Jumat, 10 Mei 2013

Sisi Moral Sepeda Gembira


Adakah sisi moral yang harus dipertimbangkan dalam pelaksanaan sepeda gembira atau fun bike? Pertanyaan ini mengemuka saat Kamis (9/5) kemarin saya bersama rekan-rekan Komunitas Meddal Annuqayah (KoMA) mengikuti Sumenep Fun Bike 2013 yang dilaksanakan oleh Dinas Budaya, Parisiwata, Pemuda, dan Olahraga (Disbudparpora) Kabupaten Sumenep.

Pertanyaan ini muncul tepatnya setelah kami selesai menuntaskan rute sepeda gembira yang ditetapkan panitia, yakni di sekitar kota Sumenep. Setelah memarkir sepeda di area akhir rute yang akan menjadi tempat pengundian, saya dan rekan-rekan mengambil air minum dalam kemasan yang telah disediakan panitia. Kebetulan persediaan air minum yang saya bawa dalam botol minuman sudah hampir habis setelah menempuh jarak sekitar 26 kilometer dari Guluk-Guluk ke kota Sumenep.

Saya memasukkan air minum itu ke dalam botol saya. Setelah tertuang semua, saya jadi kebingungan karena saya tak melihat ada tempat sampah di sekitar tempat itu. Rekan setim dari KoMA juga tampak kebingungan mencari tempat sampah. Setelah melihat kanan kiri dan tak berhasil menemukan tempat sampah, saya mencoba bertanya ke salah seorang panitia yang ada di panggung. Ternyata dia juga tidak tahu.

Singkatnya, akhirnya saya menemukan tempat sampah di depan Kantor Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Sumenep yang berjarak sekitar 140 meter dari tempat acara.

Pengalaman inilah yang memunculkan pertanyaan di atas: adakah sisi moral yang harus dipertimbangkan dalam pelaksanaan sepeda gembira atau acara-acara lain yang melibatkan banyak orang dan berpeluang untuk menghasilkan banyak sampah? Saya tidak tahu persis berapa peserta sepeda gembira kemarin. Sepengamatan saya, jumlahnya ratusan. Atau bahkan bisa lebih seribu orang. Bayangkan, bagaimana jadinya jika sepuluh persen saja dari peserta yang ada tak menemukan tempat untuk membuang sampah dan akhirnya membuangnya sembarangan. Kenyataannya, kemarin saya memang menyaksikan sampah botol minuman berserakan di mana-mana di area acara.


Di sisi utara dan selatan lapangan yang menjadi tempat acara saya juga melihat ada orang berjualan minuman menggunakan gelas plastik. Mereka berjualan dengan tenda yang tampaknya disediakan panitia. Namun saya lihat mereka tak menyediakan tempat sampah sehingga pembeli tampaknya kemudian membuang sampah secara sembarangan.

Pertanyaan seperti yang saya kemukakan di atas pernah menjadi bahan diskusi di salah satu kelas saya saat kuliah Etika Terapan di Utrecht University, Belanda. Kebetulan di antara teman sekelas saya ada seorang dosen NHTV Breda University, Belanda, yang meminati studi turisme dan dia kerap kali mengungkap sisi moral dari turisme. Misalnya, sering kali dia melihat pengelolaan sampah di tempat wisata kurang baik sehingga justru merugikan penduduk setempat. Atau bahkan turisme juga bisa berdampak buruk dari sisi kesehatan karena penyakit yang dibawa oleh para pelancong yang tidak diatur dan dikendalikan oleh para pengelola atau pengambil kebijakan terkait.

Apa yang saya alami dalam kegiatan sepeda gembira kemarin bagi saya memperlihatkan bahwa rupanya panitia, dalam hal ini Disbudparpora Kabupaten Sumenep, lupa untuk memperhatikan sisi kebersihan yang mungkin muncul dalam bentuk negatif dari kegiatan yang mereka laksanakan. Memang, mereka bukan dinas yang bertugas untuk menjaga kebersihan. Tapi saya pikir lembaga seperti dinas budaya dan pariwisata mestinya memiliki visi kebersihan yang menurut saya merupakan salah satu nilai (moral) mendasar baik dalam budaya maupun pariwisata.

Saya mencatat sisi moral sepeda gembira ini sekaligus sebagai pengingat bagi saya pada khususnya, juga Komunitas Meddal Annuqayah (KoMA), dan kita semua pada umumnya, agar bisa cukup peka dan lebih utuh dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Kesukaan bersepeda, misalnya, dalam pandangan saya di antaranya menunjukkan pandangan dasar untuk menghargai bumi dengan mengurangi pencemaran udara yang mungkin muncul jika kita menggunakan kendaraan bermotor. Visi semacam ini mestinya harus lebih utuh dan juga dikuatkan, misalnya, dengan juga mendorong kebiasaan untuk tidak membuang sampah secara sembarangan. Akan terasa lucu misalnya jika ada sebuah komunitas sepeda yang para anggotanya ternyata cukup sering melakukan sesuatu yang tidak ramah lingkungan.

Tulisan ini juga saya tempatkan sebagai pengingat untuk saya pada khususnya agar saat melaksanakan kegiatan yang melibatkan banyak orang, saya harus juga memikirkan sisi kebersihan dan kemungkinan sampah yang akan dihasilkan oleh para peserta. Tak hanya menyediakan tempat sampah, dalam kegiatan semacam ini panitia pelaksana juga seharusnya mengingatkan kepada para hadirin atau peserta untuk menjaga kebersihan dan bertanggung jawab pada sampahnya masing-masing.

Dengan langkah seperti ini, maka kegiatan apa pun, entah itu sepeda gembira, pengajian agama, lomba-lomba, atau yang lainnya, juga akan memiliki nilai lebih sebagai pendidikan moral yang saya pikir akan lebih manjur untuk bisa tertanam dalam diri kita masing-masing. Dengan seperti itu juga, berarti kita turut mengambil langkah bersama untuk menjaga bumi yang lebih lestari.

Read More..

Selasa, 07 Mei 2013

Bincang Profesi untuk Mendorong Refleksi


Sependek pengamatan saya, di lingkungan sekolah secara umum guru-guru cukup jarang berbincang hal-hal yang berkaitan dengan profesi mereka secara intens. Lebih jauh lagi, tidak banyak upaya yang dilakukan sekolah untuk mendorong guru-guru merefleksikan kegiatan yang terkait profesi mereka sehari-hari.

Kegiatan rapat di sekolah lebih banyak mengangkat masalah teknis. Dalam pengalaman saya, rasanya agak sulit membawa perbincangan rapat yang memang cukup formal ke tema-tema reflektif. Maka gagasan tentang “professional talk” atau “bincang profesi” bagi saya menjadi menarik untuk dicoba dilakukan di sekolah.

Saya belajar tentang professional talk atau bincang profesi ini pada hari Sabtu (4/5) kemarin dalam sebuah kegiatan yang dilaksanakan oleh Ikatan Guru Indonesia (IGI) di Surabaya. Bertempat di Pecel Bu Kus di Jalan Barata Jaya 17, Surabaya, acara ini menghadirkan dua nara sumber: Itje Chodidjah (seorang praktisi pendidikan dari Jakarta) dan Dhitta Puti Sarasvati (Direktur Riset dan Pengembangan Program IGI).

Bincang profesi pada dasarnya merupakan kegiatan yang sederhana. Ia berupa kegiatan berbincang-bincang secara ringan berkaitan dengan berbagai pernik dunia pendidikan atau secara lebih khusus lagi kegiatan pengajaran di kelas. Bincang profesi ini mengasumsikan bahwa guru punya banyak pengalaman sehari-hari yang menarik yang bisa dibagi dan direfleksikan bersama.

Hal sederhana yang dibicarakan bisa saja akan membutuhkan waktu yang cukup panjang jika terus digali dan dikembangkan dengan baik. Pada pertemuan Sabtu kemarin, dua nara sumber mencoba mengemukakan topik sederhana untuk dibincangkan oleh para guru yang hadir. Ada yang berupa foto salah satu pajangan di kelas yang diamati dan kemudian dikomentari. Diskusi pun berkembang ke beberapa hal penting dalam pembelajaran.

Bincang profesi bisa juga berangkat dari masalah-masalah yang muncul di sekolah. Pada Sabtu kemarin, para peserta misalnya diminta untuk berdiskusi soal bullying di sekolah yang terjadi di antara sesama guru, yang menurut survei IGI merupakan salah satu masalah yang jamak terjadi di sekolah-sekolah.

Memang tak harus ada jalan keluar yang disepakati atas permasalahan yang dibicarakan. Akan tetapi, dengan berbagi dan berefleksi, paling tidak para guru memiliki persediaan rujukan dan wawasan yang semakin kaya dalam menjalani kegiatan kependidikan mereka sehari-hari. Ini juga adalah cara untuk mendorong guru-guru agar terus belajar melalui pengalaman-pengalaman sederhana di sekolah.

Selain rapat, tampaknya bincang profesi ini perlu diberi ruang tersendiri secara khusus di sekolah. Tujuannya juga agar sekolah bisa menjadi sebuah lingkungan yang reflektif, sehingga berbagai kegiatan yang kependidikan yang ada tetap terjaga untuk terus ditemalikan dengan diri guru masing-masing dan lingkungan atau masyarakat.

Read More..