Sabtu, 28 Juli 2001

Melacak Jejak "Sistem Soeharto"

Judul Buku : Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi
Penyunting : Donald K. Emmerson
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2001
Tebal : xxx + 678 halaman


Era transisi bangsa Indonesia menuju kehidupan demokrasi ternyata masih dijejali oleh setumpuk persoalan. Krisis ekonomi yang belum pulih, kerusuhan sosial, konflik vertikal dan horizontal mengiringi pertikaian elit politik, serta ancaman disintegrasi. Tidakkah itu semua merupakan ekses buruk dari “Sistem Soeharto” yang telah berkuasa selama 30 tahun di Indonesia?

Rezim Soeharto telah cukup mampu membentuk suatu struktur mapan yang cukup kokoh di berbagai bidang kehidupan—sosial, politik, ekonomi, budaya, dan yang lain—sehingga lengsernya Soeharto tidak serta merta berarti runtuhnya sistem itu.

Buku ini mencoba menelaah perjalanan panjang bangsa Indonesia di bawah Sistem Soeharto dengan titik tekan pada aspek kenegaraan, ekonomi, dan (budaya) masyarakat, serta bagaimana itu semua menyisakan garis kontinu dalam momen-momen reformasi.

Kelahiran Orde Baru pasca peristiwa G-30-S dimulai dengan suatu komitmen yang kuat untuk menghindari konflik-konflik ideologi, karena itu dianggap akan menyuburkan ladang konflik dan membawa rakyat dalam suatu bayang-bayang keterpecahan sehingga mengancam proses tercapainya cita-cita “modernitas” Indonesia. Orde Baru lebih memilih jalan yang mereka anggap rasional-pragmatis: develomentalisme. Orde Baru tidak mau mengganggap bahwa pilihan mereka ini—penekanan pada pertumbuhan ekonomi sebagai prinsip penting developmentalisme—sebagai persoalan ideologi.

Istilah “Demokrasi Pancasila” yang digunakan Orde Baru menurut R. William Liddle dalam buku ini hanyalah penipuan belaka. Orde Baru pada dasarnya tersusun oleh seperangkat lembaga otoriter yang mengekang partisipasi rakyat. Partisipasi yang dikontrol ini sebenarnya adalah konsekuensi logis dari strategi pembangunan ekonomi yang memerlukan stabilitas sosial yang kokoh. Politik massa mengambang yang merupakan wujud kebijakan depolitisasi massa Orde Baru dibarengi dengan sentralisasi kekuasaan negara.

Kontrol negara juga dilakukan dengan sentralisasi kekuasaan, dengan melibatkan militer sebagai penjaga gawang stabilitas. Sentralisasi ini juga diterapkan dalam bidang administratif, legal, dan finansial. Akibatnya, pemerintah daerah tak berdaya memaksimalkan potensi-potensi sumber daya yang dimilikinya. Daerah hanya menjadi kepanjangan tangan pemerintah pusat untuk dikerahkan pada proyek pembangunan. Efek lainnya adalah bahwa orientasi pemerintah daerah tidak lagi mengarah kepada rakyatnya sendiri, melainkan pada pimpinan negara (yakni Soeharto).

Yang menarik, seperti dicatat oleh Michael Malley (Ohio University), dalam rezim Orde Baru sendiri sempat muncul beberapa ketegangan antara pusat dan daerah. Salah satu kasus yang menjadi contoh di buku ini adalah kasus pembelotan anggota Fraksi Golkar DPRD Kalimantan Tengah dalam pemilihan Gubernur pada tahun 1993 yang menginginkan calon putra daerah diangkat menjadi Gubernur—yang berbeda dengan “petunjuk” dari Jakarta.

Sentralisasi ini dalam beberapa kasus telah berkembang menjadi semacam gerakan “pemberontakan” daerah terhadap pusat kekuasaan akibat ketidakadilan ekonomi yang dirasakan begitu kuat. Kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang muncul sejak 1976 menjadi contoh yang amat tepat dan dibahas secara menarik oleh Malley. Pemberontakan ini, seperti juga pemberontakan oleh PRRI pada akhir 1950-an, awalnya lebih bertujuan untuk mengubah sifat sentralistik republik, bukan untuk lepas dari kesatuan republik.

Kecanggihan “Sistem Soeharto” dalam mengelola rezim adalah bahwa semua itu dilakukan dengan legitimasi konstitusional yang cukup kuat. Dalam Sistem Soeharto konstitusi memang hanya menjadi abdi kekuasaan. Kenyataan ini akhirnya berdampak besar terhadap kegiatan perekonomian negara, dengan terbentuknya model “kapitalisme kroni”. Ketika pasar tidak menentu yang diikuti dengan ketidakpastian politik, ekonomi dan hukum, maka para pengusaha lebih memilih untuk membangun jaringan ekonomi perkoncoan dengan para pemegang kekuasaan.

Akan tetapi, akhirnya Soeharto turun pada 21 Mei 1998. Menurut Donald K. Emmerson, turunnya Soeharto salah satunya dipicu oleh ambruknya bangunan ekonomi yang dibangun selama 30 tahun. Arah globalisasi sebenarnya mengharuskan adanya keseiringan antara demokrasi ekonomi dan demokrasi politik. Tapi Soeharto malah menghalangi modernisasi politik sehingga akhirnya remuklah sistem yang ia bangun itu. Hancurnya perekonomian ini lalu diikuti pula oleh desakan mundur dari massa di bawah dan para kolega politiknya yang juga merasa tertekan.

Ketika Soeharto turun boleh jadi bangsa Indonesia merasa lega karena salah satu penghalang demokratisasi sudah disingkirkan. Namun patut dicatat bahwa bahaya laten Orde Baru—Sistem Soeharto—masih kuat membayangi kehidupan bangsa ini. Ia sudah mengendap secara sistemik dalam berbagai ruang kehidupan bangsa Indonesia.

Dalam konteks inilah buku ini memiliki makna penting dan nilai relevansinya. Sistem otoriter Orde Baru, yang nyaris dikutuk habis-habisan oleh para tokoh reformis, ternyata dibangun dengan suatu karakter tokoh yang amat dominan, yakni Soeharto, yang mengkristal dan mengendap sedemikian rupa sehingga menubuh dalam struktur kesadaran dan struktur sosial-politik bangsa Indonesia. Saking besarnya pengaruh Soeharto sehingga persoalan yang dihadapi saat ini bukan cuma soal bagaimana Indonesia Beyond Soeharto, tetapi juga fakta perihal Soeharto Beyond Indonesia.

Dengan demikian buku ini semakin menegaskan bahwa Orde Baru memang bukan hanya sekedar sosok individu, seperangkat lembaga, atau sekelompok pejabat. Karena itu upaya untuk mendemokratiskan Indonesia di masa mendatang berarti membongkar borok-borok sistemik yang biasa dilakukan oleh Sistem Orde Baru itu, meliputi politik teror, penghormatan berlebih, praktik suap-menyuap, dan sebagainya.

Sementara dalam konteks reformasi, buku ini mengingatkan kita semua agar masalah ketokohan seorang individu (entah itu Gus Dur, Megawati, Amien Rais, Akbar Tanjung, atau yang lain) hendaknya tidak terlalu ditonjolkan dalam rangka upaya-upaya menegakkan reformasi. Seperti ditengarai oleh Ignas Kleden dalam salah satu tulisannya, politik kita di masa reformasi ini ternyata ‘hanya berpindah dari politik aliran yang berorientasi ideologis ke politik karismatis yang berorientasi keunggulan pribadi.’ Buku ini mengajak kita untuk berdamai dengan urusan konflik antar-elit (baca: antar-tokoh politik) dengan lebih memilih kerja-kerja konstruktif dan bersifat struktural ketatanegaraan (pengelolaan negara).

Buku yang terdiri dari 12 bab ini hampir semuanya ditulis oleh para pengamat asing ternama: R. William Liddle, Robert Hefner, Donald K. Emmerson, Robert Cribb, Virginia M. Hooker, dan sebagainya.

Ulasan buku ini boleh dikatakan cukup tuntas karena berusaha menelusuri proses-proses sosiologis dan politik terbentuknya Sistem Soeharto. Pada bagian tertentu, ulasan dalam buku tidak mau melewatkan proses historis yang cukup panjang yang berperan penting dalam membentuk karakter sosial bangsa Indonesia—hingga merujuk pada masa sebelum penjajahan, seperti dalam tulisan Cribb dan Hefner. Kelebihan lainnya adalah keterkaitan sinergis antar-tulisan sehingga terkesan buku ini bukanlah buku kumpulan, melainkan buku utuh yang digarap secara serius.



Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 28 Juli 2001.


Read More..

Selasa, 10 Juli 2001

Pertemuan Fiksi dan Fakta

Judul: Dunia Sukab: Sejumlah Cerita
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Penerbit: Kompas, Jakarta
Cetakan : Pertama, Juni 2001
Tebal: x + 160 halaman


Di saat sensor negara terhadap segenap informasi di masyarakat begitu kuat, seperti pada masa Orde Baru, jalur alternatif manakah yang bisa digunakan untuk mendapatkan atau menyebarkan jenis informasi yang tidak menguntungkan “negara”? Banyak orang yang menggunakan “media-media bawah tanah” atau internet untuk mensiasati barikade negara.
Akan tetapi, lain halnya dengan Seno Gumira Ajidarma yang dulu pernah menjadi wartawan. Seno mengambil jalur alternatif lain: dunia sastra. Pilihan Seno ini dapat dilihat secara lebih jelas dari salah satu esainya yang berjudul Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara. Dalam esai ini Seno menegaskan bahwa sastra berbicara dengan kebenaran yang bersumber dari komitmen penulisnya. Fakta jurnalisme memang bisa ditutupi—dan ini merupakan tindakan politik—tapi menutupi kebenaran adalah tindakan paling bodoh.
Yang menarik, ketika sensor negara sudah lumer di bawah kuasa semangat reformasi, beberapa cerpen Seno masih menunjukkan corak yang kurang lebih mirip dengan karya-karya sebelumnya, yakni adanya pertemuan antara fiksi dan fakta.
* * *
Beberapa cerpen yang terkumpul dalam antologi ini tampak masih lekat membawa semangat itu. Misalnya cerpen yang berjudul Manusia Api. Cerpen ini bertutur tentang kejadian pasca kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, di mana di sebuah tempat bekas bangunan yang terbakar muncul sosok Manusia Api yang merintih dan mengerang tiada henti seperti minta pertolongan. Dukun didatangkan, dan kemenyan dibakar. Tapi sosok Manusia Api tak mau enyah. Lalu, ada sebuah potongan dialog yang menarik dan penuh dengan kritik tajam: “Kayaknya sih kemenyan saja kagak cukup Dil.” Yang lain menyahut: “Apa dong yang cukup Bang?”. Lalu dijawab singkat: “Keadilan” (hal. 66).
Lain lagi dengan cerpen berjudul Carmina Burana yang berkisah tentang gegap gempitanya masyarakat menghadapi sebuah pemilihan (Pemilihan Umum[?]). Cerpen yang ditulis pada tahun 1987 ini jelas menunjukkan kepiawaian Seno menelusup di antara sensor negara waktu itu terhadap suara-suara kritis dengan menggunakan media cerita. Pemilihan (Umum) yang penuh dengan omong kosong dan tidak adanya perbedaan visi antara kontestan yang berpartisipasi menjadi sorotan tajam dari dialog-dialog yang dibangun. Ini tampak dalam sebuah petikan: “Habis semuanya sama. Tidak bisa dibedakan. Semuanya pakai kacamata hitam. Semuanya pakai ikat kepala. Semuanya mengibarkan bendera…” (hal. 29). Atau kutipan seperti ini: “Aku capek mendengar orang berteriak-teriak. Aku capek melihat gambar besar yang itu-itu juga. Aku capek melihat banyak tenaga dibuang percuma. Terlalu banyak kata-kata besar. Terlalu banyak janji yang paling setia” (hal. 31).
Ada juga cerita yang bercorak futuristik berjudul Jakarta, 14 Februari 2039 yang juga bertolak dari setting kerusuhan Mei 1998. Alkisah di sebuah sudut kota Jakarta pada tanggal 14 Februari 2039 tiga sosok manusia di tempat yang berbeda sedang mengalami kegalauan dan kegelisahan atas tragedi hidup yang dialaminya. Masing-masing mereka adalah anak hasil pemerkosaan, si ibu korban perkosaan, dan bapak (si pemerkosa). Ketiganya ditampilkan secara bergantian dengan pola bertutur orang pertama yang dibingkai dengan gaya reflektif. Alur cerita juga diselingi dengan sebuah aksi pengejaran seorang penjahat yang ternyata adalah seorang pemerkosa oleh polisi dengan menggunakan helikopter. Yang menarik, di akhir cerita terungkap bahwa kedua polisi dalam heli itu kemudian melepas si pemerkosa, karena kedua polisi itu juga adalah anak yang lahir akibat perkosaan!
Selain corak cerpen yang sedemikian itu, dalam antologi ini pembaca dapat menemukan cerpen-cerpen Seno dengan tema yang berbeda: cerita tentang hidup sehari-hari, terutama potret kehidupan perkotaan yang penuh dengan kekerasan. Cerpen berjudul Perempuan Preman misalnya, berkisah tentang kehidupan seorang perempuan yang memilih jalan hidupnya sebagai preman. Dalam cerpen ini digambarkan si Perempuan Preman sebagai sosok misterius yang ditakuti preman lain yang rata-rata pria. Tak jarang dia menolong gadis-gadis bar yang diperas pria-pria preman. Ada sebuah kritik pedas yang terselip dalam cerita ini, ketika terungkap motif si perempuan menjadi preman: “Bagaimana kita membangun masa depan jika perempuan tidak pernah bisa melawan? Bagiku tidak ada jalan lain selain jalan kekerasan. Aku seorang perempuan, dan aku sudah lama mati jika tidak menjadi kuat di jalan kekerasan..” (hal. 152).
* * *
Kemampuan Seno dalam menggabungkan yang fiktif dan yang faktual ini memang cukup menarik dan terhitung berhasil. Dari beberapa cerpennya yang bercorak demikian, para pembaca memang tidak hanya memperoleh suatu cara pandang lain terhadap suatu kejadian faktual, akan tetapi juga mendapatkan suatu impresi mendalam yang dikelola dalam suatu kecanggihan cara bertutur dan berekspresi melalui bahasa yang mampu bermain lincah. Dengan segala keterbatasan sebuah genre cerpen, Seno cukup mampu menampilkan sisi-sisi estetis dalam bercerita dan tidak hanya menunggangi bahasa sehingga menjadi sangat mekanis. Pada sisi lain, keasyikan pembaca mengikuti alur dan permainan bahasa Seno di akhir cerita kerap kali tiba-tiba dikejutkan oleh suatu momen atau kejadian yang mampu menjungkirkan dugaan-dugaan pembaca tentang akhir cerita dan—meminjam ungkapan Hasif Amini—‘menjotos kebiasaan maupun kejemuan kita secara telak, secara jitu’. Dengan gaya ini, ketajaman cerpen-cerpen Seno menjadi semakin nampak.
Dari pertemuan medan fakta dan fiksi ini menjadi teranglah komitmen (kalau boleh disebut demikian) keberanian dan kejujuran Seno. Dalam karya-karya Seno, nilai kebenaran dalam kejujuran disatukan bersama kesusastraan sehingga semakin memperkokoh makna dan nilai karya-karyanya itu. Pada titik ini pulalah nilai karya-karya Seno menampakkan kelebihannya.
Tujuh belas cerpen dalam antologi ini semakin mempertegas kepiawaian Seno dalam bercerita dan juga kepintarannya mengikat dan mengincar perasaan pembacanya untuk ikut sepenuhnya dalam suasana cerita yang dibangun. Selain itu, dalam antologi ini ada pengantar singkat dari Seno yang bercerita sekedarnya tentang tokoh Sukab yang sering digunakan Seno dalam cerpen-cerpennya.

Read More..

Minggu, 08 Juli 2001

Islam Menghadapi Perubahan

Judul Buku: Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental
Penulis: Kuntowijoyo
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, Februari 2001
Tebal: 404 halaman


Kegaduhan panggung politik belum juga usai. Perebutan kekuasaan masih tetap dipertontonkan tanpa menyadari bahwa mereka telah bermain terlalu lama dan tak menghiraukan penonton yang sudah kecapaian.
Menurut Kuntowijoyo, demokrasi politik selama ini telah seringkali mengecoh umat. Umat masih saja percaya bahwa demokrasi politik ini akan sangat bermanfaat bagi mereka. Padahal, menurut Kunto, ajang politik hanya menjadikan umat berpikir dalam jangka yang amat pendek.
Dalam berpolitik umat Islam banyak menyandarkan legitimasinya kepada fakta bahwa mereka adalah mayoritas di negeri ini. Jadinya, politik bagi mereka adalah mediokrasi, sehingga politik akhirnya disusutkan hanya semata-mata menjadi fanatisme massa yang irasional. Pada titik ini, logika yang digunakan oleh umat adalah logika dikotomis: I versus You—“kita” versus “mereka”.

Sudah saatnya umat Islam memulai sebuah babak baru dalam sejarah untuk secara arif membaca gejolak perubahan sosial di masyarakat. Tiba waktunya umat tidak lagi berpikir dikotomis dengan mencari-cari musuh (politik) berupa golongan atau kelompok tertentu. Musuh umat bukan lagi “Mereka”, tapi realitas objektif. Umat Islam saat ini mestinya dituntut untuk lebih berpikir menjawab tantangan perubahan dan masa depan yang semakin jelas di depan mata.

Keterjebakan umat dalam hiruk-pikuk pentas politik sebenarnya tidak akan berakibat fatal bila dunia politik dipahami dalam kerangka yang lebih luas dan bijak. Politik adalah suatu bentuk perjuangan struktural yang bertujuan untuk membangun aliansi-aliansi strategis demi pemberdayaan umat. Sementara masih ada proyek-proyek kultural yang jauh lebih penting dan perlu diseriusi. Strategi kultural ini lebih menekankan pada usaha jangka panjang, suatu investasi masa depan yang dilaksanakan dengan penyadaran kepada individu atau masyarakat. Strategi ini juga amat berkait dengan strategi mobilitas sosial yang didesain untuk mempersiapkan SDM umat yang cukup memadai menghadapi tantangan masa depan.

Perubahan yang terjadi di masyarakat selama ini kurang begitu disadari oleh umat Islam. Ada banyak pergeseran sosial yang merubah berbagai definisi lama yang selama ini dipergunakan. Kunto mencontohkan lahirnya generasi baru Muslim yang disebutnya lahir dari rahim sejarah tanpa kehadiran sang ayah dan tidak ditunggui saudara-saudaranya. Mereka adalah aktivis kampus yang selama ini memperoleh akses keagamaan tidak dari masjid, pesantren, atau madrasah, melainkan dari buku, seminar, CD, internet, dan sebagainya. Generasi baru ini memiliki sikap-sikap politik yang tergolong “aneh” sehingga menurut Kunto membutuhkan sikap arif dalam menyikapinya. Ulama saat ini bukan lagi merupakan suatu kategori sosial, karena peran mereka lambat-laun digeser oleh berbagai institusi sosial baru, sehingga saat ini ulama lebih merupakan sosok intelektual.

Islam sebenarnya tidak anti perubahan. Bahkan, dengan sebuah tawaran metodologisnya yang ia sebut “strukturalisme transendental” Kunto menjelaskan bahwa Islam sebagai sebuah struktur memiliki kemampuan untuk mengubah dirinya (bertransformasi diri) tanpa harus kehilangan keutuhannya. Perspektif keutuhan Islam ini harus tetap dipertahankan dalam proses pembacaan gejolak perubahan sosial.

Persoalannya adalah umat selama ini kurang menyadari gejolak perubahan tersebut. Karena itu Kunto mengajukan tawaran agar umat memperhatikan enam hal penting untuk mendasari agenda-agenda ke depan, yakni kesadaran tentang perubahan, kesadaran kolektif sebagai umat yang harus mampu menebar kedamaian, kesadaran untuk ikut aktif merubah sejarah kolektif masa depan, kesadaran tentang fakta sosial yang bersifat heterogen, kesadaran akan segera lahirnya Masyarakat Abstrak yang ditandai dengan munculnya sistem impersonal, serta kesadaran pentingnya upaya objektifikasi.

Untuk itu, semua lini kehidupan harus diperhatikan untuk dapat dikerahkan dalam upaya pembentukan keenam kesadaran itu. Seni misalnya menurut Kunto memiliki potensi besar untuk dirancang sebagai seni profetik, seni yang mampu menjadi media humanisasi, liberasi, dan transendensi.

Adapun agama menurut Kunto harus mampu dikembangkan melalui cara berpikir yang bersifat ilmiah, tidak lagi bersifat ideologis. Ini adalah bagian dari langkah objektifikasi. Sebagai Ilmu, Islam akan memberikan kerangka analisis faktual terhadap segenap fakta sosial untuk kemudian merekonstruksi dalam tataran ideal.

Langkah ini menurut Kunto harus dibarengi dengan kerjasama yang baik dengan ilmu-ilmu sosial yang sudah mapan, sehingga nantinya dapat melahirkan suatu paradigma baru dalam ilmu sosial yang disebut Ilmu Sosial Profetik. Paradgima Ilmu Sosial Profetik ini menurut Kunto mengemban cita-cita amar ma`ruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi), dan tu’minuna billah (transendensi). Langkah ini dimaksudkan untuk menjadikan ilmu-ilmu sosial sebagai bagian utuh dari proses evolusi masyarakat menuju masyarakat yang rasional menyongsong masyarakat industri.

Esai-esai segar Kuntowijoyo dalam buku ini memiliki makna aktualitas dan relevansinya terutama karena ia berusaha menyadarkan umat Islam tentang agenda-agenda konkret yang selama ini diabaikan. Sejak terbukanya katup kebebasan seiring dengan euforia reformasi, umat Islam merasa lebih tertarik dengan politik kekuasaan. Bahkan, dalam perkembangannya, fenomena tersebut malah menggiring umat Islam dalam suatu polarisasi golongan seiring dengan friksi-friksi politik yang berkembang. Sementara agenda konkret umat Islam seperti pembenahan pendidikan (Sumber Daya Manusia) dan ekonomi ditinggalkan. Padahal, arus perubahan sosial (liberalisasi, globalisasi, industrialisasi, demokrasi dan pluralisme, dan sebagainya) menghadirkan tantangan besar yang betul-betul nyata.

Umat Islam harus segera bangun dari buaian mitos dan sejarah—mitos mayoritas. Umat Islam harus keluar dari mentalitas egois kembali kepada semangat kolektifisme dan inklusifisme yang bersandar pada realitas objektif, serta mempertegas misinya sebagai rahmat bagi alam semesta dengan cara berpikir jernih dan rasional dalam membaca gejolak-gejolak perubahan. Harus ada suatu perubahan cara pandang terhadap setting sosial umat Islam saat ini dalam rangka menghadapi perubahan struktur sosial masyarakat.

Tawaran Kunto dalam buku ini untuk memperbarui Islam boleh dikatakan cukup komprehensif, karena menyangkut aspek-aspek fundamental agama Islam, baik yang bersifat metafisis maupun epistemologis. Selain itu Kunto juga memberikan tawaran metodologis yang disebut “strukturalisme transendental”, yakni suatu usaha untuk menerapkan ajaran-ajaran sosial Islam yang lahir dalam episteme 15 abad yang lalu untuk diterapkan dalam konteks kekinian.

Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, Ahad, 8 Juli 2001.

Read More..

Sabtu, 07 Juli 2001

Kodrat Spiritualitas Manusia

Judul Buku : SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan
Penulis : Danah Zohar dan Ian Marshall
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : Pertama, Maret 2001
Tebal : xxxvi + 294 halaman



Kebudayaan manusia saat ini sedang dijangkiti suatu penyakit yang begitu mencemaskan: keterasingan, kecemasan, keputusasaan, kekerasan, dan krisis eksistensial. Manusia yang sejak abad ke-16 mengalami revolusi pemikiran besar-besaran bersamaan dengan proyek Filsafat Modern dan Abad Pencerahan saat ini justru menghadapi setumpuk persoalan yang diam-diam diciptakannya sendiri.

Semangat humanisme Barat yang dipupuk melalui legitimasi pemikiran para filsuf ternyata tidak serta merta mengantarkan manusia pada situasi yang damai dan membahagiakan. Di ujung perjalanan, manusia yang oleh para filsuf Pencerahan—mengikuti Aristoteles—didefinisikan sebagai makhluk yang berpikir digiring mengamini produk-produk akal: ilmu pengetahuan, teknologi, logika, dan pragmatisme.

Inilah yang oleh penulis buku ini, Danah Zohar dan Ian Marshall (suami-istri), disebut dengan suatu “kebudayaan yang bodoh secara spiritual”. Dalam sangkar kebudayaan yang sedemikian rupa ini, orang-orang dipaksa mengikuti definisi-definisi tentang kesuksesan dan keberhasilan yang semata-mata dipatok dengan dasar rasionalitas-pragmatis dan materialisme.

Melalui buku ini Zohar dan Marshall membuktikan bahwa aspek spiritual manusia adalah sesuatu yang kurang lebih bersifat kodrati. Ia bahkan mendasari gerak perubahan individu dan kebudayaan dari zaman ke zaman.

Pemikiran Zohar dan Marshall ini bertolak dari ‘penemuan’ ukuran kecerdasan yang disebut SQ (Spiritual Quotient/Spiritual Intelligence, Kecerdasan Spiritual). Selama ini kita hanya mengenal ukuran kecerdasan yang disebut IQ (Intelligence Quotient, Kecerdasan Intelektual) dan belakangan, sejak pertengahan 1990-an yang dipopulerkan oleh Daniel Goleman, EQ (Emotional Quotient, Kecerdasan Emosional). Menurut Zohar dan Marshall, SQ ini adalah kecerdasan tertinggi yang memiliki daya ubah yang amat tinggi sehingga dapat mengeluarkan manusia dari situasi keterkungkungannya. SQ memungkinkan manusia menjadi kreatif mengubah aturan dan situasi dalam suatu medan tak terbatas.

Ada beberapa bukti ilmiah keberadaan SQ yang dikemukakan Zohar dan Marshall dalam buku ini. Di antaranya adalah penelitian neuropsikolog Michael Persinger di awal tahun 1990-an, dan lebih mutakhir lagi tahun 1997 oleh ahli syaraf VS Ramachandran bersama timnya dari Universitas California, yang menemukan adanya God spot (“titik Tuhan”) dalam otak manusia. “Titik Tuhan” ini memang tidak membuktikan keberadaan Tuhan, tetapi menunjukkan kecenderungan otak manusia yang berkembang ke arah pencarian agenda-agenda fundamental dalam hidup, seperti rasa memiliki, masalah makna dan nilai kehidupan.

Bukti lainnya dikutip dari penelitian neurolog Austria Wolf Singer pada tahun 1990-an tentang “problem ikatan” (the binding problem) yang menunjukkan adanya proses syaraf dalam otak manusia yang mengarah pada usaha mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita.

Paradigma baru SQ ini menawarkan suatu cara pandang yang lebih luas dan utuh (integral dan holistik) terhadap sosok manusia. Bila selama ini tingkat IQ begitu diperhatikan sehingga tak jarang dijadikan sebagai modal awal kesuksesan hidup, maka SQ menggeser itu semua dalam suatu definisi yang sama sekali baru. Zohar dan Marshall dalam buku menjelaskan bahwa cara berpikir model IQ memang adalah salah satu bagian dari tiga cara berpikir manusia (tiga ragam kecerdasan). Akan tetapi cara berpikir ini hanyalah cara berpikir seri yang lebih berkaitan dengan proses-proses rasional. Padahal, kehadiran EQ membuktikan bahwa proses-proses rasional itu pada dasarnya juga amat ditentukan secara signifikan oleh emosi (Kecerdasan Emosional).

SQ dalam hal ini kemudian merupakan suatu cara berpikir yang bersifat unitif (menyatukan) dengan kemampuan membingkai-ulang dan mengkontekstualisasikan pengalaman hidup manusia. SQ berusaha mengundang manusia pada puncak ketinggian untuk melihat segala persoalan hidup dari perspektif keseluruhan yang lebih luas, lebih tinggi, dan lebih dalam. SQ menghidupkan semangat bahwa manusia tidak saja hidup dalam dunia, tetapi adalah bagian utuh dunia, sehingga setiap jengkal langkah manusia adalah bagian dari proses universal yang lebih besar.

Pada titik inilah kesadaran-diri menjadi salah satu kriteria tertinggi dari Kecerdasan Spiritual yang tinggi. Kesadaran-diri penting bagi tiap individu untuk mengembangkan dan merumuskan motif hidup bermakna, motif mencapai keutuhan, dan dalam menjalani proses perubahan yang tiada-henti. Kesadaran-diri juga penting untuk menggali dan menjelajahi potensi spiritual yang dimiliki tiap manusia sehingga akhirnya dapat mengantarkan pada definisi motivisi dan tujuan hidup yang utuh.

Kehadiran buku yang menyajikan pemikiran menarik tentang SQ (Kecerdasan Spiritual) ini menjadi penting diapresiasi ketika dilihat dari perspektif paradigmatik yang ditawarkannya. Pada aras paradigmatik, buku ini menghadirkan suatu cara pandang baru terhadap kecerdasan dan struktur psikologis manusia dan membuktikan bahwa ada semacam kodrat spiritual yang melekat dalam diri manusia yang penting untuk dikelola, karena di situlah sebenarnya nafas kehidupan dapat ditemukan.

Upaya untuk melirik aspek spiritual dari sosok manusia ini menjadi penting ketika arah kebudayaan saat ini seperti tidak menyisakan ruang bagi manusia untuk berpikir dan mempertimbangkan segala sesuatu dari perspektif spiritual yang cerdas. Pada satu sisi hal ini ditandai dengan kebudayaan materialistik dan konsumeristik yang semakin mendunia dan mengepung hidup keseharian manusia, dan pada sisi yang lain ditandai dengan cara pengungkapan spiritualitas yang tidak cerdas. Agama sebagai salah satu corong spiritualitas belakangan ini nyaris dikebiri hanya untuk kepentingan kelompok dan kekuasaan, sehingga malah melahirkan kekerasan.

Karena itu, perspektif baru tentang Kecerdasan Spiritual ini pada akhirnya juga mendorong segenap umat beragama untuk bersikap lebih cerdas dan dewasa terhadap spirit(ualitas) agamanya masing-masing dengan bersikap yang terbuka, toleran, inklusif, serta jujur dan ikhlas. Dengan demikian, perspektif Kecerdasan Spiritual ini sebenarnya juga dapat mempertemukan berbagai tradisi keagamaan dalam suatu wilayah dialog yang lebih terbuka.

Catatan kritis yang dapat diberikan terhadap buku ini adalah ketika dalam beberapa bagian penulis buku ini berulang kali menyebut-nyebut ketiadaan hubungan antara pemikiran tentang Kecerdasan Spiritual ini dengan agama. Pandangan ini adalah pandangan khas Barat yang, katakanlah, “sekuler”. Selain itu, buku ini juga mirip dengan seri buku psikologi populer yang penuh dengan janji-janji dan penerapan praktis untuk meningkatkan dan memanfaatkan Kecerdasan Spiritual itu sendiri.

Selebihnya, buku ini tetap layak didiskusikan untuk mencermati arah baru perkembangan dunia psikologi yang seperti mulai saling menyapa dengan tradisi spiritual atau agama. Perjumpaan epistemologis ini diharapkan dapat menjadi suatu modal awal yang baik untuk arah pembangunan masa depan umat manusia di seluruh dunia yang damai dan sejahtera.



Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 7 Juli 2001. Juga mendapat penghargaan sebagai Resensi Terbaik Kedua versi Penerbit Mizan tahun 2002.


Read More..

Selasa, 03 Juli 2001

Potret Kekerasan di Mata Para Sastrawan

Judul: Mata yang Indah: Cerpen Pilihan Kompas 2001
Penyunting: Kenedi Nurhan
Penerbit: Kompas, Jakarta
Cetakan : Pertama, Juni 2001
Tebal: xlvi + 222 halaman



Kumpulan Cerpen Terbaik Kompas 2001 ini adalah antologi yang kesembilan yang telah diterbitkan Harian Kompas sejak tahun 1992. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, antologi yang berisi 16 cerpen pilihan dewan juri ini—yang sebelumnya dimuat di Kompas dalam rentang tahun 2000—diberi judul sesuai dengan cerpen terbaik yang diseleksi secara ketat. Cerpen terbaik dalam antologi ini berjudul Mata yang Indah karya Budi Darma, seorang sastrawan terkemuka yang sebelumnya juga pernah mendapat anugerah cerpen terbaik Kompas pada tahun 1999 dengan cerpennya yang berjudul Derabat.
Cerpen Mata yang Indah karya Budi Darma ini berkisah tentang seorang pengembara bermata indah yang pulang dari kelananya hanya untuk bertemu dengan ibunya yang sedang menanti ajal. Dalam pengembaraannya dia nyaris diperkosa seorang perempuan yang mengira sebagai suaminya. Menjelang ajal, si ibu menuturkan bahwa ia pernah memperkosa seorang lelaki bermata indah. Dengan alur yang bercorak simbolis dan surealistik cerpen ini kemudian nampak melebur dan mengaburkan sosok pengembara itu dengan ayahnya, si ibu dengan “perempuan pemerkosa” itu.
Kecuali cerpen terbaik karya Budi Darma ini, cerpen-cerpen lain dalam antologi ini kebanyakan bersifat realistik: semacam potret atau kesaksian lain atas kenyataan-kenyataan sosial di masyarakat dengan sudut pandang tokoh tertentu yang terlibat dalam realitas tersebut. Tak jarang beberapa cerpen mengacu kepada fakta historis tertentu, seperti cerpen Sori Siregar berjudul Krueng Semantoh. Cerpen ini bertutur tentang pertemuan sahabat lama, Sahat dan Parlagutan. Dalam pertemuan itu, Sahat yang berprofesi sebagai guru terkejut dengan penuturan Parlagutan yang cukup misterius, bahwa ia sudah “capai melakukan kekerasan dan kekejaman”, untuk kemudian lebih memilih bekerja sebagai kepala keamanan di sebuah perkebunan kelapa sawit. Di akhir cerita terungkap bahwa Parlagutan ternyata pernah menjalani pengalaman buruk ketika korps(militer)nya bertugas di Krueng Semantoh yang kemudian mengubah jalan hidupnya.
Atau juga cerpen Martin Aleida yang berjudul Elegi untuk Anwar Saedy, yang berkisah tentang tokoh Anwar Saedy yang berhadapan dengan kontras dunia subjektif yang dialaminya dulu dan dunia faktual saat ini yang amat mengecewakan. Anwar Saedy adalah sosok lelaki Aceh yang pernah memimpin pemogokan buruh di New York menjelang akhir masa kolonialisme Belanda di Indonesia. Ternyata, kekecewaan yang amat sangat dialami Anwar Saedy di masa tuanya, ketika ia sama sekali tidak dihargai sebagai pahlawan, bahkan menjadi korban kekerasan rezim di Jakarta ketika mencoba mengadu nasib sebagai pedagang kaki lima.
Potret kekerasan sosial memang seperti menjadi ruh dari cerpen-cerpen dalam antologi ini. Selain dua cerpen di atas, cerpen Gus tf Sakai berjudul Upit mempersaksikan kekerasan terhadap perempuan bernama Upit yang hidup dalam cengkeraman hidup keluarganya yang penuh keterpaksaan. Upit dipaksa kawin oleh ayahnya dengan majikannya yang belakangan diketahui homoseks. Upit tak kuasa keluar dari kubangan penderitaannya. Bahkan ketika seorang tetangganya yang bernama Haris berusaha menolongnya, ia malah dituduh mengganggu istri orang.
Cerpen Jujur Prananto berjudul Jakarta Sunyi Sekali di Malam Hari adalah sebuah kesaksian atas kerasnya kehidupan kota Jakarta yang menimpa seorang bapak bernama Mudakir yang hendak mengunjungi anaknya yang telah lama tidak pulang kampung atau memberi kabar. Malangnya, si bapak malah tersesat setelah uangnya habis ditipu seorang perempuan hingga akhirnya menggelandang bertahun-tahun dan hidup tak menentu dan terpisah dari keluarga.
* * *
Fenomena kekerasan memang masih menjadi realitas sosial yang tiada henti dipertontonkan di republik ini. Setting Indonesia saat ini yang sedang mengalami masa transisi dan ditandai dengan suasana yang penuh dengan ketidakpastian semakin mendukung kecenderungan hidup yang penuh dengan kekerasan itu.
Cerpen-cerpen yang terkumpul dalam antologi ini tidak lain adalah cara pandang para sastrawan melihat fakta kekerasan itu. Dalam hal ini karya sastra memang kurang lebih memiliki kelebihan dibandingkan dengan media lainnya, seperti berita atau laporan jurnalistik. Bila berita atau laporan jurnalistik memaparkan fakta-fakta empiris secara kaku menurut kaidah berbahasa “yang baik dan benar”, maka karya sastra berusaha menembus itu semua dengan melakukan sebuah eksplorasi bahasa yang mendalam dan sedemikian rupa, sehingga mampu memunculkan sisi kemanusiaan yang intens dan mendalam dari gejala kekerasan itu.
Aspek inilah sebenarnya yang cukup mampu mengangkat nilai relevansi buku ini dalam konteks kekinian. Ketika segala kehidupan di negeri ini berjalan tanpa adanya sikap santun dan manusiawi, maka cerpen-cerpen dalam antologi ini berusaha mengangkat sisi lain yang selama ini terlupakan: nilai-nilai khas yang bersifat manusiawi. Cerpen-cerpen dalam antologi ini menggedor mata hati para pembacanya untuk keluar dari kesumat dan cara pandang emosional, untuk kembali kepada kearifan memaknai geliat perubahan zaman.
Melalui penuturan para cerpenis dalam antologi ini, kita semua diajak untuk tidak begitu saja menyerah menghadapi getir dan kerasnya kehidupan untuk terus menghimpun energi kreatif memaknai setiap potensi yang tersisa.
* * *
Antologi cerpen pilihan Kompas tahun 2001 ini berisi 16 cerpen pilihan yang ditulis oleh cerpenis-cerpenis terkemuka, yakni Budi Darma, Jujur Prananto, Yanusa Nugroho, Martin Aleida, Ratna Indraswari Ibrahim, Sori Siregar, K. Usman, Veven Sp Wardhana, Gus tf Sakai, Cok Sawitri, A.A., Navis, Indra Tranggono, Herlino Soleman, Wilson Nadeak, Harris Effendi Thahar, dan Umar Kayam.
Buku ini juga dilengkapi dengan dua buah tulisan pendamping berupa komentar dan ulasan yang ditulis oleh Hasif Amini (redaktur Jurnal Kalam) dan Alois A. Nugroho (dosen Unika Atma Jaya Jakarta).
Antologi ini adalah bukti dari masih kuatnya sastra koran di negeri ini. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, tentu buku ini layak dibaca untuk mendapatkan cara baca dari sisi lain fenomena sosial yang makin tak menentu di negeri ini.

Read More..