Sabtu, 25 November 2000

Pembelaan Sang "Provokator" Demokrasi

Judul Buku : Daulat Manusia
Penulis : Thomas Paine
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Cetakan : Pertama, Februari 2000
Tebal : xiv + 244 halaman


Revolusi Perancis pada tahun 1789 diakui sebagai peristiwa yang memberi inspirasi bagi munculnya gagasan-gagasan besar tentang demokrasi, persamaan derajat, dan Hak Asasi Manusia. Akan tetapi, pada saat kelahirannya, ide-ide tersebut tidak langsung begitu saja dinilai sebagai gagasan cemerlang karena menjunjung tinggi martabat manusia.
Edmund Burke misalnya, menanggapi heroisme Revolusi Perancis dengan penuh cemooh. Menurut Burke, Revolusi Perancis adalah aksi pemberontakan terhadap seorang raja yang sah dan berhati lembut serta dipenuhi dengan amarah yang haus darah. Bagi Burke, Raja Perancis, Louis XVI, adalah satu-satunya orang yang memiliki hak untuk menjadi pemimpin di Perancis, dan aksi massa pada peristiwa Revolusi Perancis adalah pemberontakan keji yang kekejamannya melebihi kekejaman dan caci maki yang pernah dilontarkan bangsa manapun yang menentang penguasa paling lalim di muka bumi.
Thomas Paine, seorang kelahiran Inggris melalui buku ini memberi catatan-catatan kritis atas serangan Burke terhadap Revolusi Perancis itu. Menurut Paine, Revolusi Perancis bukan perlawanan terhadap pemerintahan Raja Louis XVI, tapi perlawanan terhadap prinsip pemerintahan berkekuasaan mutlak. Dalam pengamatan Paine, Revolusi Perancis meletus gara-gara terjadi persekongkolan struktural antara kerajaan, parlemen, dan gereja untuk menerapkan despotisme feodal di seluruh Perancis.
Revolusi Perancis, yang ditandai dengan penyerbuan Penjara Bastille pada tanggal 14 Juli 1789, adalah perjuangan rakyat Perancis untuk merebut kembali hak-hak kodrati yang direnggut seenaknya oleh penguasa. Dalam serangannya terhadap Revolusi Perancis, Burke mengatakan bahwa rakyat sebenarnya tidak memiliki hak apa-apa karena dahulu para sesepuh masyarakat mereka telah menyerahkan seluruh haknya kepada pemerintah.
Menanggapi pernyataan Burke inilah Paine secara panjang lebar menguraikan hakikat Hak Asasi Manusia yang menjunjung tinggi kebebasan dan persamaan dalam seluruh uraian buku ini. Menurut Paine, tak ada satu generasi di muka bumi ini yang berhak mengatur generasi berikutnya. Setiap zaman dan generasi bebas menentukan dirinya sendiri.
Sejarah penciptaan manusia mengakui bahwa pada dasarnya manusia itu satu. Dengan kesatuan manusia (the unity of man) dimaksudkan bahwa manusia itu semua memiliki derajat yang sama, dan, karena itu, juga memiliki hak-hak kodrati yang sama pula. Pengakuan bahwa suatu generasi memiliki hak untuk mengatur generasi berikutnya bagi Paine adalah suatu tiranisme yang usaha menjauhkan manusia dari kodrat kedaulatannya yang bersifat ilahi.
Kodrat manusia, selain kesamaan derajat dan kedaulatan untuk menentukan dirinya sendiri, juga berkaitan dengan kehidupan sosial. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial. Watak ini, menurut Paine, juga didorong oleh kondisi alam sehingga manusia tidak hanya harus hidup bermasyarakat untuk dapat survive, akan tetapi juga harus menanamkan suatu sistem cinta kasih kepada masyarakat demi meraih kebahagiaannya sendiri. Ketertiban dalam sejarah peradaban manusia pada hakikatnya terbentuk dari hakikat manusia itu sendiri.
Dengan demikian, pemerintah, bagi Paine, semestinya tidak lebih dari suatu perhimpunan yang bertindak menurut prinsip-prinsip hidup bermasyarakat. Pemerintah harus menjamin terlaksananya kehidupan tertib yang menunjung kedaulatan manusia, dan bukannya mengikis habis ikatan alami manusia untuk bermasyarakat itu.
Karya yang berjudul asli The Rights of Man ini tergolong naskah klasik yang menjadi dokumen sejarah pergolakan revolusi di Perancis. Keberanian Paine dalam membela praksis revolusi di Perancis--meski di tempat kelahirannya ia dicaci dan dituduh pengkhianat--adalah bagian dari perjuangannya untuk kebebasan manusia lepas dari cengkeraman kekuasan mutlak. Refleksi kritis bercorak filosofis yang dilakukan Paine dalam buku ini pada akhirnya berhasil mengungkap makna hakikat kebebasan dan persamaan derajat yang menjadi semangat kehidupan demokrasi serta prinsip-prinsip dasar hidup bernegara.
Karena itulah, dalam kondisi bangsa kita yang sedang berusaha "meraba-raba" sosok demokrasi, buku ini dapat menjadi "kawan dialog" yang cukup baik untuk memunculkan gagasan bijak sekaligus mengingatkan kita bersama tentang hak dan kedaulatan manusia yang selama ini terampas dan terabaikan.


Tulisan ini dimuat di www.berpolitik.com 24 November 2000.


Read More..

Minggu, 19 November 2000

Peradaban (dan) Politik yang Terkoyak


Judul Buku : Kekuasaan Tak Pernah Senyum: Ini Bukan Salah Peradaban
Penulis : Mohamad Sobary
Penerbit : Kompas, Jakarta
Cetakan : Pertama, September 2000
Tebal : xx + 181 halaman

Judul Buku : Pil Koplo dan Don Quixote: Kegagalan Membangun Sebuah Peradaban
Penulis : Mohamad Sobary
Penerbit : Kompas, Jakarta
Cetakan : Pertama, September 2000
Tebal : xx + 165 halaman



Salah satu warisan kotor yang ditinggalkan rezim Orde Baru adalah remuknya wajah peradaban (dan) politik di negeri ini. Peradaban menurut pengertian yang luas dikerangkeng dalam definisi dan kendali negara, sementara tafsir dan kebijakan politik dimonopoli elit-elit negara. Pembangunan semata diarahkan untuk memacu kesejahteraan material, dibarengi dengan represi terhadap segala gejolak sosial yang sesungguhnya bersifat alamiah.
Carut-marut yang sedemikian mengenaskan dalam wajah peradaban (dan) politik ini membuat bangsa Indonesia terpuruk dalam situasi krisis yang bersifat multidimensional. Dan, nyatanya, hingga kini, bangsa Indonesia masih belum bisa sepenuhnya melakukan langkah-langkah mendasar untuk memulai sejarah peradaban Indonesia Baru.
Kumpulan kolom Mohamad Sobary yang berasal dari rubrik “Asal Usul” di Harian Kompas ini mencoba mengeksplorasi persoalan-persoalan tersebut dari perspektif yang cukup unik. Sebagai seorang peneliti ilmiah dengan pendekatan antropologi, sekaligus pengamat ‘non-disipliner’—seperti pernah disebut Gus Dur dalam pengantar salah satu buku Sobary yang lain—Sobary melakukan penyelaman terhadap berbagai realitas ketertindasan kebudayaan itu dengan nuansa yang khas. Ada semacam rasa keterlibatan yang dalam yang dapat ditemukan pembaca di dalam kolom-kolom ini, yang menunjukkan rasa tanggung sosial dan dibalut dengan rasa kemanusiaan yang kental.
Keterlibatan sosial yang terbaca dalam pikiran-pikiran Sobary dalam buku ini didasarkan pada asumsi bahwa sebenarnya gaung reformasi yang keras diteriakkan mesti melibatkan lapisan bawah masyarakat. Reformasi bagi Sobary bukan hanya berurusan dengan penggantian penguasa, tetapi, yang lebih penting, membangun basis sosial yang luas di tingkah bawah.
Selama ini masyarakat di lapisan bawah (rakyat kecil) tak pernah dilibatkan dalam proses-proses politik. Partai politik hanya memanfaatkan mereka pada saat pemilu, demi meraih kursi kekuasaan. Inilah kebohongan politik yang melembaga setiap lima tahun, sehingga rakyat dijauhkan dari proses kehidupan sosial yang sebenarnya.
Para elit politik mempergunakan legitimasi sejarah untuk menundukkan kesadaran politik masyarakat di lapisan bawah. Para elit politik menyodorkan sejarah dengan cara baca yang bersifat mistis, sehingga proses pendewasaan politik bagi masyarakat tak kunjung dimulai.
Sejarah, tradisi, atau warisan budaya, disajikan dengan kerangka ideologis: ia dilihat sebagai orientasi sekaligus tujuan hidup bangsa. Tak ada lagi kearifan sejarah yang mengandalkan pembacaan kritis terhadap segala bentuk warisan budaya atau tradisi bangsa. Rakyat diajak untuk bersikap romantis dengan sejarah dengan memitoskan momen-momen tertentu yang dianggap sakral. Pun, pembangunan banyak diisi dengan mendirikan monumen-monumen (peringatan) sejarah yang dapat menjadi simbol legitimasi keberhasilan pembangunan.
Sementara itu, elit-elit politik tak henti-hentinya memainkan perilaku politik yang tidak mendidik masyarakat. Sobary menengarai bahwa seringkali kebencian terhadap lawan politik melahirkan sikap yang mengabaikan prinsip keadilan—bahkan terhadap diri sendiri. Para elit politik itu seringkali menerapkan politik subsistensi: suatu bentuk egoisme politik dengan prinsip mencari keselamatan diri meski harus rela mengenyahkan harga diri, nyali, dan hati nurani.
Dendam politik menjadi landasan bersikap yang dinilai wajar. Pemegang kekuasaan baru seolah dendam atas ketertindasan politik yang dialaminya di masa lalu. Bersitegang dalam politik berarti mengumbar dendam sejarah. Semangat cinta dan kepekaan kemanusiaan yang lebih tinggi menjadi sesuatu yang langka. Fanatisme kembali dihalalkan bukan hanya dalam mengultuskan seseorang, tetapi juga di dalam membenci seseorang.
Akhirnya, konflik politik tak pernah berkaitan dengan konflik budaya atau ideologi yang bermutu. Malah watak kekanak-kanakan yang mengemuka. Lihatlah misalnya ketika Amien Rais mengajukan gagasan tentang negara federal yang sebenarnya merupakan pintu masuk bagi suatu perdebatan bernuansa ideologis demi mengakomodasi situasi politik nasional secara realistis. Beberapa kelompok justru menyikapinya dengan jawaban mematikan: tak ada federal-federalan! Menurut Sobary, sikap seperti inilah yang membuat bangsa ini tak kunjung cerdas dan beradab dalam berpolitik.
Berbagai persoalan rumit yang diulas Sobary dalam kedua buku ini didekati dengan kesederhanaan berpikir ala masyarakat kelas bawah. Tak heran bila kolom-kolom Sobary ini sarat dengan renungan kemanusiaan yang jernih sehingga dapat mencerahkan masalah ruwet yang menimpa bangsa ini.
Gaya Sobary yang cukup sederhana ini seakan-akan menegaskan bahwa kegagalan bangsa ini dalam membangun peradaban (dan) politik antara lain karena bangsa ini telah kehilangan cara kesederhanaan berpikir yang bertumpu kepada harkat kemanusiaan. Kebudayaan yang dibangun selama Orde Baru adalah kebudayaan yang materialistis sehingga lalai mengasah dimensi dalam pada diri manusia. Hukum dan politik berjalan tanpa bimbingan kepekaan etis, karena cara berpikir yang dikembangkan dalam sistem pendidikan cenderung bersifat birokratis. Pergaulan sosial sehari-hari dipenuhi dendam dan kebencian, sementara cinta dan kearifan dikubur dalam-dalam.
Kedua buku ini kurang lebih membisikkan hal yang sama: sudah saatnya bangsa Indonesia membentuk suatu tata kehidupan yang baru, sebagai langkah awal membangun peradaban Indonesia masa depan yang lebih baik. Menurut perspektif ini, segala aspek kehidupan harus dilihat dari kacamata peradaban dalam pengertian luas. Dan, karena peradaban adalah sesuatu yang hanya khas dimiliki manusia, maka manusia harus menjadi sentral pertimbangan bagi setiap langkah kehidupan. Inilah kiblat baru yang perlu dibangun bersama-sama menyambut kelahiran kembali dan kebangkitan bangsa ini.
Dalam buku yang pertama, Kekuasaan Tak Pernah Senyum, Sobary menyorot masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan politik dalam terang pendekatan antropologi dan kebudayaan. Pokok masalah yang dibahas cukup beragam, dari masalah moralitas politik, kepemimpinan politik, hingga masalah pembentukan budaya politik demokrasi. Sementara, dalam buku kedua, Pil Koplo dan Don Quixote, Sobary menggambarkan bagaimana lingkungan kebudayaan yang dibangun selama ini gagal memberikan ruh kehidupan baru bagi masyarakat. Persoalan-persoalan kebudayaan berkaitan dengan masalah pendidikan, agama, moralitas, atau kepemimpinan diuraikan dengan jernih.
Kelebihan buku ini tampak dalam cara bertuturnya yang sederhana, sehingga pembaca awam pun dapat bergabung dalam hiruk-pikuk kehidupan politik dan kebudayaan secara lebih berkesan. Dengan cara ini, reformasi yang dicita-citakan dapat terwujud dan menyentuh seluruh elemen masyarakat.

Read More..

Senin, 13 November 2000

Paradigma Iman yang Membebaskan

Judul Buku: Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya
Penulis: Fr. Wahono Nitiprawiro
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, September 2000
Tebal: l + 171 halaman


Agama adalah salah satu institusi sosial yang selalu diharapkan terlibat secara aktif mendukung proses transformasi sosial. Tuntutan ini mau tidak mau harus diakomodasi oleh agama, karena agama sering mengklaim sebagai pengusung nilai kedamaian, keadilan, dan kesetaraan. Ironisnya, fakta sosial yang terjadi ternyata bersifat paradoks. Di berbagai belahan penjuru dunia, agama menjadi pemicu berbagai konflik sosial.
Setting sosial masyarakat juga semakin menantang peran agama untuk menegaskan visi pembebasannya bagi masyarakat. Globalisasi ekonomi dan sosial-politik yang disponsori oleh proyek developmentalisme dan kapitalisme-global ternyata menerbitkan struktur sosial yang timpang: jurang kesenjangan yang semakin menganga, ketergantungan dunia ketiga kepada negara maju; sehingga pada tahap tertentu menghasilkan suatu kekerasan sosial yang terstruktur (institutionalized violence).
Dalam pengantarnya, Romo Wahono menegaskan bahwa teologi pembebasan semakin relevan untuk diperbincangkan terutama dalam rangka mensiasati gelombang globalisasi. Perspektif teologi pembebasan dalam melihat struktur sosial yang pincang akibat globalisasi dan ideologi pembangunan tersebut diletakkan dalam kerangka dosa sosial agama. Artinya, dalam teologi pembebasan dosa tidak semata-mata dilihat dalam kerangka individu, tetapi dilihat sebagai konsekuensi logis dari struktur sosial, politik, ekonomi, budaya, dan agama.
Karena itu, teologi pembebasan menyerukan untuk mengedepankan praksis sosial yang lebih konkret dengan komitmen keberpihakan kepada kelompok yang tertindas. Teologi pembebasan berusaha menghubungkan antara teori dan praksis dalam terang historisitas nilai dan norma agama. Berbeda dengan model teologi "konvensional", teologi pembebasan selalu mengusahakan agar kegiatan berteologi merupakan kegiatan men-"teori"-kan praksis agar dapat menghasilkan praksis yang semakin intens dan baru.
Secara historis, teologi pembebasan lahir di kawasan Amerika Latin pada dekade 1960-an. Kondisi sosial di kebanyakan negara-negara Amerika Latin ketika itu adalah keterjajahan ekonomi oleh borjuasi dan birokrasi negara setempat dengan dukungan negara-negara Amerika Utara dan negara-negara maju. Menghadapi situasi sosial yang demikian, beberapa aktivis Gereja Katolik bergerak bersama-sama rakyat (tertindas) melawan rezim diktator yang represif.
Perbedaan antara teologi pembebasan khas Amerika Latin dari teologi "konvensional" dari Amerika Utara dan Eropa terutama terletak dalam metode yang dipergunakan. Teologi Eropa dan Amerika Utara bertolak dari metode transendental Immanuel Kant, sedangkan teologi pembebasan bertolak dari metode transformasi Karl Marx. Yang pertama bekerja dengan berusaha memuaskan akal budi dengan menentukan kondisi-kondisi apriori dalam berteologi, kemudian diikuti dengan tindakan sesuai dengan iman yang telah dimengerti tadi. Sementara yang terakhir berusaha merefleksikan praksis tertentu dalam sejarah di bawah sinaran ajaran-ajaran agama.
Dari hal ini terlihat nilai lebih teologi pembebasan Amerika Latin tinimbang teologi Eropa dan Amerika Utara. Dalam teologi pembebasan, ada semacam mekanisme kritik internal yang memungkinkan tersedianya ruang kritis untuk memperbarui praksis pembebasan yang dilakukan. Sedangkan dalam teologi Eropa dan Amerika Utara, karena sisi praksis tidak ditekankan, ada kecenderungan bahwa teologi hanya akan menjadi ideologi yang semakin memantapkan status quo.
Teologi pembebasan sama sekali tidak menghendaki cara-cara kekerasan. Keberatan yang selama ini diajukan adalah bahwa teologi pembebasan kadangkala melahirkan praktik kekerasan. Menurut Romo Wahono, teologi pembebasan semestinya mengusahakan umat keluar dari belenggu penindasan ekonomi, hantu kekerasan yang melembaga, dan pembebasan dosa yang memungkinkan manusia dapat bersekutu dengan Tuhan dan semua manusia.
Teologi pembebasan pada dasarnya adalah kritik terhadap struktur agama yang bungkam berhadapan dengan struktur sosial yang tidak adil. Upaya untuk merumuskan dan mempraktikkan teologi pembebasan, karena itu, adalah upaya untuk mengingatkan kalangan agamawan untuk semakin menegaskan peran sosialnya dalam masyarakat, tanpa harus terjebak dalam sikap fanatisme sempit atau praktik politisasi agama.

Read More..

Sabtu, 11 November 2000

Potret Kerakusan Kekuasaan

Judul Buku: Mangir
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Pengantar: Savitri Scherer
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta
Cetakan: Pertama, Mei 2000
Tebal: xlix + 114 halaman


Ini adalah kisah tentang perlawanan mempertahankan kebebasan melawan pemerintahan teror yang haus kekuasaan. Inilah kisah penggunaan praktik kekerasan dan penghalalan segala cara dalam dunia politik demi meraih tahta dan kekuasaan.
Kisah drama dengan setting sosial masyarakat Jawa Tengah di akhir abad ke-16 ini terjadi setelah keruntuhan Kerajaan Majapahit di tahun 1527. Runtuhnya Kerajaan Majapahit yang memiliki wilayah kekuasaan yang begitu luas telah mengantarkan masyarakat Jawa khususnya dalam suasana transisi yang serba tak menentu. Beberapa kelompok masyarakat menginginkan menjadi penguasa tunggal di tanah Jawa. Kekuasaan yang tak lagi memusat menghidangkan aroma kekuasaan yang betul-betul memikat semua kelompok. Karena itu, tak heran bila pada akhir abad ke-16 itu, kisah-kisah tentang perebutan kekuasaan senantiasa bersimbah darah, sehingga kemudian terdengar tabu untuk dituturkan.
Drama Mangir ini adalah salah satu versi dari kisah tragis semacam itu. Mangir mengisahkan tentang persaingan menyandang kekuasaan antara Panembahan Senapati, Raja Mataram generasi kedua dalam kurun 1575-1607, dengan Ki Ageng Mangir alias Wanabaya, seorang pemuda dari perdikan Mangir, sebuah perdikan berjarak 20 km ke arah selatan Yogyakarta. Wanabaya adalah seorang pemimpin baru yang lahir dari setting sosial pasca-keruntuhan Majapahit. Jatuhnya Majapahit telah banyak melahirkan pemimpin-pemimpin masyarakat baru yang beberapa di antaranya menghendaki untuk memperluas wilayah kekuasaannya.
Panembahan Senapati bercita-cita untuk menguasai seluruh pulau Jawa. Karena itu, politik ekspansionisme ia terapkan habis-habisan. Dalam drama Mangir ini, digambarkan bagaimana Panembahan Senapati menggunakan cara-cara tertentu untuk menaklukkan perdikan Mangir.
Sementara itu, Wanabaya di desa perdikannya sendiri dikenal sebagai seorang pemimpin muda berbakat yang mampu menjaga keutuhan perdikan Mangir dari jamahan politik ekspansionis Panembahan Senapati. Tawaran Panembahan Senapati agar rakyat perdikan Mangir menyerah dan membayar upeti kepada Mataram ditolak mentah-mentah. Upaya penaklukan melalui penyerangan pasukan ternyata juga tidak berhasil, karena Wanabaya cukup cakap dalam mengatur strategi perang.
Apa yang kemudian dilakukan Panembahan Senapati untuk memuaskan nafsu kekuasaannya adalah dengan mengutus puterinya sendiri sebagai telik sandi (mata-mata) untuk mengelabuhi Wanabaya. Bersama rombongan telik sandi lainnya dengan dipimpin oleh Tumenggung Mandaraka alias Ki Juru Martani, Puteri Pambayun menyamar sebagai penari desa yang berkeliling mencari nafkah.
Nyatanya, Wanabaya benar-benar termakan dengan umpan Panembahan Senapati itu. Wanabaya akhirnya jatuh cinta pada Puteri Pambayun, seperti juga Puteri Pambayun mencintai Wanabaya. Setelah melewati perdebatan panjang antara Wanabaya dengan beberapa demang dan kawan setianya, Baru Klinting, akhirnya secara resmi Wanabaya memperistri Puteri Pambayun.
Akan tetapi, meski di antara keduanya saling mencintai, ternyata baik Puteri Pambayun maupun Wanabaya masih dapat dikelabui akal bulus Panembahan Senapati. Atas nasihat Tumenggung Mandaraka, menjelang lahirnya bayi pasangan Wanabaya dan Puteri Pambayun, diundanglah Wanabaya bersama istrinya ke Mataram untuk pertemuan keluarga. Baru Klinting, sahabat karib Wanabaya, sudah memperingatkan risiko undangan itu.
Atas dasar ini, maka Wanabaya bersama Baru Klinting kemudian menyusun langkah antisipatif bila Panembahan Senapati berniat jahat. Seluruh pasukan perdikan Mangir dikerahkan mengawal rombongan Wanabaya dan istrinya ke Mataram.
Tentu saja Panembahan Senapati bersama Tumenggung Mandaraka telah mempersiapkan jebakan dengan sebaik-baiknya. Pasukan Wanabaya berhasil dipecah selama perjalanan dengan tipuan penyambutan para penari Mataram. Di akhir kisah, tanpa basa-basi Wanabaya dibunuh, ditikam keris dan tombak prajurit Mataram.
Dalam kisah tragis tersebut, jelas Panembahan Senapati telah mengabaikan fakta bahwa Wanabaya adalah menantunya sendiri. Dalam hal ini, Panembahan Senapati konsisten dengan obsesi tunggalnya untuk menaklukkan perdikan Mangir, apapun tumbal yang harus dipersembahkan. Sesuai dengan kata-kata Panembahan Senapati: “Mataram menjanjikan mati, bagi siapa saja pembikin lemah, retak dan pecah.” Ketika ditanya oleh bapaknya, Ki Ageng Pamanahan: “Apakah seorang raja tak perlu jadi seorang bapa bagi anaknya?”, Panembahan Senapati menjawab: “Dia bapa tunggal dari anaknya yang tunggal: negara”.
Kisah Mangir yang terjadi di akhir abad ke-16 ini baru diangkat dalam bentuk karya sastra pada akhir pemerintahan Raja Mataram Amangkurat I (1645-1677) dalam buku Babad Tanah Jawi, terpaut sekitar seratus lima puluh hingga dua ratus tahun dari waktu kejadiannya. Karena itu, kata Pram dalam pengantarnya, ada banyak versi yang beredar dalam masyarakat, termasuk juga usaha-usaha penghalusan cerita melalui sanepa atau kiasan yang banyak dijumpai dalam Babad Tanah Jawi. Ini berkaitan dengan ketergantungan para pujangga zaman dahulu terhadap kekuasaan politik kerajaan.
Usaha Pram dalam buku ini dengan mengangkat tradisi lisan yang berkembang di masyarakat Jawa tentang kisah Mangir patut dihargai. Selama ini, kisah Mangir hanya menjadi kisah yang cukup tabu untuk dipentaskan kepada khalayak umum, karena seperti mengandung unsur subversif terhadap mainstream kekuasaan.
Letak penting kisah ini akan semakin nyata bila dilihat dari kacamata antropologi politik khas masyarakat Jawa. Seperti disinggung oleh Savitri Scherer dalam pengantar buku ini, proses suksesi dan regenerasi politik serta kekuasaan dalam masyarakat Jawa ternyata selalu gagal berjalan tanpa konflik yang tajam. Pergantian kekuasaan selalu diperagakan dengan kekerasan, atas dalih pelanggaran tata-krama sosil menurut definisi penggenggam kekuasaan. Konsekuensinya, proses pendidikan politik antar-generasi untuk menghasilkan generasi politik yang tangguh dan bervisi jauh ke depan selalu tertunda.
Drama Mangir yang ditulis Pram ketika ia masih berstatus sebagai tahanan politik di Pulau Buru ini patut diapresiasi bersama untuk menyingkap warisan sejarah yang bisa jadi masih tidak jauh berbeda dengan realitas sosial saat ini, atau, setidaknya masih membayangi dalam nalar politik masyarakat Indonesia sehari-hari.

Read More..