Jumat, 15 Januari 2010

A Lonely Biker


“Ceritakanlah padaku tentang warna putih,” katanya di suatu senja. Lalu aku pun bercerita tentang salju.

Sore itu, dari balkon apartemen yang masih dipenuhi salju, aku melihat seorang penyepeda keluar dari komplek Warande, Zeist, yang menampung sekitar seribu penghuni itu. Duduk di atas sadel, mengayuh pedal di jalanan yang licin dikelilingi pemandangan putih yang menghampar, di antara pohon-pohon menjulang yang juga memutih, aku seperti menangkap nuansa kesunyian yang hadir diam-diam. Ia tampak bersembunyi dalam tas kotak di belakang sadel sepedanya.

Ia datang bersama butir-butir lembut yang telah mengurung benua ini di bawah titik nol. Dengan kepolosannya, ia telah menjungkalkan si penyepeda ke ngarai sunyi yang seperti tak bertepi. Kepada yang lain, ia telah memaksa mereka untuk memarkir sepedanya dalam gudang-gudang bawah tanah lebih lama.

Sore itu tak ada sinar matahari. Butir-butir salju yang menghampar itu tak sedang berkilauan diterpa cahaya keperakan. Si penyepeda bergerak perlahan di jalanan kecil yang saljunya sama sekali tak disingkirkan. Ia tampak bersabar. Bunyi roda sepedanya yang berputar melewati butir-butir salju yang lembut itu sesekali diiringi oleh kicau burung di kejauhan. Tiupan angin yang tak sedang amat kencang kadang menjatuhkan salju di pepohonan. Beberapa tampak menerpa jaketnya yang berwarna hitam. Wahai penyepeda, apa yang tengah kau jemput di luar sana?

Dari atas balkon, aku menyaksikan titik hitam itu bergerak perlahan di antara pemandangan putih yang tampak polos dan seperti berasal dari negeri kayangan.

Putih salju, apa pun makna keberadaanmu, apa pun atribut yang kau antarkan kepadaku, aku tahu, bahwa suatu saat kau akan luluh, mencair, lalu menghilang, entah ke mana, untuk kemudian kembali di suatu masa.

Read More..

Senin, 04 Januari 2010

Badai Salju dan Pengalaman Terburuk di Belanda


Musim dingin di Belanda adalah pengalaman pertama saya melihat salju secara langsung. Menyaksikan butir-butir salju berjatuhan di balkon dan lanskap yang memutih sejauh mata memandang, semua sungguh tampak begitu indah. Dua hari pertama salju turun, saya berusaha menikmati pemandangan di mana-mana. Saya ke Amsterdam, keliling pusat kota Utrecht, dan bersepeda di sekitar Zeist.

Akan tetapi, salju sebenarnya juga menyimpan cerita buruk. Dan saya juga telah benar-benar mengalaminya—di saat yang sungguh tepat!

Kejadian itu terjadi satu hari setelah badai salju yang melanda Belanda. Minggu, 20 Desember, salju turun sepanjang hari sehingga ketebalan salju di balkon saya hampir mencapai 30 cm! Menurut berita di situs Radio Nederland, badai salju yang turun di beberapa negara Eropa ini memang telah memakan cukup banyak korban.

Saya juga menjadi korban keesokan harinya, saat saya hendak berangkat liburan ke Frankfurt dengan menggunakan bus Eurolines dari Utrecht CS. Menurut jadwal dan tiket yang saya pegang, bus Eurolines ke Frankfurt akan berangkat pukul 09.45 dari Utrecht CS. Jadi, pukul 8.30 saya sudah menuju Utrecht CS dan tiba di halte bus Eurolines di Jaarbeursplein pada pukul 09.00.

Halte bus Eurolines satu komplek dengan halte bus-bus antarkota lain di sisi barat Utrecht CS itu. Kabar buruknya: tak ada tempat duduk untuk orang-orang yang menunggu di ruang terbuka itu. Jalanan, pohon-pohon yang meranggas, sepeda yang diparkir cukup lama, semua memutih akibat badai salju kemarin. Putih dan tebal. Butir-butir salju di pepohonan itu sesekali tertiup angin dan jatuh ke bawah.

Saya berdiri saja di halte Eurolines bersama beberapa orang yang juga sedang menunggu bus. Tas punggung saya tak dilepas. Tak lama setelah saya di situ, 4 mahasiswa Indonesia dari Deventer juga tiba di halte tersebut. Mereka mau berlibur ke Paris dan juga menggunakan Eurolines.

Waktu berjalan melambat saat menunggu. Tak terasa waktu menunjukkan pukul 10 pas. Saya menunggu dengan agak cemas, karena udara dingin di situ seperti sudah sulit ditahan. Yang paling terasa adalah kaki dan tangan—agak kaku, seperti mau membeku. Karena itu, sesekali saya pindah ke tempat lain yang tak bersalju, agar sepatu tak bersentuhan langsung dengan salju tebal itu. Tapi tetap saja. Karena dingin telah menyebar ke mana-mana.

Saat pukul sebelas tampak ada bus Eurolines masuk ke area Jaarbeurs, saya berharap ini adalah bus ke Jerman. Ternyata itu bus ke Paris.

Jelang pukul 12, saya sudah tak tahan dengan dingin dan penantian yang serba tak jelas itu. Saya heran, mengapa tak ada kabar dari Eurolines. Saya sudah mencoba menelepon nomor kantor Eurolines di Amsterdam, tapi saya harus antre panjang di jalur telepon itu sehingga saya akhiri saja. Akhirnya saya pun masuk ke komplek Utrecht CS. Mungkin bisa sedikit menghangatkan badan, pikir saya, dan sekalian untuk ke toilet.

Setelah dari toilet, saya duduk-duduk di ruang tunggu Utrecht CS, tepatnya di dekat Blue Screen, papan jadwal kereta. Sambil menikmati segelas kopi, saya kembali mencoba menghubungi kantor Eurolines. Akhirnya, meski berada di antrean ketujuh belas, saya menunggu. Setelah menunggu sekitar 15 menit dengan agak gelisah karena khawatir pulsa terkuras habis, akhirnya saya tersambung dengan operator.

Dan ini dia kabar buruknya: setelah diperiksa, si petugas mengabarkan bahwa bus Eurolines ke Frankfurt baru saja meninggalkan Utrecht! Saya pun menerangkan bahwa saya telah menunggu di halte selama hampir 3 jam, dan tak ada kabar apa pun, sampai akhirnya saya memutuskan untuk masuk ke Utrecht CS karena sudah tak kuat menahan udara dingin. Si petugas menjelaskan bahwa hari itu semua jadwal bus menjadi kacau karena badai salju.

Tapi saya tetap saja heran: apa gunanya saya memberi nomor telepon saya di formulir pemesanan tiket jika dalam situasi darurat seperti ini saya sama sekali tak mendapat kabar! Memang sih, tiket Eurolines itu hitungannya bisa relatif murah. Tapi kan itu bukan alasan untuk membuat penumpang terlantar kedinginan. Satu-satunya jalan keluar adalah menunggu bus berikutnya. Dan itu, paling cepat, pukul tiga sore. Saya harus bersabar dan bertahan di tengah cuaca dingin.

Akhirnya, pukul empat kurang seperempat saya sudah berada di dalam bus Eurolines ke Frankfurt. Gara-gara badai salju, saya sudah terhukum kedinginan di Utrecht CS menunggu bus. Sungguh ini adalah pengalaman terburuk saya selama di Belanda.


>> Beri rating untuk tulisan ini di Blog Radio Nederland Wereldomroep.

Read More..

Sabtu, 02 Januari 2010

Gelandangan Semalam

Saat kereta yang kami tumpangi dari Kassel dalam perjalanan sekitar 8 jam dari Berlin tiba di halte Frankfurt West pada pukul 00.55 Senin (28/12) dini hari, saya dan Mas Suratno sudah merasa lega. Sebentar lagi kami akan segera tiba di rumah, di Eschborn, dua halte dari situ, dan benar-benar akan dapat istirahat setelah dua hari mengunjungi Leipzig dan Berlin.

“Nanti kita masak mi dan telur saja, baru tidur,” kata Mas Suratno. Bayangan mi dan telur yang masih hangat untuk melawan suhu udara musim dingin di bawah nol derajat sudah terlintas di benak saya. Namun, ketika melihat papan informasi di halte Frankfurt West, saya langsung merasa lemas. Ternyata kereta terakhir ke Eschborn, kotamadya di barat laut Frankfurt tempat Mas Suratno tinggal, sudah lewat sekitar 5 menit sebelumnya.

“Kalau begitu, alternatifnya, kita akan bermalam atau melewatkan malam ini di Hauptbahnhof (Hbf) Frankfurt,” kata Mas Suratno. Waduuuuh. Jadi tertunda nih istirahatnya, pikir saya. Memang, Hbf Frankfurt, atau stasiun pusat Frankfurt, memang besar dan luas. Tapi saya tidak yakin akan cukup nyaman menunggu sambil beristirahat di situ hingga kereta pertama ke Eschborn berangkat pukul 04.59. Untungnya, kami masih dapat menumpang kereta terakhir ke Hbf Frankfurt, pukul 01.10.

Tiba di Hbf Frankfurt, kami sepakat untuk mencari warung yang masih buka untuk menunggu kereta pagi. Beruntung, McD masih buka. Ternyata di McD banyak sekali orang-orang yang sepertinya juga sedang menunggu kereta atau kemalaman seperti kami. Tak jauh dari tempat kami duduk, ada 6 muda-mudi berbahasa Spanyol dengan tas-tas besar mereka. Di meja di depan saya, seorang berkulit hitam tidur dengan menundukkan kepalanya ke lengannya yang disilangkan di meja di depannya. Sisa makanan yang dipesannya baru saja diambil oleh petugas kebersihan McD. Seorang tua yang baru saja masuk mulai menyantap pesanannya di samping saya.

Waktu terasa berjalan lambat, sampai akhirnya tepat pada pukul 2 dini hari seorang pegawai McD yang tampak rapi dan mengenakan dasi menghampiri meja muda-mudi Spanyol yang tampak asyik sekali berbincang itu. Saya dapat mendengar kata-kata pegawai itu dengan jelas: “Kami akan segera tutup, mohon maaf,” katanya.

Belum setengah jam kami di situ, kami pun terpaksa keluar. Kami tak punya pilihan: kami pun berencana kembali masuk ke Hbf Frankfurt dan berharap menemukan tempat nyaman di dalam untuk menunggu.

Tapi sungguh sial nasib kami. Beberapa meter dari pintu masuk, kami sudah dapat melihat orang-orang yang hendak masuk tampak diperiksa oleh petugas keamanan. Saat mendekat, kami ditanya oleh petugas keamanan itu: hendak ke mana? Mas Suratno spontan menjawab: Darmstadt—sebuah kota di pinggiran Frankfurt. Si petugas langsung tak mengizinkan kami masuk. “Kereta pertama ke Darmstadt baru beroperasi nanti jam 5,” jawabnya singkat.

Ternyata petugas keamanan hanya mengizinkan masuk untuk mereka yang hendak segera berangkat. Petugas itu memeriksa tiket—mereka tak bisa ditipu. Kami, bersama beberapa orang lainnya yang juga tak bisa masuk, akhirnya ngeloyor pergi begitu saja.

Jelas kami tak punya tujuan. Tak ada kenalan di sekitar Hbf Frankfurt. Akhirnya, spontan saja, kami berjalan di sekitar bangunan Hbf yang besar, sambil berharap menemukan tempat yang nyaman untuk berlindung dari udara dingin. Saat di salah satu sisi bangunan Hbf kami menyaksikan ada orang berkerumun di semacam halte bus, kami pun mencoba mendekat dan berbaur dengan mereka. Ternyata mereka adalah rombongan yang sedang menunggu bus untuk perjalanan ke luar kota.

Agak lama di situ dan merasa kedinginan, kami coba lagi untuk berjalan. Di sebuah jalan masuk ke halte kereta bawah tanah, kami jadi terpikir untuk berlindung di situ. Tapi ternyata pintu masuk halte ditutup, dan kami hanya bisa nongkrong tepat di pintu masuk bawah tanah selama beberapa saat. Namun begitu, tetap saja kami kedinginan.

Akhirnya, jelang pukul tiga dini hari, kami pun berhasil menemukan penyelamat kami. Di salah satu sisi bangunan Hbf, kami menemukan sebuah ruangan yang tampak seperti kafe. Dari jendela, kami dapat melihat beberapa orang duduk-duduk di dalam. Kami pun memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Setelah menjelaskan bahwa kami ketinggalan kereta terakhir ke Eschborn, petugas yang membukakan pintu langsung mempersilakan kami masuk ke dalam dan duduk.

Kami duduk di meja bundar dekat jendela di sudut ruangan. Tak jauh dari kami, 6 muda-mudi Spanyol yang tadi kami jumpai di McD tampak sudah agak lama di situ, asyik berbincang. Di sudut lainnya, beberapa orang yang tampak tua terlihat tidur dengan cara mereka masing-masing. Seorang di antaranya mengorok cukup keras—yang kadang mengundang senyum muda-mudi Spanyol itu.

“Ternyata kami menemukan tempat yang tepat,” kata saya pada petugas yang sangat ramah dan berseragam biru itu setelah ia menjelaskan tempat tersebut. Menurut si petugas, tempat itu adalah semacam organisasi kemanusiaan, namanya Bahnhofs Mission, yang membantu orang-orang seperti kami, dan sebagainya. Bahnhofs Mission, sesuai dengan namanya, berbasis di stasiun-stasiun kereta api di Jerman, dan memberi bantuan bahkan untuk hal-hal kecil, seperti membantu menemukan jadwal kereta, kaum difabel, dan sebagainya.

Meski hanya duduk-duduk dan mengobrol, kami sungguh lega karena paling tidak kami selamat tak membeku kedinginan di luar. Kami di situ sekitar 90 menit. Setengah jam sebelum jadwal kereta pertama ke Eschborn, kami pun pamit dan melangkah masuk ke Hbf Frankfurt. Stasiun masih belum begitu ramai. Dengan rasa kantuk dan lelah yang seperti tak tertanggungkan, kami melangkah pasti, membayangkan tempat istirahat kami di Eschborn yang hangat.

Read More..