Judul buku : The Corporate Mystic: Sukses Berbisnis dengan Hati
Penulis : Gay Hendricks dan Kate Ludeman
Pengantar : Haidar Bagir
Penerbit : Kaifa, Bandung
Cetakan : Pertama, Desember 2002
Tebal : xxxii + 248 halaman
Peraih Nobel Ekonomi 1998, Amartya Sen, menyatakan bahwa aktivitas ekonomi pada dasarnya adalah suatu kegiatan manusiawi biasa yang karena itu semestinya juga memperhatikan segi-segi etis. Bila dalam buku On Ethics and Economics Sen telah melakukan suatu eksplorasi yang lebih bersifat teoritik-konseptual dan lebih berkaitan dengan aspek makro ekonomi, maka buku ini mencoba menelaah pengalaman konkret para pebisnis sukses di Amerika dalam memberikan sentuhan etis dan spiritual dalam aktivitas bisnis mereka itu.
Buku ini didasarkan atas sejumlah wawancara panjang tak kurang dari seribu jam dengan ratusan pengusaha dan eksekutif perusahaan sukses di Amerika. Dari situ terungkap bahwa ternyata para pengusaha sukses itu amat layak disebut mistikus korporat (The Corporate Mystic), karena di perusahaan mereka mampu menampilkan sejumlah nilai dan karakteristik yang amat berkait dengan dasar-dasar spiritualitas universal dan perenial. Di antaranya adalah nilai kejujuran, visi ke depan dan fokus yang cermat, disiplin yang kuat, dan integritas.
Mereka menjalani hidup dengan asas-asas spiritualisme yang betul-betul hidup, nyata, dan empiris—tidak melulu konseptual apalagi dogmatik. Mereka berbisnis tidak hanya dengan mengerahkan kemampuan otak rasional, tapi juga dengan mengedepankan hati dan intuisi. Para pengusaha yang diteliti pada umumnya adalah sosok pemimpin yang mampu menerjemahkan spiritualitas menjadi kekuatan visioner yang mampu menggerakkan perusahaan menuju kesuksesan.
Pengamatan Hendricks dan Ludeman, penulis buku ini, menunjukkan bahwa sebagai pemimpin, mistikus korporat ini memiliki tiga modal utama: integritas yang mampu menonjolkan kejujuran sejati, visi yang mampu menegaskan niat, dan intuisi yang mampu menggenapi potensi kemanusiaan. Integritas di sini adalah suatu landasan kokoh bagi kesadaran akan dua kutub keberadaan kita: bahwa di satu sisi seseorang harus menjadi diri sendiri seutuhnya, dengan menampilkan kejujuran dan autentisitas kepribadian; sementara di sisi lain seseorang juga harus menyatakan rasa kebersamaan kemanusiaan dengan memandang perusahaan dari sudut semesta.
Sementara itu, visi dalam kepemimpinan adalah suluh kesadaran yang dapat menuntun pergerakan semua elemen perusahaan menghadapi tantangan masa depan. Yang menarik, mistikus korporat tidak hanya membiarkan visinya mendekam dalam pikirannya sendiri, tapi juga dialirkan pada anggota keluarga perusahaannya. Sedangkan naluri memberi ruang bagi kreativitas dalam memutuskan suatu persoalan yang menentukan, serta membantu arah perjuangan visi yang sudah jelas itu.
Ketiga karakter ini setelah diolah dan disinergikan mampu menghidupkan ruh perusahaan, sehingga perusahaan menjadi semacam media aktualisasi bersama. Ini berarti bahwa adonan integritas, visi, dan naluri pada gilirannya menghasilkan tanggung jawab, komitmen, dan kebersamaan. Komunikasi yang cair menjadi kata kunci lainnya yang memampukan semua elemen perusahaan menjadi bisa saling berempati dan mengolah gagasan-gagasan dengan terbuka untuk perubahan yang lebih baik.
Kualitas-kualitas moral yang ditemukan Hendricks dan Ludeman di kalangan pengusaha itu sebenarnya memang akan menegaskan hal yang sudah cukup lama disuarakan: bahwa ada dimensi etis dalam berbisnis yang perlu diperhatikan, karena itu juga adalah suatu faktor penting yang dapat mengantarkan kepada keberhasilan perusahaan itu. Kolapsnya perekonomian bisa bermula dari tercederanya moralitas dalam dunia bisnis. Contoh yang bisa dikemukakan di sini adalah kasus resesi ekonomi AS pada awal 1990-an yang terjadi akibat skandal perusahaan-perusahaan Saving and Loans yang menjajakan junk-bonds. Krisis ekonomi dan moneter yang terjadi di beberapa kawasan Asia Tenggara sejak 1998 pun ada yang melihatnya dari sisi ini.
Buku ini semakin menegaskan makna penting moralitas dalam kehidupan bisnis. Moralitas, atau lebih spesifik lagi: spiritualitas, akan memompakan kekuatan yang tak terkira untuk merawat daya hidup perusahaan. Maka tak aneh bila Hendricks dan Ludeman dalam buku ini meramalkan bahwa pengusaha yang sukses pada abad ke-21 akan menjadi para pemimpin spiritual. Mereka mungkin saja akan menyisihkan para spiritualis yang lain yang dibesarkan di masjid, gereja, kuil, atau wihara.
Ada dua catatan menarik yang dapat dikemukakan berdasarkan uraian-uraian dalam buku ini. Pertama, dengan menawarkan bentuk spiritualitas yang terlepas dari agama-agama formal, buku ini dari sisi lain adalah sebentuk tantangan terhadap agama-agama formal untuk dapat mampu mengembangkan tipe spiritualitas yang bersifat produktif, dapat membimbing manusia dalam kebersamaan dan kesuksesan. Kedua, karena buku ini amat menekankan bentuk spiritualitas dan dimensi etis dalam bisnis yang lebih erat dengan aspek kepemimpinan perusahaan, maka buku ini mengabaikan aspek eksternal dari kehidupan bisnis: negara. Persoalannya, mampukah sebuah pemimpin perusahaan yang spiritualis menggerakkan perusahaannya untuk hidup dengan nilai yang diyakininya itu bila ternyata ia berada dalam suatu sistem sosial-politik yang korup?
Lepas dari dua hal tersebut buku ini tentu amat layak diapresiasi. Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa keterpurukan ekonomi yang mendera bangsa kita juga disebabkan oleh terabaikannya dimensi etis ini. Dari buku ini kita dapat menggali bersama pengalaman pengusaha Amerika meraih sukses dan menangkap benang merah yang dapat diikatkan ke dalam kehidupan konkret kita sehari-hari.
Tulisan ini dimuat di Koran Tempo, 24 Februari 2003.
0 komentar:
Posting Komentar