Minggu, 23 Mei 2010

Menikmati Tarian Aurora di Langit Trondheim

Jika kau ditanya tentang kota di Eropa yang pada akhir April salju masih turun di sana, Trondheim adalah salah satunya. Ia terletak hampir 500 kilometer ke arah utara dari ibu kota Norwegia, Oslo. Kota yang didirikan oleh Raja Norwegia Olav Tryggvason pada 997 ini memang memiliki pesona alam yang khas.

Letaknya yang mendekati lingkar Kutub Utara membuat kota ini akan sangat unik di puncak musim dingin dan musim panas. Memasuki Mei, saya sempat terpaku mengamati jadwal salat bulanan yang saya dapatkan dari Masjid Komunitas Muslim Trondheim. Betapa tidak, di akhir Mei, matahari terbit pada pukul 03.26 dan baru akan tenggelam pada pukul 23.07.

Dari tetangga kamar yang asli orang Norwegia, saya menjadi tahu bahwa di sekitar pertengahan Juni-Juli, rentang waktu dari matahari terbenam hingga terbit tak sampai empat jam, sehingga bisa dibilang ketika itu Trondheim nyaris tak punya malam. Saya jadi teringat potongan syair lagu kelompok musik asal Swedia, Roxette, berjudul June Afternoon. "It's a bright June afternoon, it never gets dark. Wah-wah! Here comes the sun".

Saya sulit membayangkan bagaimana umat Islam berpuasa pada bulan Juni atau Juli di sini. Tak hanya soal ibadah, saya pun merasa agak kesulitan mengikuti irama perubahan waktu yang menjadikan siang merentang semakin panjang. Merasa lebih nyaman belajar (membaca dan menulis) di saat malam, kini saya agak kerepotan mengatur jadwal kerja ketika hari terasa tak kunjung petang. Padahal, di sepanjang Mei, saya mesti berkejaran dengan tenggat akhir penulisan tesis.

Sebaliknya, di puncak musim dingin, antara akhir Desember dan awal Januari, siang hanya berlangsung sekitar empat jam. Cuaca pun bisa menjadi sangat ekstrem. Beberapa hari di akhir Februari yang lalu, saya sempat mengalami suhu 20-24 derajat Celsius di bawah nol!

Di tengah suhu ekstrem dan guyuran salju, saya tetap memberanikan diri berjalan kaki dari asrama mahasiswa Moholt Studentby ke kampus Universitas Sains dan Teknologi Norwegia atau Norges Teknisk-Naturvitenskapelige Universitet (NTNU) Dragvoll. Jarak 2,2 kilometer terasa lebih jauh. Di samping karena mendaki, guyuran dan tumpukan salju di jalan terasa cukup memperlambat dan membuat berat langkah-langkah kaki saya.

Namun saya tahu bahwa mungkin saya akan cukup kesulitan untuk punya pengalaman seperti ini lagi. Sebab, menurut kabar di koran lokal Trondheim, cuaca hari itu memang terbilang ekstrem, dan menurut catatan hanya terpecahkan oleh cuaca pada 52 tahun yang lalu.

Selain demi menghemat biaya hidup yang relatif lebih mahal dibanding negara Eropa lainnya, berjalan kaki ke kampus Dragvoll memang menyenangkan. Mendaki jalanan yang menanjak, saya mendapatkan pemandangan Kota Trondheim yang seolah menyerupai negeri dongeng.

Saat mulai mendekati Dragvoll, saya dapat menyaksikan lanskap Kota Trondheim dari ketinggian. Menara Tyholt di area kampus Departemen Teknologi Kelautan NTNU tampak menjulang. Di menara setinggi 124 meter itu, saya pernah menikmati pemandangan Kota Trondheim yang masih bertabur salju di sebuah restoran yang bergerak memutar di puncak menara.


Dari atas bukit menuju Dragvoll, di seberang kota yang penduduknya hanya sekitar 170 ribu jiwa ini, tampak teluk kecil dan perbukitan bertutup salju menjadi batas akhir pandangan mata saya. Tapi yang paling menarik perhatian saya adalah sisi yang berseberangan dengan hamparan Kota Trondheim itu, yakni bukit-bukit yang hampir sepanjang lerengnya dipenuhi dengan rumah kayu berwarna-warni. Ada yang merah, kuning, hijau, biru, putih, abu-abu, dan berbagai nuansa warna indah yang agak sulit saya gambarkan.

Balkon dan gazebo kecil di beberapa rumah tampak benar-benar memikat. Salah satu di antaranya tampak sebuah bangunan besar yang membentuk seperti tangga berundak mengikuti kontur bukit. Memang bukitnya tak setinggi dan securam Minas Tirith, tapi cukup untuk mengingatkan saya pada kota rekaan J.R.R. Tolkiens dalam trilogi terakhir The Lord of the Rings, yang tergambar begitu eksotik di versi filmnya, itu.

Saat menyusuri jalan ke Dragvoll, sering kali saya terpesona ketika mendapati langit benar-benar cerah dan biru serta sisa-sisa salju masih tampak di atap-atap rumah dan sisi bukit yang terjal itu. Lalu langkah-langkah sepatu saya di atas salju melahirkan bunyi yang khas. Mendekati kampus Dragvoll, lereng yang dipenuhi rumah kayu berganti dengan hutan kecil yang mengelilingi salah satu sisi kampus. Sungguh pemandangan yang benar-benar indah.


Moholt atau Dragvoll mungkin bisa dibilang sudah mendekati pinggiran Kota Trondheim. Sementara itu, pusat kota Trondheim sendiri yang tak begitu luas terbilang cukup unik. Ia berada di sebuah "pulau kecil" yang terbentuk oleh liukan mulut Sungai Nidelva yang berjumpa dengan Trondheimsfjorden—teluk kecil Trondheim yang berada di sisi utara.

Sebagaimana pusat kota pada umumnya, di sana ada beberapa pusat belanja, toko-toko, dan kantor pemerintah. Sebuah pusat belanja, Trondheim Torg, berada tepat di pusat kota. Trondheim Torg terasa tampak sangat sederhana untuk ukuran kota terbesar ketiga di Norwegia.


Hal paling menarik di pusat kota tentu saja adalah Katedral Nidaros. Ia merupakan landmark kota yang pernah menjadi ibu kota Norwegia hingga 1217 ini. Katedral yang mulai dibangun pada 1070 ini hingga sekarang menjadi monumen bangunan Gothic terpenting di Norwegia dan menjadi tujuan utama para peziarah sejak Abad Pertengahan untuk Eropa wilayah utara. Peran pentingnya terlihat dari fakta bahwa raja Norwegia dinobatkan di sini.

Pesona alam dan jejak sejarah menyatu dalam kota yang menjadi pusat pendidikan dan riset teknologi di Norwegia ini. Masih di kawasan pusat kota, setiap pulang Jumatan, saya sering sulit menahan godaan untuk menikmati pemandangan rumah-rumah kayu yang di antaranya berasal dari abad ke-18. Rumah kayu tipikal Skandinavia yang berwarna-warni itu berderet rapi di tepi Sungai Nidelva yang meliuk, tepatnya di dekat kawasan Kota Lama.

Di situ pula ada jembatan tua yang pertama dibangun menjelang akhir abad ke-17. Berdiri di tengah jembatan, saya menatap ke arah liukan sungai dengan airnya yang bersih dan tenang, sementara di kejauhan tampak gedung tua kampus NTNU Gløshaugen berdiri di atas ketinggian bukit. Sungguh akan sempurna jika mendung tak sedang menutupi angkasa.


Tak jauh dari jembatan itu, terdapat Sykkelheisen Trampe, lift untuk sepeda yang merupakan satu-satunya di dunia. Lift yang dibangun pada 1993 itu panjangnya 130 meter, tepat berada di perempatan kawasan Kota Lama. Sayang, saat terakhir saya ke sana, lift itu tampak belum dioperasikan—mungkin karena tumpukan salju belum benar-benar bersih.

Lebih dari itu semua, pengalaman paling menarik selama tinggal di Trondheim sejak awal Februari lalu adalah saat saya menyaksikan aurora. Sebelumnya, saya tak menyangka bahwa di Negeri Viking ini saya akan dapat menyaksikan salah satu fenomena alam yang hanya ada di beberapa tempat di belahan bumi itu.

Aurora Borealis, cahaya langit di dekat wilayah lingkar Kutub Utara yang terlihat di malam hari, saya saksikan di pekan kedua April lalu. Begitu mengetahui akan ada aurora dari laman ramalan cuaca yang biasa saya lihat, menjelang tengah malam saya bersiap di puncak salah satu bukit di kawasan kompleks asrama Moholt. Bersama puluhan mahasiswa lain yang ternyata sudah berada di sana lengkap dengan kamera mereka, saya begadang menikmati tarian aurora di langit utara.

Dari atas bukit itu, aurora kadang tampak melintang seumpama selendang yang dikibarkan di atas bangunan kompleks mahasiswa Moholt Studentby. Jauh di belakang, tampak bukit yang bercahaya oleh lampu-lampu kota. Warna kehijauan bertaburan di langit di balik pohon yang tampak masih meranggas. Titik-titik bintang kecil bersinar keputihan di kejauhan.

Cahaya kehijau-hijauan itu berpendar di langit. Kadang ia membentang panjang dari timur ke barat, berkelebat, lalu mengental, meremang, menebal, dan menipis. Di saat yang lain, ia tampak menumpuk di langit utara dalam area yang cukup melebar, lalu sesekali mementaskan tarian lembut sebelum akhirnya menghilang ditelan langit cerah bertabur bintang. Dari sudut yang berbeda, kadang cahaya kehijauan itu membentuk seperti tanduk Viking yang menggantung di langit.


Saya tahu, teman-teman saya, mahasiswa Indonesia, yang berada di negara Eropa lainnya mungkin akan merasa iri melihat foto dan catatan saya menyaksikan aurora, karena aurora hanya ada di langit utara. Tapi saya juga perlu memberi tahu bahwa tinggal di Trondheim menuntut ketahanan mental.

Bagaimanapun, kota yang topografinya berbukit dan beriklim maritim ini bisa dibilang cukup terpencil. Ya, Norwegia, seperti juga Swedia, adalah negeri yang sunyi. Di dua negara Skandinavia ini, wilayah yang dimanfaatkan tak lebih dari 4 persen. Selebihnya hanya lahan kosong, hutan, danau, dan semacamnya. Setelah Oslo, kota besar terdekat dari Trondheim adalah Bergen, yang berjarak sekitar 650 kilometer.

Kesunyian mungkin akan terasa semakin menjadi-jadi saat musim dingin begitu panjang, dan salju masih tetap saja turun bahkan hingga awal bulan Mei. Rumput tak kunjung menghijau, pepohonan masih kerontang, dan langit cukup sering berwajah muram. Saya kadang menjadi agak heran, mengapa St. Olav dahulu menamai kota ini Trondheim, yang berarti "rumah yang nyaman ditinggali"?

Saya bertanya-tanya, jika awal Mei salju masih turun, seperti saat saya menulis catatan ini, lalu kapan saya akan menikmati daun dan bunga-bunga yang bersemi? Semoga Juni. Ya, mungkin Juni, bersama Judas Priest yang akan mengentak dan meramaikan Kota Trondheim dalam ajang festival musik rock tahunan (Trondheim Rock) di sini.

Memandangi butiran salju yang turun pagi ini, saya pun berharap semoga salju yang saya saksikan di pekan pertama bulan Mei ini tak akan menjadi salju terakhir dalam pengalaman hidup saya.


Tulisan ini dimuat di Koran Tempo, 23 Mei 2010.

Read More..

Kamis, 13 Mei 2010

Keajaiban Menulis

“Saat menuliskan sesuatu, kadang tak disangka kita kemudian dibawa pada suatu titik kesimpulan atau titik pemikiran yang tak diduga sebelumnya,” kata May Thorseth, dosen pembimbing saya Selasa kemarin, saat mendiskusikan sebagian naskah awal tesis saya di kampus Dragvoll NTNU Trondheim.

Pembicaraan ini muncul saat kami mendiskusikan tulisan awal saya yang memuat kerangka umum dan alur proyek tesis saya. Dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis yang memungkinkan saya untuk dapat melihat arah dan peta yang lebih jelas dari penelitian saya. Kemudian akhirnya ia menyarankan agar saya segera menuliskan dan masuk ke poin pembahasan utama. “Dalam proses menulis, kadang kita menemukan dan memahami satu poin gagasan yang terasa baru dan mencerahkan. That’s the magic of writing,” ujarnya.

Saya tersenyum mendengar kalimat itu. Saya cukup dapat merasakan apa yang ia sebut sebagai “keajaiban menulis” itu. Benar. Saya merasa bahwa proses menulis, perlahan, dapat membentuk cara berpikir seseorang. Tidak saja dalam pengertian cara seseorang bernalar atau menyusun alur dan logika, tetapi mungkin juga memengaruhi cara seseorang memandang suatu hal atau persoalan.

Dalam rentang proses yang lebih panjang, menulis sangat mungkin membentuk identitas dan karakter seseorang. Menulis membantu memperkaya dan mengolah berbagai nuansa pengalaman dalam sudut pandang subjektif tertentu, sehingga dengan begitu ia bisa juga dilihat sebagai sebuah proses interaksi-reflektif antara pengalaman dan penafsiran. Hal atau pengalaman yang sederhana mungkin bisa terlewatkan begitu saja. Akan tetapi, dengan tingkat kepekaan tertentu yang sudah cukup terasah, hal sederhana itu bisa saja melahirkan refleksi dan poin gagasan yang mungkin cukup menarik.

Saat pengalaman yang ditafsirkan itu semakin kompleks dan beragam, matriks kemungkinan gagasan yang akan dihasilkan bisa menjadi semakin luas. Pada titik itulah proses menulis kemudian seperti menjadi proses memilah lorong-lorong menuju alur kesimpulan (sementara) yang terasa lebih dapat diterima secara subjektif sesuai dengan stok pengetahuan dan sudut pandang si penulis. Kompleksitas matriks kemungkinan itu dipilah, dicoba untuk ditata, disederhanakan, dan akhirnya disimpulkan.

Dalam proses lanjutan, saat sebuah tulisan telah rampung dan diakhiri oleh si penulis dan dilepas ke publik, ia akan terus berkembang biak sendiri lepas dari otoritas (authority, “kepengarangan”) si penulis. Kematian pengarang, sebagaimana dikabarkan oleh Roland Barthes, tentu saja bukanlah kabar buruk yang harus disesali, karena bagaimanapun teks pada akhirnya adalah juga tindakan yang memiliki hak otonominya sendiri. Sekecil apa pun, apa yang telah kita tulis pada akhirnya akan menjadi bagian dari Buku Semesta—dan ada kehadiran kita di sana, meski tak bisa purna.

Namun begitu, meski sudah lepas dari kuasa pengarang, kehadiran teks otonom tersebut ke wilayah publik telah membuka peluang pintu dialog bagi gagasan yang sebelumnya hanya sunyi sendiri dalam benak si penulis. Kesunyian sebuah gagasan yang hanya semarak dalam benak seseorang akhirnya dirayakan secara publik melalui tulisan.

Saat ide tentang tulisan ini menyergap saya semalam sebelum tidur, saya pun sempat bertanya-tanya: akan seperti apakah jadinya ide tersebut saat dituliskan dan bagaimana ia akan berakhir—dalam prosesnya maupun ketika sudah menjadi teks otonom.

Sekarang saya tahu bahwa tulisan ini sendiri (bersama ide yang muncul tadi malam itu) mungkin adalah bagian dari pencarian saya tentang makna aktivitas kepenulisan saya selama ini. Ini mungkin bagian dari cara saya merayakan jalan sunyi seorang penulis, dengan berusaha mengusir kabar kesunyian itu dengan sebuah pesta bertajuk “keajaiban menulis”.

Adakah yang mau bergabung bersama saya dalam pesta ini?

Read More..

Minggu, 09 Mei 2010

Plagiarisme dan Komunitas Akademik yang Sekarat

Saat berdiskusi tentang penulisan tesis di program saya dengan pembimbing dan teman sekelas, ada satu gagasan yang menarik buat saya dan mengingatkan saya pada kasus plagiarisme di Indonesia. Dijelaskan bahwa salah satu tujuan penting menulis tesis atau karya akademik lain adalah mematangkan diri dan berproses menyatu dalam komunitas akademik.

Saya berpikir bahwa bisa jadi fenomena plagiarisme dan hal serupa (ijazah atau sertifikat palsu dan semacamnya) terjadi karena sebenarnya komunitas akademik di negeri kita sedang sekarat.

Komunitas akademik pada dasarnya merupakan tempat untuk berbagi pengetahuan ilmiah. Perkembangan ilmu itu sendiri terjadi dalam serangkaian proses dialogis dari berbagai ruang dan waktu yang berbeda dan terutama berlangsung melalui media tulisan. Tulisan yang bisa disebut karya ilmiah itu muncul beriringan, saling dukung, saling kritik, menggali, menguatkan, mempertanyakan, menyempurnakan, menindaklanjuti, dan seterusnya sehingga membentuk suatu akumulasi capaian pengetahuan dan ilmu tertentu.

Seseorang yang sedang menulis karya ilmiah sebenarnya sedang berusaha berkomunikasi dengan komunitas ilmiah lebih luas. Dengan media tulisan dan dukungan teknologi yang semakin canggih, proses diskursif itu berlangsung secara cukup kaya dan intens, melintasi berbagai tempat dan disiplin ilmu.

Akan tetapi, jika yang terjadi adalah plagiarisme, tentu saja proses komunikasi itu menjadi bermasalah. Salah satu masalah mendasar yang selama ini sudah cukup banyak disorot adalah problem etis. Kejujuran, tanggung jawab, penghormatan kepada orang lain jelas-jelas ternoda dalam kasus plagiarisme.

Lebih dari sekadar problem etis, plagiarisme di negeri kita, bagi saya, terutama juga merupakan pertanda bahwa komunitas akademik kita sebenarnya tengah sekarat. Sebagian komunikasi ilmiah yang terjadi di antara orang-orang yang berada di titik-titik komunitas ilmiah itu mungkin bersifat semu. Disebut semu karena aktivitas utama komunitas akademik, yakni pemelajaran, sulit ditemukan di situ. Yang ada mungkin hanyalah semacam formalitas yang kering, dangkal, dan bersifat instrumental.

Dalam komunitas akademik yang sekarat, sebagian orang berkarya cenderung tidak didorong semangat belajar, hasrat untuk menggali, dan maksud untuk berbagi. Mereka relatif hanya digerakkan dorongan periferal, seperti untuk kenaikan pangkat dan jabatan, prestise, materi, dan semacamnya.

Beberapa karya (kebanyakan?) dalam jurnal-jurnal ilmiah di tanah air mungkin tak jauh dari motif semacam itu. Mereka tak mencerminkan dialog dan interaksi akademik yang hidup, tapi berada dalam konteks ''dalam rangka'' yang tak substantif.

Sekaratnya semangat komunitas akademik tersebut bisa dikembalikan pada problem moral sebagaimana orang membaca kasus plagiarisme. Meski demikian, problem moral itu mungkin juga berakar pada kondisi objektif yang terbentuk sedemikian rupa dalam sebuah proses historis yang bisa jadi relatif panjang.

Jika kita berasumsi bahwa komunitas akademik ini mulai tumbuh, terutama melalui institusi perguruan tinggi (kampus) dan atau lembaga serupa, dapat dikatakan bahwa Orde Baru menjadi titik awal yang cukup penting dicermati. Penelitian Daniel Dhakidae (2003) menunjukkan bahwa pada masa Orde Baru sulit sekali ditemukan kelompok ''cendekiawan bebas'' karena mereka berhadapan dengan aparat ideologis dan represif negara yang kuat dan totaliter. Organisasi profesional kaum cendekiawan kehilangan otonominya dan hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan negara.

Situasi semacam itulah yang terjadi dalam kurun waktu cukup panjang dan melalui proses rekayasa sosial-politik-kebudayaan canggih, yang pada gilirannya menyuburkan mental instrumental pada insan-insan komunitas ilmiah atau cendekiawan itu.

Saat ini Orde Reformasi relatif menyediakan ruang yang lebih bebas bagi kaum cendekiawan untuk menghidupkan kembali kredo akademiknya, termasuk dukungan objektif berupa kebijakan pemerintah dalam mengalokasikan anggaran pendidikan dan penelitian. Meski demikian, godaan kekuasaan dan pragmatisme (mentalitas menerabas, dalam istilah Koentjaraningrat) masih terus membayang dan hadir dalam beragam rupa.

Demikianlah, plagiarisme sebenarnya tak hanya memberi kita pekerjaan rumah yang sederhana. Tidak sekadar menghentikan praktik yang tak menghormati karya dan kreativitas orang lain. Lebih dari itu, plagiarisme mendorong kita untuk segera membenahi komunitas akademik kita yang sekarat.

Dalam dinamika komunitas akademik, kredo dalam berkreasi harus terus diteguhkan. Saat ini, sepertinya tak mudah menjadi sosok ilmuwan atau akademisi ideal di tengah iklim yang tak sehat, kecuali mereka tergerak oleh panggilan visi pribadi yang kuat dan bermental tangguh.

Di titik itulah tugas kita bersama untuk menyediakan ruang yang lebih baik bagi perbaikan lingkungan ilmiah (akademik) menjadi semakin mengemuka. Tujuan akhirnya, kaum cendekiawan dan para ilmuwan itu bisa terpanggil untuk konsisten melakukan berbagai hal demi perbaikan peradaban dan masyarakat.


Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 9 Mei 2010. Bisa juga dibaca di Blog Kompasiana.

Read More..

Selasa, 04 Mei 2010

Kegiatan Peduli Lingkungan di Sekolah dan Pendidikan yang Lebih Membumi

Semangat dan inspirasi kadang menunggu momen tertentu untuk muncul. Seringkali ia datang secara kebetulan. Kita tak pernah menyangka sebelumnya, bahwa hal yang tak kita rencanakan akan cukup berpengaruh mengarahkan jalur hidup kita berikutnya.

Demikianlah. Sepulang mengikuti acara Environmental Teachers’ International Convention (ETIC) akhir Maret 2008 di Kaliandra, Pasuruan, tiba di rumah saya mencoba mencari salah satu arsip artikel saya yang ditulis sekitar 13 tahun sebelumnya saat saya duduk di bangku sekolah menengah atas. Tulisan yang akhirnya saya temukan baik dalam bentuk tulisan tangan maupun versi yang sudah dicetak dengan ketikan komputer itu berjudul “Manusia dan Krisis Lingkungan: Perspektif Ekologi Islami”.

Saya mencari tulisan itu karena saya ingin mencoba merekonstruksi pikiran macam apa yang ada di kepala saya waktu itu. Pulang dari ETIC 2008 yang digelar sekitar sepekan di pedalaman Pasuruan, kepala saya dipenuhi dengan pertanyaan dan pikiran tentang nasib dan masa depan bumi. Jika saya dulu memang pernah menulis sebuah esai sepanjang 10 ribu karakter (1.600 kata) tentang isu lingkungan, mengapa tulisan itu sepertinya hanya berhenti di sana, sebagai tulisan (atau gagasan) saja, dan seperti tak memiliki cerita lanjutan?

ETIC 2008, forum para penggiat pendidikan lingkungan, buat saya terasa sebagai titik mula untuk terjun lebih dalam ke isu lingkungan. Membaca tulisan saya tahun 1995 itu, saya jadi tahu bahwa saat itu saya mungkin berpikir terlalu normatif. Tentu saya sadar bahwa saat itu saya dan lingkungan belajar saya punya banyak keterbatasan. Kemudian, di ETIC 2008 mata saya terbuka untuk sejumlah fakta dan data aktual terkait isu lingkungan. Fakta-fakta itu menggugah dan kemudian terasa sangat berkaitan dengan aspek-aspek normatif yang sempat saya tulis dahulu itu.

Meramu Tiga Matra

Sampai di situ, saya berkesimpulan bahwa wawasan normatif saja sangat tidak cukup (pikiran tentang hal ini kemudian terus berkembang hingga saya masuk ke diskusi yang lebih mendalam soal berbagai pemikiran di bidang etika lingkungan). Kita butuh fakta-fakta inspiratif yang sederhana dan dekat dengan keseharian kita untuk bisa mematri, membumikan, dan menjangkarkan sebuah dimensi normatif tertentu.

Selanjutnya, dua matra itu, aspek normatif dan fakta inspiratif, tak bisa berdiri sendiri. Keduanya butuh wadah yang menggerakkan dialektika matra normatif dan faktual ke dalam wujud gerakan atau aksi nyata di lapangan.

Pulang kembali ke sekolah dari ETIC 2008, saya pun mencoba meramu ketiga matra tersebut dalam aktivitas pendidikan lingkungan di sekolah tempat saya mengajar, SMA 3 Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep. Isu lingkungan bagi komunitas tempat saya mengajar sebenarnya tidaklah terlalu asing. Sekitar dua tahun sebelumnya di situ sudah terbentuk komunitas pecinta lingkungan di sekolah dengan nama Duta Lingkungan yang dirintis oleh salah seorang guru SMA 3 Annuqayah, Muhammad-Affan. Lebih jauh, sebenarnya komunitas Pondok Pesantren Annuqayah, yang merupakan komunitas besar kami, sudah lama sekali bersentuhan dan bergiat di isu lingkungan. Pada tahun 1981 Annuqayah mendapatkan penghargaan Kalpataru dari pemerintah untuk kategori penyelamat lingkungan.

Keterlibatan Annuqayah di isu lingkungan dipelopori oleh Biro Pengabdian Masyarakat Pondok Pesantren Annuqayah (BPM-PPA) yang wilayah garapannya lebih banyak ke masyarakat di sekitar pesantren. Sebagai guru, saya pun mencoba fokus menekuni isu lingkungan di komunitas sekolah tempat saya mengajar.

Ramuan ketiga matra yang saya simpulkan itu kemudian pertama kali mewujud dalam bentuk aksi memulung sampah plastik pada peringatan Hari Bumi 2008. Aksi ini sebenarnya dilakukan tanpa persiapan yang matang tapi ternyata melahirkan tindak lanjut yang begitu panjang. Aksi ini disepakati setelah ada salah seorang murid di sekolah saya yang mencoba membuat tas pensil dari sampah plastik. Katanya, ia tergerak oleh salah satu kisah saya sepulang dari ETIC 2008. Memang, di kelas saya sempat bercerita tentang seorang ibu dari Jakarta yang sempat hadir dan berbagi di ETIC 2008. Ibu itu membuat tas dan kerajinan dari sampah plastik. Nah, si murid saya itu, dengan tanpa mesin jahit, ternyata berhasil membuat tas pensil sederhana dari sampah plastik.

Teman-temannya di sekolah pun tergerak dan tertarik untuk menseriusi hal ini, sehingga akhirnya diputuskanlah untuk menggelar aksi memulung di Hari Bumi 2008. Ada 52 murid yang mengikuti aksi ini yang direkrut secara sukarela melalui pengumuman yang ditempel di majalah dinding sekolah. Di pengumuman itu, saya mencantumkan fakta dan informasi seputar bahaya plastik.


Pemulung Sampah Gaul

Tindak lanjut aksi ini kemudian mewujud lebih solid dalam bentuk komunitas yang oleh murid-murid dinamakan Pemulung Sampah Gaul (PSG). Setelah aksi memulung itu, komunitas ini tidak hanya sekadar mengolah sampah-sampah plastik yang didapat dari beberapa tempat pembuangan akhir (TPA) di lingkungan Annuqayah yang menampung sekitar enam ribu santri dan siswa. Mereka juga berupaya mendorong tersebarnya pengetahuan, informasi, dan sikap peduli terhadap lingkungan yang bersih dan sehat, terutama menyangkut sampah plastik.

Meski hanya baru bergerak di tingkat lokal, yakni di lingkungan sekolah kami sendiri, kreativitas anak-anak PSG ini mendapat perhatian dan apresiasi dari berbagai pihak, sehingga beritanya sempat dimuat di Radar Madura (13-14 Juni 2008) dan disiarkan di stasiun televisi Madura Channel (10 Juni 2008).

Untuk lebih memperluas wilayah sosialisasi, PSG hadir di salah satu stand dalam ajang Haflatul Imtihan Madrasah Annuqayah 2008, yakni kegiatan perayaan akhir tahun pelajaran yang diisi dengan berbagai kegiatan lomba dan semacamnya. Pada kegiatan ini, PSG hadir memamerkan hasil kerajinan dari sampah, melakukan sosialisasi bahaya sampah plastik, memunguti sampah plastik di lokasi pameran, dan presentasi proses kretif mengolah sampah menjadi karya kerajinan. Pada acara yang digelar mulai 3-6 Juli 2008 tersebut, dari buku tamu tercatat ada lebih dari 800 pengunjung yang ikut meramaikan stand PSG.

Sementara stand-stand yang lain berusaha memanjakan hasrat konsumtif santri dan siswa, stand PSG justru memasarkan kesadaran untuk lebih peduli dengan alam.

Semenjak itu, aktivitas PSG semakin populer sehingga sempat diundang ke sekolah dan komunitas lain di lingkungan Sumenep. Pada tanggal 30 Juli 2008 PSG melakukan presentasi di MTs Ainul Falah Bakeyong, Guluk-Guluk, Sumenep, yang mendapatkan respons sangat meriah. Tanggal 21 November 2008 utusan PSG presentasi di forum Fatayat NU Pragaan Sumenep yang kemudian menarik perhatian dan tindak lanjut cukup serius. 13 Februari 2009, anak PSG juga presentasi di komunitas ibu-ibu di Guluk-Guluk.


Sehari-hari, komunitas PSG di lingkungan sekolah berupaya menyebarkan informasi dan sikap peduli terhadap bahaya sampah plastik. Memang, idealnya langkah yang paling diutamakan adalah mengurangi (reduce) sampah. Namun disadari bahwa itu mungkin masih terlalu berat untuk masyarakat yang masih relatif buta informasi dan kurang peka atas persoalan sampah dan hal yang terkait dengannya.

Karena itulah, target utama aktivitas PSG adalah penyebaran informasi. Dengan kata lain, aspek faktual yang sederhana dan inspiratif yang diharapkan dapat menggerakkan perubahan—sekecil apa pun. Produk PSG berupa tas dan kerajinan yang lain hanyalah media. Selain untuk menarik perhatian, juga untuk mengingatkan dan menguatkan aspek informatif dan inspiratif terkait sampah plastik. Memang, beberapa orang kadang tampak salah paham memandang aktivitas PSG—melihatnya sebagai aktivitas keterampilan, padahal inti utamanya adalah mengajak orang untuk lebih peka dan peduli lingkungan.

Tersebarnya informasi tentang bahaya sampah plastik diharapkan dapat mengubah perilaku seseorang. Misalnya, belajar untuk memilah sampah plastik, kertas, dan organik. Karena di sekolah kami sebelumnya tak ada upaya pemilahan sampah, maka PSG kemudian membagikan kardus bekas khusus untuk tempat sampah plastik di kelas-kelas.

Kami juga cukup senang saat kemudian ada dua toko di dekat sekolah kami yang mulai memisah sampah-sampah plastik mereka dan kemudian diserahkan kepada PSG untuk dimanfaatkan sebagai bahan dasar kerajinan dari sampah plastik.

Semua kegiatan PSG ketika itu terutama hanya bermodalkan semangat. Sekolah kami terbilang miskin dan tak punya banyak anggaran untuk mendukung semua kegiatan murid. Tapi murid-murid kami tradisikan untuk berbuat maksimal dengan apa yang kami miliki. Untuk kegiatan PSG, misalnya, ketika itu kami hanya bisa memanfaatkan mesin jahit pinjaman. Alat-alat pendukung untuk mengolah sampah plastik itu pun kami dapat secara swadaya. PSG juga mendapatkan dana dari penjualan hasil kerajinan, baik tas dan semacamnya, yang dibuat oleh murid-murid.

Namun akhirnya ada pihak yang membantu kami menghadapi keterbatasan ini. Di bulan Januari 2009, Said Abdullah Institute di Sumenep memberikan bantuan dana untuk komunitas PSG. Sebagian dana itu kemudian digunakan untuk membeli dua mesin jahit serta peralatan lainnya dan merehab sebuah bangunan gudang di pojok sekolah untuk menjadi bengkel dan markas PSG. Selebihnya, dana kami simpan.


SCC dan Dua Adik PSG

Di akhir tahun 2008, saya mendapat informasi tentang sebuah ajang lomba yang digelar oleh British Council Indonesia bernama School Climate Challenge (SCC) Competition. Lomba ini bertujuan untuk mendorong murid dan guru sekolah menengah terlibat dalam proyek peduli lingkungan. Setelah berembuk dengan beberapa guru dan elemen penggiat lingkungan lainnya di sekolah, di akhir Februari 2009 kami mendaftarkan tiga tim untuk ajang lomba tingkat nasional ini.

Ketiga tim itu masing-masing adalah Tim Pupuk Organik, Tim Gula Merah, dan Tim Sampah Plastik. Dua tim yang pertama masing-masing terdiri dari dua guru pendamping dan 3 siswa, sedang Tim Sampah Plastik, karena relatif sudah eksis dan berkegiatan, hanya menempatkan saya sendiri sebagai guru pendamping ditambah dengan empat orang murid. Saya sendiri juga didaulat sebagai koordinator guru pendamping untuk ketiga proyek tersebut. Sebagai bentuk langkah kaderisasi, masing-masing tim juga didukung oleh sejumlah murid yang juga bertanggung jawab dalam pelaksanaan program kerja proyek yang dilaksanakan sepanjang Maret hingga Mei 2009. Ketiga proyek ini menggunakan kas dana PSG dan sama sekali tak mengambil dana sekolah.

Saya sangat senang karena setidaknya ada empat guru lainnya yang mulai intens masuk bergiat ke isu pendidikan lingkungan dalam dua proyek SCC yang lain tersebut. Lebih dari itu, isu yang ditekuni mulai meluas, tak hanya sampah plastik, tapi juga pupuk organik dan gula merah atau pangan lokal.


Lebih tiga bulan intens mengerjakan dan mendampingi proyek SCC ini, saya berusaha mensinergikan tiga matra yang ada dalam benak saya itu: aspek normatif, sisi faktual, dan gerakan yang terorganisasi.

Pada aspek normatif, saya mencoba memberi sentuhan pendekatan filsafat moral dalam semua proyek dan kegiatan tersebut. Latar belakang pendidikan sarjana saya sebagai lulusan dari jurusan filsafat menjadi modal tersendiri. Apalagi saya memang meminati bidang etika (filsafat moral) dan mencoba merintis pengenalan wacana filsafat moral di lingkungan Pesantren Annuqayah pada umumnya. Pada sesi penguatan kapasitas, saya mencoba mengajak murid-murid untuk berpikir sedikit radikal menghadapi persoalan lingkungan. Memang, bidang etika lingkungan buat saya terbilang baru, karena di Indonesia sendiri bidang ini terbilang belum cukup populer.

Pada sisi faktual, saya mengajak murid-murid untuk menghimpun data dan fakta terkait dengan masing-masing proyeknya, terutama dari internet, untuk dibuat semacam kliping digital. Kliping ini saya harapkan akan menjadi bahan penguatan kapasitas para anggota komunitas penggiat lingkungan lainnya di sekolah. Sekali lagi, sisi faktual ini dicari yang sederhana dan inspiratif.

Tak hanya diajak menekuri buku atau laman-laman di internet, murid-murid juga diajak untuk belajar peka membaca fakta di sekitar mereka. Beberapa kali murid diajak untuk riset lapangan, misalnya ke komunitas petani gula merah, dan sebagainya.

Melalui proyek SCC, pada level gerakan murid-murid mulai diajak untuk berjejaring dengan komunitas dan sekolah yang lain di wilayah Sumenep, seperti Madrasah Aliyah Nasy’atul Muta’allimin Gapura, Madrasah Aliyah Sumber Payung Ganding, dan sebagainya. Beberapa sekolah tampak antusias dengan kegiatan kami dan ada pula yang kemudian ikut membentuk komunitas peduli lingkungan di sekolahnya.


Gerakan penyebaran informasi dan kesadaran yang dilakukan oleh ketiga proyek SCC ini juga sempat mendapat dukungan dari sebuah radio lokal, Ganding FM, saat kami diberi kesempatan gratis untuk on-air dan berbagi pengalaman terkait proyek kami. Selain itu, stasiun televisi Madura Channel juga mengundang saya untuk tampil secara langsung dalam dialog memperingati Hari Bumi 2009.

Saat menutup rangkaian ketiga proyek SCC tepat di penghujung Mei 2009 dan ketiga tim proyek SCC mempresentasikan kegiatan mereka selama tiga bulan di hadapan para undangan yang terdiri dari siswa, masyarakat, dan instansi terkait, pelan-pelan saya dapat menangkap betapa murid-murid—juga guru—yang bergiat di proyek ini tidak saja dilatih untuk mengembangkan potensi kreativitas, kepemimpinan, jiwa wirausaha sosial, dialektika aksi-refleksi, dan menyebar kepedulian terhadap lingkungan.


Pendidikan yang Membumi

Dalam konteks pendidikan lingkungan, proyek SCC yang kemudian berkembang sebagai tiga bidang garapan komunitas lingkungan di SMA 3 Annuqayah juga adalah ikhtiar untuk membumikan proses pendidikan dalam kehidupan aktual sehari-hari di sekitar kita. Ada satu kutipan sangat menarik yang saya dapatkan dari Dewi Lestari, atau yang populer disebut Dee, penulis dan penyanyi yang juga memiliki minat yang besar terhadap isu lingkungan.

Di blog yang menjadi salah satu favorit saya itu, Dee mengutarakan bahwa kita tidak dididik untuk tahu—atau mau tahu—tentang dari mana benda-benda yang kita konsumsi berasal, berapa banyak sumber daya alam yang digunakan untuk memproduksi itu semua, dan ke mana semua itu akan berakhir riwayatnya—kertas, tisu, bungkus permen, puntung rokok, komputer, pakaian, dan sebagainya. Pelajaran Biologi, misalnya, mungkin sebagian relatif gagal karena tidak membuat murid bertanya mengapa petani cukup sering mengalami kekurangan pupuk, atau mengapa sumber air bersih di sekitar mereka sudah tak lagi jernih.


Menguatkan pendidikan lingkungan di sekolah dari sudut pandang ini sebenarnya juga berarti membawa kurikulum sekolah ke arah yang lebih kontekstual , membumi, dan mengakar dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat tempat murid itu berasal. Di tengah iklim pendidikan formal yang terkesan textbook dan kaku, sungguh kegiatan peduli lingkungan dengan impian akan jaringannya yang kuat akan tampak sebagai sesuatu yang sangat menarik untuk terus ditekuni.

Intinya, bergiat di aktivitas pendidikan lingkungan akan memiliki banyak nilai lebih yang juga akan sangat relevan dengan peningkatan mutu pendidikan serta pembentukan generasi muda yang lebih berkarakter.

Hal yang paling memuaskan buat saya setelah mengerjakan dan mendampingi 3 proyek SCC itu adalah lahirnya kader-kader baru serta bidang baru di komunitas peduli lingkungan di sekolah kami. Saya senang bahwa paling tidak ada guru yang juga tertarik untuk mendampingi murid di kegiatan lingkungan di sekolah. Salah satu di antaranya adalah guru Biologi, Pak Mahmudi, yang sebenarnya tak memiliki latar belakang pendidikan formal di bidang itu, tapi karena cukup bersemangat dan belajar secara otodidak ia dipercaya memegang materi itu di sekolah. Yang lebih menggembirakan, proyek yang didampinginya, yakni proyek pupuk organik berbahan dasar limbah pertanian, berhasil masuk sebagai peringkat kelima dalam ajang lomba SCC yang diikuti oleh hampir 200 proyek dari berbagai sekolah di Indonesia.

Prestasi ini tentu menjadi kebanggaan tersendiri tidak hanya untuk dia, tapi juga buat saya dan seluruh civitas kependidikan di sekolah kami.


Karena kebetulan di lingkungan Pondok Pesantren Annuqayah saya juga mendampingi beberapa komunitas kepenulisan dan aktif mendorong terciptanya iklim jurnalisme warga, saya juga mendorong anak-anak yang terlibat di kegiatan proyek SCC dan PSG untuk mendokumentasikan kegiatan mereka dalam bentuk tulisan.

Di samping untuk melatih menuturkan pengalaman dan gagasan melalui media tulisan, menuliskan catatan pengalaman dalam kegiatan lingkungan ini bagi saya tidak saja berarti mereka membagikan pengalaman mereka yang cukup kaya itu. Saya harap dengan hal ini mereka juga bisa berbagi kepedulian dengan orang dan komunitas lain yang lebih luas.

Hasilnya, puluhan tulisan sudah dihasilkan oleh murid-murid yang tergabung di komunitas peduli lingkungan ini. Semuanya dipublikasikan di blog sekolah. Kebetulan saya sendiri yang menggawangi blog tersebut—kebetulan juga saya di sekolah mengajar pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.


Mengembangkan Kerangka Etis

Setelah SCC rampung di bulan Juni 2009, saya sebenarnya ingin sekali mengusahakan agar tulisan-tulisan para murid itu dapat tersaji lebih utuh dan lebih baik dalam bentuk semacam buku berisi kisah sukses bergiat di aktivitas peduli lingkungan di sekolah.

Sayangnya saya belum bisa merealisasikan gagasan ini. Untuk sementara waktu, saya tak bisa secara langsung bersama murid-murid dan rekan-rekan guru SMA 3 Annuqayah, karena di awal September 2009 saya melanjutkan studi saya ke Eropa. Alhamdulillah, di awal Mei 2009 saya mendapat kabar gembira bahwa aplikasi saya untuk program Erasmus Mundus Masters Course in Applied Ethics diterima. Saya mendapat kesempatan untuk mendalami bidang etika terapan di dua kampus di Eropa, yakni Utrecht University, Belanda, dan NTNU Trondheim, Norwegia, selama dua semester.

Pilihan saya untuk melanjutkan studi sebenarnya didorong oleh minat dan keterlibatan saya pada isu lingkungan, sehingga kemudian tertarik untuk secara khusus mendalaminya. Karena saya lihat di Indonesia masih belum ada kampus yang secara khusus mengarah ke sana, saya mencoba mengajukan aplikasi ke program yang disponsori oleh Uni Eropa tersebut, dan alhamdulillah diterima.

Sebelum berangkat ke Eropa, pertengahan Juni 2009 saya sempat diundang British Council Indonesia yang bekerja sama dengan PMPTK Depdiknas untuk mengikuti lokakarya penyusunan modul pembelajaran yang berusaha mengintegrasikan berbagai disiplin pelajaran di sekolah dengan perspektif pendidikan lingkungan. Acara yang diadakan di Malang pada 15-19 Juni ini bagi saya memberi banyak inspirasi untuk pengembangan isu pendidikan lingkungan di sekolah tempat saya mengajar, khususnya mengenai langkah teknis untuk memasukkan isu pendidikan lingkungan ke dalam kurikulum secara lebih tertata. Namun saya tidak bisa menindaklanjuti agenda spesifik ini karena saya harus menyiapkan banyak hal sebelum keberangkatan saya ke Eropa.

Selama studi di Eropa, saya tetap menyempatkan diri berkomunikasi dengan murid-murid yang bergiat di komunitas peduli lingkungan di sekolah. Kaderisasi dan konsolidasi menjadi salah satu target penting, karena dalam banyak kasus suatu komunitas kemudian macet karena masalah kader—poin ini sebenarnya juga menjadi salah satu bagian yang sedang saya pikirkan secara lebih mendalam. Dalam beberapa kesempatan, saya bahkan sempat ikut rapat online dengan mereka menggunakan video conference Skype.

Saya senang sekali mendapat kabar bahwa mereka masih terus bergiat, termasuk memenuhi undangan sekolah atau komunitas lain di Sumenep untuk berbagi pengalaman dan presentasi. Di bulan Oktober 2009, misalnya, mereka sempat hadir mewakili Kecamatan Guluk-Guluk dalam Pameran Pembangunan di Kabupaten Sumenep, dan tampil dengan memamerkan aktivitas dan visi hijau mereka.

Kabar terakhir, mereka tengah menyiapkan diri untuk presentasi di forum "24th Conference of the Caretakers of the Environment International" yang akan diselenggarakan di Malang awal Juli nanti.

Saat ini saya tengah menyusun tugas akhir (tesis) untuk program saya. Saya menulis tentang kerangka etis pendidikan lingkungan untuk konteks Indonesia. Penelusuran sementara saya menyimpulkan bahwa persoalan pendidikan lingkungan di Indonesia memiliki nuansa yang begitu luas. Konteks Indonesia sebagai negara berkembang membuat pendidikan lingkungan memiliki kaitan yang sangat erat dengan isu pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan. Pada titik ini, pendidikan lingkungan menurut saya kemudian juga mesti menyentuh isu kemiskinan, keadilan, dan semacamnya, yang dalam konteks Indonesia memiliki kaitan erat dengan isu lingkungan.

Saya senang karena selama menempuh studi di Eropa saya bisa melakukan semacam refleksi baik atas kegiatan peduli lingkungan di sekolah tempat saya mengajar pada khususnya dan Indonesia pada umumnya serta refleksi untuk lebih membumikan dan menyediakan kerangka normatif— dalam hal ini berbagai pemikiran dalam bidang etika lingkungan atau etika pada umumnya—yang kokoh untuk gerakan dan proyek pendidikan lingkungan. Kerangka etis yang bersifat aksiologis maupun strategis ini menurut saya akan bermakna penting jika kita melihat bahwa pendidikan lingkungan pada dasarnya adalah bagian dari pendidikan moral—pendidikan moral untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab untuk merawat kehidupan, alam semesta, dan generasi masa depan.

Tentu saja saya sepenuhnya sadar bahwa kerangka etis ini terutama terkait dengan salah satu matra, yakni aspek normatif. Tantangannya, saya tetap harus bisa meramu dan mengintegrasikannya dengan kedua aspek lainnya, yakni sisi faktual dan aspek gerakan, dan juga menerjemahkannya dalam bentuk yang lebih konkret dan aplikatif.

Untuk tantangan ini, sungguh saya sudah merasa tak sabar menunggu saat pulang pertengahan Juni nanti. Ide-ide di kepala rasanya sudah berletupan dan menunggu untuk diwujudkan. Semoga saya, murid-murid dan rekan guru di sekolah saya, serta kita semua, diberi kekuatan untuk dapat mewariskan bumi dan peradaban yang lebih baik bagi generasi mendatang.


Tulisan ini terpilih sebagai Juara Pertama Nokia Green Ambassador Tahap Ketiga 2010.

Read More..

Sabtu, 01 Mei 2010

Kisah Para Abdi yang Lelap dalam Mimpi

Konon, Orde Reformasi yang dimulai sejak tumbangnya kekuasaan Soeharto menandai permulaan era baru demokrasi di Indonesia. Orde Reformasi adalah saat ketika rakyat punya kesempatan untuk berbicara dan mengekspresikan aspirasinya. Lebih dari itu, Orde Reformasi menjanjikan perbaikan nasib rakyat dari berbagai hal yang mengungkung dan menyengsarakan mereka.

Di daerah, reformasi ditandai dengan munculnya wajah-wajah baru di elite kekuasaan, baik di pemerintahan maupun badan legislatif. Di daerah saya, Sumenep, atau Madura pada umumnya, hal serupa juga terjadi. Jabatan bupati bahkan dipegang oleh kalangan kiai. Banyak anggota badan legislatif yang juga berlatar belakang santri.

Setelah lebih 10 tahun bendera reformasi dikibarkan dengan penuh suka cita, perubahan apakah yang dapat terlihat di daerah saya? Yang cukup tampak adalah bahwa jalan-jalan pelosok yang dulu berbatu dan berdebu kini telah beraspal—meski kualitasnya kadang seperti murahan, lekas rusak dalam hitungan beberapa pekan. Juga, ada subsidi pendidikan untuk siswa tingkat menengah atas—meski terkesan kurang diiringi dengan rencana strategis yang matang.

Namun, jika berbicara soal pelayanan publik, saya rasa daerah saya masih berada jauh di belakang garis periode reformasi alias mengecewakan. Saya berani mengatakan demikian meski saya mendapat informasi bahwa Pemerintah Kabupaten Sumenep tahun ini menerima piagam penghargaan pelayanan publik Citra Bhakti Abdi Negara (CBAN) dari Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara. Menurut laman Pemerintah Kabupaten Sumenep, penghargaan ini diberikan karena Pemkab “dinilai mempunyai komitmen kuat untuk meningkatkan pelayanan publik, dengan melahirkan berbagai kebijakan perbaikan di bidang pelayanan publik”.

Banyak pengalaman dan cerita di sekitar saya yang menegaskan buruknya pelayanan publik di Sumenep. Hampir setahun yang lalu, saya mengalami sendiri bagaimana ribetnya mengurus salinan akta kelahiran di Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Sumenep. Pekan ini, saya kembali mendapat informasi yang semakin menguatkan pendapat saya bahwa dalam hal pelayanan publik, daerah saya sepertinya belum beranjak dari era kegelapan.

Melalui status Facebook seorang kawan, saya mendapat kabar bahwa ada seorang mahasiswa di Sumenep yang dijemput oleh dua orang ke rumahnya untuk menghadap Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Sumenep. Masalahnya, si mahasiswa menulis surat pembaca di Jawa Pos tentang pungutan liar pembuatan KTP. Kabarnya, saat dipanggil menghadap, si mahasiswa diancam tidak akan pernah mendapat KTP selamanya kecuali ia meralat surat pembacanya itu.


Saya nyaris tak percaya mendengar kabar ini. Cara pejabat Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil menanggapi surat pembaca itu sungguh tak elok sama sekali. Pungutan liar, atau apa pun namanya, dalam pembuatan KTP di Sumenep sudah jamak diketahui masyarakat. Menurut Perda No 9/2007, biaya pembuatan KTP di Sumenep Rp 6.000,-, tapi di lapangan hampir bisa dipastikan biayanya lebih besar berlipat-lipat.

Apa yang dialami si mahasiswa buat saya sungguh sangat berlebihan. Memanggilnya ke kantor dan memberinya ancaman? Wah, ini jelas bukan hal yang mestinya dilakukan seorang abdi rakyat. Bukannya melayani dan mawas diri, malah mengancam.

Tak lama setelah saya mendapat kabar ini, datang lagi kabar senada tetapi dari kantor instansi yang berbeda. Kali ini dari Dinas Pendidikan. Satu di antaranya mengabarkan tentang nasib salah seorang murid di sekolah tempat saya mengajar yang tengah meminta surat keterangan ke Dinas Pendidikan sebagai bagian dari persyaratan diterimanya ia di Institut Teknologi Bandung. Katanya, murid saya itu dimintai uang oleh salah satu staf di sana.

Kabar lainnya, masih dari sumber yang sama, menuturkan bahwa teman saya yang memberi kabar ini sudah tiga hari bolak-balik ke Dinas Pendidikan untuk semacam surat rekomendasi atau surat keterangan atas kegiatannya yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat. Saya tidak terlalu mengerti konteks dan kronologinya. Tapi dia menceritakan tentang bagaimana ia dilempar ke sana kemari sehingga harus datang berkali-kali tanpa kejelasan yang pasti.

Saya sungguh tak mengerti dengan ini semua. Seperti yang saya rasakan tahun lalu, saya hanya bisa merasa kasihan kepada mereka. Para pejabat dan staf di kantor pemerintahan itu rasanya sungguh berada di tempat dan waktu yang salah. Jika tak mau melayani, jangan sekali-kali melamar jadi pegawai negeri. Mungkin mereka merasa bahwa mereka masih hidup di era Orde Baru, saat pemerintah bisa berbuat semena-mena dan rakyat hanyalah hamba yang mesti diam di hadapan penguasa.

Saya kira begitulah adanya. Mereka masih lelap dalam mimpi, bahwa mereka adalah penguasa, bukan abdi masyarakat. Bahwa mereka aman dalam kekuasaan negara yang menggurita dan bebas berbuat apa saja—termasuk mengancam orang yang mengusik kenyamanan mereka. Saya pikir, kita, rakyat atau masyarakat Sumenep, perlu membangunkan mereka.

Sebenarnya, saya ingin sekali mendengar kabar bahwa tokoh-tokoh masyarakat dan kalangan santri yang kini duduk di jajaran elite pemerintahan atau badan legislatif itu juga turut peduli untuk memperjuangkan perbaikan pelayanan publik di Sumenep. Mungkin memang tidak mudah melakukan perubahan dalam soal ini—apa juga karena sudah mengandung semacam unsur “mafia”? Tapi reformasi sudah lebih 10 tahun, dan belum terlihat perubahan yang berarti. Menyadari hal ini, kadang saya pesimis dan merasa bahwa sepertinya saya tak cukup tepat untuk berharap pada para elite itu.

Lalu kepada siapa saya bisa berharap? Oke, mungkin saya tak boleh terlalu apatis dengan para elite itu. Dalam kasus tertentu, memang terkadang ada di antara elite yang bisa membantu. Tapi yang saya harapkan adalah perubahan yang mendasar dan menyentuh hal-hal yang substansial, bukan hanya bantuan penyelesaian dalam kasus tertentu. Ya, mari kita mencoba sedikit berbaik sangka, bahwa di antara para elite itu masih ada yang bisa mendukung langkah perbaikan semacam ini.

Namun begitu, yang paling penting, untuk bisa ke sana, saya kira kitalah, para rakyat bawah, yang harus kompak dan konsisten bergerak bersama-sama—jangan terus menunggu para elite itu untuk berbuat sesuatu. Di tingkat paling awal, saya kira kita harus bisa memanfaatkan peluang yang diberikan oleh teknologi informasi saat ini, yakni internet, untuk bisa saling berbagi pengalaman dan pikiran guna memperbaiki semua ini. Ya, semacam langkah konsolidasi dan merintis upaya keterbukaan informasi, saat laman-laman instansi pemerintah daerah yang mungkin berbiaya tinggi itu tak cukup mampu memenuhi kebutuhan dan tuntutan transparansi, saat para elite kekuasaan daerah di dunia maya kadang hanya bermonolog, asyik dengan dunianya sendiri, dan kurang membuka diri dan peka atas permasalahan nyata yang dialami rakyat sehari-hari.

Jika pengalaman si mahasiswa yang diancam dan pengalaman murid saya yang dimintai uang itu dibagi bersama di ruang maya ini, mungkin kisah-kisah serupa akan bermunculan datang dari para korban dari tempat, waktu, dan instansi yang bermacam-macam. Lalu pikiran dan langkah ke arah perbaikan mungkin juga akan datang dan dapat disusun dengan lebih baik. Dan, itu semua saya pikir akan dapat menjadi suatu kekuatan besar yang tidak saja akan menjadi ironi bagi sederet penghargaan (formal) atau trofi yang didapat instansi-instansi itu, tetapi mungkin juga bisa mampu memberi efek kejut untuk membangunkan mereka yang tengah lelap dalam mimpi itu.

Ya, mungkin semacam memercikkan air ke wajah mereka yang tidur lelap atau pura-pura tidur. Agar mereka benar-benar mau bangun, lalu bersama-sama kita ajak shalat, mengaji, dan bertaubat. Bukankah konon kiamat sudah dekat—bisa jadi 2012?

Baca juga:
>> Arogansi, Mental-Tak-Mau-Melayani, ataukah Hidup-Salah-Zaman?
>> Orang Miskin Dilarang Sakit

Read More..