Selasa, 27 Januari 2015

Pantulan Cahaya dari Pribadi Agung

Judul buku: 60 Orang Besar di Sekitar Rasulullah saw: Serial Kisah Rasul dan Para Sahabat
Penulis: Khalid Muhammad Khalid
Penerbit: Mizania, Bandung
Cetakan: Pertama, September 2014
Tebal: 778 halaman


Sosok Nabi Muhammad saw. merupakan pribadi yang sangat dikagumi oleh banyak pihak. Michael H. Hart, seorang ilmuwan Amerika, dalam bukunya yang legendaris berjudul The 100 menempatkan Nabi Muhammad di urutan pertama sebagai tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah. Menurut Hart, sebagai nabi pembawa agama Islam, Muhammad telah memberi warna yang sangat penting pada perkembangan sejarah dunia.

Di kalangan umat Islam, penghormatan terhadap Nabi Muhammad tentu saja lebih jelas terlihat. Kaum muslim meyakini bahwa beliau adalah teladan kebajikan (uswah hasanah) yang mencerminkan inti ajaran Islam. Karena itu, seruan untuk meneladani kepribadian dan perilaku Nabi Muhammad selalu muncul di komunitas muslim.

Dalam kerangka keteladanan pribadi agung Nabi Muhammad saw itulah buku ini menunjukkan nilai pentingnya. Buku ini sebenarnya memuat 60 kisah para sahabat Nabi. Tapi, dengan mempelajari kehidupan para sahabat Nabi tersebut, pembaca buku ini secara tidak langsung dapat memperoleh pantulan cahaya dari pribadi agung Nabi Muhammad.

Bagaimanapun, para sahabat Nabi itu—terlepas dari segala kekurangannya sebagai manusia biasa—memiliki akses pertama untuk mendapatkan bimbingan dari Nabi Muhammad sehingga kepribadian mereka lebih mudah untuk menghayati nilai-nilai Islam. Di sisi lain, para sahabat Nabi secara umum memiliki tingkat ketulusan yang mendalam dalam keputusannya memilih keyakinan Islam karena pilihan tersebut di awal perkembangan Islam secara umum bukanlah pilihan yang populer dan nyaman secara politis.

Enam puluh sosok sahabat Nabi yang dikisahkan dalam buku ini memiliki sisi menarik yang beragam, termasuk juga dalam statusnya sebagai pantulan cahaya pribadi agung Nabi. Di antara mereka, misalnya, ada Zaid ibn Haritsah, yang darinya kita bisa membayangkan keagungan pribadi Nabi Muhammad saw.

Zaid yang berasal dari Bani Ma‘n suatu ketika tertawan dalam serangan suku lain sehingga kemudian dijual sebagai budak di Mekah. Ia dibeli oleh keponakan Khadijah, istri Nabi, yang kemudian menghadiahkannya kepada bibinya. Khadijah lalu memberikan Zaid kepada suaminya. Muhammad, yang ketika itu masih belum menerima wahyu dari Allah swt., langsung memerdekakan Zaid.

Selang beberapa lama kemudian, orangtua Zaid berhasil mendapatkan informasi tentang keberadaan Zaid dan ia lalu mendatangi Nabi di Mekah. Orangtua Zaid bermaksud untuk menebus anaknya dari Nabi. Tapi Nabi justru menolak dan memberi tawaran lain. Nabi menawarkan agar Zaid diberi pilihan: apakah ia akan kembali ke kampungnya atau tetap bersama Nabi. Jika memang Zaid mau pulang bersama orangtuanya, Nabi tak perlu mendapatkan tebusan.

Ternyata Zaid memilih untuk tinggal bersama Nabi. Alasannya sederhana: Zaid merasa mendapatkan perlakuan dan perhatian yang luar biasa dari Nabi. Zaid merasakan secara langsung kelembutan dan keagungan pribadi Nabi.

Di antara teladan yang ditunjukkan Nabi adalah kemampuannya untuk tidak terikat pada pesona dunia dan tetap hidup sederhana. Dalam buku ini, banyak sekali sahabat Nabi yang digambarkan memiliki sifat zuhud dan wara’. Salman al-Farisi, misalnya, pada saat menjadi Gubernur Madain menunjukkan teladan kesederhanaan yang luar biasa. Meski ia di negeri asalnya, Persia, berasal dari keluarga terpandang dan berada, ia tak ragu untuk mendermakan gajinya sebagai pejabat kepada yang lebih membutuhkan dan memilih hidup seadanya.

Teladan serupa bernama ‘Abdurrahman ibn ‘Auf. Ia dikenal sebagai sahabat yang memiliki naluri bisnis yang hebat. Saat baru tiba di Madinah, ia hanya minta ditunjukkan pasar, lalu dari situ ia bisa sukses berniaga. Tapi ‘Abdurrahman ibn ‘Auf tidak menjadi budak dari hartanya. Ia dikenal sangat dermawan dan hidup zuhud, hingga konon orang akan kesulitan membedakan penampilannya saat ia sedang bersama pelayannya.

Sahabat Nabi lainnya yang cukup dikenal bernama Abu Dzar al-Ghifari. Ia berasal dari suku pembegal. Makanya Nabi heran saat ia mendatangi Nabi dan menyatakan hendak masuk Islam. Abu Dzar, yang tercatat memeluk Islam pada masa-masa awal, kemudian dikenal sebagai sahabat Nabi yang tegas dan tidak segan untuk menegur kaum muslim lainnya yang dianggap melenceng dari teladan Nabi. Dikisahkan, Abu Dzar pernah menegur Mu‘awiyah dan ‘Utsman ibn ‘Affan karena sebagai pejabat tampak mengabaikan nilai-nilai zuhud dan kesederhanaan.

Dibandingkan dengan buku-buku tentang sahabat Nabi yang lain, buku yang ditulis oleh cendekiawan-sosiolog Mesir ini memiliki kelebihan dari segi gaya tuturnya yang menyentuh. Buku yang berjudul asli Rijal Hawlarrasul ini seolah ingin menggugat emosi pembaca agar keagungan Nabi benar-benar terasa.

Di tengah krisis keteladanan yang mendera bangsa ini, kehadiran buku ini patut disambut dengan baik. Dengan menyelami kisah para sahabat Nabi dalam buku ini, diharapkan nilai-nilai kenabian dapat lebih mudah dipahami, dipraktikkan, dan disebarkan dalam kehidupan sehari-hari.

Tulisan ini dimuat di Harian Kabar Madura, 27 Januari 2015.

0 komentar: