Minggu, 30 September 2007

Menelisik Makna Kompetensi Guru

Judul buku: Evolusi Pendidikan di Indonesia: Dari Kweekschool Sampai ke IKIP (1852-1998)
Penulis: Mochtar Buchori
Penerbit: Insist Press, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Juli 2007
Tebal: xiv + 206 halaman



Dalam beberapa pekan ini, berbagai media menyorot program sertifikasi guru yang sedang dilakukan pemerintah. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, program ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan meningkatkan mutu pendidikan. Banyak yang menyorot berbagai kemungkinan “permainan” dalam program yang pelaksanaannya secara hukum berlandaskan pada Peraturan Mendiknas No 18/2007 tersebut. Dugaan negatif semacam itu pada satu sisi tampak seperti sebentuk rasa cemas bahwa tujuan program sertifikasi itu tidak cukup mudah untuk dapat terwujud sepenuhnya.


Meski tidak secara langsung mengupas masalah sertifikasi guru, buku terbaru karya Mochtar Buchori ini sangat bernilai penting untuk dibaca dalam konteks sekarang ini, untuk merefleksikan kembali masalah-masalah yang dihadapi guru pada khususnya dan dunia pendidikan di Indonesia pada umumnya. Dalam buku ini, Mochtar Buchori berusaha meneliti perkembangan konsep kompetensi guru sejak masa kolonial Belanda hingga era reformasi, membentang dari tahun 1852 hingga 1998, yang diterjemahkan dalam program pendidikan dalam sekolah guru.

Secara garis besar, Mochtar Buchori membagi rentang tahun yang cukup panjang itu menjadi tiga fase utama, yakni fase zaman Hindia Belanda (1852-1942), zaman Jepang (1942-1945), dan zaman kemerdekaan (1945-1998). Pendidikan guru pada masa Belanda berwatak segregatif. Memang, pada saat itu sekolah mengenal sistem yang segregatif baik secara rasial, etnis, dan sosial-ekonomi. Ada sekolah untuk orang Eropa, untuk pribumi, dan untuk orang keturunan Cina. Untuk itu, setiap sistem persekolahan memiliki lembaga pendidikan guru sendiri. Ini menyebabkan timbulnya masyarakat guru yang heterogen.


Pada zaman Jepang, pendidikan guru dirampingkan. Pada satu sisi, hal ini tampak cocok dengan mulai menurunnya tingkat keragaman dan pelapisan sosial di masyarakat. Tapi di sisi yang lain muncul masalah: ketika menjadi relatif seragam, kendali mutu sekolah dan kinerja guru menjadi rumit. Belum lagi suasana militeristik yang sangat terasa pada zaman pendudukan Jepang ini, sehingga aspek akademis pendidikan guru kurang mendapat perhatian.

Memasuki era kemerdekaan, pemerintah Indonesia yang berdaulat mulai mengambil langkah-langkah serius untuk membenahi pendidikan guru. Mochtar Buchori membagi fase zaman kemerdekaan ini ke dalam empat periode. Periode 1945-1949, yang disebut periode rehabilitasi, ditandai dengan langkah pemulihan atas kondisi sistem pendidikan yang kurang membumi pada masa Jepang. Selanjutnya, pada periode ekspansi (1950-1965), dilakukan penambahan sekolah-sekolah guru, mulai dari sekolah guru yang paling bawah, hingga berdirinya IKIP pada tahun 1954 (semula bernama Perguruan Tinggi Pendidikan Guru atau PTPG). Sayangnya, pada periode ini, syahwat politik yang penuh nuansa persaingan antara “kekuatan kiri” dan “kekuatan kanan” telah memberi warna yang kurang kondusif bagi pendidikan guru. Situasi yang demikian telah membuat sulitnya suasana belajar atau iklim akademis yang cukup baik.

Mochtar Buchori membagi masa Orde Baru ke dalam dua periode. Awal Orde Baru (1966-1984) merupakan periode modernisasi pendidikan guru. Dalam periode ini, ada langkah-langkah untuk memutakhirkan kondisi pendidikan guru dengan memperkenalkan antara lain metode pembelajaran terbaru beserta perlengkapan teknologinya. Akan tetapi, pada paruh kedua periode Orde Baru (1985-1998) Mochtar Buchori menyebutnya sebagai periode ambivalensi. Pada periode ini terlihat kegamangan lembaga pendidikan guru dalam mendefinisikan identitasnya di antara perguruan tinggi yang lain serta dalam konteks perkembangan dan tantangan dunia global.

Bagian paling menarik dan kontekstual dalam buku ini terdapat dalam dua bab terakhir, yang berusaha mempertajam dan merefleksikan persepsi masyarakat dan kondisi pendidikan guru dalam sekitar tiga dasawarsa terakhir. Salah satu hal yang disorot dalam bagian ini adalah tentang mulai merosotnya status sosial dan wibawa guru di tengah masyarakat. Hal ini berkaitan erat dengan kondisi kerja, kinerja, dan sarana kerja guru. Sudah jamak diketahui kesejahteraan guru yang amat rendah saat ini, di tengah sistem manajemen sekolah yang cukup menekan guru dengan kurikulum yang dipandang terlampau sarat (overloaded). Kondisi yang demikian telah menghambat terbentuknya hubungan pedagogis yang ideal antara guru dan murid.

Pada bagian refleksi akhir, Mochtar Buchori memberikan renungan yang lebih bersifat paradigmatis tetapi cukup membumi dan tajam berkaitan dengan makna kompetensi mengajar dan profesionalisme guru. Salah satu poin menarik yang disorot adalah penciutan makna keterampilan pedagogik yang hanya dipandang sebagai kemampuan menyampaikan materi pembelajaran semata. Aktivitas mengajar cenderung hanya dipahami sebagai upaya untuk menyelesaikan agenda kurikulum, yaitu membahas semua topik pembelajaran, tanpa kedalaman mutu yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini terlihat di antaranya pada model evaluasi belajar di lembaga pendidikan kita yang tak mampu memberikan penilaian kualitatif yang memadai tentang potensi dan prestasi belajar siswa sebagai sosok pribadi yang utuh. Yang berkembang hanya sistem ranking yang sungguh impersonal.

Nilai penting buku ini tampak mengemuka dalam konteks berbagai upaya bersama bangsa ini untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu pendidikan yang ada. Belakangan ini, selain program sertifikasi guru, media massa juga semarak menyoroti masalah Sekolah Bertaraf Internasional yang.sedang ngetren, yang pada dasarnya juga berada dalam kerangka peningkatan mutu pendidikan. Demikian pula, pemikiran tentang model pendidikan alternatif mulai bermunculan pula, seperti pendidikan rumahan (home schooling), pendidikan berbasis komunitas ala Qaryah Thayyibah Salatiga, dan sebagainya.


Dalam sistem pendidikan, guru termasuk elemen signifikan yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan kegiatan pembelajaran. Buku ini menghadirkan sebuah refleksi yang sangat berharga, terutama bagi kalangan guru, untuk merenungkan dan mengevaluasi kembali langkah pengabdian yang diperjuangkannya untuk melahirkan generasi bangsa yang mampu bersaing di pentas dunia. Dengan refleksi ini, diharapkan kalangan pendidik pada khususnya dan civitas pendidikan pada umumnya dapat tergugah untuk tidak terjebak ke dalam formalisme administratif atas pengakuan penguasaan dan kompetensi keilmuan yang dimilikinya.

* Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 23 September 2007.


Read More..

Minggu, 23 September 2007

Menjernihkan Stigma Manusia Madura

Judul buku: Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan, dan Pandangan Hidupnya seperti Dicitrakan Peribahasanya
Penulis: Mien Ahmad Rifai
Penerbit: Pilar Media, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2007
Tebal: xii + 504 halaman


Stigma dan stereotipe tentang suatu hal muncul dan bertahan terutama karena miskinnya informasi dan klarifikasi. Stereotipe yang bertahan sedemikian lama pada satu sisi menunjukkan bahwa suasana komunikasi sosial yang ada cukup tidak sehat. Dengan kata lain, iklim komunikasinya keruh, tidak jernih. Bila yang terjadi demikian, dan itu menyangkut sekelompok masyarakat (baik etnis, golongan, atau mungkin agama), maka pergaulan sosial akan gampang memunculkan prasangka yang pada satu saat dapat mudah memicu konflik, dari skala paling kecil hingga yang lebih masif.

Dalam sebuah penelitian tentang stereotipe etnis di Indonesia, Profesor Suwarsih Warnaen (2002: 121) mendefinisikan stereotipe etnis sebagai kepercayaan yang dianut bersama oleh sebagian besar warga suatu golongan etnis tentang sifat khas berbagai kelompok etnis lain, termasuk etnis mereka sendiri. Dalam kehidupan sosial, stereotipe etnis muncul dari proses sosial yang panjang dan kompleks. Menurut Suwarsih, cara terbaik untuk menjernihkan cara pandang masyarakat terhadap stereotipe etnis suatu kelompok adalah dengan menghimpun informasi yang bersifat objektif sebanyak mungkin, untuk kemudian disebarkan.

Profesor Mien Ahmad Rifai, penulis buku ini, sangat sadar akan perlunya klarifikasi dan informasi yang jernih tentang manusia Madura, sehingga kemudian lahirlah buku yang cukup tebal dan kaya referensi ini. Dalam kata pengantarnya, Profesor Mien menjelaskan maksud penulisan buku ini, yakni untuk mengisi kekosongan referensi yang memadai yang menjelaskan sosok manusia Madura. Menurut Mien, pemahaman yang lebih baik terhadap manusia Madura akan membantu terbentuknya keharmonisan sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang memiliki masyarakat majemuk ini.

Pembahasan tentang manusia Madura dalam buku ini sangat luas dan mendalam. Hal itu sudah cukup tergambar dari subjudul buku ini, yang menunjukkan bahwa pembahasan tentang manusia Madura mencakup aspek pembawaan, perilaku, etos kerja, penampilan, dan pandangan hidupnya. Aspek-aspek yang disebutkan ini meliputi semua unsur kebudayaan manusia Madura, mulai dari kebudayaan fisik, hingga yang berhubungan dengan aspek nilai dan pandangan hidup.

Ada lima pokok bahasan atau sudut pandang yang digunakan untuk membahas manusia Madura. Yang pertama, sudut pandang sejarah, di bab kedua. Dalam bagian ini, Mien menguraikan sejarah sosial Madura sebagai sebuah unit kebudayaan. Pokok bahasan yang kedua adalah tentang pandangan (stereotipe) orang luar terhadap orang Madura. Dalam bab ketiga ini, dijelaskan berbagai stereotipe tentang manusia Madura, yang berkembang sejak zaman kolonial Belanda.

Di antara stereotipe itu adalah bahwa manusia Madura cepat tersinggung, pemarah, suka berkelahi, dan beringas. Dalam menyusun stereotipe itu, kadang ada upaya perbandingan dengan manusia Jawa. Digambarkan, misalnya, bahwa baik bangsawan Madura maupun rakyat jelatanya memiliki tubuh yang tidak seanggun orang Jawa. Tentang perempuan, digambarkan bahwa kecantikan wanita Madura itu jauh di bawah wanita Jawa Tengah dan Jawa Barat. Wanita Madura dipandang tidak anggun dan cepat tua. Dalam hampir segala hal, orang Madura dianggap lebih rendah dibandingkan dengan orang Jawa. Kalaupun orang Madura memiliki sifat-sifat positif, seperti bahwa manusia Madura memiliki tali kekeluargaan yang erat dan moral yang tinggi, itu kemudian dipandang sebagai konsekuensi sifat-sifat yang negatif tersebut.

Ironisnya, ketika Indonesia merdeka dan pengetahuan tentang masyarakat Madura meningkat, stereotipe semacam ini masih tetap bertahan. Mien menggarisbawahi, bahwa citra negatif orang Madura ini malah sering diperburuk sendiri oleh sejumlah orang Madura yang kurang berpendidikan dengan cara lebih menonjolkan kenegatifannya secara sengaja dengan maksud menakut-nakuti orang lain demi tujuan yang tak terpuji.

Pembahasan yang cukup panjang lebar tentang manusia Madura terdapat di bab keempat, yakni yang memaparkan cara pandang orang Madura terhadap dirinya sendiri. Pada bagian ini, Mien mengupas masalah ini dengan cara menafsirkan berbagai peribahasa yang hidup dalam kebudayaan Madura. Dalam bagian ini terungkap bahwa ternyata manusia Madura itu—di antaranya—bersifat sangat individualistis tetapi tidak egois, sangat menekankan ketidaktergantungannya pada orang lain, ulet dan tegar, suka berterus terang, suka bertualang, sangat menghormati tetua dan guru, dan sebagainya. Pada bagian ini, Mien juga menjelaskan fenomena carok, yang—seperti diungkap dalam penelitian A. Latief Wiyata—dikaitkan dengan konsep kehormatan atau harga diri. Akan tetapi Mien mencatat bahwa dalam beberapa ungkapan dan peribahasa Madura tersirat pandangan bahwa carok juga bukan kegiatan yang terpuji sehingga harus dihindari.

Di bagian kelima, Mien menjelaskan pandangan orang Madura terhadap etnis lain. Selanjutnya, di bagian keenam, Mien memberikan analisis tentang bagaimana tantangan manusia Madura ke depan. Mien menghubungkan masalah ini dengan proyek industrialisasi Madura. Menurut Mien, untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakat Madura, pendidikan harus menjadi prioritas tertinggi. Agenda perbaikan ekonomi masyarakat juga perlu mendapat perhatian, terutama dukungan dari pihak pemerintah. Selain itu, perlu juga ada ruang yang cukup leluasa bagi orang-orang Madura yang sukses baik dalam bidang keilmuan, ekonomi, dan sosial, untuk berkiprah kembali di kampung halamannya.

Terbitnya buku ini, dengan menghadirkan perspektif yang utuh tentang manusia Madura, tidak hanya mampu mengklarifikasi berbagai stigma dan stereotipe negatif yang selama ini mungkin cukup merugikan orang Madura, sehingga komunikasi antarbudaya yang terjalin dapat menjadi lebih baik. Dalam buku ini, Profesor Mien—yang kelahiran Sumenep—juga berhasil menghadirkan potret pergulatan budaya etnis Madura, etnis terbesar ketiga di Indonesia, di antara kebudayaan etnis yang lain. Bertolak dari situ, manusia Madura dapat merumuskan jati dirinya untuk dapat berkiprah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di era globalisasi ini.

Read More..

Senin, 17 September 2007

Televisi dan Refleksi Religiusitas Puasa


Dalam dunia televisi di Indonesia, bulan Ramadan setiap tahun disambut dengan semarak. Berbagai program khusus bernuansa religius digelar. Bahkan, ada program televisi yang dimulai beberapa pekan sebelum umat Islam melaksanakan ibadah puasa, dan dirancang sebagai semacam sekuel dari program di bulan puasa sebelumnya.

Menurut beberapa penelitian, berbagai macam program televisi di bulan Ramadan tak bisa dilepaskan dari ideologi besar televisi, yakni dalam konteks posisinya sebagai media hiburan yang bekerja dengan logika pasar. Santri Indra Astuti (2007: 74-83) dalam sebuah penelitiannya misalnya menunjukkan bahwa bagi dunia televisi, Ramadan adalah komoditas—tidak lebih. Karena itu, tujuan berbagai program khusus Ramadan tidak lain adalah untuk meraih hati dan memanjakan pemirsa. Akibatnya, kendali mutu untuk muatan program-program tersebut kurang menjadi perhatian.

Sebagai ilustrasi, hampir semua program Ramadan di televisi disampaikan dengan gaya banyolan, dengan artis atau pelawak sebagai komunikator utamanya. Nyaris tak tampak ada upaya serius dari pihak produser untuk melibatkan kaum agamawan (ulama) dalam merancang program yang sesuai dan lebih kena. Yang lebih buruk lagi, meski tema yang diangkat memang berupa isu-isu keagamaan yang lebih bersifat sehari-hari, tak jarang muncul berbagai bentuk kekerasan verbal dan sikap yang tak santun yang terlontar dari komunikator utama di program tersebut.

Dari salah satu kesimpulan penelitian tersebut, menarik untuk lebih dicermati masalah makna religiusitas yang selama ini ditampilkan berbagai program Ramadan tersebut. Makna religiusitas macam apa yang dominan dalam program-program tersebut?

Patut disayangkan bahwa—sependek pengamatan penulis—makna religiusitas yang diusung oleh program Ramadan di televisi itu kebanyakan masih tak beranjak dari paradigma keberagamaan yang—dalam bahasa Gordon W. Allport—bersifat ekstrinsik. Dalam sikap keberagamaan ekstrinsik, agama digunakan untuk menunjang motif-motif lain, seperti kebutuhan akan status, rasa aman, atau harga diri. Orang-orang yang beragama dengan cara ini melaksanakan bentuk-bentuk ibadah hanya pada tataran kulitnya saja (Rakhmat, 1998: 26).

Kita bisa melihat pemaknaan religiusitas yang bersifat permukaan ini dalam tema-tema yang diangkat dalam berbagai program Ramadan tersebut. Kebanyakan tema agama yang disajikan di sana lebih banyak berkaitan dengan aspek-aspek keagamaan yang bersifat ritual atau bentuk-bentuk penghayatan keagamaan yang kurang secara signifikan berkaitan dengan penguatan moralitas individual atau sosial seseorang. Jika bentuknya cerita (sinetron), tema dan alurnya kebanyakan bisa sangat klise dan khas sinetron Indonesia: seseorang yang “beriman” dan teraniaya, tapi kemudian berkat ketabahannya dia dapat melewati segala masalahnya dengan akhir yang membahagiakan.

Religiusitas yang dominan dalam program televisi di bulan Ramadan kurang menyentuh nilai-nilai substantif agama yang bertolak dari realitas umat. Religiusitas di sini nyaris sepenuhnya dikerangkeng dalam pengertian ritualisme, dan kadang seperti menjadikan agama sebagai pelarian atau penghiburan atas penderitaan hidup dan realitas masyarakat kita yang korup dan “sakit”. Makna “positif” religiusitas dalam kerangka penguatan nilai dan moralitas sosial, yakni nilai-nilai yang kental dalam makna terdalam ibadah puasa, tak menjadi tema dominan. Agama seperti tak diajak untuk berdialog dengan realitas konkret di masyarakat, dan hidup di “dunia lain” yang indah dan menyejukkan—tetapi sejatinya dangkal.

Jika dicermati lebih jauh dan lebih mendalam, hal ini mungkin tak terlalu mengejutkan. Program televisi bernuansa keagamaan di bulan Ramadan dapat dikatakan sebagai salah satu wujud representasi dan persepsi yang bersifat kontinu dari berbagai program keagamaan di layar kaca. Dalam beberapa tahun ini, dunia televisi kita tumpah ruah dengan berbagai “sinetron religi” yang dalam beberapa hal kadang mendangkalkan makna agama itu sendiri. Dalam beberapa tayangan tersebut, agama, misalnya, digambarkan identik dengan hal-hal yang berbau “mistik”. Realitas yang ditampilkan nyaris sama sekali tak berjangkar pada realitas umat.

Sungguh sayang, televisi yang dalam jagad Indonesia saat ini menjadi media yang sangat signifikan dalam menanamkan nilai-nilai kepada masyarakat masih berkutat pada logika kapital. Dalam program Ramadan, dapat dikatakan bahwa dalam beberapa hal televisi telah mengorbankan makna religiusitas agama yang substantif dan kontekstual, untuk kemudian ditukar dengan rating yang menawan.

Dengan mengambil cara pandang yang berbeda, dari perspektif masalah yang diulas ini kita juga dapat berefleksi dan mengaca diri dengan mengajukan pertanyaan: religiusitas dan sikap keberagamaan macam apa sebenarnya yang sejauh ini banyak berkembang dan dipahami masyarakat, seperti yang tercermin dalam penerimaan dan apresiasi mereka terhadap berbagai program Ramadan di televisi itu? Jawaban atas pertanyaan ini akan cukup berpengaruh atas upaya kaum agamawan dan kelompok masyarakat lainnya untuk lebih memberikan makna yang kontekstual dan membumi bagi agama yang dipeluknya.

Wallaualam.

Read More..

Kamis, 06 September 2007

Sejarah Buku-Buku


Pagi ini ada seseorang yang mengembalikan beberapa buku yang dipinjamnya dariku. Satu di antaranya ternyata kembali dalam keadaan cacat: ada satu halaman yang sedikit sobek, dan ternyata, yang lebih parah lagi, jilidnya lepas mendua. Saat kubuka dengan perlahan, kelihatan ada semacam jurang yang menganga. Bekas-bekas lem yang sudah tak kuat lagi merekatkan lembar-lembar halaman itu tampak menyedihkan dan tak berdaya. Beberapa lembar halaman di perbatasan jilid yang mendua itu seperti sudah akan segera copot satu-satu.

“Saya sudah menyimpannya di lemari. Tapi ternyata masih ada yang ngambil tanpa setahu saya, dan beginilah jadinya. Saya mau menggantinya,” katanya, setelah dia lebih dulu memberi tahu soal halaman yang sobek.

“Nggak usah,” jawabku. “Lagi pula, tiga buku yang kamu pinjam itu tergolong buku langka. Saya ga yakin sekarang masih ada yang menjualnya. Termasuk yang jilidnya lepas itu.”

“Aduh, bagaimana ya. Saya ingin bertanggung jawab. Saya mau memesannya ke penerbit, langsung,” katanya, dengan wajah yang menunjukkan rasa penyesalan bercampur sedikit ketakutan.

“Nggak usah, ga usah dipikirkan. Kali ini saya maafkan. Anggaplah ini hadiah ulang tahun buat kamu,” jawabku. Kemarin sore aku memang ketemu dia, dan dia baru menerima hadiah ulang tahun dari teman-temannya.

“Ya udah, makasih ya…” katanya sambil sedikit senyum-senyum malu.

“Banyak di antara buku saya yang udah langka, udah ga ada lagi di toko-toko buku.”

“Terus buku-buku itu dapat dari mana?,” temannya bertanya, seperti ingin membantu mengatasi rasa bersalah yang masih tersisa di temannya.

“Buku-buku itu sudah lama saya beli. Lihat saja tanggalnya. Ada yang sudah sepuluh tahun yang lalu. Dan penerbitnya udah gulung tikar beberapa tahun lalu. Jadi kalo sekarang ga mungkin bisa dapat bukunya kan?”

“Iya, udah kalo gitu. Maafkan ya udah bikin bukumu cacat.”

“Iya,” jawabku singkat. Mereka kemudian berlalu. Mungkin masih dengan rasa bersalahnya.

Aku jadi ingat buku-bukuku yang lain. Beberapa bukuku itu tak hanya ada yang sudah langka, sudah seperti menjadi barang antik, tetapi ada juga beberapa bukuku yang menyejarah. Memiliki buku yang sudah sulit ditemukan di toko buku memang menjadi kebanggaan tersendiri. Kadang ada beberapa teman yang ingin fotokopi. Tapi, buku-buku yang menyejarah lain lagi. Nilainya lebih dari itu.

Aku jadi ingat buku yang baru tuntas kubaca semalam. Judulnya Creative Writing, karya AS Laksana. Buku itu aku dapatkan dengan memesan kepada teman di Jogja. Kebetulan kami bertemu di acara pernikahan teman kami di Gresik, beberapa waktu yang lalu. Buku pesananku itu dia bawa ke Gresik. Nah, aku ternyata asyik membaca buku itu selama di perjalanan. Dari Gresik ke Surabaya. Dari Surabaya ke Sumenep.

Ngomong-ngomong, bagi beberapa penulis, perjalanan memang sering menjadi sumber ilham. Konon, Arswendo Atmowiloto banyak menangkap isyarat ilham untuk tulisannya saat ia bepergian. Nawal el Saadawi, sastrawan feminis asal Mesir juga menulis semacam buku perjalanan yang reflektif. Diah Marsidi, seorang wartawan senior Kompas, juga menuliskan kisah-kisah perjalanannya yang menarik dalam buku Sekali Merengkuh Dayung.

Ada beberapa buku yang kubaca dalam suasana perjalanan. Sebuah buku yang dibaca dalam perjalanan biasanya selalu menarik. Jika tidak, kita bisa berhenti membacanya, dan menyimpannya rapi di tas ransel. Buku yang tuntas kubaca semalam itu aku baca di antara Gresik, Surabaya, dan Sumenep. Di Gresik, aku sedikit membacanya ketika baru melaju bersama bis yang mengangkutku menuju Surabaya. Di Surabaya, aku sempat membaca beberapa bab dari buku 164 halaman itu ketika sedang menginap di rumah paman. Juga ketika sedang menunggu teman, di trotoar sebuah jalan besar yang di tengahnya ditanami pohon-pohon rindang. Membaca saat menunggu ternyata kadang memang tak bisa total, karena menunggu kadang menyelipkan perasaan tak tenang. Apalagi menunggu sesuatu yang istimewa.

Pagi ini, aku juga ingat Pangeran Kecil, karya Antoine de Saint-Exupéry. Aku membeli buku itu di sebuah akhir pekan, sepulang dari kantor, lebih tiga tahun silam, lalu aku langsung membawanya serta dalam perjalananku dari Jogja ke Malang, dan terus ke Jombang.

Aku juga ingat buku-buku yang lain, baik yang kubaca dalam perjalanan, kubeli di perjalanan, atau yang aku dapatkan di sebuah acara bersama teman-teman. Atau ketika aku mendapatkan sebuah buku langka di antara tumpukan buku usang yang tak diperhatikan orang.

Sebenarnya aku ingin meminjamkan buku Creative Writing itu kepada si peminjam buku yang mengembalikan tiga bukuku pagi ini. Tapi ga jadi. Aku bukan ragu dengan cara dia menjaga bukuku. Aku jadi merasa ada yang istimewa dengan buku itu—buku yang baru tuntas kubaca semalam, setelah sebelumnya separohnya aku baca dalam perjalanan. Aku baru sadar, bahwa buku-buku ada yang memiliki sejarah—seperti juga lagu-lagu, dan perjalanan. Menulis buku juga memiliki sejarah. Demikian pula, membaca sebuah buku juga punya sejarah. Seperti halnya kita yang punya sejarah.

Aku tinggal di dalam itu semua. Di sana, aku tak sendiri.


Read More..