Semangat dan inspirasi kadang menunggu momen tertentu untuk muncul. Seringkali ia datang secara kebetulan. Kita tak pernah menyangka sebelumnya, bahwa hal yang tak kita rencanakan akan cukup berpengaruh mengarahkan jalur hidup kita berikutnya.
Demikianlah. Sepulang mengikuti acara Environmental Teachers’ International Convention (ETIC) akhir Maret 2008 di Kaliandra, Pasuruan, tiba di rumah saya mencoba mencari salah satu arsip artikel saya yang ditulis sekitar 13 tahun sebelumnya saat saya duduk di bangku sekolah menengah atas. Tulisan yang akhirnya saya temukan baik dalam bentuk tulisan tangan maupun versi yang sudah dicetak dengan ketikan komputer itu berjudul “Manusia dan Krisis Lingkungan: Perspektif Ekologi Islami”.
Saya mencari tulisan itu karena saya ingin mencoba merekonstruksi pikiran macam apa yang ada di kepala saya waktu itu. Pulang dari ETIC 2008 yang digelar sekitar sepekan di pedalaman Pasuruan, kepala saya dipenuhi dengan pertanyaan dan pikiran tentang nasib dan masa depan bumi. Jika saya dulu memang pernah menulis sebuah esai sepanjang 10 ribu karakter (1.600 kata) tentang isu lingkungan, mengapa tulisan itu sepertinya hanya berhenti di sana, sebagai tulisan (atau gagasan) saja, dan seperti tak memiliki cerita lanjutan?
ETIC 2008, forum para penggiat pendidikan lingkungan, buat saya terasa sebagai titik mula untuk terjun lebih dalam ke isu lingkungan. Membaca tulisan saya tahun 1995 itu, saya jadi tahu bahwa saat itu saya mungkin berpikir terlalu normatif. Tentu saya sadar bahwa saat itu saya dan lingkungan belajar saya punya banyak keterbatasan. Kemudian, di ETIC 2008 mata saya terbuka untuk sejumlah fakta dan data aktual terkait isu lingkungan. Fakta-fakta itu menggugah dan kemudian terasa sangat berkaitan dengan aspek-aspek normatif yang sempat saya tulis dahulu itu.
Meramu Tiga Matra
Sampai di situ, saya berkesimpulan bahwa wawasan normatif saja sangat tidak cukup (pikiran tentang hal ini kemudian terus berkembang hingga saya masuk ke diskusi yang lebih mendalam soal berbagai pemikiran di bidang etika lingkungan). Kita butuh fakta-fakta inspiratif yang sederhana dan dekat dengan keseharian kita untuk bisa mematri, membumikan, dan menjangkarkan sebuah dimensi normatif tertentu.
Selanjutnya, dua matra itu, aspek normatif dan fakta inspiratif, tak bisa berdiri sendiri. Keduanya butuh wadah yang menggerakkan dialektika matra normatif dan faktual ke dalam wujud gerakan atau aksi nyata di lapangan.
Pulang kembali ke sekolah dari ETIC 2008, saya pun mencoba meramu ketiga matra tersebut dalam aktivitas pendidikan lingkungan di sekolah tempat saya mengajar, SMA 3 Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep. Isu lingkungan bagi komunitas tempat saya mengajar sebenarnya tidaklah terlalu asing. Sekitar dua tahun sebelumnya di situ sudah terbentuk komunitas pecinta lingkungan di sekolah dengan nama Duta Lingkungan yang dirintis oleh salah seorang guru SMA 3 Annuqayah, Muhammad-Affan. Lebih jauh, sebenarnya komunitas Pondok Pesantren Annuqayah, yang merupakan komunitas besar kami, sudah lama sekali bersentuhan dan bergiat di isu lingkungan. Pada tahun 1981 Annuqayah mendapatkan penghargaan Kalpataru dari pemerintah untuk kategori penyelamat lingkungan.
Keterlibatan Annuqayah di isu lingkungan dipelopori oleh Biro Pengabdian Masyarakat Pondok Pesantren Annuqayah (BPM-PPA) yang wilayah garapannya lebih banyak ke masyarakat di sekitar pesantren. Sebagai guru, saya pun mencoba fokus menekuni isu lingkungan di komunitas sekolah tempat saya mengajar.
Ramuan ketiga matra yang saya simpulkan itu kemudian pertama kali mewujud dalam bentuk aksi memulung sampah plastik pada peringatan Hari Bumi 2008. Aksi ini sebenarnya dilakukan tanpa persiapan yang matang tapi ternyata melahirkan tindak lanjut yang begitu panjang. Aksi ini disepakati setelah ada salah seorang murid di sekolah saya yang mencoba membuat tas pensil dari sampah plastik. Katanya, ia tergerak oleh salah satu kisah saya sepulang dari ETIC 2008. Memang, di kelas saya sempat bercerita tentang seorang ibu dari Jakarta yang sempat hadir dan berbagi di ETIC 2008. Ibu itu membuat tas dan kerajinan dari sampah plastik. Nah, si murid saya itu, dengan tanpa mesin jahit, ternyata berhasil membuat tas pensil sederhana dari sampah plastik.
Teman-temannya di sekolah pun tergerak dan tertarik untuk menseriusi hal ini, sehingga akhirnya diputuskanlah untuk menggelar aksi memulung di Hari Bumi 2008. Ada 52 murid yang mengikuti aksi ini yang direkrut secara sukarela melalui pengumuman yang ditempel di majalah dinding sekolah. Di pengumuman itu, saya mencantumkan fakta dan informasi seputar bahaya plastik.
Pemulung Sampah Gaul
Tindak lanjut aksi ini kemudian mewujud lebih solid dalam bentuk komunitas yang oleh murid-murid dinamakan Pemulung Sampah Gaul (PSG). Setelah aksi memulung itu, komunitas ini tidak hanya sekadar mengolah sampah-sampah plastik yang didapat dari beberapa tempat pembuangan akhir (TPA) di lingkungan Annuqayah yang menampung sekitar enam ribu santri dan siswa. Mereka juga berupaya mendorong tersebarnya pengetahuan, informasi, dan sikap peduli terhadap lingkungan yang bersih dan sehat, terutama menyangkut sampah plastik.
Meski hanya baru bergerak di tingkat lokal, yakni di lingkungan sekolah kami sendiri, kreativitas anak-anak PSG ini mendapat perhatian dan apresiasi dari berbagai pihak, sehingga beritanya sempat dimuat di Radar Madura (13-14 Juni 2008) dan disiarkan di stasiun televisi Madura Channel (10 Juni 2008).
Untuk lebih memperluas wilayah sosialisasi, PSG hadir di salah satu stand dalam ajang Haflatul Imtihan Madrasah Annuqayah 2008, yakni kegiatan perayaan akhir tahun pelajaran yang diisi dengan berbagai kegiatan lomba dan semacamnya. Pada kegiatan ini, PSG hadir memamerkan hasil kerajinan dari sampah, melakukan sosialisasi bahaya sampah plastik, memunguti sampah plastik di lokasi pameran, dan presentasi proses kretif mengolah sampah menjadi karya kerajinan. Pada acara yang digelar mulai 3-6 Juli 2008 tersebut, dari buku tamu tercatat ada lebih dari 800 pengunjung yang ikut meramaikan stand PSG.
Sementara stand-stand yang lain berusaha memanjakan hasrat konsumtif santri dan siswa, stand PSG justru memasarkan kesadaran untuk lebih peduli dengan alam.
Semenjak itu, aktivitas PSG semakin populer sehingga sempat diundang ke sekolah dan komunitas lain di lingkungan Sumenep. Pada tanggal 30 Juli 2008 PSG melakukan presentasi di MTs Ainul Falah Bakeyong, Guluk-Guluk, Sumenep, yang mendapatkan respons sangat meriah. Tanggal 21 November 2008 utusan PSG presentasi di forum Fatayat NU Pragaan Sumenep yang kemudian menarik perhatian dan tindak lanjut cukup serius. 13 Februari 2009, anak PSG juga presentasi di komunitas ibu-ibu di Guluk-Guluk.
Sehari-hari, komunitas PSG di lingkungan sekolah berupaya menyebarkan informasi dan sikap peduli terhadap bahaya sampah plastik. Memang, idealnya langkah yang paling diutamakan adalah mengurangi (reduce) sampah. Namun disadari bahwa itu mungkin masih terlalu berat untuk masyarakat yang masih relatif buta informasi dan kurang peka atas persoalan sampah dan hal yang terkait dengannya.
Karena itulah, target utama aktivitas PSG adalah penyebaran informasi. Dengan kata lain, aspek faktual yang sederhana dan inspiratif yang diharapkan dapat menggerakkan perubahan—sekecil apa pun. Produk PSG berupa tas dan kerajinan yang lain hanyalah media. Selain untuk menarik perhatian, juga untuk mengingatkan dan menguatkan aspek informatif dan inspiratif terkait sampah plastik. Memang, beberapa orang kadang tampak salah paham memandang aktivitas PSG—melihatnya sebagai aktivitas keterampilan, padahal inti utamanya adalah mengajak orang untuk lebih peka dan peduli lingkungan.
Tersebarnya informasi tentang bahaya sampah plastik diharapkan dapat mengubah perilaku seseorang. Misalnya, belajar untuk memilah sampah plastik, kertas, dan organik. Karena di sekolah kami sebelumnya tak ada upaya pemilahan sampah, maka PSG kemudian membagikan kardus bekas khusus untuk tempat sampah plastik di kelas-kelas.
Kami juga cukup senang saat kemudian ada dua toko di dekat sekolah kami yang mulai memisah sampah-sampah plastik mereka dan kemudian diserahkan kepada PSG untuk dimanfaatkan sebagai bahan dasar kerajinan dari sampah plastik.
Semua kegiatan PSG ketika itu terutama hanya bermodalkan semangat. Sekolah kami terbilang miskin dan tak punya banyak anggaran untuk mendukung semua kegiatan murid. Tapi murid-murid kami tradisikan untuk berbuat maksimal dengan apa yang kami miliki. Untuk kegiatan PSG, misalnya, ketika itu kami hanya bisa memanfaatkan mesin jahit pinjaman. Alat-alat pendukung untuk mengolah sampah plastik itu pun kami dapat secara swadaya. PSG juga mendapatkan dana dari penjualan hasil kerajinan, baik tas dan semacamnya, yang dibuat oleh murid-murid.
Namun akhirnya ada pihak yang membantu kami menghadapi keterbatasan ini. Di bulan Januari 2009, Said Abdullah Institute di Sumenep memberikan bantuan dana untuk komunitas PSG. Sebagian dana itu kemudian digunakan untuk membeli dua mesin jahit serta peralatan lainnya dan merehab sebuah bangunan gudang di pojok sekolah untuk menjadi bengkel dan markas PSG. Selebihnya, dana kami simpan.
SCC dan Dua Adik PSG
Di akhir tahun 2008, saya mendapat informasi tentang sebuah ajang lomba yang digelar oleh British Council Indonesia bernama School Climate Challenge (SCC) Competition. Lomba ini bertujuan untuk mendorong murid dan guru sekolah menengah terlibat dalam proyek peduli lingkungan. Setelah berembuk dengan beberapa guru dan elemen penggiat lingkungan lainnya di sekolah, di akhir Februari 2009 kami mendaftarkan tiga tim untuk ajang lomba tingkat nasional ini.
Ketiga tim itu masing-masing adalah Tim Pupuk Organik, Tim Gula Merah, dan Tim Sampah Plastik. Dua tim yang pertama masing-masing terdiri dari dua guru pendamping dan 3 siswa, sedang Tim Sampah Plastik, karena relatif sudah eksis dan berkegiatan, hanya menempatkan saya sendiri sebagai guru pendamping ditambah dengan empat orang murid. Saya sendiri juga didaulat sebagai koordinator guru pendamping untuk ketiga proyek tersebut. Sebagai bentuk langkah kaderisasi, masing-masing tim juga didukung oleh sejumlah murid yang juga bertanggung jawab dalam pelaksanaan program kerja proyek yang dilaksanakan sepanjang Maret hingga Mei 2009. Ketiga proyek ini menggunakan kas dana PSG dan sama sekali tak mengambil dana sekolah.
Saya sangat senang karena setidaknya ada empat guru lainnya yang mulai intens masuk bergiat ke isu pendidikan lingkungan dalam dua proyek SCC yang lain tersebut. Lebih dari itu, isu yang ditekuni mulai meluas, tak hanya sampah plastik, tapi juga pupuk organik dan gula merah atau pangan lokal.
Lebih tiga bulan intens mengerjakan dan mendampingi proyek SCC ini, saya berusaha mensinergikan tiga matra yang ada dalam benak saya itu: aspek normatif, sisi faktual, dan gerakan yang terorganisasi.
Pada aspek normatif, saya mencoba memberi sentuhan pendekatan filsafat moral dalam semua proyek dan kegiatan tersebut. Latar belakang pendidikan sarjana saya sebagai lulusan dari jurusan filsafat menjadi modal tersendiri. Apalagi saya memang meminati bidang etika (filsafat moral) dan mencoba merintis pengenalan wacana filsafat moral di lingkungan Pesantren Annuqayah pada umumnya. Pada sesi penguatan kapasitas, saya mencoba mengajak murid-murid untuk berpikir sedikit radikal menghadapi persoalan lingkungan. Memang, bidang etika lingkungan buat saya terbilang baru, karena di Indonesia sendiri bidang ini terbilang belum cukup populer.
Pada sisi faktual, saya mengajak murid-murid untuk menghimpun data dan fakta terkait dengan masing-masing proyeknya, terutama dari internet, untuk dibuat semacam kliping digital. Kliping ini saya harapkan akan menjadi bahan penguatan kapasitas para anggota komunitas penggiat lingkungan lainnya di sekolah. Sekali lagi, sisi faktual ini dicari yang sederhana dan inspiratif.
Tak hanya diajak menekuri buku atau laman-laman di internet, murid-murid juga diajak untuk belajar peka membaca fakta di sekitar mereka. Beberapa kali murid diajak untuk riset lapangan, misalnya ke komunitas petani gula merah, dan sebagainya.
Melalui proyek SCC, pada level gerakan murid-murid mulai diajak untuk berjejaring dengan komunitas dan sekolah yang lain di wilayah Sumenep, seperti Madrasah Aliyah Nasy’atul Muta’allimin Gapura, Madrasah Aliyah Sumber Payung Ganding, dan sebagainya. Beberapa sekolah tampak antusias dengan kegiatan kami dan ada pula yang kemudian ikut membentuk komunitas peduli lingkungan di sekolahnya.
Gerakan penyebaran informasi dan kesadaran yang dilakukan oleh ketiga proyek SCC ini juga sempat mendapat dukungan dari sebuah radio lokal, Ganding FM, saat kami diberi kesempatan gratis untuk on-air dan berbagi pengalaman terkait proyek kami. Selain itu, stasiun televisi Madura Channel juga mengundang saya untuk tampil secara langsung dalam dialog memperingati Hari Bumi 2009.
Saat menutup rangkaian ketiga proyek SCC tepat di penghujung Mei 2009 dan ketiga tim proyek SCC mempresentasikan kegiatan mereka selama tiga bulan di hadapan para undangan yang terdiri dari siswa, masyarakat, dan instansi terkait, pelan-pelan saya dapat menangkap betapa murid-murid—juga guru—yang bergiat di proyek ini tidak saja dilatih untuk mengembangkan potensi kreativitas, kepemimpinan, jiwa wirausaha sosial, dialektika aksi-refleksi, dan menyebar kepedulian terhadap lingkungan.
Pendidikan yang Membumi
Dalam konteks pendidikan lingkungan, proyek SCC yang kemudian berkembang sebagai tiga bidang garapan komunitas lingkungan di SMA 3 Annuqayah juga adalah ikhtiar untuk membumikan proses pendidikan dalam kehidupan aktual sehari-hari di sekitar kita. Ada satu kutipan sangat menarik yang saya dapatkan dari Dewi Lestari, atau yang populer disebut Dee, penulis dan penyanyi yang juga memiliki minat yang besar terhadap isu lingkungan.
Di blog yang menjadi salah satu favorit saya itu, Dee mengutarakan bahwa kita tidak dididik untuk tahu—atau mau tahu—tentang dari mana benda-benda yang kita konsumsi berasal, berapa banyak sumber daya alam yang digunakan untuk memproduksi itu semua, dan ke mana semua itu akan berakhir riwayatnya—kertas, tisu, bungkus permen, puntung rokok, komputer, pakaian, dan sebagainya. Pelajaran Biologi, misalnya, mungkin sebagian relatif gagal karena tidak membuat murid bertanya mengapa petani cukup sering mengalami kekurangan pupuk, atau mengapa sumber air bersih di sekitar mereka sudah tak lagi jernih.
Menguatkan pendidikan lingkungan di sekolah dari sudut pandang ini sebenarnya juga berarti membawa kurikulum sekolah ke arah yang lebih kontekstual , membumi, dan mengakar dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat tempat murid itu berasal. Di tengah iklim pendidikan formal yang terkesan textbook dan kaku, sungguh kegiatan peduli lingkungan dengan impian akan jaringannya yang kuat akan tampak sebagai sesuatu yang sangat menarik untuk terus ditekuni.
Intinya, bergiat di aktivitas pendidikan lingkungan akan memiliki banyak nilai lebih yang juga akan sangat relevan dengan peningkatan mutu pendidikan serta pembentukan generasi muda yang lebih berkarakter.
Hal yang paling memuaskan buat saya setelah mengerjakan dan mendampingi 3 proyek SCC itu adalah lahirnya kader-kader baru serta bidang baru di komunitas peduli lingkungan di sekolah kami. Saya senang bahwa paling tidak ada guru yang juga tertarik untuk mendampingi murid di kegiatan lingkungan di sekolah. Salah satu di antaranya adalah guru Biologi, Pak Mahmudi, yang sebenarnya tak memiliki latar belakang pendidikan formal di bidang itu, tapi karena cukup bersemangat dan belajar secara otodidak ia dipercaya memegang materi itu di sekolah. Yang lebih menggembirakan, proyek yang didampinginya, yakni proyek pupuk organik berbahan dasar limbah pertanian, berhasil masuk sebagai peringkat kelima dalam ajang lomba SCC yang diikuti oleh hampir 200 proyek dari berbagai sekolah di Indonesia.
Prestasi ini tentu menjadi kebanggaan tersendiri tidak hanya untuk dia, tapi juga buat saya dan seluruh civitas kependidikan di sekolah kami.
Karena kebetulan di lingkungan Pondok Pesantren Annuqayah saya juga mendampingi beberapa komunitas kepenulisan dan aktif mendorong terciptanya iklim jurnalisme warga, saya juga mendorong anak-anak yang terlibat di kegiatan proyek SCC dan PSG untuk mendokumentasikan kegiatan mereka dalam bentuk tulisan.
Di samping untuk melatih menuturkan pengalaman dan gagasan melalui media tulisan, menuliskan catatan pengalaman dalam kegiatan lingkungan ini bagi saya tidak saja berarti mereka membagikan pengalaman mereka yang cukup kaya itu. Saya harap dengan hal ini mereka juga bisa berbagi kepedulian dengan orang dan komunitas lain yang lebih luas.
Hasilnya, puluhan tulisan sudah dihasilkan oleh murid-murid yang tergabung di komunitas peduli lingkungan ini. Semuanya dipublikasikan di blog sekolah. Kebetulan saya sendiri yang menggawangi blog tersebut—kebetulan juga saya di sekolah mengajar pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
Mengembangkan Kerangka Etis
Setelah SCC rampung di bulan Juni 2009, saya sebenarnya ingin sekali mengusahakan agar tulisan-tulisan para murid itu dapat tersaji lebih utuh dan lebih baik dalam bentuk semacam buku berisi kisah sukses bergiat di aktivitas peduli lingkungan di sekolah.
Sayangnya saya belum bisa merealisasikan gagasan ini. Untuk sementara waktu, saya tak bisa secara langsung bersama murid-murid dan rekan-rekan guru SMA 3 Annuqayah, karena di awal September 2009 saya melanjutkan studi saya ke Eropa. Alhamdulillah, di awal Mei 2009 saya mendapat kabar gembira bahwa aplikasi saya untuk program Erasmus Mundus Masters Course in Applied Ethics diterima. Saya mendapat kesempatan untuk mendalami bidang etika terapan di dua kampus di Eropa, yakni Utrecht University, Belanda, dan NTNU Trondheim, Norwegia, selama dua semester.
Pilihan saya untuk melanjutkan studi sebenarnya didorong oleh minat dan keterlibatan saya pada isu lingkungan, sehingga kemudian tertarik untuk secara khusus mendalaminya. Karena saya lihat di Indonesia masih belum ada kampus yang secara khusus mengarah ke sana, saya mencoba mengajukan aplikasi ke program yang disponsori oleh Uni Eropa tersebut, dan alhamdulillah diterima.
Sebelum berangkat ke Eropa, pertengahan Juni 2009 saya sempat diundang British Council Indonesia yang bekerja sama dengan PMPTK Depdiknas untuk mengikuti lokakarya penyusunan modul pembelajaran yang berusaha mengintegrasikan berbagai disiplin pelajaran di sekolah dengan perspektif pendidikan lingkungan. Acara yang diadakan di Malang pada 15-19 Juni ini bagi saya memberi banyak inspirasi untuk pengembangan isu pendidikan lingkungan di sekolah tempat saya mengajar, khususnya mengenai langkah teknis untuk memasukkan isu pendidikan lingkungan ke dalam kurikulum secara lebih tertata. Namun saya tidak bisa menindaklanjuti agenda spesifik ini karena saya harus menyiapkan banyak hal sebelum keberangkatan saya ke Eropa.
Selama studi di Eropa, saya tetap menyempatkan diri berkomunikasi dengan murid-murid yang bergiat di komunitas peduli lingkungan di sekolah. Kaderisasi dan konsolidasi menjadi salah satu target penting, karena dalam banyak kasus suatu komunitas kemudian macet karena masalah kader—poin ini sebenarnya juga menjadi salah satu bagian yang sedang saya pikirkan secara lebih mendalam. Dalam beberapa kesempatan, saya bahkan sempat ikut rapat online dengan mereka menggunakan video conference Skype.
Saya senang sekali mendapat kabar bahwa mereka masih terus bergiat, termasuk memenuhi undangan sekolah atau komunitas lain di Sumenep untuk berbagi pengalaman dan presentasi. Di bulan Oktober 2009, misalnya, mereka sempat hadir mewakili Kecamatan Guluk-Guluk dalam Pameran Pembangunan di Kabupaten Sumenep, dan tampil dengan memamerkan aktivitas dan visi hijau mereka.
Kabar terakhir, mereka tengah menyiapkan diri untuk presentasi di forum "24th Conference of the Caretakers of the Environment International" yang akan diselenggarakan di Malang awal Juli nanti.
Saat ini saya tengah menyusun tugas akhir (tesis) untuk program saya. Saya menulis tentang kerangka etis pendidikan lingkungan untuk konteks Indonesia. Penelusuran sementara saya menyimpulkan bahwa persoalan pendidikan lingkungan di Indonesia memiliki nuansa yang begitu luas. Konteks Indonesia sebagai negara berkembang membuat pendidikan lingkungan memiliki kaitan yang sangat erat dengan isu pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan. Pada titik ini, pendidikan lingkungan menurut saya kemudian juga mesti menyentuh isu kemiskinan, keadilan, dan semacamnya, yang dalam konteks Indonesia memiliki kaitan erat dengan isu lingkungan.
Saya senang karena selama menempuh studi di Eropa saya bisa melakukan semacam refleksi baik atas kegiatan peduli lingkungan di sekolah tempat saya mengajar pada khususnya dan Indonesia pada umumnya serta refleksi untuk lebih membumikan dan menyediakan kerangka normatif— dalam hal ini berbagai pemikiran dalam bidang etika lingkungan atau etika pada umumnya—yang kokoh untuk gerakan dan proyek pendidikan lingkungan. Kerangka etis yang bersifat aksiologis maupun strategis ini menurut saya akan bermakna penting jika kita melihat bahwa pendidikan lingkungan pada dasarnya adalah bagian dari pendidikan moral—pendidikan moral untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab untuk merawat kehidupan, alam semesta, dan generasi masa depan.
Tentu saja saya sepenuhnya sadar bahwa kerangka etis ini terutama terkait dengan salah satu matra, yakni aspek normatif. Tantangannya, saya tetap harus bisa meramu dan mengintegrasikannya dengan kedua aspek lainnya, yakni sisi faktual dan aspek gerakan, dan juga menerjemahkannya dalam bentuk yang lebih konkret dan aplikatif.
Untuk tantangan ini, sungguh saya sudah merasa tak sabar menunggu saat pulang pertengahan Juni nanti. Ide-ide di kepala rasanya sudah berletupan dan menunggu untuk diwujudkan. Semoga saya, murid-murid dan rekan guru di sekolah saya, serta kita semua, diberi kekuatan untuk dapat mewariskan bumi dan peradaban yang lebih baik bagi generasi mendatang.
Tulisan ini terpilih sebagai Juara Pertama Nokia Green Ambassador Tahap Ketiga 2010.
Selasa, 04 Mei 2010
Kegiatan Peduli Lingkungan di Sekolah dan Pendidikan yang Lebih Membumi
Label: Education, Environmental Issues, School Corner
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
menikmati uraian ini dengan hati. He..he. Lagi demen kata hati.
selamat sudah menang. makin rajin koleksi HP jadinya...
:-)
fa, menarik sekali kegiatan di sekolahmu. Boleh ga kushare di facebookku? sapa tau bisa jadi inspirasi di sekolah tempatku... :-)
Posting Komentar