Belakangan ini, isu pemanasan global menjadi tema yang begitu ramai dibicarakan. Masyarakat gundah dengan alam yang semakin tak bersahabat. Bencana alam mulai dari banjir, longsor, naiknya permukaan air laut, dan semacamnya, seperti menjadi ritual yang datang silih berganti. Pada saat yang sama, krisis energi semakin memberi dampak yang dirasakan masyarakat luas. Semua itu menerbitkan kekhawatiran akan terancamnya keberlangsungan kehidupan umat manusia di bumi. Jika krisis lingkungan seperti yang ramai dibicarakan itu dibiarkan tak segera ditangani bersama-sama, maka bukan mustahil harga yang harus dibayar oleh umat manusia amatlah mahal.
Beberapa kalangan menganalisis bahwa krisis lingkungan tersebut salah satunya dipicu oleh perkembangan ilmu dan teknologi yang miskin perspektif etika. Alam dan segenap isinya dieksploitasi sedemikian rupa tanpa mempertimbangkan aspek keseimbangan dan kesinambungannya. Bencana alam adalah jawaban tak langsung dari perlakuan manusia yang tak ramah terhadap alam.
Jika kita mencermati lebih mendalam, sebenarnya krisis lingkungan yang melanda bumi saat ini juga berakar dari krisis spiritualitas umat manusia. Pandangan dasar dunia tentang diri, hakikat penciptaan, dan perspektif yang holistis tentang alam terpuruk ke dalam nalar materialistis-positivistis. Di berbagai ruang sosial, juga keagamaan, kesadaran kita tak dibangun untuk peka dan peduli menelusuri jejak dan efek dari setiap tindakan kita, kecil atau besar, terhadap alam dan masa depan semesta. Dengan tanpa berpikir panjang, kita begitu mudah mengonsumsi plastik kresek dan jenis plastik lainnya, bahkan mungkin membuang sampah plastik itu seenaknya, tanpa (diajak untuk) menyadari betapa plastik adalah neraka buat tanah dan bumi, yang dapat menjadi benih bencana bagi manusia—salah satu spesies penghuni bumi.
Spiritualitas pada level yang universal merupakan cara pandang yang lebih mengutamakan aspek-aspek batiniah, menyeluruh, dan menitiktekankan pada aspek yang lebih berorientasi ke depan. Dalam ajaran Islam, ada seruan untuk lebih mempertimbangkan aspek ukhrawi (akhirat) ketimbang aspek duniawi. Secara etimologis, dun-ya dalam bahasa Arab berarti ‘rendah’, ‘dekat’, ‘hina’, dan akhirat berarti ‘yang mendatang’. Dari sini, spiritualitas kemudian dipupuk dengan tujuan agar manusia dapat mencapai jenis kehidupan yang lebih tinggi, suatu kehidupan yang menurut Alquran khayr wa abqâ, “lebih baik dan lebih abadi” (Brohi, 2002: 14).
Peradaban modern telah menciptakan sejumlah
Polusi kesadaran spiritualitas holistis itu saat ini juga turut dipupuk oleh sampah kapitalisme yang sudah melakukan penetrasi hingga kampung-kampung di pelosok.
Dalam Islam, ada sebuah hadis yang begitu populer tapi sepertinya maknanya yang hakiki sudah dilupakan. Hadis itu berbunyi: kebersihan adalah bagian dari iman. Jika dibaca dengan lebih cermat, hadis ini menegaskan keterkaitan antara spiritualitas dan kepedulian lingkungan. Seseorang yang tak peduli dengan kebersihan, tak mau peduli untuk merawat alam, maka imannya sungguh layak dipertanyakan.
Mengambil teladan dari kisah hidup Nabi Muhammad saw, Tariq Ramadan (2007: 37-41) menjelaskan bahwa kehidupan Nabi pada masa kecil yang hidup di pedalaman
Krisis lingkungan saat ini semestinya harus menjadi keprihatinan bersama, termasuk para pemuka dan tokoh agama, karena krisis tersebut pada dasarnya juga adalah krisis spiritualitas. Polusi kesadaran dan sampah kapitalisme telah mengikis ruh hakiki spiritualitas agama, yang salah satunya menegaskan tugas dan tanggung jawab manusia untuk merawat bumi. Yang terpenting, setelah menyadari akan ikatan primordial manusia dan bumi, setiap kita dituntut untuk berbuat sesuatu yang nyata untuk bertobat dan kembali menyantuni bumi. Sekecil apa pun, langkah kita itu akan bermakna sebagai upaya untuk kembali menunjukkan penghormatan kita pada Sang Pencipta.
Tulisan ini dimuat di Radar Madura, 20 Oktober 2008.
Selasa, 17 Juni 2008
Krisis Lingkungan, Krisis Spiritualitas
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
4 komentar:
btulll
wah, masih aktif nulis meski di blog. dan itu lebih bebas.
aku tunggu cerpen sampeyan!
Bangunlah JIWAnya, (baru kemudian) Bangunlah BADANnya ....
Posting Komentar