Dahulu, ketika negeri ini masih berada dalam cengkeraman rezim totaliter Orde Baru, banyak orang yang mengimpikan datangnya babak pembebasan: sebuah ajang ekspresi bebas tuduhan subversi yang memberi ruang luas bagi ekseprimentasi gagasan dan harapan suci. Sang Mesiah pun datang dengan nama Reformasi. Nabi tanpa kitab suci ini pun dikutip di mana-mana, yang seperti menjanjikan pembebasan semua warga negara untuk merayakan otonominya.
Gelora gairah tibanya reformasi dirasakan melecut semua hal, dari konstelasi politik nasional hingga lokal. Di tingkat lokal, lalu-lintas peristiwa terjalin amat kental karena secara langsung melibatkan persepsi dan partisipasi masyarakat bawah terhadap manuver elit-elit masyarakatnya. Angin perubahan yang dihembuskan arus reformasi pada beberapa kasus lokal terlihat begitu kuat, terutama menyangkut perubahan konfigurasi-konfigurasi politik yang direpresentasikan oleh kekuatan partai politik. Sebuah partai yang dahulu menjadi kekuatan mayoritas bisa jadi terpuruk habis kekuatannya karena sudah tidak mempunyai kesempatan untuk membodohi rakyat, atau dukungannya beralih ke partai lain yang baru didirikan.
Partai politik pun menjadi sebuah kekuatan politik baru yang cukup mendapat peluang terbuka untuk menggalang kekuatannya tanpa harus cemas pada ancaman politik dan intimidasi pihak penguasa yang dulu bekerja sama dengan kekuatan militer. Fenomena di daerah memperlihatkan bahwa berbagai kekuatan elit masyarakat yang pada masa Orde Baru bersikap netral (mungkin apatis, sinis, atau pesimis) terhadap kekuatan partai politik mulai keluar ke forum publik dan mencari tempat yang cocok di berbagai kekuatan politik yang ada. Paska-pemilu pun konstelasi semakin berubah: pos-pos kekuasaan yang cukup signifikan dipegang kelompok yang dulu terpinggirkan. Di sinilah pluralisme kekuatan politik betul-betul terlihat.
Pertanyaan sederhana yang cukup menggelitik bisa diajukan dalam konteks kiprah baru para elit masyarakat ini di kancah partai politik dan kekuasaan: apa yang sudah dan dapat diperankan mereka untuk memanfaatkan peluang reformasi guna memperbaiki kehidupan masyarakat? Tentu yang paling berhak menjawab hal ini adalah para elit sendiri sehingga pertanyaan ini mesti dilihat dari sisi reflektif-introspektif, bukan dari sudut pandang interogatif.
Tumpahnya berbagai kekuatan elit masyarakat ke kancah partai politik adalah bagian dari euforia reformasi, ketika sentralisme kekuasaan pecah berkeping-keping. Kepingan-kepingan itu tentu saja dipandang cukup layak diperebutkan sehingga dalam level tertentu terlihat betapa perebutan bola kekuasaan sedemikian keras. Ini yang terkadang membuat kita khawatir: akankah iklim kebebasan berekspresi hanya akan memperkokoh primordialisme dan komunalisme?
Kembali ke soal partai politik, mungkin kita perlu mundur sedikit ke belakang menyegarkan ingatan dan pengertian kita tentang apa sebenarnya partai politik, keterbatasan dan jangkauan perannya. Dalam buku klasik para mahasiswa ilmu politik yang ditulis oleh Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, dinyatakan bahwa partai politik bertujuan ‘untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka’ (1996: 161). Jelas bahwa partai memang lebih mengagendakan penguasaan pos-pos kekuasaan, tentu dengan niat untuk mewujudkan orientasi nilai bersama (visi dan misi) yang dimiliki kelompok tersebut.
Persoalan yang bisa diajukan adalah bagaimana bila nyatanya pengelola partai politik itu sendiri, terutama di daerah, masih relatif miskin visi dan orientasi sehingga yang terjadi hanya semacam seremonialisme dan birokratisme. Dugaan ini terutama muncul dalam konteks partisipasi dan sosialisasi politik. Bagaimanapun, selain agenda kekuasaan yang terepresentasi dalam momen pemilu, partai politik juga (mestinya) mengemban fungsi komunikasi dan sosialisasi politik. Artinya, partai politik juga harus dapat membantu masyarakat untuk ‘memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik’ (Miriam Budiardjo, 1996: 163). Dalam ungkapan sederhana, partai politik harus bisa memberi pengertian yang proporsional bagi masyarakat terhadap persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi mereka sehari-hari di daerah (ekonomi, sosial, dan politik). Kemampuan pembacaan inilah yang saat ini dibutuhkan, sehingga akhirnya masyarakat dapat memiliki sikap kritis dan menjadi modal awal untuk advokasi diri mereka sendiri.
Kenyataannya, partai politik lebih suka membiarkan rakyat buta warna: mereka lebih suka tetap dijadikan bebek, sehingga suara mereka nanti tetap dapat dijaring dalam pemilu.
Jalan pembebasan dan arah perbaikan yang lebih maju yang dtempuh via partai politik memang tidak bisa diabaikan signifikansinya. Tapi di tengah mandulnya fungsi-fungsi partai politik ini, mestinya para elit masyarakat dapat menimbang dan lebih menegaskan kembali pilihan keterlibatannya untuk memperjuangkan masyarakat ini, sehingga langkah-langkah yang diambilnya tidak sia-sia. Apalagi bila sebenarnya beberapa elit tersebut sudah memiliki peran yang cukup definitif di komunitasnya.
Catatan terakhir yang hendak dirangkum uraian singkat ini adalah bahwa di atas segalanya, agenda reformasi dan agenda politik terpenting pada dasarnya selalu bertumpu pada agenda peradaban. Politik adalah salah satu segi kehidupan kemanusiaan, seperti juga ekonomi atau agama. Cukup tepatlah kiranya kemudian untuk mengatakan bahwa dengan demikian politik juga harus diletakkan dalam kerangka agenda peradaban, penciptaan masyarakat yang lebih beradab yang mampu bersifat tanggap, jernih, dan proporsional. Partai politik adalah salah satu media ke sana, dengan segala keterbatasan dan kelebihannya.
Dengan melihat politik sebagai sebuah kerja peradaban, maka konsen politik pada dasarnya bukan hanya pada soal “kekuasaan”. Politik bukan hanya kerja sesaat untuk menggenggam tampuk otoritas kekuasaan, tapi politik adalah kerja antar-generasi untuk menjunjung martabat kemanusiaan dengan sinaran permata-suci keberadaban. Karena itulah, kepedulian terhadap soal pencemaran lingkungan, peningkatan taraf pendidikan (kemampuan baca-tulis, minat belajar), konservasi warisan budaya, juga dibutuhkan.
Setelah reformasi lima tahun berlalu, sebagian besar masyarakat kembali terjebak dalam lalu-lintas keseharian yang tak kalah pelik, dan terkadang melupakan bahwa apa yang hendak direformasi itu bukan hanya mengacu kepada orang-orang, melainkan sejumlah sikap dan perilaku, sejumlah cara pandang, ketika masyarakat diperlakukan hanya sebagai objek tak berkesadaran dan ditelantarkan begitu saja.
Tulisan ini dimuat di Harian Pontianak Post, 23 Mei 2003.
Sabtu, 24 Mei 2003
Agenda Kekuasaan dan Agenda Peradaban
Label: :: Published - All ::, Social-Politics
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar