Judul buku : NU Muda: Kaum Progresif dan Sekularisme Baru
Penulis : Laode Ida
Pengantar : Martin van Bruinessen
Penerbit : Erlangga, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2004
Tebal : xviii + 248 halaman
Dalam beberapa tahun terakhir ini berkembang pemikiran yang menyatakan bahwa dikotomi modernis dan tradisionalis sudah tak lagi relevan digunakan dalam konteks komunitas Islam Indonesia, terutama bila dirujukkan pada dua organisasi besar kaum muslim, NU dan Muhammadiyah. NU, kaum sarungan yang selama ini dipandang mewakili kelompok tradisional, belakangan ternyata memperlihatkan suatu gerak metamorfosis yang tidak saja terjadi dalam level epistemologis, tapi juga dalam konteks orientasi. Mitos tradisional kalangan NU pelan-pelan terpatahkan oleh berbagai fenomena yang kian hari kian menarik itu.
Buku ini berusaha mencermati gugus-gugus komunitas yang oleh penulisnya, Laode Ida, disebut “Kelompok NU Progresif”, dalam menggalang perubahan di tubuh NU dan berbagai dinamika yang terjadi di dalamnya. Di bagian awal, Laode menggambarkan bagaimana sebenarnya dalam kultur NU perubahan itu cukup sulit dilakukan. Laode misalnya memaparkan tiga segi basis komunitas NU, yakni pesantren, yang pada tingkat tertentu cukup menjadi penghalang bagi terjadinya perubahan. Ketiga hal itu adalah otonomi kiai yang menjadi sumber legitimasi kaum pesantren dengan berbagai perangkat sosial yang semakin mendukung tingkat otoritasnya, stratifikasi dalam struktur kiai NU yang tidak hanya ditentukan posisi dan peran sosialnya di masyarakat tapi juga oleh faktor genealogis, dan ajaran-ajaran yang dikembangkan dan seringkali dipertahankan sebagai dogma. Selain itu, karena secara historis kemunculan NU sebagai sebuah organisasi cukup bercorak reaktif-defensif—lahir sebagai reaksi terhadap eksistensi kaum pembaharu yang mendirikan organisasi Muhammadiyah—maka secara teoritik ia menjadi kurang memungkinkan menerima agenda-agenda perubahan.
Namun demikian, dengan berbagai kondisi internal yang sedemikian rupa, ternyata anak-anak muda NU terbukti telah melakukan kiprah perubahan, baik ke arah internal maupun eksternal. Tentu saja ada sejumlah latar historis yang memungkinkan terjadinya perubahan tersebut. Dalam buku ini Laode mencatat ada empat hal yang menjadi konteks historis struktural bagi munculnya kelompok NU Progresif. Pertama, dinamika internal dan benturan tradisi yang muncul di tubuh NU sendiri, ketika di satu sisi muncul kelompok-kelompok NU yang memasuki wilayah gerakan yang sebelumnya belum pernah disentuh, yakni gerakan yang cenderung aktif dalam partisipasi sosial yang searah dengan proyek pembangunan Negara melalui lembaga-lembaga swadaya masyarakat, sementara di sisi yang lain muncul kritik terhadap realitas internal NU yang kurang responsif menyikapi kebutuhan dan tuntutan sosial yang saat itu terhitung baru. Kedua, tuntutan modernisasi untuk semakin memapankan pola manajerial intern NU sehingga berbagai sumber daya yang dimilikinya dapat berfungsi efektif dan maksimal.
Latar ketiga yang oleh Laode diuraikan dengan lebih panjang ketimbang latar historis lainnya adalah terjadinya kerisauan—terutama—kalangan muda NU terhadap perjalanan politik NU. Memang harus diakui bahwa kelompok mana pun mesti dan perlu bersentuhan dengan proses politik di level negara. Akan tetapi, secara intern, muncul kecenderungan bahwa keterlibatan NU dalam politik justru membuat program pengembangan masyarakat yang diembannya melalui pesantren menjadi stagnan. Sementara di satu sisi perhatian mereka pada dunia pesantren menjadi sangat terabaikan, di sisi yang lain sumber daya NU di dunia politik kadang mengalami kesulitan untuk memainkan perannya secara cantik, karena faktor pendidikan yang hanya terbatas di bidang keagamaan. Akibatnya, efektivitas keterlibatan NU di ranah politik menjadi dipertanyakan.
Belum lagi jika kalangan elit NU yang terjun di wilayah politik itu mengeksploitasi hak-hak politik warga NU, dengan terus memanfaatkan “kebodohan” massa NU yang masih terjebak dalam sistem budaya sosial patron-klien. Variabel kepentingan politis ini juga berlaku ketika pada titik tertentu tokoh-tokoh politik NU dimanfaatkan oleh Negara untuk menjadi semacam alat legitimasi bagi kebijakan-kebijakan Negara yang pada era Orde Baru sering bercorak represif dan bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Hal ini kemudian menjadikan independensi NU dari elemen-elemen kekuasaan (Negara) menjadi menghadapi tantangan besar.
Latar keempat yang menjadi titik tolak lahirnya kelompok NU Progresif adalah perkembangan gerakan HAM dan demokrasi di Indonesia. Merebaknya isu-isu HAM dan demokratisasi secara tak terelakkan juga diapresiasi oleh kelompok-kelompok muda NU. Untuk hal-hal tertentu sebenarnya isu HAM sudah merupakan bagian dari agenda-agenda kerakyatan NU, tapi dalam konteks atmosfer politik Orde Baru, persoalan ini menjadi semakin meluas ke level politik nasional.
Inilah yang oleh Laode kemudian dikatakan bahwa pola gerakan perubahan yang dilancarkan kaum NU progresif ini tidak saja bersifat sentripetal, yaitu dilakukan di basis komunitas NU itu sendiri dengan pelan-pelan masuk ke jajaran struktural NU, tapi juga bersifat sentrifugal, ketika kelompok NU progresif ini berupaya memengaruhi ke luar NU dengan pemikiran dan gerakan demokratisasi dan HAM melalui jaringan sosial yang dirajutnya. Kelompok inilah yang oleh Laode tipologinya disebut progresif-radikal dalam peta kelompok NU progresif. Laode mengidentifikasi bahwa kelompok ini diperankan oleh kelompok muda NU yang kritis terhadap kemapanan yang umumnya berbasis di perkotaan. Pemikiran dan kegiatan mereka dipandang radikal, bahkan kekiri-kirian. Gerakan mereka bisa berbentuk penyebaran pemikiran kritis maupun aliansi strategis lintas komunitas untuk mendorong perubahan yang lebih bersifat struktural dalam konteks sosial dan kenegaraan. Untuk kelompok ini Laode menyebut contoh kaum muda NU yang tergabung dalam Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta dan aktivis pergerakan yang tergabung di FORKOT dan FAMRED Jakarta.
Selain kelompok progresif-radikal ini, terdapat kelompok yang masuk dalam tipologi progresif-transformis, yaitu tokoh-tokoh muda NU yang secara intern mengupayakan penyadaran terhadap orang-orang NU sendiri dengan harapan mereka ini yang kelak akan dapat mengubah dirinya dan melakukan perubahan untuk lingkup komunitas yang lebih luas. Kelompok ini lebih banyak berkonsentrasi pada agenda-agenda internal NU dengan melakukan pembenahan pola manajerial dan pengembangan sumber daya manusia. Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU yang pertama kali didirikan di Jakarta pada 1983 dan kemudian diikuti di daerah-daerah menjadi salah satu pusat kelompok transformis ini dalam menggarap komunitas NU untuk bisa berkembang sesuai dengan tuntutan zaman.
Selain kedua tipologi radikal dan transformis tersebut, terdapat juga tipologi progresif-moderat, yaitu mereka yang memiliki ide-ide perubahan tapi tidak memiliki basis ideologi yang jelas yang secara konsisten bisa diperjuangkan. Berbeda dengan kelompok transformis yang cenderung persuasif dan kelompok radikal yang acap kali cenderung frontal, kelompok moderat ini cukup kooperatif baik dengan kekuatan intern NU maupun dengan kekuatan di luar NU.
Ketiga tipologi ini pada dasarnya tidak bersifat kaku dan dapat dipisahkan secara tegas. Dalam interaksinya pun terjadi tumpang tindih, dan secara operasional ketiga tipologi ini dapat dilihat lebih sebagai sub komunitas NU yang berangkat dari titik ideologi liberalisme yang mengupayakan revitalisasi tradisi sekaligus penemuan kembali jati diri dan kepribadian NU.
Berbagai sub komunitas ini mulai muncul dan berkiprah sejak tahun 1970-an dan hingga kini terus semakin subur seiring dengan arus perubahan politik Indonesia. Di awal kemunculannya, kelompok NU progresif ini banyak mempersoalkan kiprah NU dalam politik. Bagi kelompok NU progresif ini, gerakan politik Islam formal yang didukung oleh sejumlah politisi NU mengandung bahaya yang sangat mendasar, yaitu ketergantungan kejayaan Islam yang sangat kuat pada situasi politik formal-struktural, dan dapat mencengkeramkan benih eksklusivisme di kalangan umat.
Dari sinilah kemudian terlihat bahwa salah satu arah perubahan yang diupayakan kelompok NU progresif ini adalah dari eksklusivisme ke inklusivisme. Mereka meneguhkan kembali nilai dan sikap tasamuh, menekankan bahwa Islam adalah rahmat bagi semesta, menghargai komunitas lain, dan mendudukkan persoalan-persoalan sosial dalam bingkai kemanusiaan. Ideologi negara, yaitu Pancasila, dipandang sebagai wadah yang cukup representatif untuk konteks pluralitas masyarakat Indonesia.
Dalam tataran internal, kelompok NU progresif ini juga mencoba membongkar kejumudan berpikir masyarakat NU untuk dicerahkan dan diberdayakan. Bentuk-bentuknya bisa berupa mendorong kemandirian berpolitik warga NU yang sebelumnya sering dikooptasi oleh politisi elit NU sendiri, atau menghidupkan pikiran-pikiran kritis dan tradisi dialog. Selain arah perubahan semacam ini, juga diupayakan langkah-langkah untuk memperkuat tradisi demokrasi dan pembebasan dalam tubuh NU, terutama saat berhadapan dengan elemen-elemen kekuasaan Negara.
Berbagai aksi kelompok muda NU ditanggapi secara beragam oleh masyarakat NU pada umumnya. Ada yang terpengaruh sekaligus memberikan dukungan, ada yang bercorak defensif dan mencap bahwa beberapa perubahan yang dilakukan sudah keluar dari jalur tradisi, dan ada yang bersikap netral dan cukup akomodatif terhadap dua corak respons tersebut.
Pada saat kebebasan politik dan euforia menjadi ciri utama Orde Reformasi, berbagai elemen dari kelompok NU progresif ini seperti menghadapi situasi yang kembali sulit dan membingungkan. Sementara di awal pergerakannya mereka begitu mencurigai politik formal struktural sebagai suatu ancaman bagi ruh demokrasi dan masyarakat sipil, Orde Reformasi menawarkan sebuah ruang politis yang cukup terbuka untuk melakukan aksi yang cukup berbeda dengan yang telah diambil sebelumnya, sehingga NU sendiri akhirnya memutuskan untuk membentuk partai, yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Tak terelakkan, respons yang muncul pun dari kalangan muda ini cukup beragam, baik yang pada akhirnya turut bergabung di jalur politis, tetap mengambil jalur perjuangan seperti yang dipilih sebelumnya, atau melontarkan pikiran-pikiran kritis terhadap kalangan internal NU sendiri.
Buku ini memang tidak mengulas secara mendalam situasi dan perkembangan terkini yang dalam konteks politis dan dari sudut kepentingan NU saat ini memperlihatkan interaksi dan dinamika yang semakin menarik. Majunya Ketua PBNU, KH Hasyim Muzadi sebagai cawapres yang dipasangkan dengan Megawati, dukungan PKB pada pasangan Wiranto-Shalahuddin Wahid, dan, yang paling mutakhir, manuver sejumlah kaum muda NU dalam menyelenggarakan Musyawarah Besar Warga NU di Cirebon di bulan Oktober yang lalu, memperlihatkan bahwa tarik menarik antara elemen-elemen progresif yang bersikap kritis terhadap posisi politis NU terus terjadi—malah mungkin cenderung semakin menguat. Dalam konteks paradigmatis, ini membuat perdebatan menyangkut pemaknaan Khittah 1926 NU terus terbuka dan dilangsungkan.
Seperti yang ditulis dalam kerangka acuan yang dibuat dalam acara Mubes Warga NU di Cirebon tersebut, sejumlah kalangan muda NU tersebut memandang bahwa telah terjadi degradasi makna dan tujuan NU, ketika elit-elit NU menjadikan organisasi tersebut sebagai kendaraan politik berjangka pendek sehingga “memperlemah keberdayaan dirinya, yang kemudian berdampak pada memudarnya eksistensi keulamaan dan NU di tengah-tengah kehidupan sosial kemasyarakatan.”
Pemaknaan-pemaknaan yang berbeda dalam membaca sebuah pilihan langkah “politis” tertentu dan respons warga NU pada umumnya sepertinya akan terus menjadi faktor kunci dalam menentukan bagaimana arah perubahan yang akan terjadi dalam tubuh NU itu sendiri. Tentu saja faktor eksternal yang saat ini juga memperlihatkan arah perkembangan yang dinamis dan kadang mengejutkan akan juga menjadi faktor yang menentukan. Yang jelas, dinamika internal yang begitu kaya ini pada satu sisi sebenarnya dapat menjadi sebuah modal yang besar bagi langkah NU ke depan, asalkan semua warga NU dapat menyikapinya dengan arif dan terbuka.
Meski tidak secara spesifik membicarakan persoalan relasi NU dan dunia politik, buku yang semula merupakan disertasi di jurusan Sosiologi Universitas Indonesia ini memberikan data dan analisis yang cukup berharga bagi warga NU, terutama untuk menjadi bahan diskusi bagi perbincangan tentang bagaimana sebaiknya mendudukkan elemen sayap politik di tubuh NU itu sendiri dalam hubungannya dengan cita-cita dan tujuan NU itu sendiri. Memang, pemaparan dan pemetaan yang disajikan Laode Ida atas peta pergerakan kelompok NU progresif masih bersifat umum. Karena itu, dalam konteks otonomi daerah dan semakin dinamisnya kaum muda NU di daerah-daerah, cukup menarik kiranya jika selanjutnya dicermati bagaimana proses interaksi dan tarik-menarik itu terjadi di daerah.
Tulisan ini dimuat di Jurnal Tashwirul Afkar Edisi 17/2004.
0 komentar:
Posting Komentar