Pekan yang lalu aku berkunjung ke Jogja. Rencana semula cuma tiga hari, tapi situasi memaksaku untuk tinggal hingga lima hari.
Jogja sekarang nyaris tak lagi menyisakan masa lalu buatku. Tempat-tempat telah banyak berubah, paling tidak dibandingkan dengan dua tahun yang lalu. Di sekitar bekas kosku, di tempat yang masih harus masuk jalan kecil, beberapa ruko telah berdiri dengan aktivitas yang cukup padat. Jalan raya Jogja semakin terlihat metropolis. Bangunan-bangunan baru berdiri dengan gagah, dengan polesan warna-warni yang seperti ingin menampilkan citra maju. Di malam hari, lampu-lampu billboard dan papan nama elektronik bangunan-bangunan itu menambah semarak. Selain pusat-pusat perbelanjaan, seperti Mal Ambarukmo yang seperti ingin menandingi Mal Malioboro, kafe-kafe bermunculan bak jamur di musim penghujan, juga distro, layanan perawatan tubuh, dan juga tempat main futsal.
Selama di Jogja kemarin, aku memang nyaris tak ke mana-mana, karena—sialnya—begitu tiba di sana aku jadi kurang sehat, sakit, sampai muntah-muntah—mungkin karena masuk angin, kehujanan, ditambah cuaca yang tak bersahabat. Jadi, aku tak sempat jalan-jalan dengan puas. Tapi begitulah kesan yang kutangkap dari beberapa kesempatanku keluar. Jogja yang berubah.
Mungkin aku ke Jogja pada saat yang kurang tepat. Musim hujan sudah mulai membuat Jogja nyaris selalu dihampiri gerimis, terutama setiap senja menjelang petang. Dan, bagiku, gerimis di sore hari di Jogja sering mengundang perasaan absurd yang sulit dijelaskan. Seperti saat empat tahun yang lalu saat baru lebaran dan aku sudah harus masuk kantor di saat Jogja masih relatif sepi dan hujan deras selalu datang di sore hari. Seperti saat aku berkemas hendak meninggalkan Jogja kemarin. Perasaan absurd itu muncul kembali dan sulit kuusir.
Jogja yang nyaris tak menyisakan masa lalu itu memang tak sampai membuatku merasa terasing. Tapi ada kalanya aku ingin menapak kembali ke puing-puing masa lalu. Sayang, ke Jogja kemarin aku tak sempat mampir di Feri, angkringan belakang kos yang pernah menjadi tempat nongkrongku. Aku rindu dengan sapaannya, keramahannya, dan kerja kerasnya. Juga tempe bakarnya—tentu.
Ke Jogja tak mampir di Feri memang terasa seperti kurang lengkap. Buatku, Feri adalah salah satu ikon Jogja yang khas. Ia seperti tak pernah bertemu dengan absurditas itu. Ia menjalani hidup dengan begitu riang dan tampak tanpa beban. Setidaknya itu tergambar dari lagu-lagu rege yang melantun dari radio dan atau mulutnya. Mungkin hidupnya sederhana, tapi ia tampak berbahagia. Ia seperti berhasil melawan kutukan absurditas itu.
Ke Jogja tak mampir di Feri, sungguh seperti melewatkan satu pelajaran berharga.
Senin, 17 November 2008
Ke Jogja Tak Mampir di Feri
Label: Journey
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
Begitulah jogja kini Fa,
Persis sama ketika agustus lalu aku kesana. Masalaluku juga nyaris tak bersisa...
hari ini atau hari kapanpun ketika aku "rindupulang" ke jogja, aku harus mengikis bahkan memenjarakan rindu itu sendiri. daripada kecewa dan menangis?
pd siapa aku mesti meminta "kembalikan jogjaku seperti dulu" yang selalu ramah dan bersahaja....
saya juga merasa seperti itu, ketika saya ting gal di surabaya, ketika masih smk, rumah ibu yang saya tempati sudah tadak ada! digusur hanya untuk pelebaran dinas yang membuat saya tidak betah tinggal apalagi dengan kenangan yang begitu indah didalamnya mulai dari belajr hingga berada di atas kapal...
Posting Komentar