Selasa, 23 Desember 2003

Injil Muslim: "Percintaan" Islam dan Yesus

Judul buku : The Muslim Jesus: Kisah & Sabda Yesus dalam Literatur Islam
Penulis : Tarif Khalidi
Penerbit : Serambi, Jakarta
Cetakan : Pertama, Juli 2003
Tebal : 246 halaman


Yesus, atau yang dalam tradisi Islam dikenal dengan Nabi Isa, adalah sosok nabi yang keberadaannya juga diakui oleh kaum muslim. Bahkan dalam kitab suci Alquran terdapat satu surah khusus yang menceritakan kehidupan ibunda Yesus, Maria (Maryam), dan sosok Yesus sendiri cukup mendapat tempat yang mulia dalam Alquran sebagaimana Nabi Ibrahim, Musa, Daud, atau Yusuf. Namun begitu, Yesus juga adalah milik umat Kristen, yang memosisikan Yesus dalam kerangka teologis yang sangat signifikan.

Buku ini mengangkat sisi lain Yesus yang ternyata memiliki posisi unik dalam khazanah kaum muslim. Memang, kaum muslim menolak unsur ketuhanan Yesus, sebagaimana ditegaskan begitu rupa dalam Alquran. Tapi buku ini menunjukkan bahwa sosok Yesus juga cukup bermakna penting bagi kaum muslim. Buku ini menghimpun kisah dan ucapan Yesus yang penuh dengan pancaran kearifan moral dan spiritual dengan acuan kitab-kitab Islam klasik yang meliputi sekian banyak tema seperti tentang kesalehan atau peribadatan populer.

Korpus Injil Muslim ini, demikian Tarif Khalidi (penulis buku ini) menyebutnya, sudah cukup awal keberadaannya (sejak abad ke-2 H/ke-8 M) dalam lingkungan diskursif kaum muslim. Kehadirannya, selain didukung oleh sifat dasar Islam yang cukup akomodatif dalam menyerap kultur dan kearifan dari agama atau kebudayaan lain, berkembang dalam kerangka mendukung dan menjelaskan ajaran-ajaran kesalehan dalam Alquran. Secara sosiologis, Injil Muslim ini juga didorong dengan transformasi sosial-politik yang pesat dan mendalam di tubuh kekuatan Islam, sehingga pesan kesalehan Islam membutuhkan bentuk respons yang lebih beragam.

Persebaran kisah-kisah Yesus ini hadir melalui karya-karya mengenai kesalehan dan asketisme dan dalam genre pustaka keagamaan yang disebut Kisah Para Nabi (qishash al-anbiyâ’). Bahkan, dalam tema-tema eskatologi, Yesus muncul dalam antologi Hadis Bukhari dan Muslim. Proses dokumentasinya dari awal mengalami perkembangan sehingga akhirnya mirip dengan pola dokumentasi hadis yang melibatkan standardisasi periwayatan tertentu.

Buku ini mendokumentasikan 303 kisah dan sabda Yesus (dengan pengantar ringkas tentang latar korpus Injil Muslim) yang kebanyakan bertema kisah-kisah asketik dan termuat dalam kitab-kitab klasik karya ulama terkemuka seperti al-Ghazali, Ibn Quthaybah, Ibn Miskawayh, Ibn Arabi, Suhrawardi, atau al-Thabari. Setiap petikan kisah diberi penjelasan dalam kerangka keterkaitannya dengan ajaran Kristen tertentu. Pengungkapannya penuh dengan gaya sastra, kadang bernuansa Qurani, atau kadang dirujukkan pada tokoh yang berbeda. Misalnya kisah yang menceritakan bahwa Yesus bersabda: “Beruntunglah orang yang menjaga lidahnya, yang memiliki rumah sesuai dengan kebutuhannya, dan yang membersihkan dosa-dosanya.” Sabda Yesus ini terdapat dalam Kitâb al-Zuhd wa al-Raqâ’iq karya ‘Abdullah ibn al-Mubarak (w. 181 H/797 M). Tapi Ibn Hanbal dalam Kitâb al-Zuhd menempatkan ‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai pengganti Yesus, dan al-Qusyayri dalam al-Risâlah menggantikan Yesus dengan Nabi Muhammad (hlm.57-58).

Di antara kisah-kisah itu terkadang juga bertaburan frasa-frasa yang khas Alquran, seperti ungkapan “tetapi kamu tidak mengetahuinya” (wa lâkin lâ ta‘lamûn) (hlm. 59). Atau juga cukup banyak pesan-pesan yang direproduksi dari Injil Matius, Lukas, Yohanes, dan yang lainnya, yang kemudian ditemukan dalam Ihya’-nya al-Ghazali dan karya-karya besar lainnya (hlm. 118-119, 127, 140). Tetapi tentu saja ada beberapa segi yang ditonjolkan dalam Injil Muslim ini yang berbeda dengan pandangan Kristen, yang terlihat mendukung klaim dan ajaran Islam tentang status Yesus atau kenabian Muhammad, seperti ihwal status Yesus sebagai manusia biasa (hlm. 60, 63, 93). Segi plus-minus ini kadang juga berwujud adanya kisah-kisah yang juga kurang sesuai dengan sensitivitas rata-rata kaum muslim (hlm. 130-131).

Untaian kisah yang terentang dari abad ke-2 H (ke-8 M) hingga abad ke-12 H (ke-18 M) ini menggambarkan keterbukaan Islam terhadap khazanah dan sosok Yesus. Ada semacam peminjaman tokoh spiritual yang digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan sufistik yang dalam kerangka Islam sendiri bermakna tinggi. Kisah-kisah dan sabda yang hidup dalam karya-karya klasik ini menggambarkan adanya ‘percintaan’ Islam dan Yesus, sehingga bahkan Ibn Arabi memberi gelar Khatam al-Awliyâ’ (Penutup Para Wali) untuk Yesus.

Kalangan umat Islam dan Kristen sepertinya memang bisa belajar banyak dari karya antologi memikat semacam ini, untuk mengingatkan bahwa pada suatu masa tradisi Kristen dan Islam bergaul secara lebih terbuka, lebih menyadari dan saling percaya atas kesaksian satu sama lain. Merawat keterbukaan semacam inilah yang dibutuhkan masyarakat plural dalam tatanan dunia saat ini.


Read More..