Sabtu, 10 Desember 1994

Embah Perlu Beli Kacamata (Komentar Balik Buat Embah Naw)

Menarik sekali tulisan Embah Naw pada Edisi IV yang lalu dalam menanggapi tulisan kami yang telah dimuat pada Edisi III sebelumnya dengan judul Sekolah Masuk, Siswa Ngantuk, Sekolah Libur, Siswa Terhibur.
Jika kita hanya membaca tanggapan Embah Naw—selanjutnya akan kami sebut dengan ‘Embah’ saja—secara sepintas dan sekilas saja, maka sulit sekali rasanya bagi kita untuk dapat menarik kesimpulan dari tulisan itu. Karena memang—jika kita teliti—tanggapan Embah masih belum begitu jelas dan terkesan absurd. Ini karena beliau terlalu banyak memakai kata-kata majaz (yang menurut ilmu balaghah mengandung ta’qid manawi, sehingga dianggap tidak fashahah) dan menurut kami, maaf, kurang berurutan atau tidak sistematis. Tapi hal ini tidak lain terjadi mungkin karena menilik latar belakang beliau yang amat menyukai dunia filsafat yang memang penuh dengan keruwetan-keruwetan.
Namun, setelah kami mencoba memaksakan untuk memahaminya akhirnya kami dapat menarik beberapa kesimpulan. Pertama, tulisan Embah sebenarnya lebih tepat disebut sebagai saran dan harapan dari beliau. Sebab ternyata tulisan Embah dititiktekankan dan diarahkan ke sana. Kedua, beliau mengganggap kritik yang kami lontarkan terlalu keras dan tidak etis, khususnya mengenai kritik atas metode mengajar guru. Yang dalam hal ini Embah kemudian menawarkan pandangannya, yaitu agar siswalah yang seharusnya menyesuaikan dirinya terhadap metode mengajar seorang guru.
Dari point kedua itu, penluis merasa bahwa Embah terkesan terlalu terburu-buru dan ingin menyederhanakan permasalahan. Padahal permasalahan yang ada di dunia pendidikan kita amatlah kompleks dan butuh suatu pemecahan yang segera, efektif, dan logis.
Memang, kritik itu tidak dan janganlah asal ngomong dan asal bicara. Tapi, apabila kita melihat permasalahan yang kita hadapi ini lebih jauh lagi ke depan (progresifistik), maka sebenarnya hal-hal yang demikian itu perlu juga walaupun kurang etis. Itu semua (baca: kritik yang telah kami lontarkan) adalah didasarkan atas suatu pertimbangan yang cukup masuk akal. Di mana kondisi siswa kita yang sangat memprihatinkan dan boleh dikatakan mengalami degradasi. Akan sangat nampak sekali hal ini jika kita komparasikan dengan kondisi siswa-siswa dekade 80-an yang pada waktu itu bisa disebut sebagai ‘masa keemasan’. Sebab pada kondisi di mana sarana belajar amat terbatas, tapi sekolah dapat menelorkan siswa-siswa yang cukup berprestasi, walau memang juga merupakan faktor-faktor yang lain. Jauh berbeda sekali dengan siswa-siswa dekade 90-an ini, yang sangat memprihatinkan. Sedangkan sarana-sarana belajar untuk mereka sudah begitu lengkap.
Maka kami sangat sependapat sekali dengan apa yang telah dikatakan oleh Syeh Mushthafa al-Ghalayini dengan ungkapannya yang kas bahwa jika mereka tidak segera dibangunkan dari tidur mereka, maka kain kafan akan segera dibentangkan dan kubur kita akan segera digali.
Dengan pertimbangan inilah, sikap yang kami ambil pada hakikatnya sangatlah mendesak dan signifikan. Tapi, ada satu hal yang perlu diingat bahwa apa yang telah kami lontarkan itu perlu adanya dukungan dari berbagai pihak dengan penuh pengertian terhadap permasalahan yang ada.
Kemudian, mengenai tawaran Embah dalam hal metode mengajar guru, yaitu agar siswa yang mengadaptasikan dengan metode yang digunakan oleh guru itu sendiri, maka hal ini masih menimbulkan suatu pertanyaan. Yaitu: apakah siswa itu dapat mengadaptasikan dengan metode seorang guru jika metode yang dipakai itu memang sudah tidak up to date lagi?!
Inilah sebenarnya yang menjadi permasalahan utamanya. Untuk itulah seorang guru seharusnya dapat memilih dan menformulasikan teori atau metode dalam mengajar. Dalam hal ini, perlu pula dicatat bahwa teori mengajar itu perlu dan harus didasaran atas metode belajar. Sebab, keduanya adalah merupakan dua hal yang integratif, sehingga antar keduanya akan saling memberi pengaruh. Tapi, walau bagaimanapun gurulah yang mempunyai otoritas tertinggi yang menentukan dalam membina dan mengarahkan siswa.
Oleh karena itulah, guru yang bijaksana akan berusaha untuk memahami kondisi siswa dengan melalui pendekatan psikologis ataupun pendekatan logis. Mungkin dengan ini siswa dapat termotivasi dalam menempuh pendidikan dan dalam belajar.
Wallahua’lam.


Tulisan ini dipublikasikan di “Fokus”, Majalah Dinding Kelas 1-A Madrasah Aliyah 1 Annuqayah edisi V, 10 Desember 1994.

Read More..

Senin, 14 November 1994

Sekolah Masuk, Siswa Ngantuk, Sekolah Libur, Siswa Terhibur

Sudah merupakan gejala umum dalam masyarakat siswa, bahwa telah ada dua jenis penyakit yang rupanya tengah terjangkit, yang itu akan dapat menjadi kendala utama untuk mencapai tujuan pendidikan di sekolah. Adapun dua jenis penyakit ini sifatnya adalah psikologis, yang tidak jarang berlanjut dengan aksi fisik yang tidak etis dan konstruktif.
Jenis yang pertama adalah ketidak-semangatan siswa dalam mengikuti materi pelajaran yang disajikan oleh guru. Ketidak-semangatan dalam belajar ini—jika dibiarkan—akan menjadikan suasana belajar yang lesu, loyo dan tidak sehat. Maka sekaligus akan sulit untuk mengkader siswa-siswa yang berkualitas baik dan handal.
Pada hakikatnya ketidak-semangatan siswa ini disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal ini dapat berupa dua hal, yang pertama adalah kurangnya pemahaman siswa terhadap maksud dan tujuan mempelajari suatu materi pelajaran. Hal ini tidak dapat dianggap sebagai suatu hal yang sepele, sebab niat memang menempati posisi kunci dalam melaksanakan suatu aktivitas hidup. Untuk itulah, sebelum memberikan suatu materi untuk siswa, guru harus dapat memantapkan pemahaman siswa mengenai hal ini, lebih-lebih untuk materi pelajaran yang sifatnya praktis.
Yang kedua adalah siswa masih belum mampu dalam menyerap dan menerima materi yang disajikan guru. Ini disebabkan karena siswa hanya menerima kepada apa yang disajikan oleh guru di sekolah, tanpa berusaha mencari pengetahuan tambahan di luar jam sekolah. Siswa yang semacam ini, dalam menerima pelajaran, akan sedikit mengalami kesulitan karena wawasan keilmuannya yang sempit. Maka siswa itu haruslah dinamis.
Sedang yang kedua adalah faktor eksternal, dapat berupa sistem pendidikan yang tidak dialogis, dengan terlalu aktifnya guru dalam melangsungkan proses belajar-mengajar. Ini akan menjadikan siswa pasif, sehingga siswa merasa tidak turut punya andil dalam proses pendidikan. Sistem CMGASP (Cara Mengajar Guru Aktif Siswa Pasif) ini juga akan mengakibatkan siswa tidak akan berusaha untuk mencari pengetahuan tambahan di luar sekolah.
Kadang-kadang masih ada juga sebagian guru yang kurang mampu menyajikan materi pelajarannya dengan baik, dan kurang sistematis. Sehingga siswa sulit untuk memahaminya, dan siswa dapat menajdi bosan dengan rutinitas belajar mereka karena adanya guru mereka yang “belum begitu profesional” (baca: penyampaiannya kaku).
Hal ini jugalah yang dapat mengakibatkan timbulnya penyakit yang kedua, yaitu kegembiraan (“keterhiburan”) siswa bila gurunya tidak masuk.
Namun selain itu perlu pula dikaji mengenai sikap dan pandangan siswa tentang ke-libur-an atau ketidakhadiran guru ini dalam beberapa aspek. Agar penilaian kita terhadap siswa dan guru dapat obyektif.
* * *
Dari beberapa paparan di atas, rasanya perlu sekali diadakan langkah-langkah antisipatif terhadap kedua jenis penyakit tersebut.
Langkah tersebut yang penulis tawarkan adalah adanya saling pengertian antara guru dan siswa untuk dapat menciptakan kondisi belajar yang lebih kondusif. Langkah ini sebenarnya masih memerlukan suatu reinterpretasi kontekstual dalam operasionalnya yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan belajar yang ada.
Mungkin dengan kiat di atas, tujuan esensial pendidikan dapat kita capai, yaitu untuk mencetak pribadi-pribadi yang mandiri dan dapat bersikap dewasa.


Tulisan ini dipublikasikan di “Fokus”, Majalah Dinding Kelas 1-A Madrasah Aliyah 1 Annuqayah edisi III, 12 November 1994.

Read More..

Sabtu, 17 September 1994

Tanggung Jawab

Ternyata, hubungan interaktif antara seorang guru dengan siswa-siswanya sangatlah erat. Hubungan ini adalah merupakan suatu relasi dalam bentuk kontrak belajar yaitu belajar mengajar bagi seorang guru dan belajar ilmu pengetahuan bagi seorang siswa.
Tentunya sebagai seorang siswa, demikian juga guru, masing-masing memiliki tanggung jawab dan tugas-tugas yang harus dipenuhinya. Tanggung jawab dan tugas ini sangat menentukan sukses tidaknya proses belajar mengajar di suatu sekolah. Di samping itu, tanggung jawab ini tidak saja bersifat horisontal (sosial-masyarakat), tetapi juga bersifat vertikal. Dengan demikian beban moral seorang guru dan siswa sangat berat, karena ini akan dipertanggung jawabkannya di masyarakat, dan kepada Allah SWT.
Dalam sebuah bukunya yang berjudul Ihya’ Ulumuddin, Imam Ghazali menulis bahwa tugas/tanggung jawab seorang siswa yang harus dipenuhi adalah membersihkan jiwa. Beliau mengambil contoh pendekatan dengan ibadah shalat. Shalat, demikian tulisa beliau, merupakan ibadah lahiriah, karena itu harus membersihkan beberapa anggota tubuh dulu dengan berwudlu’. Demikian juga dengan menuntut ilmu, sebelumnya kita harus membersihkan batin kita dari sifat-sifat yang tidak terpuji, karena mencari ilmu itu pada hakikatnya adalah ibadah batiniah (Ihya’ Ulumuddin, I/49).
Pandangan semacam ini memang merupakan suatu hal yang patut untuk dibenarkan. Karena kalau kita mempelajari tentang strategi dakwah Rasulullah saw, memang banyak didasarkan kepada kebersihan hati (sopan santun, tatakrama, dll). Sehingga dengan itu beliau dapat mengemban misi kerasulannya dengan penuh sukses.
Mengenai hal ini buku-buku lain yang berbentuk buku-buku klasik seperti buku Ta’limul Muta’allim, juga banyak menekankan tatakrama terhadap guru dalam belajar. Bulan Juli yang lalu di Surabaya diadakan pertemuan antar ulama, yang membahas masalah eksistensi buku tersebut dengan beberapa tinjauan. Dalam pertemuan itu para ulama memutuskan beberapa keputusan. Di antara beberapa keputusan itu, ada satu keputusan yang sangat menarik mengenai buku itu. Yaitu karena memandang pentingnya buku tersebut, para ulama akan mengusulkan agar buku tersebut dijadikan materi pelajaran di sekolah sebagai pedoman dalam melaksanakan proses belajar siswa (AULA, edisi Agustus 1994).
Dari semua itu kita tidak dapat menolak untuk menerima urgensitas tatakrama itu dalam dunia pendidikan. Sebab, bagaimanapun juga seorang siswa yang bertanggung jawab akan berpegang teguh kepada konsep ini dan melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab. Juga, dia harus dapat menempatkan dirinya sebagai seorang siswa yang hakiki.
Sementara itu mengenai hal tanggung jawab seorang guru, Imam Ghazali lebih menekankan kepada sikap yang menyejukkan dalam menyikapi siswa, karena dengan itulah komunikasi antara siswa dan guru akan lebih akrab. Bahkan, hubungan ini diumpamakan sebagai seorang anak dan ayahnya (Ihya’ Ulumuddin, I/55).
Tapi, jika suatu saat terjadi seorang guru bersikap kasar terhadap siswanya, tidak berarti dia telah menyalahi apa yang digariskan Imam Ghazali. Bisa jadi hal itu karena kesalahan dari siswa itu sendiri, yang telah bertindak melampaui batas, sehingga dengan terpaksa sang guru bersikap demikian.
Di samping itu guru harus dapat bersikap yang bijaksana, edukatif, dan prospektif, sehingga siswa juga dapat berperan aktif dalam proses pendidikan itu sendiri. Dengan demikian, diharapkan nanti akan tercipta siswa-siswa yang dinamis, dan kreatif dalam menyikapi masalah-masalah di lingkungannya.
* * *
Dari beberapa uraian di atas, telah jelas tugas dan tanggung jawab ang mendasar bagi seorang siswa dan guru ang kami kutip dari buku Ihya’ Ulumuddin. Jika hal itu memang dijalankan dengan baik dan konsisten, kemungkinan besar proses belajar mengajar akan menghasilkan sebagaimana yang diharapkan. Insya Allah.


Tulisan ini dipublikasikan di “Fokus”, Majalah Dinding Kelas 1-A Madrasah Aliyah 1 Annuqayah edisi II, 17 September 1994.

Read More..

Sabtu, 13 Agustus 1994

Siswa Baru dan Popularitas

Memasuki tahun ajaran baru, apalagi di tingkat atau jenjang pendidikan yang berbeda, akan kita jumpai beberapa siswa yang merupakan ‘siswa baru’ bagi kita karena masih belum kita kenal. Hal itu adalah merupakan suatu hal yang wajar dan biasa terjadi serta memiliki hikmah yang sangat besar. Diantaranya adalah menambah teman, yang pada pokoknya adalah menjalin semangat ukhuwah di antara siswa yang lain. Di sinilah nilai intrinsik seorang sahabat yang berorientasi atas asas sosial, bukan atas asas materialistis ataupun untuk kepentingan pribadi.
Sementara itu, kalau kita amati secara serius pada saat-saat yang demikian muncul fenomena-fenomena yang sebenarnya tidak patut terjadi. Diantaranya hal-hal yang sering terjadi itu adalah semakin banyaknya sikap dan tindak tanduk siswa yang mengarah kepada suatu keadaan yang disebut popularitas. Diakui atau tidak, kecenderungan ini sudah mulai memasyarakat dikalangan siswa, khususnya bagi siswa yang kurang berfikir progresif.
Banyak jalan menuju Roma, demikian pepatah mengatakan. Pun juga banyak jalan menuju popularitas. Mayoritas jalan yang mereka tempuh adalah dengan mengamalkan sebuah pepatah arab yang artinya kencingi air zamzam, maka kau akan dikenal (populer). Dalam arti mereka menggunakan dan mempraktekkan apa yang disebut khâriq li al-‘âdah, atau dalam bahasa sehari-hari kita kenal dengan tampil beda.
Yang dimaksud dengan tampil beda di sini adalah dalam artian segala sikap siswa yang mengarah kepada popularitas yang dimanifestasikan kepada hal-hal yang negatif. Kita ambil suatu contoh misalnya ada seorang siswa yang sering berusaha untuk membuat teman-temannya tertawa dengan tindakannya yang amoral, bahkan dia memang sudah merekayasa dengan beberapa temannya untuk itu.
Aksi seperti contoh di atas tentunya akan menimbulkan reaksi-reaksi yang berbeda, tergantung kepada yang menerima yaitu guru dan siswa yang lain.
Namun pada umumnya reaksi dan tanggapan para siswa juga mengarah kepada hal-hal yang negatif. Ibarat penyakit menular, kecenderungan ini akan menular kepada siswa-siswa yang lain dengan cepat dan tidak disadari. Hal inilah yang dapat menjadikan komunitas siswa menjadi suatu komunitas yang popularitas-sentrisme. Jika sudah demikian, suasana kelas dalam proses belajar mengajar pun akan terganggu.
Untuk itulah diperlukan langkah-langkah antisipatif guna mencegah agar ‘wabah’ ini tidak dapat menular kepada siswa yang lain, karena sebagaimana dikatakan oleh orang-orang bijak bahwa tindakan preventif lebih baik daripada tindakan kuratif.
Dalam hal ini siswa bertindak langsung sebagai subyek dan obyek. Dalam artian siswalah juga yang berperan aktif untuk mencegah agar gejala-gejala ini tidak berlanjut. Sedang siswa-siswa yang lain yang selamat dari ‘wabah’ ini hendaknya berusaha untuk menjaga dirinya dan kemudian membantu siswa yang lain untuk kembali kepada nilai hakiki seorang siswa, yang berakhlak yang baik.
Tak kalah besar pula perannya ialah guru selaku tokoh sentral dalam proses belajar-mengajar. Seorang guru hendaknya dapat bertindak tegas terhadap gejala ini dan dapat bertindak sebagai pengayom siswa dalam menciptakan iklim belajar yang sehat.


Tulisan ini dipublikasikan di “Fokus”, Majalah Dinding Kelas 1-A Madrasah Aliyah 1 Annuqayah edisi I, 13 Agustus 1994.

Read More..