Ahad pagi (23/8) kemarin, saya kembali tiba di Jakarta setelah hampir di sepanjang Juli lalu saya tinggal dan keliling Jakarta untuk persiapan studi ke Eropa. Dan kini saya kembali untuk persiapan terakhir sebelum saya berangkat meninggalkan Indonesia.
Saat bus yang saya tumpangi dari Madura mulai memasuki tol Cikampek, aroma Jakarta sudah mulai tercium. Akan tetapi, jalanan tampak tak sepadat biasanya—sangat tidak menggambarkan citra Jakarta. Sopir bus yang saya tumpangi juga agak heran dengan jalanan yang cukup lengang. Si kondektur mencoba menjawab, bahwa selain karena hari Ahad, mungkin juga karena awal puasa, sehingga orang-orang agak malas keluar rumah. Walhasil, bus bergerak dengan cukup cepat dan tiba lebih awal di pool Lebak Bulus. Begitu juga saat saya naik angkutan kota ke tempat sepupu saya di Pisangan, Ciputat, kendaraan melaju tanpa hambatan yang berarti.
Sebagai sebuah kota metropolitan, Jakarta menghadapi masalah transportasi yang tidak mudah. Konon, jumlah rasio daya tampung jalan dan jumlah kendaraan yang lalu-lalang di Jakarta tidak seimbang, sehingga terciptalah kemacetan. Bagi mereka yang sudah lama tinggal di Jakarta, mereka akan betul-betul mengerti hal ini dengan baik. Lebih dari itu, mereka pun akan terbiasa. Lain halnya dengan mereka yang ke Jakarta hanya sewaktu-waktu, untuk kepentingan jangka pendek tertentu. Setiap kali ke Jakarta, jalanan bagi mereka mungkin akan menjelma serupa tempat hukuman yang cukup mengesalkan.
Apakah situasi yang demikian akan berpengaruh pada pola relasi manusia yang sehari-hari tinggal dan berkembang biak di sana? Saya jadi teringat celetukan teman saya saat dia mengemudikan mobilnya di jalanan Jakarta di ujung senja saat menuju rumah tinggalnya di selatan Jakarta sebulan yang lalu. “Jakarta sudah tak layak ditinggali,” katanya dengan nada kesal. Sampai sebegitukah jalanan, sehingga ia bisa menjadikan sebuah kota tak cukup manusiawi untuk dihuni?
Sempat terpikir, orang-orang Jakarta mungkin telah dirampok usia hidupnya oleh jalanan—sama juga dengan kenyataan bahwa gemerlap lampu Jakarta telah mengusir bintang-bintang. Orang-orang yang sehari-hari memiliki aktivitas rutin di Jakarta, katakanlah, orang kantoran, pasti akan secara rutin pula berhadapan dengan kemacetan di jalanan Jakarta. Mereka mungkin saja mencoba bersiasat dengan mengatur jam berangkat dan jam pulang, mencoba rute jalan tikus yang kadang penuh polisi tidur, atau mengganti mode transportasi. Akan tetapi, jalanan tetap sulit memberi kenyamanan. Seperti tak ada pilihan.
Di tengah tuntutan hidup yang terus seperti tak masuk akal, jalanan Jakarta menambah beban tekanan bagi orang-orang yang mencoba setia (atau mungkin terpaksa) menyusurinya. Namun begitu, kesetiaan mereka kadang justru dibalas dengan kutukan. Kutukan yang memaksa mereka untuk mengubah cara pandang mereka terhadap orang lain.
Cobalah satu dua kali Anda mencoba naik Kopaja. Perhatikan cara sopir membawa kendaraan yang menjadi jaminan bagi keberlangsungan asap dapur dan kehidupan keluarganya. Beberapa kali saya mendengar langsung teriakan keras sopir Kopaja atau angkot lainnya ke kendaraan yang disalipnya dengan semena-mena di tengah kemacetan dan bunyi klakson yang terdengar frustrasi: “Setoran Bang!” Kata-kata ini terdengar seperti permohonan—atau mungkin juga ratapan. Tapi seperti juga ada nuansa kekerasan jalanan yang tersimpan diam-diam di balik ungkapan dan tekanan yang terus membayanginya.
Kota, dengan jalanan yang mengantar para penduduknya beraktivitas dan mencari nafkah, saat ini terus tertantang untuk merawat wajah keberadabannya. Hampir separuh penduduk dunia sekarang tinggal di perkotaan, dan di beberapa negara, kota benar-benar memiliki daya magnet yang menyedot para penduduk di pedesaan dan segenap warisan kebudayaan mereka untuk dilumat di kehidupan kota.
Saya jadi teringat bahwa bahasa Arab untuk kata “kota” (hadlar, madinah) memiliki kedekatan atau bahkan masih satu rumpun dengan ungkapan yang menggambarkan “peradaban”. Mungkin dalam bentangan sejarah panjang kehidupan manusia kota memang telah menjadi penggerak kebudayaan dan pendorong terbentuknya keberadaban. Akan tetapi, jika jalanan kini telah cenderung mengkhianati persaudaraan dan makna keterhubungan akar kebahasaan itu, maka tentunya, sekali lagi, ini akan menjadi satu tantangan bagi umat manusia yang patut direnungkan bersama.
Pikiran-pikiran saya ini, yang mulai berletupan di akhir Juli lalu, seperti kemudian dirangkum oleh sebuah stiker yang terpampang di sebuah bus kota jurusan Ciputat-Gajah Mada yang saya tumpangi di hari Rabu, 29 Juli 2009, saat saya akan menghadiri Predeparture Briefing Erasmus Mundus Scholarship Programme Uni Eropa di Le Meridien. Di pagi yang masih menyisakan dingin itu, saya berdiri berdesakan di dekat pintu belakang bus. Di tengah perjalanan, tanpa sengaja pandangan saya tertuju pada sebuah stiker yang pinggirannya sudah robek tapi menuliskan kalimat yang sangat reflektif dan menggugah.
Rabu, 26 Agustus 2009
Di Jalanan Kota Jakarta
Label: Daily Life, Diary, Journey
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
ah Jakarta, kamu benar menuliskan situasi jalanan Jakarta bagi mereka yg sesekali datang untuk urusan pekerjaan macam aku ini, seperti sebuah hukuman :p maka aku memang tidak pernah bercita-cita tinggal di Jakarta, kecuali takdir menentukan lain :) rindunya pada transportasi nyaman di kota besar, seperti Berlin, Paris, Istambul, Budapest atau sejelek-jeleknya paling ngga kaya' di Roma deh ! hehehe..salam hangat (Early)
Posting Komentar