Kamis, 23 Desember 2004

Sapardi, Suatu Pagi

Pagi ini, Sapardi kembali datang mengetuk pintu kamarku, menyelipkan larik-larik puisinya di antara isi tas ransel yang siap kubawa ke kantor. Di luar rintik belum reda. Biru langit bertumpuk awan. Kabut semalam belum pupus. Kalut masih menggayut. Kabut, kalut, masih tak sanggup kulawan dengan hanya berbekal selimut yang sudah terasa usang.

Hari ini aku hanya sempat mencatatkan ketakberdayaan, meski mungkin sebenarnya itu adalah sebentuk kekuatan. Biarlah, hanya hening yang mengetahui maknanya, karena kupikir dalam bilik hati yang hening, ketulusan dan kejujuran lebih menemukan tempatnya yang lapang. Karena terkadang di suatu perempatan, diam-diam ada yang dipertemukan.

Bapak Sapardi, kapankah puisi yang lain akan diantarkan buatku?


PADA SUATU PAGI HARI

Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis
sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu
hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan
sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya
kenapa.

Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk
memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin
menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-
rintik di lorong sepi pada suatu pagi.

(1973)

(Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni, Jakarta: Gramedia, Cet. II, 2003, hlm. 66)




0 komentar: