Minggu, 07 Februari 2016

Upaya Mengatasi Literalisme


Judul buku: Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher Sampai Derrida
Penulis: F. Budi Hardiman
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2015
Tebal: 344 halaman
ISBN: 978-979-21-4345-4


Dalam salah satu bukunya, Jalaluddin Rakhmat pernah mengungkapkan sebuah penelitian yang menyatakan bahwa 70 persen waktu bangun kita digunakan untuk berkomunikasi. Lalu apa jadinya jika komunikasi yang berlangsung antarmanusia itu justru gagal?

Kegagalan dalam berkomunikasi pada dasarnya merupakan kegagalan untuk memahami. Jika kegagalan itu terjadi pada tingkat perseorangan atau dalam hal-hal biasa mungkin dampaknya tidak akan terlalu terasa. Namun apa jadinya jika kegagalan memahami itu terkait dengan hal-hal penting seperti yang tertuang dalam teks-teks otoritatif, yakni teks yang memiliki kewenangan luas, seperti teks terkait otoritas agama atau otoritas politik?

Buku karya F. Budi Hardiman ini menyajikan pemikiran yang bersifat metodologis tentang seni memahami yang dikemukakan oleh para filsuf hermeneutik modern. Ada delapan filsuf yang disajikan di sini, yakni Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, Bultmann, Gadamer, Habermas, Ricoeur, dan Derrida. Kedelapan filsuf ini menyajikan gagasannya tentang apa itu memahami, bagaimana langkah-langkahnya, dan apa saja titik masalah pentingnya.

Istilah “seni” dalam judul buku ini merujuk pada Schleiermacher (w. 1834) yang memaksudkan “seni” di sini sebagai “kepiawaian”. Menurut Schleiermacher, upaya memahami itu ada yang sifatnya spontan dan ada pula yang memerlukan upaya tertentu. Upaya di sini dibutuhkan karena sering kali kita menghadapi situasi yang memuat kesalahpahaman.a

Apalagi dalam konteks kehidupan masyarakat modern yang ditandai dengan kemajemukan. Kesalahpahaman itu menurut Schleiermacher disebabkan oleh prasangka (Vorurteil) saat orang hanya mau menggunakan sudut pandangnya sendiri di hadapan orang lain. Pada titik ini, hermeneutik juga berarti seni mendengarkan, yakni upaya untuk menangkap perspektif orang lain.

Schleiermacher dianggap sebagai pelopor hermeneutik modern karena ia berhasil melepaskan hermeneutik dari disiplin spesifik, seperti teologi, hukum, dan filologi. Sebelumnya, hermeneutik berkembang sebagai bidang khusus.

Hermeneutik Schleiermacher bersifat psikologis karena tujuan utamanya adalah untuk mengungkap dan menghadirkan kembali secara utuh maksud si penulis. Dalam pengertian ini, memahami adalah juga berempati. Namun begitu, Schleiermacher juga menekankan pentingnya interpretasi gramatis dalam proses memahami yang harus dilakukan serentak dengan interpretasi psikologis.

Jika Schleiermacher berhasil membangun dasar bagi hermeneutik universal, Dilthey (w. 1911) meletakkan hermeneutik sebagai salah satu metode ilmiah, khususnya bagi ilmu sosial-kemanusiaan. Dilthey menerobos dominasi positivisme dengan menyatakan bahwa ilmu sosial-kemanusiaan memerlukan metode yang berbeda dengan ilmu-ilmu alam, yakni hermeneutik. Menurut Dilthey, dalam ilmu sosial-kemanusiaan, kita mendekati objek dengan melibatkan diri untuk memahami makna, bukan dengan cara berjarak sebagaimana dalam menghadapi objek ilmu-ilmu alam.

Jika dalam pemikiran Schleiermacher dan Dilthey memahami berada di ranah kognitif, Heidegger (w. 1976) membawa hermeneutik ke wilayah ontologi. Menurutnya, memahami adalah cara Dasein (manusia) bereksistensi. Ia terkait dengan “kemampuan seseorang dalam menangkap kemungkinan-kemungkinannya sendiri untuk berada”. Sebelum masuk dalam wilayah kognitif, ada pra-struktur memahami yang akan mengarahkan proses memahami seseorang.

Sementara itu, Habermas (l. 1929) memberi misi emansipatoris dalam tindakan memahami. Habermas memfokuskan pembahasannya pada teks abnormal, yakni jenis teks yang sebenarnya bahkan tidak bisa dipahami oleh si pembuat teks. Teks abnormal ditemukan dalam kasus psikopatologis dan perilaku kolektif hasil indoktrinasi. Kedua kasus ini merupakan hasil dari bentuk “komunikasi yang terdistorsi secara sistematis”. Karena itu, hermeneutik kritis berupaya untuk membebaskan subjek agar ia dapat meraih otonominya.

Derrida (w. 2004) membawa tindakan pemahaman dalam situasi radikal. Dengan metode dekonstruksi, Derrida menghidupkan perspektif yang berubah-ubah sehingga makna suatu teks tak pernah dapat distabilkan dan diguncang dari dalam.

Sisi menarik gagasan yang diuraikan dengan sangat bernas di buku ini terletak pada kerangka yang dibuat oleh penulisnya yang merupakan dosen di STF Driyarkara, Jakarta. Menurut Budi Hardiman, berbagai pemikiran hermeneutik dari para filsuf ini adalah sebuah upaya untuk mengatasi literalisme. Pemaknaan literal atas teks-teks otoritatif dapat mendorong lahirnya praktik radikalisme dan ekstremisme agama maupun juga sikap antidemokratis dalam politik.

Budi Hardiman mengutip Karen Armstrong yang memberi contoh penafsiran literal kaum Yahudi. Orang Yahudi berpendapat bahwa Allah telah menjanjikan Kanaan (Israel modern) untuk mereka sehingga kebijakan opresif atas orang Palestina memperoleh pembenaran.

Problem penafsiran literal dalam agama juga dijumpai dalam Kristen dan Islam. Kaum literalis berpegang pada asumsi bahwa teks suci membawa kebenaran yang sifatnya siap pakai dan tak perlu dipahami dengan cara lain yang mungkin rumit. Literalisme percaya bahwa makna harfiah sifatnya final, sedangkan hermeneutik berupaya untuk melihat teks dalam model intertekstual dan mempertimbangkan berbagai faktor lain dalam teks dan di luar teks secara lebih luas.

Pemikiran hermeneutik yang disajikan buku ini menarik dan bermakna penting karena pada tingkat mendasar tindakan memahami adalah upaya untuk menjangkau orang lain dan merawat hubungan antarmanusia yang lebih bermartabat dan lebih baik. Dengan demikian, buku ini adalah tentang kehendak untuk menjalin hubungan etis dengan orang lain.

Memang, posisi metodologis hermeneutik dalam kajian agama masih diperdebatkan karena ia dianggap bersumber dari perspektif sekuler. Namun demikian, dalam kaitannya dengan teks keagamaan, pemikiran hermeneutik yang tersaji di buku ini bagaimanapun dapat membantu memperkaya dan mempertajam misi profetis agama sekaligus menjaganya dari penyimpangan akibat godaan kekuasaan dan bentuk penyelewengan lainnya.


Versi yang sedikit berbeda dimuat di Harian Jawa Pos, 7 Februari 2016, dengan judul "Sebuah Seni Mendengarkan Orang Lain."


0 komentar: