Rabu, 26 September 2012
Menyiram Pohon, Merawat Kehidupan
Sejak pertengahan Juni lalu, saya punya kegiatan tambahan di sela bermacam kegiatan utama saya. Kegiatan tambahan itu adalah menyiram pohon. Ceritanya, Juni lalu, di akhir acara Kemah Lingkungan yang diadakan oleh komunitas peduli lingkungan di sekolah tempat saya mengajar (Pemulung Sampah Gaul [PSG] SMA 3 Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep), ada penanaman pohon di halaman sekolah. Pohon yang ditanam bermacam. Ada pohon nangka, disusul dengan rambutan, melinjo, dan mangga. Pohon-pohon inilah yang sesekali saya siram.
Sudah lebih tiga bulan kegiatan ini saya lakukan. Pagi-pagi sekali, atau kadang sore hari, saya mengangkut air-air dalam timba ke paling tidak enam titik utama di halaman sekolah.
Sebenarnya perawatan pohon ini ditangani oleh anak-anak anggota PSG. Namun saya ingin turut menyiram dan merawat pohon-pohon ini. Pada saat liburan puasa dan lebaran, saat sekolah libur dan santri-santri pulang, tugas menyiram saya catat dengan garis tebal di agenda saya. Maklum, di tengah cuaca yang sangat panas, pohon-pohon itu tentu sangat membutuhkan air.
Saat cukup lama tak disiram, beberapa daun pohon nangka, misalnya, sempat tampak mengering. Mungkin juga karena terus diterpa terik matahari. Akhirnya, saya meletakkan semacam pelindung di atas pohon nangka itu agar tak langsung diterjang sinar matahari di siang hari.
Suka duka menyiram pohon juga saya rasakan. Pernah suatu kali bibit pohon trembesi yang sudah ditanam dan disiram selama sekitar dua pekan dipatahkan orang. Bahkan ada yang dicabut oleh entah siapa. Tentu saya sedih. Juga bercampur marah. Saya bertanya-tanya: ke manakah kini air-air yang telah saya siramkan dan diserap pohon trembesi itu?
Mencari sumber air terdekat untuk diangkut ke titik penyiraman juga menjadi bagian dari kisah saya. Jika saya harus mengangkut air dari rumah saya yang memang bersebelahan dengan sekolah, saya harus berjalan sekitar 70 meter ke titik terdekat pohon di sekolah itu. Dari sumber yang sama, ke titik paling jauh saya berjalan sekitar 120 meter.
Di lingkungan sekolah sebenarnya ada keran air. Hanya saja ia tidak mengalir sepanjang waktu. Karena itu, saat saya tahu keran air itu sedang mengalir, dan di rumah air sedang relatif terbatas, dan pohon-pohon itu sudah cukup lama tak disiram sehingga tanahnya sangat kering, saya tak bisa menyia-nyiakan kesempatan itu. Saya pun mengangkut air-air dalam timba dari keran air yang berjarak 40 meter ke titik terdekat pohon yang ditanam di sekolah.
Menjalani kegiatan baru ini, saya jadi teringat esai Dewi Lestari yang dimuat di Pikiran Rakyat, 23 Juli 2006. Menanam pohon, dalam pemaparan Dee, panggilan akrab Dewi Lestari, adalah sebentuk tanggung jawab kita untuk membayar suplai oksigen yang kita hirup setiap hari. Saya berpikir bahwa melalui pepohonan itu, Allah telah memberikan oksigen untuk kita secara gratis. Jadi betapa tak tahu dirinya jika manusia hanya bisa menebangi pohon.
Bagi saya, menyiram pohon pada akhirnya adalah rasa syukur kepada Allah dan keinginan untuk ikut merawat kehidupan. Sesungguhnya, kaum muslim setiap hari senantiasa menegaskan sebutir gagasan penting yang sangat terkait dengan hal ini setiap kali shalat, paling tidak 17 kali sehari: bahwa Allah itu rabb alam semesta. M. Quraish Shihab menerjemahkan ayat kedua surat al-Fatihah itu sebagai berikut: “Segala puji hanya bagi Allah pemelihara seluruh alam.”
Lebih dari sekadar menanam, menyiram adalah sebuah kegiatan yang saya pikir cukup menantang. Saya cukup sering membaca berita di media massa tentang kegiatan penanaman sejumlah pohon di beberapa tempat. Frasa penanaman seribu pohon tampaknya sudah begitu populer untuk menunjukkan kecintaan pada alam atau lingkungan hidup. Akan tetapi, setiap kali mendengar kabar tentang kegiatan semacam ini, pikiran saya selalu dipenuhi dengan tanda tanya: setelah ditanam, lalu siapa yang merawatnya?
Saya cukup percaya bahwa kehidupan kita saat ini tampaknya memang telah banyak dikuasai oleh paradigma produksi. Orang-orang didorong untuk menghasilkan sesuatu sebanyak mungkin, termasuk juga untuk menorehkan catatan prestasi yang sifatnya produktif. Namun cukup banyak orang yang lupa pada paradigma konservasi. Kita kadang abai untuk merawat hal-hal berharga yang telah menjadi milik kita. Merawat hal yang berharga kadang diremehkan sehingga tak digolongkan sebagai sebentuk prestasi.
Pada titik ini, menyiram pohon, merawat kehidupan, bagi saya adalah juga melatih menjaga hal-hal berharga yang saya miliki saat ini. Kehidupan adalah hal mendasar yang sangat berharga yang melandasi kegiatan peradaban lainnya. Untuk itu, meski dalam tingkat yang sederhana, saya ingin menjadi bagian dari mereka yang ikut menjaga hal-hal berharga yang telah diraih manusia.
Dengan gagasan seperti ini, rasa lelah saat mengangkut air-air dalam timba itu tak begitu terasa. Saya tahu bahwa air-air itu tak akan sia-sia. Delapan liter untuk tiap pohon akan tercatat bersama tunas-tunas hijau yang akan merimbunkan halaman. Kemudian kelak kicau burung akan lebih sering terdengar di halaman sekolah kami, seolah ikut mengucap syukur atas anugerah kehidupan untuk kami semua.
Label: Environmental Issues, School Corner
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
4 komentar:
Tidak semua orang menyadari akan hal itu gus..setiap makhluk Allah semuanya bertasbih..bila kita bisa mengasihi...kita akan dikasihi...menyayangi antara sesama makhluk itulah tujuan hidup yang sebenarnya agar manusia mengerti sifat rahman dan rahimnya Allah. Semoga kita termasuk orang-orang yang berahman dan berahim terhadap sesama. Amin. (Hamiddin)
Hamiddin, dengan contoh, saya berharap kecintaan kepada lingkungan sebagai wujud tanggung jawab dan syukur kita kepada Allah dapat tumbuh dan menyebar. Semoga kita diberi kekuatan untuk itu.
Terima kasih.
keren ra musthofa...
Terima kasih, Andon..
Posting Komentar