam buku ini dengan sudut pandang yang dipilihnya itu. Misalnya menyangkut masuknya orang-orang Eropa secara masif dalam sejarah Islam yang dimulai dari peristiwa Perang Salib. Di akhir bagian penuturannya tentang Perang Salib, Ansary mengemukakan sebuah gagasan yang cukup menarik. Ansary tidak sepakat dengan beberapa kalangan yang menggambarkan Perang Salib sebagai benturan peradaban antara Islam dan Barat. Menurut Ansary, laporan-laporan pihak Arab tak menunjukkan bahwa kaum muslim berpikiran demikian (bandingkan, buku karya Carole Hillenbrand, The Crusade: Islamic Perspectives yang sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Serambi). Gagasan tentang benturan peradaban dapat mungkin jika dilihat dari sudut pandang Tentara Salib. Bagi kaum muslim, mereka tak melihat bukti adanya peradaban dari Tentara Salib, karena memang Eropa ketika itu baru hendak beranjak dari masa yang mereka sebut Zaman Kegelapan. Tambahan lagi, kehadiran Tentara Salib juga tak cukup menantang secara intelektual terhadap ide-ide dan keyakinan kaum muslim. Bahkan, Tentara Salib tidak pernah menembus jauh ke dalam dunia muslim, seperti kawasan Mekah dan Madinah, Bagdad, dan juga Persia. Demikian pula, peristiwa Perang Salib tak merangsang keingintahuan tertentu di dunia muslim tentang Eropa (hlm. 248-249).

Sejauh terkait dengan Perang Salib, Ansary menjelaskan dengan baik bagaimana peristiwa ini justru mendorong warga Eropa untuk menjelajah ke timur. Selama periode Perang Salib, masyarakat Eropa dapat mencium adanya peradaban yang canggih di timur. Namun sayang, mereka tak bisa menembus wilayah Dunia Tengah sampai akhirnya mereka memiliki kemampuan mengarungi laut yang bagus sehingga dapat mencapai wilayah timur melalui jalur laut.

Salah satu kelebihan yang cukup menonjol dari pemaparan Ansary dalam buku ini adalah kemampuannya untuk dapat merangkai berbagai peristiwa penting dalam sejarah dunia dalam suatu jalinan kisah yang padu. Misalnya saat menjelaskan kemunduran umat Islam setelah Perang Salib dan awal kebangkitan Barat (Eropa). Memang para ilmuwan muslim sudah banyak mengukir prestasi terutama selama masa Dinasti Abbasiyah. Akan tetapi, tatanan sosial kaum muslim saat itu mulai runtuh akibat serangan dari Eropa, dan juga dari timur yakni kaum Mongol. Yang paling utama, kemunduran umat Islam disebabkan karena perpecahan politik internal di antara berbagai pusat kekuasaan. Akibatnya, perkembangan keilmuan dan peradaban kaum muslim menjadi macet.

Ini berbeda dengan Barat yang meraih penemuan-penemuan ilmiah yang besar saat tatanan sosial mereka mulai bangkit, termasuk reformasi keagamaan yang melahirkan kaum Protestan dan selanjutnya memapankan proses pembentukan konsep negara-bangsa (hlm. 344-345). Selanjutnya, dominasi Barat atas wilayah dunia lainnya bergerak melalui penjelajahannya yang berwatak imperialis.

Namun Ansary menggarisbawahi bahwa saat Barat mendatangi timur melalui imperialisme, Barat tak bisa berperang secara langsung ketika berhadapan dengan masyarakat-mayoritas-muslim yang relatif masih kuat dan punya basis peradaban yang cukup baik. Termasuk juga dengan Cina yang masyarakatnya sudah terorganisasi dengan baik, kaya, dan berteknologi maju. Karena itu, atas wilayah-wilayah semacam ini, Barat hadir sebagai pedagang. Ini jelas berbeda dengan kehadiran Barat di kawasan Amerika Utara dan Amerika Selatan, Australia, dan Afrika.

Sementara Eropa mengalami kemajuan pesat dengan berbagai revolusi di berbagai sisi peradabannya, tatanan masyarakat Islam di ketiga dinastinya (Utsmani di kawasan utama atau Arab, Safawi di Persia, dan Moghul di India) mulai abad ke-17 secara lambat laun melemah. Salah satu gambaran menarik yang dipaparkan Ansary di antaranya terkait keruntuhan Kekaisaran Utsmani yang disebabkan oleh hancurnya tatanan ekonomi mereka akibat strategi para pedagang Eropa. Masuknya orang Eropa dalam sistem ekonomi Kekaisaran Utsmani ditandai dengan pembelian yang mereka lakukan atas bahan baku produksi secara masif sehingga menganjlokkan produksi dalam negeri. Dampak berikutnya, praktik penyelundupan dan mental korup tumbuh subur dan pelan-pelan menggerogoti Kekaisaran Utsmani (hlm. 361-366).

Saat membaca uraian tentang bagaimana kaum imperialis Eropa masuk ke komunitas muslim melalui jalur perdagangan dan pelan-pelan memberi pengaruh yang signifikan, saya teringat paparan Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya yang sudah menjadi klasik, Tradisi Pesantren. Di bagian awal buku itu, Dhofier menyinggung tentang penghancuran kehidupan komunitas-komunitas perdagangan di nusantara oleh kaum penjajah Belanda yang pada gilirannya memberi pengaruh secara mendalam dengan mengubah struktur dasar organisasi kemasyarakatan orang Jawa (Dhofier, 1994: 9, 132).

Kemunduran peradaban komunitas muslim di berbagai titik pentingnya pada periode ini memunculkan kejutan-kejutan internal. Bagi beberapa pihak, ini serupa tamparan keras yang menohok pada titik keimanan mereka. Krisis dan kemunduran Islam memicu krisis teologi Islam: jika wahyu Islam memang benar, mengapa kemudian komunitas muslim mundur atau bahkan terkalahkan? Apa artinya? Di manakah letak kesalahannya?

Sebenarnya, krisis semacam ini sudah terjadi sebelumnya. Bisa dikatakan bahwa krisis serupa terjadi setelah Islam diserang oleh Tentara Salib dari Barat dan juga tentara Mongol. Ini juga yang terjadi saat ini, ketika gelombang modernitas dengan berbagai kompleksitas persoalannya dan kedahsyatan gempurannya juga dapat memojokkan komunitas muslim di berbagai penjuru dunia.

Terkait krisis setelah serbuan Tentara Salib dan Tentara Mongol, misalnya, Tamim Ansary mencatat dua model respons yang dilakukan umat Islam, yakni salafisme ala Ibn Taimiyyah dan gerakan tasawuf (hlm. 266-278). Salafisme Ibn Taimiyyah sangat erat dengan pemikiran puritan, karena dia memandang kemunduran Islam terjadi karena umat Islam berhenti mengamalkan Islam yang “benar”. Ia bersikeras untuk membersihkan Islam dari ide-ide baru, interpretasi, dan inovasi. Dari sini, dalam pembicaraan tentang jihad, Ibn Taimiyyah di antaranya kemudian juga memperluas daftar orang-orang yang dapat dilawan dengan jihad hingga termasuk juga para pembid’ah atau mereka yang dianggap menyempal.

Gerakan tasawuf atau sufisme berkembang di kalangan mereka yang ingin mencapai persatuan mistik dengan Allah. Gerakan ini pada titik tertentu membentuk komunitas-komunitas sufi yang bermula dan berpusat di sekitar individu sufi terkemuka.

Serbuan modernitas bagi Ansary lebih kompleks. Pada paruh kedua abad kesembilan belas, orang Eropa telah memegang kendali semua penjuru dunia Islam, dan dominasi ini dicapai tanpa perang atau penyerbuan berskala besar. Namun demikian, penetrasi orang Eropa ini bukan terutama dengan membawa keimanan Kristen mereka. Modernitas yang disebarkan oleh cengkeraman orang Eropa ini membawa pandangan dunia sekuler humanistik. Inilah yang dihadapi umat Islam saat ini.

Tamim Ansary mencatat tiga jenis tanggapan umum sebagai bentuk reformasi yang diambil oleh umat Islam. Tanggapan pertama mengatakan bahwa yang perlu diubah bukan Islam, tapi umat Islam. Tanggapan kedua mengritik pandangan agama yang ketinggalan zaman dan memandang bahwa Barat itu benar. Karena itu, yang perlu dilakukan adalah memodernisasi iman dengan membersihkan takhayul dan memikirkan Islam sebagai sistem yang cocok dengan ilmu. Tanggapan ketiga mirip dengan tanggapan kedua. Bedanya, mereka menekankan pencarian makna iman, sejarah, dan tradisi dari dalam Islam sendiri, sambil menyerap beberapa hal dari Barat. Ketiga respons ini menurut Ansary terwakili oleh sosok Abdul Wahhab dari semenanjung Arab, Sayyid Ahmad dari Aligarh, India, dan Sayyid Jamaluddin-i-Afghan (hlm. 403-404).

Banyak hal menarik yang bisa didapatkan dari buku yang dalam versi bahasa Inggris berjudul Destiny Disrupted: A History of the World through Islamic Eyes dan semula terbit pada tahun 2009 ini. Yang pertama dan utama, buku ini memberi sudut pandang alternatif (Islam) atas sejarah dunia yang selama ini cenderung Erosentris. Kedua, meski terbilang singkat dan tidak sangat detail, uraian dalam buku ini mampu menghubungkan titik-titik penting dalam sejarah dari sisi dialektisnya dengan sangat baik. Ketiga, cara bertutur buku ini sangat nyaman dan tak membosankan sehingga mudah untuk dicerna.

Kaum muslim yang membaca buku ini paling tidak dapat memaknainya sebagai pencarian akar identitas dirinya serta upaya untuk lebih memahami peristiwa-peristiwa penting di dunia saat ini yang melibatkan unsur Islam. Sebagai pencarian identitas, kaum muslim secara lebih mendalam sebenarnya sedang mencoba menjawab pertanyaan: apa makna menjadi seorang muslim di abad ini? Melalui buku ini, Tamim Ansary memberikan kilasan sejarah yang sangat penting untuk menjadi modal menjawab pertanyaan reflektif tersebut.

Karen Armstrong dalam bukunya, Holy War (2001), menghubungkan peristiwa Perang Salib dengan identitas kaum Eropa. Armstrong tak hanya mengaitkan Perang Salib dengan proses pembentukan identitas orang-orang Barat saat ini, tetapi juga menjelaskan bahwa Perang Salib juga terjadi di antaranya lantaran krisis identitas yang dialami orang-orang Eropa setelah keruntuhan Kekaisaran Romawi. Menjelang Perang Salib, orang-orang Eropa berusaha mencari jiwa-kristen baru untuk mendefinisikan ulang jati diri dan identitas mereka.

Namun pencarian identitas yang menjadi kerangka tutur buku yang diterjemahkan dengan sangat baik oleh Yuliani Liputo, seorang penerjemah senior, ini sama sekali tak menggiring pada arah yang cenderung agresif atau negatif, seperti yang diuraikan Armstrong dalam kasus Perang Salib dan orang-orang Eropa. Bahkan, Ansary sesungguhnya mendorong upaya untuk saling memahami kerangka pikir yang melandasi nalar sejarah Barat dan Islam (hlm. 561).

Dalam konteks inilah, bila dicermati dengan lebih mendalam, menempatkan sejarah dunia dari sudut pandang Islam sebagai sebuah upaya untuk mencari makna menjadi seorang muslim mau tidak mau akan mengantarkan kita pada sebuah ruang dialog, yakni dialog peradaban antara Islam dan Barat. Secara tidak langsung, Ansary dalam buku ini berusaha merajut sebuah ruang dialog yang lebih setara antara Barat yang saat ini dominan dan Islam yang cenderung dipinggirkan. Sebagai sebuah ruang dialog, buku ini amatlah menarik karena dapat menggambarkan perjumpaan kedua gugus peradaban tersebut secara proporsional. Dengan demikian, buku ini sekaligus sangat baik dibaca oleh kaum muslim sendiri maupun orang Barat yang selama ini cenderung merasa sendirian, apalagi setelah kehancuran Uni Soviet dan Fukuyama mencatatnya sebagai Akhir Sejarah.

Di halaman-halaman terakhir, Ansary menegaskan perihal ruang dialog ini, juga secara tidak langsung. Paling akhir, ia mengilustrasikan sejarah dunia dengan meminjam analogi seorang filsuf Jerman, Leibniz, yang menyatakan bahwa alam semesta ini terdiri dari “monad-monad”; setiap monad menyusun keseluruhan semesta; setiap monad dipahami dari sudut pandang tertentu; dan setiap monad memuat semua yang lain. Dari ilustrasi ini, Ansary menegaskan tugas bersama untuk menyusun sebuah sejarah-bersama yang tiada lain dilakukan dengan menyusun langkah-langkah kecil bersama menghadirkan sudut pandang tertentu atas sejarah. Jika dipikirkan secara mendalam, terutama mempertimbangkan keberagaman latar dan peradaban manusia saat ini, menyusun sejarah-bersama akan menjadi tugas yang sangat besar. Namun itu semua akan cair dan menjadi ringan jika ruang dialog seperti yang berusaha dibangun Ansary melalui buku ini terus dirawat, diperluas, dan dikembangkan—tentu saja dengan landasan ketulusan.

Wallahualam.


Bacaan Pendukung

Armstrong, Karen. 2001. Holy War: The Crusades and their Impact on Today’s World. Edisi Kedua. New York: Achor Books.

Cassirer, Ernst. 1944. An Essay on Man: An Introduction to a Philosophy of Human Culture. New York: Doubleday.

Dhofier, Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Cetakan Keenam. Jakarta: LP3ES.

Engineer, Asghar Ali. 2000. Devolusi Negara Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS.

Hillenbrand, Carole. 1999. The Crusade: Islamic Perspectives. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Marewo, N. 1995. Lambo. Yogyakarta: Bentang Budaya.

Shihab, M. Quraish. 2011. Membaca Sirah Nabi Muhammad saw. dalam Sorotan al-Qur’an dan Hadits-Hadits Shahih. Jakarta: Lentera Hati.

Viviano, Frank. 2005. “Armada Raksasa dari Timur”. National Geographic Indonesia, Juli 2005.

Tulisan ini dimuat di Jurnal 'Anil Islam, Volume 4, Nomor 2, Desember 2011, terbitan Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep.

Read More..