Senin, 10 Oktober 2005

Senja di Pelabuhan (1)

Aku sungguh merindukan pulang. Aku rindu senja di pelabuhan.

Sebenarnya tak ada yang istimewa dengan pelabuhan itu. Hanya semacam tempat lalu-lalang orang-orang dengan berbagai tujuan dan keperluan. Tak sering aku menikmati senja di pelabuhan itu, karena kebanyakan aku menyeberangi selat itu di malam hari. Dan di malam hari, pelabuhan seperti tak menyisakan hal yang dapat dinikmati. Hanya temaram, di antara sisa-sisa bunyi yang tak seriuh di terik hari. Mungkin ada pula rasa kantuk yang tak tertahankan, selain juga sejenis kekhawatiran, bahwa di pojok remang bisa saja terjadi tindak kriminal.

Aku masih ingat, di suatu senja, aku duduk di perigi di sudut barat pelabuhan itu, memandangi laut dan orang-orang yang tak begitu ramai di sekitar. Ada beberapa orang yang sedang memancing ikan di ujung sebuah perigi yang menjorok agak jauh ke arah laut, di bagian barat pelabuhan. Di seberang terlihat pemandangan kota dan kapal-kapal besar yang menunggu jadwal keberangkatan.

Senja memang baru dimulai. Aku duduk di dekat sebatang pohon beringin, berlindung dari sisa-sisa sengatan sinar matahari. Aku duduk saja, kadang berjuntai, kadang bersila. Tak ada teman yang bisa kuajak bicara. Aku sendiri saja, menikmati suasana senja yang terasa membawa diriku ke mana-mana. Seperti kapal-kapal di seberang, yang mengantarkan orang-orang ke berbagai rumah tujuan atau tempat pengembaraan.

Tapi senja di pelabuhan itu telah membawaku ke tempat-tempat yang tak tertebak, yang merentang di antara masa silam hingga jauh ke masa depan. Dan aku mencoba menyerahkan diriku kepada sang nakhoda, ke arah manakah dia akan melayarkan kapalnya.

Aku masih ingat, di senja itu, aku tak habis bertanya, mengapa senja di pelabuhan memiliki sedemikian kekuatan yang sanggup membawaku ke tempat-tempat yang seperti tak kenal batas. Apakah diriku sebegitu lemahnya menghadapi metafor-metafor hidup yang terpancang di senja-pelabuhan itu, sehingga aku tak kuasa menolak untuk diajak ke dunianya, dunia-senja-di-pelabuhan? Apakah biru laut telah begitu rupa menggenangi sungai-sungai kesadaranku, sehingga luapannya menjadi tak tertampung lagi?

Dunia-senja-di-pelabuhan terlihat ibarat sehelai potret yang bertutur tentang bermacam hal. Orang-orang yang terburu di antara himpitan waktu, di antara tuntutan dan kebutuhan yang tak kunjung selesai didefinisikan. Lelaki-lelaki muda, anak-anak belia, perempuan paruh baya, yang berteriak menjajakan barang-barang dagangannya. Wajah-wajah yang menyimpan segudang cerita tentang haru-pilu hidup. Beberapa yang mungkin mengharap jemputan. Burung-burung yang beterbangan bernyanyi penuh riang—mungkin karena sedang menuju pulang. Kapal yang bergerak bolak-balik melintas dan mengantar ke seberang, seperti mengangkut harapan, lalu merapat dan beristirahat di pelabuhan. Bola matahari di ufuk barat yang bergerak pelan mendekati tenggelam, mengubah cahayanya yang tajam keputihan benderang menjadi kuning kemerah-merahan. Semburat cahaya senja yang teduh memukau, yang menghamparkan permadani anggun bersepuh emas di luas riak kecil gelombang. Senja yang berbatasan di antara siang dan petang. Senja yang membawa orang-orang ke halte peristirahatan.

Senja telah merangkak melewati separuh jalan. Aku masih duduk di situ, menyapukan pandangan ke sekeliling, berusaha memotret detail sudut-sudut senja di pelabuhan itu, lalu menyimpannya dalam saku memoriku yang entah berapa ribu giga kapasitasnya. Kelak, suatu waktu, aku ingin memperlihatkannya kepada sahabat-sahabat karibku, saudara-saudaraku, anak-istriku, sambil bercerita tentang setiap kelebat pikiran yang datang menghampiriku saat itu.

Aku masih mencermati detail senja di pelabuhan itu, sampai kemudian terasa ada suara merdu di belakang yang memanggil namaku. Aku pun menoleh.

Read More..